79 research outputs found

    Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS

    Get PDF
    Ionosfer adalah bagian atmosfer atas terdiri dari ion-ion dan elektron-elektron dalam jumlah yang dapat mempengaruhi propagasi gelombang radio. Pengaruh ionosfer pada sinyal GPS berupa perlambatan kecepatannya saat menjalar melalui ionosfer sehingga waktu propagasi dari satelit sampai penerima GPS akan mendapat tambahan waktu yang tergantung pada total electron content (TEC) ionosfer dan frekuensi sinyal GPS yang digunakan. Pengukuran jarak satelit ke penerima GPS berdasarkan pengukuran waktu propagasi akan mengalami kesalahan sehingga penentuan posisi GPS menggunakan metode reseksi jarak akan mengalami kesalahan pengukuran karena adanya ionosfer. Untuk penentuan posisi presisi tinggi, TEC ionosfer perlu diestimasi sehingga dapat digunakan untuk koreksi kesalahan pengukuran jarak satelit GPS. Menggunakan GPS frekuensi ganda TEC ionosfer dapat diestimasi menggunakan kombinasi data kode dan fase GPS. Ionosfer bervariasi baik temporal maupun spasial karena pengaruh dari aktivitas matahari sebagai sumber energi ionisasi ionosfer. Oleh karena itu penentuan TEC ionosfer mendekati real time selain dapat digunakan untuk koreksi ionosfer juga dapat digunakan untuk monitoring cuaca antariksa. Makalah ini menjelaskan metode penentuan TEC ionosfer mendekati real time dari data GPS mendekati real time yang dapat diakses melalui FTP setiap jam secara otomatis

    VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

    Get PDF
    Ionosfer, yang merupakan daerah atmosfer terionisasi, dapat dibagi menjadi 4 daerah yaitu daerah D, E, F1 dan F2. Daerah D terletak pada ketinggian sekitar 50 – 90 km, daerah E antara 90 – 140 km, daerah F1 antara 140 – 210 km dan daerah F2 diatas 210 km. Daerah E dan F, berperan penting untuk memantulkan gelombang radio frekuensi tinggi, HF. Spread F merupakan penyebaran pemantulan gelombang radio didaerah F akibat ketidak teraturan ionosfer didaerah tersebut. Spread F dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu penyebaran pantulan dalam rentang ketinggian ( range spread ), dalam rentang frekuensi ( frekuensi spread ) dan spread F campuran ( gabungan antara range spread dan frekuensi spread ). Salah satu cara untuk mengetahui kejadian spread F adalah membaca ionogram, yaitu grafik yang menggambarkan hubungan antara ketinggian dan frekuensi pantul lapisan ionosfer terhadap gelombang frekuensi tinggi,HF, yang dipancarkan secara tegak lurus. Dari hasil pengolahan data ionosfer di Tanjung sari ( 6054'10'' LS, 107050'24" BT ), diperoleh bahwa pada saat kejadian spread F, terjadi perubahan harga ketinggian lapisan F ionosfer

    RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA

    Get PDF
    Adanya peristiwa gerhana matahari tanggal 26 januari 2009 yang melewati pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan merupakan kesempatan untuk mempelajari respon ionosfer terhadap terjadinya gerhana. Pengamatan dilakukan di 3 tempat menggunakan ionosonda yaitu dari Kotatabang, Pontianak dan Pameungpeuk. Gerhana terjadi mulai pukul 15:20 LT dan berakhir pukul 17:50 LT dengan puncak gerhana pada pukul 16:40 LT. Hasil dari pengamatan ionogram memperlihatkan (i) terlihatnya lapisan F1 yang pada hari biasa tertutup oleh lapisan E, (ii) tidak terjadinya kenaikan ketinggian dasar lapisan F (h′F) dan (iii) terjadinya penurunan foF2 pada saat terjadi gerhana sekitar pukul 16:00 LT sebesar ~2 MHz dari pengamatan ionosonda Pontianak dan ~0.5 Mhz dari ionosonda Kotatabang. Terlihatnya lapisan F1 pada saat terjadi gerhana merupakan efek dari berkurangnya intensitas radiasi matahari yang diterima, menyebabkan laju ionisasai berkurang sehingga kerapatan elektron di lapisan E berkurang. Berkurangnya kerapatan elektron di lapisan E ini menyebabkan sinyal dari ionosonda yang biasanya diserap dan atau dipantulkan oleh lapisan E dapat diteruskan dan dipantulkan oleh lapisan F1. Gerhana matahari 26 Januari 2009 tidak menyebabkan kenaikan h′F dikarenakan gravitasi bumi masih lebih dominan dibandingkan dengan gaya gravitasi bulan sehingga lapisan F tidak tertarik keatas. Nilai foF2 sebanding dengan kerapatan elektron di lapisan F sehingga penurunan intensitas radiasi menyebabkan penurunan foF2

