Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Not a member yet
692 research outputs found
Sort by
: Estimation of Organic Carbon Stocks in The Mangrove Ecosystem in Mojo Village, Ulujami District, Pemalang
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem pesisir memiliki peranan penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim khususnya dalam penyerapan gas CO2. Hutan mangrove di Desa Mojo yang memiliki luasan terbesar di Kabupaten Pemalang tidak saja mengalami ancaman abrasi pantai, tetapi juga deforestasi untuk lahan tambak. Melihat fungsi ekologis mangrove yang tinggi dalam penanggulangan perubahan iklim, maka perlu dilakukan perhitungan estimasi simpanan karbon di ekosistem tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey untuk menganalisis indeks ekologi dan estimasi serapan karbon pada biomassa dan sedimen mangrove. Indeks Nilai Penting menunjukkan bahwa jenis pohon mangrove Avicennia alba memiliki tingkat kerapatan dan penutupan yang tinggi dibandingkan tiga jenis mangrove lainnya yang ditemukan yaitu Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, dan Rhizopora mucronata, Tingginya nilai kerapatan dan penutupan jenis ini menjadikan pohon Avicennia alba sebagai jenis mangrove yang memiliki estimasi kandungan karbon biomassa tertinggi. Estimasi simpanan karbon biomassa mangrove di lokasi penelitian adalah 21,55–144,22 ton C/ha, sedangkanestimasi simpanan karbon pada sedimen mangrove berkisar 98,45–181,06 ton C/ha. Estimasi total simpanan karbon di ekosistem mangrove Desa Mojo Pemalang berkisar 112,43 – 247,98 ton C/ha dengan rata-rata 155,13 ton C/ha.The mangrove ecosystem as a coastal ecosystem is important in reducing the impact of climate change, especially in absorbing CO2 gas. The mangrove forest in Mojo Village, which had the largest area in Pemalang Regency, was not only threatened by coastal erosion but also faced deforestation for shrimp pond development. Considering the high ecological function of mangroves in climate change mitigation, it was essential to calculate carbon storage estimates in this ecosystem. The methodology employed in this study involved a survey method to analyze ecological indices and estimate carbon sequestration in mangrove biomass and sediments. The Importance Value Index indicated that the Avicennia alba mangrove species exhibited higher density and canopy coverage compared to the other three found species: Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, and Rhizophora mucronata. The high density and canopy coverage of Avicennia alba made it the mangrove species with the highest estimated carbon biomass content. The estimated carbon storage in mangrove biomass at the research site ranged from 21.55 to 144.22 tons C/ha, while the estimated carbon storage in mangrove sediments varied from 98.45 to 181.06 tons C/ha. The total carbon storage estimate in the mangrove ecosystem of Mojo Village, Pemalang, ranged from 112.43 to 247.98 tons C/ha, with an average of 155.13 tons C/h
Distribusi Bahan Organik dan Fraksi Sedimen di Perairan Teluk Lampung
Deposisi sedimen di perairan sangat dipengaruhi oleh proses-proses pantai yang menyebabkan variasi karakteristik fisik dan kimiawinya. Penelitian ini mengungkap komposisi ukuran sedimen dan bahan organik di sedimen Teluk Lampung untuk menduga proses deposisi. Analisis fraksi sedimen dilakukan berdasarkan pada American Society for Testing and Materials (ASTM) standards D422-63, sedangkan bahan organik dilakukan dengan menggunakan metode loss on ignition (LOI). Fraksi pasir lanau (75,95-78,73%) dan fraksi lempung (18,27-20,28%) memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi pasir (3,00-3,81%). Kandungan organik di sedimen perairan Teluk Lampung berkisar antara 10,67-13,48%. Distribusi fraksi sedimen dan bahan organik di perairan Teluk Lampung tidak berbeda signifikan antar stasiun, yang artinya stasiun yang berada di dekat kepala teluk (TL 1 dan TL 2) memiliki persentase fraksi sedimen dan bahan organik yang tidak berbeda signifikan dengan stasiun yang berada di tengah atau ke arah mulut teluk (TL 3-TL5).Sediment deposition in waters is considerably influenced by coastal processes causing variations in their physical and chemical characteristics. This study reveals the size composition of sediments and organic matter in Lampung Bay sediments how deposition processes occurAnalysis of the sediment fraction was carried out based on the American Society for Testing and Materials (ASTM) standards D422-63, while the organic matter was carried out using the loss on ignition (LOI) method. The silt sand fraction (75.95-78.73%) and clay fraction (18.27-20.28%) have a higher percentage than the sand fraction (3.00-3.81%). Then, the organic content in the sediments of Lampung Bay waters ranges from 10.67-13.48%. The distribution of sediment and organic matter fractions in the waters of Lampung Bay was not significantly different between stations, which means that stations near the head of the bay (TL 1 and TL 2) had a percentage of sediment and organic matter fractions that were not significantly different from stations in the middle or towards the mouth of the bay (TL 3-TL5)
