Jurnal Biomedika dan Kesehatan
Not a member yet
    100 research outputs found

    Intensitas Bermain Gadget dengan Suspek Gangguan Pemusatan Pikiran dan Hiperaktivitas (GPPH) pada Anak

    No full text
    BACKGROUND In these modern times, gadgets are not only owned by adults, but teenagers and children have also used them. Childhood is a golden period which is a period of conducive growth and development of children. Many parents have given and let their children play with gadgets. Gadgets can have negative effects that interfere with a child's development level. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is a behavioural and neurocognitive disorder characterized by age-inappropriate developmental level, hyperactivity, inability to focus and impulsive behaviour. ADHD appears from childhood and can persist into adolescence and adulthood. Excessive gadget exposure is thought to be one of the triggers of ADHD. The purpose of the research is to determine the relationship between the intensity of playing gadgets with and suspected ADHD. METHODS The study was conducted on 92 kindergarten and elementary school students in West Jakarta in September-November 2019. The method was cross-sectional. The instruments used were a questionnaire about the identity and intensity of playing gadgets and a Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia (SPPAHI) questionnaire for early detection of ADHD in children. Data analysis using the chi-square test with a significance level of p <0.05.RESULTSChi-square test showed no significant relationship between age with suspected ADHD p = 0.625, there was a significant relationship between sex with suspected ADHD (p = 0.000), and there was a significant relationship between the intensity of playing gadgets with a suspected ADHD (p = 0.000). CONCLUSION There is a significant relationship between gender and intensity of playing with gadgets with suspected ADHD in children. KEYWORDS: Gadget intensity, ADHD, Children.LATAR BELAKANG Pada zaman modern ini, gadget tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa. Remaja dan anak- anak pun sudah menggunakannya. Masa kanak-kanak merupakan masa keemasan yang merupakan periode kondusif tumbuh kembang anak. Banyak orang tua yang sudah memberikan dan membiarkan anak bermain gadget. Gadget dapat memberikan dampak negatif yang mengganggu perkembangan anak. Gangguan Pemusatan Pikiran dan Hiperaktivitas  (GPPH) merupakan gangguan perilaku yang ditandai dengan penurunan perhatian, perilaku hiperaktif dan impulsif. GPPH muncul mulai masa kanak-kanak dan dapat menetap hingga remaja maupun dewasa. Paparan gadget yang berlebihan diduga menjadi salah satu faktor pencetus GPPH.   TUJUAN PENELITIAN  Mengetahui hubungan intensitas bermain gadget dengan kejadian suspek GPPH.   METODE Penelitian dilakukan terhadap 92 murid TK dan SD di Jakarta Barat pada bulan September- November 2019. Metode penelitian adalah potong silang. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner identitas dan intensitas bermain gadget dan kuesioner Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia (SPPAHI) untuk deteksi dini GPPH pada anak. Analisis data menggunakan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan p<0,05.   HASIL Uji chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan suspek GPPH p=0.625 (p>0.05), terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan suspek GPPHp=0.000 (p<0.05), serta terdapat hubungan yang bermakna antara intensitas bermain gadget dengan suspek GPPH p=0.000 (p<0.05).   KESIMPULAN Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan intensitas bermain gadget dengan suspek GPPH pada anak

