44 research outputs found

    Kandungan Resin Pada Kayu Gaharu Tanaman

    Full text link
    Kelestarian tanaman dan produksi gaharu telah menjadi perhatian dan program Internasional. Kegiatan budidaya dan inokulasi gaharu di beberapa negara termasuk Indonesia telah memberikan hasil yang menggembirakan. Namun demikian, sukar diperoleh informasi mengenai karakteristik hasil gaharu yang diperoleh dari program budidaya. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian hasil resin dari jenis gaharu tanaman dan alami dengan menggunakan pelarut air destilasi dan metanol. Bahan gaharu tanaman yang berasal dari Jambi dibedakan dalam dua kelompok, yaitu campuran dan coklat. Sebagai bahan pembanding digunakan kayu gaharu alami asal Irian. Pada masing-masing bahan gaharu tersebut dilakukan identifikasi secara anatomis untuk mengetahui otentitas jenisnya. Hasil determinasi jenis menunjukkan bahwa bahan kayu tanaman asal Jambi merupakan spesies Aqularia malaccensis, sedangkan kayu asal Irian merupakan jenis Gyrinops sp. Secara statistik kandungan resin pada kayu gaharu dipengaruhi secara nyata oleh faktor jenis bahan dan faktor pelarut yang digunakan dalam ekstraksi. Contoh uji kayu gaharu tanaman dari kelompok campuran memiliki kandungan resin lebih rendah daripada contoh uji kelompok coklat. Kandungan resin kayu gaharu tanaman lebih rendah dibandingkan dengan kandungan resin kayu gaharu alami dengan menggunakan pelarut yang sama. Kandungan resin pada kayu gaharu Jambi dalam pelarut akuades relatif lebih banyak dibandingkan dengan resin yang diperoleh dari kayu gaharu Irian. Kelarutan kayu gaharu Jambi dalam alkohol jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kayu Irian. Kelarutan resin tertinggi diperoleh pada ekstraksi kayu gaharu Irian dengan menggunakan pelarut metanol

    Kualitas Politur Organik Dari Ekstrak Kayu Jati Dan Sirlak

    Full text link
    Penggunaan bahan finishing kayu dewasa ini dikuasai oleh bahan finishing dengan pelarut mineral, seperti melamin dan nitroselulosa. Meskipun bahan finishing ini dapat memberikan kualitas finishing yang baik, awet serta harga yang terjangkau, namun kelompok bahan finishing ini melepas banyak polutan, sehingga dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan. Dalam penelitian ini dilakukan eksplorasi penggunaan bahan alternatif berupa ekstrak kayu jati yang dicampur dengan sirlak untuk produksi pewarnaan kayu atau lapisan atas. Performa bahan finishing alternatif diuji secara fisis, mekanis dan kimia pada kayu tusam dan karet, serta dibandingkan dengan performa bahan finishing komersial, yaitu melamin formaldehida (MF) dan nitroselulosa (NS). Contoh uji kedua jenis kayu direndam dalam larutan bahan finishing kemudian dikeringkan. Perubahan berat dan dimensi contoh uji akibat rendaman ditentukan pada kondisi basah dan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan berat dan Perubahan dimensi akibat rendaman beragam menurut jenis kayu, orientasi serat dan jenis bahan finishing yang digunakan. Contoh kayu tusam mengalami Perubahan berat dan dimensi lebih besar daripada kayu karet. Semua formula finishing organik mampu melindungi kayu dari intrusi air, namun tidak sebaik kelompok komersial MF dan NS. Formula lapisan atas ekstrak jati dan sirlak memiliki daya tahan terhadap larutan kimia dan ketahanan gores lebih rendah daripada MF dan NS. Namun demikian, formula pewarnaan kayu ekstrak jati dan sirlak memiliki nilai warna lebih baik daripada wood stain komersil

    New Approach to Oil Palm Wood Utilization for Woodworking Production Part 1: Basic Properties

    Full text link
    An explosive development in oil palm plantations in the country has produced a consequence in the generation of plantation wastes. The disposal of these wastes has created an enormous environmental problem that some practical solution to their economic utilization has to be sought. A series of experiments have been accomplished to observe the possibility of converting the oil palm stem into valuable woodworking products. The first stage of this effort was determining basic characteristics of oil palm wood. Results in general showed that the wood has a great characteristic variation across and along the stem, which may develop problems in its utilization. Characteristics of this wood also vary according to species variety. Quality degradations of oil palm wood were mostly happened during drying process; hence, modifications to upgrade quality should be undertaken before or within the drying process