: Spatial Distribution of Plankton and Chlorophyll-a as Indicators for Determining Potential Fishing Grounds in the Waters of Gili Trawangan
Kelimpahan plankton yang tinggi dapat menjadi indikator kesuburan perairan dan dimanfaatkan sebagai penentu lokasi daerah penangkapan ikan (fishing ground). Daerah penangkapan ikan dapat diidentifikasi berdasarkan keberadaan dan jumlah gerombolan ikan di suatu perairan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi spasial fitoplankton, zooplankton, dan klorofil-a guna menentukan zona potensial daerah penangkapan ikan. Penelitian dilakukan pada Maret 2024 di perairan Gili Trawangan dengan 12 titik stasiun pengambilan sampel. Penentuan lokasi sampel menggunakan metode purposive sampling berdasarkan karakteristik perairan, dengan fokus pada area yang memiliki kelimpahan plankton dan klorofil-a yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan bagian selatan Gili Trawangan, khususnya Stasiun 03 dan 05, memiliki potensi tinggi sebagai zona daerah penangkapan ikan karena tingginya kelimpahan fitoplankton, zooplankton, dan klorofil-a. Hal serupa juga ditemukan pada Stasiun 09 di perairan timur Gili Trawangan, yang memiliki kelimpahan tertinggi dari seluruh parameter yang diukur. Namun, lokasi ini berada di sekitar kawasan pelabuhan sehingga kurang sesuai untuk kegiatan perikanan. Secara keseluruhan, perairan Gili Trawangan memenuhi kriteria sebagai zona potensial daerah penangkapan ikan karena tingginya kelimpahan plankton yang berperan sebagai sumber makanan utama bagi ikan. Jenis plankton yang paling dominan di perairan ini antara lain Coscinodiscus sp., Rhizosolenia sp., dan Nauplius sp.. Semakin tinggi kelimpahan plankton di suatu perairan, semakin tinggi produktivitas perairan tersebut, yang berdampak pada meningkatnya jumlah ikan yang tersedia.A high abundance of plankton serves as an indicator of water fertility and can be used to identify potential fishing grounds. Fishing grounds are determined by analyzing the presence and density of fish schools in a given area. This study aims to assess the spatial distribution of phytoplankton, zooplankton, and chlorophyll-a to identify potential fishing zones. The research was conducted in March 2024 in Gili Trawangan, covering 12 sampling stations. Sampling locations were selected using a purposive sampling method based on water characteristics, prioritizing areas with high plankton and chlorophyll-a concentrations. The results indicate that the southern waters of Gili Trawangan, particularly Stations 03 and 05, have strong potential as fishing zones due to their high phytoplankton, zooplankton, and chlorophyll-a concentrations. Similarly, Station 09 in the eastern waters exhibits the highest abundance of all parameters; however, its proximity to the harbor makes it unsuitable for fishing activities. Overall, Gili Trawangan meets the criteria for a viable fishing ground due to the high abundance of plankton species, which serve as a primary food source for fish. The dominant plankton species in these waters include Coscinodiscus sp., Rhizosolenia sp., and Nauplius sp.. A higher plankton abundance correlates with increased water productivity, leading to greater fish availability in these waters
The Impact Shoreline Modifications on Lekang Turtle (Lepidochelys olivacea) Conservation Along Coastal of Kulonprogro, Indonesia
Changes in oceanographic circumstances that continue to occur will generate challenges for coastal ecology, one of which is a change in the sea-land boundary. It is possible to have an impact on the olive ridley turtles that rise to lay their eggs by changing the region of this coastal area, particularly at Trisik Beach, Kulonprogo, and Yogyakarta Special Region. The goal of this study was to use a Geographic Information System to estimate the effect of changes in the coastline on the distribution of olive ridley turtles on Trisik Beach, Kulon Progo, and Yogyakarta Special Region in 2020-2022. Digitizing the shoreline reveals changes in the coastline, which is then analyzed using Landsat 8 satellite data retrieved with ArcGIS software. The Landsat 8 photos span the