    Program remedial dan angka putus studi mahasiswa kedokteran

    Get PDF
    LATAR BELAKANGWalaupun penyusunan kurikulum Pendidikan Kedokteran telah disusun sedemikian rupa supaya dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang ditetapkan, tetap ada mahasiswa yang mengalami putus studi. Prevalensi putus studi secara umum pada tahun 2017 sebesar 2.8% mahasiswa yang terdaftar di Perguruan Tinggi Swasta dan Negeri di Indonesia mengalami putus studi dan 3.7% mahasiswa terdapat di Jakarta. Putus studi dapat berdampak negatif untuk masyarakat, profesi dan institusi, sehingga perlu upaya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan program remedial. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas program remedial dalam menurunkan angka putus studi mahasiswa kedokteran. METODEPenelitian dilakukan dengan desain cross-sectional pada 228 mahasiswa angkatan 2013-2017, menggunakan data sekunder meliputi jenis kelamin, tahun masuk kuliah, dan status putus studi. Kriteria inklusi sampel adalah mahasiswa yang termasuk pada kategori terancam putus studi. Analisis data dengan uji Chi-square, dengan tingkat kemaknaan 95%. HASILPrevalensi putus studi sebesar 12.7%. Sebagian besar responden yang terancam putus studi berjenis kelamin perempuan (68.9%) dan merupakan mahasiswa program non remedial (64%). Tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dan angka putus studi (p=0.989). Perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk terjadi putus studi. Mahasiswa yang termasuk angkatan program remedial memiliki angka putus studi yang lebih tinggi (18.3%) dibandingkan dengan mahasiswa yang termasuk angkatan non-remedial (9.6%), walaupun secara statistik tidak bermakna (p=0.058). KESIMPULANPrevalensi putus studi mahasiswa kedokteran tahun 2013-2017 sebesar 12.7%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dan program remedial dengan terjadinya putus studi.Latar Belakang Walaupun penyusunan kurikulum Pendidikan Kedokteran telah disusun sedemikian rupa supaya dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang ditetapkan, tetap ada mahasiswa yang mengalami putus studi. Prevalensi putus studi tahun 2017 sebesar 2,8% di Indonesia dan 3,7% di Jakarta. Putus studi dapat berdampak negatif untuk masyarakat, profesi dan institusi, sehingga perlu upaya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan program remedial. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektifivitas program remedial dalam menurunkan angka putus studi mahasiswa kedokteran. Metode   Penelitian dilakukan dengan desain cross-sectional pada 228 mahasiswa angkatan 2013-2017, menggunakan data sekunder meliputi jenis kelamin, tahun masuk kuliah, dan status putus studi. Kriteria inklusi sampel adalah mahasiswa yang termasuk pada kategori terancam putus studi. Analisis data dengan uji Chi-square, dengan tingkat kemaknaan 95%.   Hasil Prevalensi putus studi sebesar 12,7%. Sebagian besar responden yang terancam putus studi berjenis kelamin perempuan (68,9%) dan merupakan mahasiswa program non remedial (64%). Tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin dan angka putus studi (p=0,989). Perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk terjadi putus studi. Mahasiswa yang termasuk angkatan program remedial memiliki angka putus studi yang lebih tinggi (18,3%) dibandingkan dengan mahasiswa yang termasuk angkatan non-remedial (9,6%), walaupun secara statistik tidak bermakna (p=0,058).    Kesimpulan Prevalensi putus studi mahasiswa kedokteran tahun 2013-2017 sebesar 12,7%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dan program remedial dengan terjadinya putus studi

    Dampak pandemi coronavirus disease 2019 terhadap kualitas publikasi ilmiah

    Get PDF
    Dunia medis belakangan ini digemparkan dengan dilaporkan adanya temuan kasus pneumonia tipe baru di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada akhir Desember 2019.(1) Belakangan diketahui bahwa penyakit pneumonia tersebut disebabkan oleh patogen varian baru coronavirus yang disebut sebagai  2019-novel coronavirus (2019-nCoV)/severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) yang selanjutnya dikenal sebagai coronavirus disease 2019 (COVID-19) dan oleh the World Health Organization dinyatakan sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020.(2) Semenjak itu para ilmuan mulai memfokuskan penelitian yang dilakukan pada topik yang berkaitan dengan COVID-19.  Kondisi ini juga membawa dampak terdapatnya peningkatan volume publikasi artikel tentang COVID-19 yang sangat mencolok di mana dalam 6 bulan sejak terjadinya pandemi jumlah publikasi  berbentuk riset, letters, reviews, notes, dan editorial yang berhubungan dengan COVID-19 dilaporkan berjumlah lebih dari 23.500 artikel.(3)Dunia medis belakangan ini digemparkan dengan dilaporkan adanya temuan kasus pneumonia tipe baru di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada akhir Desember 2019.(1)Belakangan diketahui bahwapenyakit pneumonia tersebut disebabkanoleh patogen varian baru coronavirus yang disebut sebagai  2019-novel coronavirus (2019-nCoV)/severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) yang selanjutnya dikenal sebagai coronavirus disease 2019 (COVID-19)dan oleh the World Health Organization dinyatakan sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020.(2)Semenjak itupara ilmuan mulai memfokuskan penelitian yang dilakukan pada topikyang berkaitan dengan COVID-19. Kondisi ini juga membawa dampak terdapatnya peningkatan volume publikasi artikel tentang COVID-19 yang sangat mencolok di mana dalam 6 bulan sejak terjadinya pandemi jumlah publikasi  berbentuk riset, letters, reviews, notes, dan editorial yang berhubungan dengan COVID-19 dilaporkan berjumlah lebih dari 23.500 artikel.(3