    HISTERESIS IONOSFER SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 23 DARI GLOBAL IONOSPHERIC MAP [IONOSPHERIC HYSTERESIS DURING SOLAR CYCLE 23 FROM GLOBAL IONOSPHERIC MAP]

    Get PDF
    Model-model yang digunakan untuk prediksi ionosfer jangka panjang belum mempertimbangkan efek histeresis ionosfer. Beberapa hasil penelitian pengaruh histeresis ionosfer pada pemodelan ionosfer jangka panjang memberikan kesimpulan yang kontradiktif. Data Total Electron Content (TEC) yang diperoleh dari Global Ionosphere Maps (GIM) telah digunakan untuk penelitian variabilitas spasial dan diurnal histeresis ionosfer selama siklus matahari 23. Besar histeresis diestimasi sebagai perbedaan antara rata-rata TEC selama fase turun dengan rata-rata TEC selama fase naik dari siklus matahari. Histeresis ionosfer memiliki variabilitas spasial yang mirip dengan variabilitas anomali ionisasi ionosfer ekuator, dimana nilai terbesarnya terjadi di daerah puncak anomali ionisasi ionosfer ekuator, dan ada ketidaksimetrissan arah lintang dan bujur. Histeresis ionosfer ekuator dan lintang rendah memiliki pola kejadian yang sistematis baik secara spasial maupun temporal sehingga memungkinkan untuk memasukkan efek histeresis dalam model ionosfer jangka panjang. Histeresis ionosfer di daerah lintang rendah bisa menyebabkan kesalahan dari model linier ionosfer sampai 49 %. Oleh karena itu dalam pemodelan ionosfer lintang rendah hendaknya mempertimbangkan efek histeresis dengan menggunakan formulasi yang berbeda untuk fase naik dan fase turun dari siklus matahari.Kata kunci: Ionosfer, Aktivitas matahari, Histeresi

    EFEK CME HALO PENUH PADA IONOSFER LINTANG RENDAH DARI DATA GPS BAKO DI CIBINONG [EFFECT OF FULL HALO CME ON LOW LATITUDE IONOSPHERE FROM BAKO GPS DATA IN CIBINONG]