years 2020-2022. Using the Digital Shoreline Analysis System (DSAS) toolbox, each image will go through area cropping or image cutting, geometric and radiometric correction, demarcation or development of a land-sea boundary line, on-screen digitalization, and automatic calculation of coastal changes. Trisik Beach's coastline alterations from 2020 to 2022 tended to create abrasion due to the shrinking beach area. The greatest average distance to a coastline alteration was -29.61 m, the smallest was -15.03 m, and the average speed of the greatest abrasion is -8.26 m/year, the smallest is -4.19 m/year, resulting in a 111,967.03 m2 reduction in coastal area. The association between shoreline alterations and the distribution of olive ridley turtle nesting on Trisik Beach is quite significant, with the beach area affecting 91.3% of turtle nests and 88.5% of turtle eggs.Perubahan kondisi oseanografi yang terus terjadi akan mengakibatkan masalah terhadap ekologi wilayah pesisir, salah satunya adalah pergeseran batas antara laut dan daratan. Dengan berubahnya luasan wilayah pesisir ini, khususnya di Pantai Trisik, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dimungkinkan dapat memberikan pengaruh terhadap penyu lekang yang naik untuk bertelur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan garis pantai terhadap distribusi penyu lekang di Pantai Trisik, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020-2022 dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis. Perubahan garis pantai diketahui dengan cara digitasi garis pantai, dan garis pantai diolah melalui citra satelit Landsat 8 yang telah diperoleh dengan software ArcGIS. Citra Landsat 8 yang diambil meliputi tahun 2020-2022. Masing-masing citra akan dilakukan cropping area atau pemotongan citra, koreksi geometrik dan radiometrik, delininiasi atau pembuatan garis batas antara daratan dan laut, digitasi on screen, dan perhitungan perubahan garis pantai secara otomatis menggunakan toolbox Digital Shoreline Analysis System (DSAS). Perubahan garis pantai yang terjadi di Pantai Trisik selama tahun 2020-2022 cenderung mengalami abrasi karena luasan pantai yang semakin berkurang, nilai jarak rata-rata perubahan garis pantai tertinggi -29,61 m terendah -15,03 m, dan nilai rata-rata laju abrasi tertinggi -8,26 m/tahun, terendah –4,19 m/tahun yang mengakibatkan pengurangan luasan wilayah pantai sebesar 111.967,03 m2. Korelasi antara perubahan garis pantai dengan distribusi peneluran penyu lekang di Pantai Trisik memiliki hubungan yang sangat kuat, luas pantai memengaruhi 91,3% jumlah sarang dan 88,5% jumlah telur penyu
Analisis Kualitas Garam Lokal di Kabupaten Aceh Timur Dengan Berbagai Metode Pengolahan Garam
Garam merupakan salah satu komoditas lokal yang dihasilkan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Timur. Garam ini banyak dimanfaatkan sebagai zat aditif untuk proses pengolahan beberapa komoditas lainnya diantaranya pengawetan ikan dan pembuatan asam sunti. Kualitas garam sangat dipengaruhi oleh kepekatan air laut dan metode pengolahannya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh metode pengolahan produksi garam terhadap kualitas garam yang dihasilkan dan membandingkan hasil analisis dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk garam konsumsi beryodium. Manfaat dalam penelitian ini adalah memberikan informasi kepada petani garam terkait kualitas garam yang dihasilkan dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas garam sesuai standar SNI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian komparatif, yaitu membandingkan parameter kualitas garam yang diproduksi dengan cara geomembran (G1), perebusan (G2) dan gabungan keduanya (G3). Parameter mutu yang dianalisis adalah kadar air, kadar NaCl, kadar iodium, dan bagian yang tidak larut dalam air. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air pada G1, G2, G3 berturut-turut adalah 1, 7, dan 6,4, kadar NaCl pada G1, G2, G3 berturut-turut adalah 12,51; 10,98; 12,29; bagian tidak larut dalam air pada G1, G2, G3 berturut-turut adalah 2, 4, 2,5 dan kadar iodium pada G1, G2, G3 berturut-turut adalah 34,65; 42,49; 47,46 sehingga dapat disimpulkan bahwa metode produksi secara geomembran memiliki kualitas garam yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi perebusan dan gabungan antara keduanya. Kadar NaCl dan kadar iodin yang dihasilkan melalui produksi geomembran sudah mencapai standar SNI 3556:2010 tentang garam konsumsi beryodium.Salt is one of the local commodities produced by the people of East Aceh District. This salt is widely utilized as an additive substance in the processing of various commodities, including