    Karakteristik Kayu Lapis Sawit

    Full text link
    Industri kayu lapis nasional mengalami penurunan secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Alasan utama penyebab Perubahan tersebut adalah masalah ketersediaan bahan baku. Pada sisi lain, di Indonesia terdapat bahan berkayu dari perkebunan sawit secara berlimpah, dan sampai saat ini belum digunakan untuk keperluan industri perkayuan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi teknis terhadap penggunaan kayu sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis. Penelitian ini dilakukan melalui dua unit percobaan, yaitu di PT. Sumalindo, Kalimantan Timur dan PT. Asia Forestama Raya, Riau. Kedua unit pabrik memiliki fasilitas produksi yang berbeda. Sumber keragaman lain yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah lapisan dan komposisi lapisan Dalam penelitian ini diamati parameter fisis dan mekanis sebagai kriteria kualitas panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi dan efektifitas produksi panel kayu sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor fasilitas produksi. Pabrik pertama menghasilkan kualitas produk yang lebih baik namun memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pabrik kedua. Karakteristik fisis dan mekanis pada panel kayu sawit dipengaruhi secara nyata oleh faktor proses produksi, jumlah lapisan dan komposisi lapisan. Kualitas fisis dan mekanis panel kayu sawit menurun dengan pertambahan jumlah lapisan dan komposisi venir kayu sawit. Terdapat korelasi positif antara nilai kerapatan dan keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit. Panel kayu lapis yang dihasilkan dalam percobaan ini dapat memenuhi kualifikasi produk interior

    Impregnasi Ekstrak Jati Dan Resin Pada Kayu Jati Cepat Tumbuh Dan Karet

    Get PDF
    Penelitian sebelumnya menunjukkan karakteristik fisis, mekanis dan keawetan kayu jati cepat tumbuh (JCT) relatif lebih rendah dibanding kayu jati tradisional. Berdasarkan hal tersebut, perlakuan modifikasi kayu dapat dilakukan dengan perlakuan tertentu untuk meningkatkan kualitas kayunya. Penelitian ini bertujuan menyempurnakan karakteristik kayu JCT dan karet dengan perlakuan impregnasi ekstrak jati dan resin hingga mendekati atau setara dengan karakteristik kayu jati tradisional. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi serbuk kayu jati tradisional dengan pelarut metanol. Larutan ekstrak tersebut kemudian diimpregnasi ke dalam struktur kayu JCT dan karet dengan beragam konsentrasi menurut penambahan resin organik. Resin yang digunakan sebagai campuran dalam penelitian ini adalah sirlak dan damar, masing-masing dengan konsentrasi berat 4, 6 dan 8% dari volume ekstrak. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan impregnasi larutan ekstrak jati terhadap kayu JCT dan karet mampu meningkatkan stabilitas dimensi kedua jenis kayu tersebut dengan nilai ASE lebih dari 50%, hingga setara dengan stabilitas jati tradisional. Penambahan resin sirlak maupun damar ke dalam larutan ekstrak jati secara nyata dapat lebih menyempurnakan sifat stabilitas dimensi kayu JCT dan karet secara proporsional menurut konsentrasi resin

    Kajian Efisiensi Pemanfaatan Kayu Merbau dan Relokasi Industri Pengolahannya Bagian 1: Propinsi Papua sebagai Penghasil Kayu Merbau dan Tujuan Relokasi