    Patogenesis dan virulensi Burkholderia pseudomallei penyebab melioidosis dan Burkholderia cepacia sebagai patogen oportunis

    No full text
    Di antara genus Burkholderia terdapat dua spesies yang menjadi perhatian dalam bidang kesehatan, yaitu B. pseudomallei dan  B. cepacia.   Kedua bakteri ini menyebabkan masalah klinis yang berbeda. Penyakit melioidosis kerap disebabkan oleh  B.pseudomallei, sedangkan  B. cepacia complex (Bcc) seringkali ditemukan pada pasien cystic fibrosis (CF). Burkholderia pseudomallei merupakan kelompok bakteri patogen intracellular Gram negatif, memiliki bentuk seperti peniti. Demikian pula  B. cepacia  merupakan kelompok bakteri Gram negatif basil serta mempunyai flagel polar multitrik. B. pseudomallei memiliki kemampuan untuk menginfeksi berbagai jenis sel dan menghindari respon imun manusia. Bakteri  ini masuk melalui kulit atau selaput lendir dan bereplikasi di sel epitel. Di dalam sel inang, bakteri bergerak dengan menginduksi polimerisasi aktin inang,  mendesak dinding membran membentuk tonjolan yang meluas ke sel lain. Tonjolan ini menyebabkan sel tersebut  bergabung, membentuk sel raksasa berinti (multinucleated giant cell/MNGC). Setelah memasuki saluran pernafasan pasien penderita CF, B. cepacia menempel pada permukaan sel mukosa ataupun sel epitel inang.  Lapisan mukus yang menebal pada paru mendukung efikasi antimikrobia dan meningkatkan respon inflamasi. Kemampuan untuk melewati barier epitelial dan menemukan akses ke aliran darah hanya dimiliki oleh strain kelompok ini. Faktor virulensi bertugas  membantu proses invasi sel inang oleh bakteri patogen. Secara umum, kedua spesies ini memiliki jenis faktor virulensi yang sama, diantaranya adalah  intracellular survival, quorum sensing, adherence factor, sistem sekresi, lipopolisakarida (LPS) dan eksopolisakarida (EPS),  biofilm, toksin dan resistensi antimikrobia.Diantara genus Burkholderia terdapat dua spesies yang menjadi perhatian dalam bidang kesehatan, yaitu B. pseudomallei dan  B. cepacia.   Kedua bakteri ini menyebabkan masalah klinis yang berbeda.  Penyakit melioidosis kerap disebabkan oleh  B.pseudomallei, sedangkan  B. cepacia complex (Bcc) seringkali ditemukan pada pasien cystic fibrosis (CF). Burkholderia pseudomallei merupakan kelompok bakteri patogen intracellular Gram negatif, memiliki bentuk seperti peniti. Demikian pula  B. cepacia  merupakan kelompok bakteri Gram negatif basil, tidak dapat membentuk spora, bersifat aerobik, katalase dan oksidase positif, serta mempunyai flagel polar multitrik.  Meskipun jalur patogenesis kedua  bakteri ini sedikit berbeda, faktor virulensi yang dimiliki oleh kedua spesies ini hampir sama. B. pseudomallei memiliki kemampuan untuk menginfeksi berbagai jenis sel dan menghindari respon imun manusia. Bakteri  ini masuk melalui kulit atau selaput lendir dan bereplikasi di sel epitel. Di dalam sel inang, bakteri bergerak dengan menginduksi polimerisasi aktin inang,  mendesak dinding membran membentuk tonjolan yang meluas ke sel lain. Tonjolan ini menyebabkan sel tersebut  bergabung, membentuk sel raksasa berinti (multinucleated giant cell /MNGC). MNGC akan membentuk plak sebagai tempat bagi bakteri untuk bereplikasi. Setelah memasuki saluran pernafasan pasien penderita CF, B. cepacia menempel pada permukaan sel mukosa ataupun sel epitel inang.  Lapisan mukus yang menebal pada paru mendukung efikasi antimikrobia dan meningkatkan respon inflamasi. Kemampuan untuk melewati barier epitelial dan menemukan akses ke aliran darah hanya dimiliki oleh strain kelompok ini karena patogen lain yang ditemukan pada pasien CF tidak menyebabkan bakteremia. Faktor virulensi bertugas  membantu proses invasi sel inang oleh bakteri patogen. Secara umum, kedua spesies ini memiliki jenis faktor virulensi yang sama, diantaranya adalah  intracellular survival, quorum sensing, adherence factor, sistem sekresi, LPS dan EPS,  biofilm, toksin dan resistensi antimikrobia