fish preservation and the production of “asam sunti”. The quality of salt is greatly influenced by the concentration of seawater and their processing method. The purpose of this study was to examine the effect of production salt processing methods on the quality of the salt produced and to compare the results of analysis with SNI for consumption of iodized salt. The method used in this study is a comparative research method, which compares the quality parameters of salt produced by geomembrane (G1), boiling (G2) and a combination both of them (G3). The quality parameters analyzed were water content, NaCl content, iodine content, and water insoluble portion. The results of analysis compared with the standard SNI 3556: 2016 Concerning Iodized Consumable Salt show that the water content in G1, G2, G3 is 0, 7, and 6,4 respectively, the NaCl level in G1, G2, G3 is 120, respectively. 51, 10.98, 12.29, the water insoluble portion in G1, G2, G3 was 2, 4, 2,5 respectively and the iodine content in G1, G2, G3 was 34,65, 42,49, 47,46 respectively, so it can be concluded that geomembrane production method has better salt quality compared to the boiling production method and a combination of the two. NaCl levels and iodine levels produced through the production of geomembranes have reached the established standards SNI 3556:2010 concerning Iodized consumption salt
Komposisi Jenis Dan Kepadatan Spons (Porifera: Demospongiae) dI Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Sponges are symbiotic organisms that play a significant role in coastal ecosystems, such as filtering water, decomposing organic material into nutrients, providing shelter for microorganisms, and contributing to sediment stability and binding. This study aims to identify the composition and species diversity of sponges found in seagrass habitats on Panggang Island, Thousand Islands, DKI Jakarta. The research was conducted at three locations using a 50-meter line transect and 11 square transects measuring 0.5 x 0.5 meters along each line. Sponge samples were collected by cutting small pieces from each sponge for spicule analysis. The results indicate that a total of 10 sponge species were recorded across all research locations, dominated by Chondrilla caribensis forma, with sponge density values ranging from 0 to 13 individuals/m². The sponge diversity index on Panggang Island falls within the moderate category, indicating that the distribution of genera within the sponge community is relatively even. Phosphate concentration and current velocity showed a strong positive correlation with sponge density, while temperature exhibited a positive correlation with seagrass density. Conversely, the correlation between sponge density and seagrass density was relatively weak, supporting the findings that these two components do not have a close relationship within the observed ecosystem.Spons merupakan organisme simbion yang memiliki peran penting dalam ekosistem pesisir, seperti menyaring air, menguraikan bahan organik menjadi nutrien, menyediakan tempat berlindung bagi mikroorganisme, serta berperan dalam stabilitas dan pengikatan sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi komposisi, keanekaragaman spesies spons yang terdapat di habitat lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian dilakukan di tiga lokasi menggunakan transek garis sepanjang 50 dan 11 transek kuadrat berukuran 0,5 x 0,5 meter di setiap garis transek. Sampel spons diambil dengan memotong sebagian kecil dari setiap spons untuk dianalisis spikulanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spons yang ditemukan di seluruh lokasi penelitian terdata sebanyak 10 spesies dan didominasi oleh Chondrilla caribensis forma dengan nilai kerapatan spons sebesar 0-13 ind/m². Indeks keanekaragaman spons di Pulau Panggang berada pada kategori sedang yang menunjukkan bahwa distribusi genus dalam kumpulan spons di Pulau Panggang cukup merata. Kandungan fosfat dan kecepatan arus menunjukkan korelasi yang kuat dan positif terhadap kepadatan spons, sementara suhu memiliki korelasi positif terhadap kerapatan lamun. Di sisi lain, korelasi antara kepadatan spons dan kerapatan lamun relatif lemah, yang mendukung temuan bahwa kedua komponen ini tidak memiliki keterkaitan erat dalam ekosistem yang diamati
Morphological and Molecular Comparison of Areolate Grouper (Epinephelus areolatus) from Saudi Arabia and Indonesia