    Full text link
    Kayu Merbau (Intsia spp.) pernah menjadi isu penting karena Pemerintah Propinsi Papua meminta dispensasi dari Pemerintah Pusat untuk mengekspor log kayu tersebut. Argumentasi yang dikemukakan adalah kekerasan kayu tersebut, sehingga tidak bisa diolah di dalam negeri. Apabila tidak diekspor berarti sumberdaya alam yang dimiliki Propinsi Papua tidak dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan daerah. Sementara itu, Inpres No. 7 tahun 2002 menawarkan paket relokasi industri dari wilayah Jawa Timur ke Papua. Untuk mengevaluasi kondisi obyektif pemanfaatan kayu merbau dan urgensi relokasi industrinya, dilakukan kajian ilmiah komprehensif yang meliputi potensi bahan baku, alokasi penggunaan, tenaga kerja dan peraturan yang terkait dengan pemanfaatan kayu merbau. Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, kajian difokuskan terhadap wilayah Papua sebagai sumber bahan baku dan tempat tujuan relokasi industri pengolahan kayu merbau, mencakup pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara dengan instansi terkait di wilayah Jakarta, Banten dan Papua. Bagian kedua akan disajikan pada tulisan terpisah, yang akan mengkaji industri kayu merbau di Jawa Timur dan sekitarnya yang akan direlokasi. Hasil observasi di Papua diketahui bahwa potensi kayu merbau yang dapat dimanfaatkan masih cukup 3besar , yaitu 2,662 juta m/tahun. Untuk menunjang pengelolaan hutan lestari, perlu dilakukan perhitungan ulang atas potensi kayu. Di Papua terdapat 9 industri besar yang mengolah kayu merbau dan 66 unit industri kecil/menengah yang mengalami kekurangan bahan baku kayu merbau. Sebagian besar industri mengolah kayu merbau menjadi kayu gergajian, S2S dan S4S. Banyak kilang penggergajian kecil di areal hutan menggergaji kayu bulat merbau menjadi balok kasar dengan menggunakan gergaji rantai. Evaluasi terhadap data dan informasi yang tersedia dapat disimpulkan bahwa relokasi industri bukan merupakan alternatif yang tepat. Pembinaan yang lebih tepat adalah peningkatan kemampuan teknis industri dan pemasaran kayu merbau di Papua, sehingga mampu memproduksi barang jadi (finished products) dan langsung dapat memasarkannya

    Pengaruh Pengerjaan Akhir terhadap Stabilitas Dimensi Kayu

    Full text link
    This study was designed to determine the ability of six commercial exterior finishes (2 clear coats and 4 opaque coats) in protecting wood from dimensional changes. Two wood species, jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) and mangium (Acacia mangium Willd.) were used in this study. Samples were seasoned to air-dry condition (moisture content of 15-17%) and then divided into groups on the basis of treatments and grain orientation (radial and tangential). Application of each exterior finish was undertaken according to procedures suggested by the finish manufacturer. The effectiveness of treatments to dimensionally stabilize wood was determined by measurements of wood swelling within 72-hours immersion and calculation of anti-swelling efficiency (ASE). Results of observations made to this stage showed that the effect of finishing on wood dimensional stability varied according to wood species, grain orientation and type offinish coat. Finishing had a greater dimensional stabilizing effect on jabon than mangium. Reduction of swelling due to finishing was greater in tangential compared to radial boards. The use of clear coats significantly gave less protection on wood stability than that of opaque coats. Anti-swelling efficiency of all treatments markedly decreased with increasing period of immersion

    STABILISASI DIMENSI PADA KAYU TANAMAN KARRI (Eucalyptus Diversicolor) DAN JARRAH (E. Marginata) - Bagian II : Furfurilasi (Dimensional Stabilization on Regrowth Karri (Eucalyptus Diversicolor) and Jarrah (E. Marginata) Part II : Furfurylation

    Full text link
    Wood blocks of karri and jarrah measuring 10 mm (radial) x 25 mm (longitudinal) x 100 mm (tarigential) were ovendried for. 48 hours at 105°C prior to treatment. Furfurylation was carried out by soaking wood specimens in a 98. % furfuryl alcohol solution containing 1 % (w/w) of ZnCl2 as catalist. Three soaking times, i.e., 12, 24 and 48 hours were used. Treatment results are expressed in terms of weight (WG) and volumetric (VG) gains. The ability of treatment to dimensionally stabilize wood blocks is expressed as anti- swelling efficiency (ASE). Results showed that furfurylation imparted substantial increase in weight, volume and dimensional stability of both regrowth eucalypts. Alike acetylation (reported earlier in Part I),furfurylation on karri specimens revealed higher weight gain,volumetric gain and ASE than jarrah. The rate of furfurylation significantly increased with increasing soaking time to 48 hours. Although furfurylation imparted a high degree of swelling reductions comparable to those obtained by acetylation, the furfurylated specimens and a lower ability to resist swelling during prolonged wetting exposure
    corecore