    Get PDF
    A full halo coronal mass ejections (CMEs) are most energetic solar events that eject huge amount of mass and magnetic fields into heliosphere with 360o angular angle. The full halo CME effect on the ionosphere can be determined from the ionospheric total electron content (TEC) derived from GPS data. GPS data from BAKO station in Cibinong, satellite orbital data (brcd files) and intrumental bias data (DCB files) have been used to obtain TEC using GOPI software. Analysis of  the full halo CME data, Dst index, and TEC during October 2003 and February 2014 showed that the full halo CME could cause ionospheric disturbances called ionospheric storms. Magnitude and time delay of the ionospheric storms  depended on the full halo CME speed. For the high-speed full halo CME, the negative ionospheric storm generally occured during recovery phase of the geomagnetic storm. When the initial phase of geomagnetic disturbance with increasing Dst index more than +30 nT, the ionospheric storm occured during main phase of geomagnetic disturbance although the main phase of geomagnetic disturbance did not reach geomagnetic storm condition. ABSTRAKCoronal mass ejection  (CME) halo penuh merupakan peristiwa matahari  berenergi tinggi, yang menyemburkan massa dan medan magnet ke heliosfer dengan sudut angular sebesar 360º. Efek  CME halo penuh pada ionosfer dapat diketahui dari Total Electron Content (TEC). Data GPS BAKO di Cibinong, data orbit satelit (file brcd) dan data bias instrumental (file DCB) dapat digunakan untuk penentuan TEC menggunakan software GOPI. Analisis data CME halo penuh, indeks Dst, dan TEC selama bulan Oktober 2003 dan Februari 2014 menunjukkan bahwa CME halo penuh dapat menimbulkan gangguan ionosfer yang disebut badai ionosfer. Besar dan selang waktu badai ionosfer setelah terjadinya CME, tergantung pada kelajuan CME halo penuh. Untuk CME halo penuh berkelajuan tinggi, badai ionosfer negatif umumnya terjadi pada fase pemulihan badai geomagnet. Jika fase awal gangguan geomagnet diawali dengan peningkatan indeks Dst melebihi +30 nT, maka badai ionosfer dapat terjadi pada fase utama gangguan geomagnet walau gangguan geomagnet setelah  fase awal tidak mencapai kondisi badai geomagnet.

    PERFORMA METODE PRECISE POINT POSITIONING (PPP) DENGAN KOREKSI IONOSFER ORDE 1

    Get PDF
    Global Positioning System (GPS) merupakan salah satu dari teknologi Global Navigational Satelite System (GNSS), yang digunakan untuk menentukan posisi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bernavigasi, pemantauan struktur bangunan, landslide, gempa bumi maupun tsunami. Penentuan posisi secara aboslut atau Precise Point Positioning saat ini berkembang dengan cepat seiring dengan meningkatnya akurasi posisi yang dihasilkan. PPP merupakan alternatif penentuan posisi dengan menggunakan metode absolut yang dapat mecapai akurasi dalam skala sentimeter maupun desimeter atau bahkan hingga milimeter. Pada penelitian ini menggunakan data pengamatan dual frekuensi dari CORS CBAL, CPAL, CAMP, CMLI, CRAU yang kemudian diolah menggunakan software GoGPS metode PPP dengan menggunakan koreksi ionosfer orde 1. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada stasiun CORS CAMP, CBAL, CPAL, CRAU dan CMLI diperoleh hasil standar deviasi berkisar antara dm hingga cm. Waktu konvergensi yang diperlukan mencapai 3,3jam untuk mendapatkan solusi dengan level mm. Nilai standar deviasi yang paling kecil terdapat pada hasil penentuan posisi stasiun CORS CAMP dan CBAL

    Analysis of Total Electron Content (TEC) Near Real Time Using Dual Frequency GPS Data (Study Case: Surabaya)

    Get PDF
    Ionosphere is part of the atmospheric layer located between 50 to 1000 km above the earth's surface which consists of electrons that can influence the propagation of electromagnetic waves in the form of additional time in signal propagation, this depends on Total Electron Content (TEC) in the ionosphere and frequency GPS signal. In high positioning precision with GPS, the effect of the ionosphere must be estimated so that ionospheric correction can be determined to eliminate the influence of the ionosphere on GPS observation. Determination of ionospheric correction can be done by calculating the TEC value using dual frequency GPS data from reference stations or models. In making the TEC model, a polynomial function is used for certain hours. The processing results show that the maximum TEC value occurs at noon at 2:00 p.m. WIB for February 13, 2018 with a value of 35,510 TECU and the minimum TEC value occurs in the morning at 05.00 WIB for February 7, 2018 with a value of 2,138 TECU. The TEC model spatially shows the red color in the area of Surabaya and its surroundings for the highest TEC values during the day around 13.00 WIB to 16.00 WIB
    • …
    corecore