Grouper (subfamily Epinephelinae) is one of the largest groups of fish in the oceans. Identification of groupers, especially the Epinephelus, is conducted based on morphological characteristics (color, pattern, body shape, and size. However, the identification process is difficult to differentiate morphologically because of their similar characteristics. One method that can be applied is DNA barcoding. This study aimed to compare groupers from Saudi Arabia and Indonesia. Morphological and molecular identification results show that the grouper from this study (from Yanbu, Saudi Arabia, and Lamongan, Indonesia) was Epinephelus areolatus (areolate grouper). Morphologically, grouper samples from Yanbu (Saudi Arabia) were as follows: dorsal fin X-XI/12-15; anal fins II-III/8-9; pectoral fins 13-15; pelvic fin I-5; lateral line scales 48-53; vertebrae 24. Meanwhile, the meristic results of groupers from Lamongan (Indonesia) were as follows: dorsal fins X-XI/15-17; anal fins II-III/8; pectoral fins 16-19; pelvic fin I-5; lateral line scales 48-53; vertebrae 24. The morphological differences between E. areolatus from Saudi Arabia and Indonesia were its spots and caudal fin. Molecular results on E. areolatus showed different clades. Samples from Saudi Arabia belonged to the Western Indian Ocean clade while Indonesia belonged to the Western Pacific. This showed that there were morphological and molecular differences between E. areolatus from Yanbu (Saudi Arabia) and Lamongan (Indonesia). The COI gene sequences of areolate grouper were submitted to NCBI (accession number PP388919.1 for Lamongan and PP388920.1 for Saudi Arabia). This research data can be used as a reference for conservation.Ikan kerapu (subfamily Epinephelinae) merupakan salah satu kelompok ikan terbesar di dunia. Identifikasi kerapu, khususnya genus Epinephelus, dilakukan berdasarkan karakteristik morfologi seperti warna, bentuk tubuh, dan ukurannya. Namun, proses identifikasinya kadang sulit untuk dibedakan secara morfologi karena memiliki karakteristik yang sangat mirip. Salah satu metode yang dapat diaplikasikan adalah penggunaan DNA barcoding. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ikan kerapu dari Arab Saudi dan Indonesia. Hasil identifikasi morfologi dan molekuler menunjukkan bahwa kerapu dari penelitian ini (dari Yanbu, Arab Saudi dan Lamongan, Indonesia) adalah Epinephelus areolatus (kerapu sirip putih). Secara morfologi, sampel kerapu ekor putih dari Yanbu Arab (Saudi) adalah sebagai berikut: sirip dorsal X-XI/12-15; sirpi anal II-III/8-9; sirip pectoral 13-15; sirip pelvic I-5; sisik linea lateralis 48-53; vertebrae 24. Sementara hasil meristik dari kerapu dari Lamongan (Indonesia) adalah sebagai berikut: sirip dorsal X-XI/15-17; sirip anal II-III/8; sirip pectoral 16-19; sirip pelvic I-5; sisik linea lateralis 48-53; vertebrae 24. Perbedaan E. areolatus dari Arab Saudi dan Indonesia secara morfologi adalah dari bintik dan ekor caudal-nya. Hasil molekuler pada E. areolatus menunjukkan perbedaan clade. Sampel dari Arab Saudi termasuk clade Western Indian Ocean sementara Indonesia termasuk Western Pacific. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan morfologi dan molekuler antara E. areolatus dari Yanbu (Saudi Arabia) dan Lamongan (Indonesia). Sekuens gen COI dari DNA ikan kerapu ekor putih pada penelitian ini telah didaftarkan ke NCBI (PP388919.1 untuk Lamongan dan PP388920.1 untuk Arab Saudi). Data penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk konservasi
Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove Berbasis Daya Dukung Kawasan di Kelurahan Oesapa Barat Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang
Ekowisata mangrove di Kelurahan Oesapa Barat merupakan ekowisata yang berada di kawasan padat penduduk, sehingga apabila ekowisata ini tidak dikelola dengan baik maka berakibat fatal terhadap ekosistem mangrove tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian sumberdaya ekowisata mangrove dan juga daya dukung kawasan mangrove serta bagaimana strategi pengembangannya sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan pengelolaan ekowisata mangrove ini kedepan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara dan juga mengumpulkan data dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di daerah penelitian, kemudian untuk merumuskan strategi pengembangan ekowisata mangrove menggunakan analisis SWOT. Hasil analisis data kesesuaian sumberdaya ekowisata mangrove berada pada level sesuai dengan nilai sebesar 2,24 dengan jumlah pengunjung di kawasan ekowisata sesuai dengan perhitungan daya dukung kawasannya sebanyak 84 orang perhari dengan waktu operasional kawasan wisata selama 8 jam perhari. Arahan pengembangan ekowisata mangrove adalah dengan menerapkan strategi difersifikasi, artinya menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang jangka panjang guna menutup kelemahan (ancaman).
