4 research outputs found

    Overexpression of PDL-1 is a risk factor for lymph node metastasis in cervical cancer

    No full text
    Cervical cancer is the fourth most prevalent malignancy in women globally and and the 2nd in Indonesia. In 2008, the Indonesian Cancer Foundation projected that 52 million Indonesian women are at risk for cervical cancer, and that 36% of all cancer patients are cervical cancer patients. Increasing by 0.6% per year. There are 9,496 cervical cancer-related deaths in Indonesia, compared to an estimated 24,400 worldwide. The crude incidence rate of cervical cancer in Indonesia is 17 per 100.000 women. The majority of individuals with cervical cancer who passed away have received chemotherapy and radiation therapy. In recent years, tremendous progress has been made in immune therapy studies focused at preventing cancers from evading the immune response of the tumor. Among them is PD-I research. The association between PD-1 and its PDL-1 ligand suppresses cytotoxic T cells in the immune response to tumors. PDL-1 overexpression was also associated with a poor prognosis in a few other carcinomas. This study intends to determine whether PDL I overexpression is a risk factor for cervical cell carcinoma metastasis. Metastasis is indicative of a poor prognosis in cancer.&nbsp

    LOKALITAS DALAM SENI GLOBAL TAHUN 2013

    No full text
    Globalisasi yang sedang diwacanakan ternyata melampaui batas-batas kata world. Globalisasi mengisyaratkan mengenai poin-poin lokal seni budaya yang tersebar di manapun dapat disebut aktivitas global. Jim Supangkat memberikan pandangannya mengenai global art bahwa upaya mengidentifikasi global contemporary art yang justru mempertanyakan tanda-tanda keseragaman. Sejarawan terkemuka Hans Belting memulainya dengan melihat global contemporary art sebagai “global art” yang harus dibedakan dari world art. Bagi Hans Belting, pengertian world art mencerminkan pemahaman modernisme yang hegemonik(1). Jadi secara struktur world art masih sebatas klaim bahwa pandangan dunia Barat merupakan pandangan yang mampu diaplikasikan ditiap pelosok kebudayaan dunia, padahal jika dibaca secara teliti hal ini sebatas hegemoni dari moderisme dengan jargon world art. Global art menurut Hans Belting sama sekali bukan tanda-tanda munculnya kenyataan yang diprediksi universalisme. Global Art muncul karena sebab sebab ekonomi. Perkembangannya di art market tidak peduli pada keseragaman pada universalisme. Bisnis membuat global contemporary art memedulikan kekuatan lokal demi kepentingan bisnis(2). Global art mampu merangkul tiap-tiap aspek lokal yang walaupun ada sebuah kepentingan namun keberpihakannya mengankat nilai- nilai lokal didalam percaturan medan sosial seni sudah selayaknya diapresiasi. Tidak ada batas antara Timur dan Barat, semua kebudayaan itu bersifat global. perlu juga diuraian mengenai batas-batas istilah “lokal” serta “global art” dalam kesempatan ini karena sering terjadi pemaknaan yang bias. Istilah “lokal” didalam seminar yang bertajuk “Lokalitas dalam Global Art” berada pada wilayah artefak-artefak kebudayaan lokal yang terdapat di Bali khususnya, ikon-ikon lokal yang mencirikan lokal jeniusnya. Sedangkan Global art berkutat kepada wacana seni yang diangkat dengan kekuatan lokal serta mampu diwacanakan diseluruh penjuru atau pelosok dunia. Note: (1) Lihat “Contemporaneity”: Biennale Indonesia Awards 2010. Pewacanaan Contemporaneity oleh Jim Supangkat. ( 2) Ibid

    LOKALITAS DALAM SENI GLOBAL

    No full text
    Globalisasi yang sedang diwacanakan ternyata melampaui batas-batas kata world. Globalisasi mengisyaratkan mengenai poin-poin lokal seni budaya yang tersebar dimanapun dapat disebut aktivitas global. Jim Supangkat memberikan pandangannya mengenai global art bahwa upaya mengidentifikasi global cobtemporary art yang justru mempertanyakan tanda-tanda keseragaman. Sejarawan terkemuka Hans Belting memulainya dengan melihat global contemporary art sebagai "global art" yang harus dibedakan dari word art. Di Dalam ranah seni pertunjukan, Etnomusikologi itu sebuah eklitisme, tidak sekedar ilmu mencari musik disana sini, menyelidiki, mengkaji, bermain musik, namun Etnomusikologi itu lahir dari perlawanan para lokalitas pencinta musik - musik tradisional terhadap superior komunitas musik barat yang selalu menganggap diri paling hebat dan paling bermutu. Di sini para Etnomusikologi berjuang mengangkat citra lokal. Dari ranah visual art atau seni rupa dan desain dewasa ini terhembus wacana seni rupa mengenai Global Art yang kembali melirik dan menghadirkan ikon atau unsur lokal kemudian divisualkan secara kreatif dengan ide-ide "gila", sehingga disetiap karya-karya akan hadir atmosfer lokal bernuansa baru yang mampu eksis di dalam ranah medan sosial seni rupa dunia
    corecore