Mangrove ecotourism in West Oesapa village is ecotourism located in a densely populated area, so if this ecotourism is not managed properly it will have fatal consequences for the mangrove ecosystem. This research aims to determine the suitability of mangrove ecotourism resources and also the carrying capacity of mangrove areas as well as the development strategies so that they can be taken into consideration by stakeholders in making future management policies for mangrove ecotourism. The data collection method was carried out by direct observation, interviews and also collecting data from previous research conducted in the research area, then to formulate a strategy for developing mangrove ecotourism using SWOT analysis. The results of the data analysis of the suitability of mangrove ecotourism resources are at a level corresponding to a value of 2.24 with the number of visitors in the ecotourism area according to the calculation of the area's carrying capacity of 84 people per day with an operational time of the tourist area of 8 hours per day. The direction for developing mangrove ecotourism is to implement a diversification strategy, meaning using existing strengths to take advantage of long-term opportunities to cover weaknesses (threats)
Analisis Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove terhadap Produksi Ikan di Kawasan Konservasi Perairan Kayong Utara
Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Kayong Utara bertujuan untuk melindungi dan memanfaatkan sumber daya perikanan secara berkelanjutan, termasuk udang penaeid, pesut, dan ekosistem mangrove. Pengelolaan yang efektif memerlukan data spasial mengenai target konservasi guna mendukung perencanaan dan evaluasi yang komprehensif. Penelitian ini menganalisis hubungan antara indeks vegetasi mangrove (NDVI) dari citra satelit dengan produksi ikan di kawasan konservasi menggunakan pendekatan produktivitas mangrove. Penelitian ini terdiri dari empat tahapan: (i) analisis stok dan produksi ikan dengan model produktivitas mangrove, (ii) analisis korelasi antara produksi ikan dan kondisi mangrove, (iii) pengukuran parameter fisikokimia perairan, serta (iv) analisis korelasi antara faktor fisikokimia perairan dan produksi ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produksi serasah mangrove mencapai 2,09±0,86 g berat kering/m²/hari atau 8,42±3,47 ton/ha/tahun, sementara produksi ikan berkisar antara 190,17–690,28 kg/ha/tahun dengan rata-rata 448,82±185,61 kg/ha/tahun. Terdapat korelasi positif sedang antara NDVI dan produksi ikan (r = 0,51), sedangkan parameter Dissolved Oxygen (DO) dan Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) menunjukkan korelasi negatif terhadap produksi ikan (r = -0,65 dan -0,57). Hasil penelitian ini menegaskan peran penting ekosistem mangrove dalam mendukung produktivitas perikanan. Oleh karena itu, upaya konservasi mangrove perlu diperkuat guna menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya perikanan.The North Kayong Regency Marine Conservation Area serves to protect and sustainably utilize fishery resources, including penaeid shrimp, porpoises, and mangrove ecosystems. Effective management requires spatial data on conservation targets to support comprehensive planning and evaluation. This study analyzes the relationship between the mangrove vegetation index (NDVI), derived from satellite imagery, and fish production in the conservation area using a mangrove productivity approach. The research comprises four stages: (i) analysis of fish stock and production using the mangrove productivity model, (ii) correlation analysis between fish production and mangrove conditions, (iii) measurement of physicochemical water parameters, and (iv) correlation analysis between physicochemical water factors and fish production. The results indicate that the average daily mangrove litterfall production across all stations is 2.09±0.86 g dry weight/m²/day or 8.42±3.47 tons/ha/year, while fish production ranges from 190.17 to 690.28 kg/ha/year, with an average of 448.82±185.61 kg/ha/year. A moderate positive correlation is observed between NDVI and fish production (r = 0.51), whereas Dissolved Oxygen (DO) and Total Suspended Solids (TSS) exhibit a negative correlation with fish production (r = -0.65 and -0.57, respectively). These findings underscore the crucial role of mangrove ecosystems in supporting fishery productivity. Therefore, strengthening mangrove conservation efforts is essential to maintaining ecosystem balance and ensuring the sustainability of fishery resources
Tidal Characteristic Analysis Utilizing Radar Tide Gauge in Cirebon Seawater
Radar-based tide gauges are one approach in measuring water level offering easier installation and maintenance. Tidal data recording that has been done commonly applies tide staff or pressure tide gauge. In this study, a radar tide gauge was installed at Cirebon port, northern part of Java island, to determine the tidal characteristics in Cirebon seawaters. Water elevation data was recorded every 15 minutes from July 2022 to November 2023. The tidal component is calculated using least squares method while the tidal type is determined using the Formzahl number. The dominant tidal component known consists of semidiurnal component i.e. M2, S2, N2, K2, 2N2; diurnal component, K1, O1, P1, Q1, J1, TAU1; and shallow water component SSA components with a height of 11.98, 5.58, 2.91, 2.11, 1.45, 11.80, 3.89, 6.11, 2.08, 1.56 and 3.11 (in cm), respectively. Tidal type in the study area is mixed type prevailing Semidiurnal. The tidal range is around 0.8-1 m high with high tide conditions at 6.00-9.00 and 18.00 - 21.00, while low tide conditions are within 11.00 - 14.00 and 01.00 - 04.00. Elevation height calculation based on datum is done by combining the tidal components. Tidal measurement data using radar can be an alternative data to support and complement data recorded in Cirebon and may become a consideration for development and other maritime activities.Pengukur pasang surut berbasis radar merupakan salah satu pendekatan dalam mengukur elevasi muka air yang mudah diinstal dan dipelihara. Perekaman data pasang surut yang pernah dilakukan umumnya menggunakan palem pasut atau pressure tide gauge. Pada studi ini radar tide gauge dipasang di pelabuhan Cirebon, bagian utara pulau Jawa, untuk mengetahui karakteristik pasang surut di perairan Cirebon. Data elevasi muka air direkam setiap 15 menit dari bulan Juli 2022 hingga November 2023. Komponen pasang surut dihitung menggunakan metode least square dan tipe pasang surut ditentukan melalui bilangan Formzahl. Komponen dominan pasang surut yang diketahui terdiri dari komponen semidiurnal M2, S2, N2, K2, 2N2; komponen diurnal K1, O1, P1, Q1, K1, J1, TAU1; dan komponen perairan dangkal SSA dengan tinggi secara berurutan sebesar 11.98, 5.58, 2.91, 2.11, 1.45, 11.80, 3.89, 6.11, 2.08, 1.56, dan 3.11 (dalam cm). Tipe pasang surut di area kajian adalah campuran condong semidiurnal. Tunggang pasut di daerah studi setinggi 0.8-1 m dengan kondisi pasang saat pukul 6.00-9.00 dan 18.00 - 21.00, sedangkan kondisi surut pada rentang pukul 11.00 - 14.00 dan 01.00 - 04.00. Perhitungan tinggi elevasi berdasarkan datum dilakukan dengan mengkombinasikan komponen pasang surut. Data pengukuran pasang surut menggunakan radar dapat menjadi data alternatif untuk mendukung dan melengkapi data yang terekam di Cirebon serta dapat menjadi pertimbangan untuk pembangunan dan kegiatan maritim lainnya