    Kesesuaian dimensi kursi terhadap data antropometri anak sekolah dasar di Jakarta Utara

    Get PDF
    BACKGROUND In Indonesia, primary school begins at 6 years old and continues until 12, where most of their growth is experienced at that age. Non-ergonomic school furniture can harm the musculoskeletal system. This study evaluates the suitability of chair dimensions to elementary school student’s anthropometry in North Jakarta. METHODSA cross-sectional study of 98 students in North Jakarta. Chair dimension data and student anthropometry were measured using a tape measure, which was then analyzed using the Chi-Square Goodness of Fit Test to evaluate their suitability. RESULTSThe ages of the students ranged from 5 to 11 years. Anthropometric measurements of students show that the mean Sitting Shoulder Height is 41.81±4.36 cm, Popliteal Height 36.83±3.77 cm, Hip Breadth 25.88±3.47 cm, and Buttock-Popliteal Length 36.56±4.33 cm. While the average size assessed from the seat dimensions is Seat Height 41.71±0.22 cm, Seat Width 37.2±1.26 cm, Seat Depth 37.2±1.42 cm, and Backrest Height Above Seat 35.54±3.19 cm. The results of Goodness of Fit with Kendall's Tau-b critical value for the suitability of chair dimensions to student anthropometry were 0.37, and vice versa 0.672, which stated a discrepancy. CONCLUSIONThere is a mismatch between chair dimension and anthropometry of elementary school students in North Jakarta. Adjustment of chair dimensions needs to be done using a student's average size approach to prevent musculoskeletal disorders.LATAR BELAKANG Di Indonesia, sekolah dasar (SD) dimulai saat anak-anak berusia 6 tahun hingga 12 tahun di mana sebagian besar pertumbuhan mereka dialami pada usia tersebut. Perabot belajar yang tidak ergonomis dapat menimbulkan efek buruk pada tulang belakang siswa SD. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian dimensi kursi terhadap antropometri siswa sekolah dasar di Jakarta Utara. METODEPenelitian potong lintang pada 98 siswa di Jakarta Utara. Data dimensi kursi dan antropometri siswa diukur dengan menggunakan pita meteran yang kemudian dianalisis dengan Uji Chi-square Goodness of Fit untuk mengevaluasi kesesuaiannya. HASILUsia siswa memiliki rentang usia 5 hingga 11 tahun. Ukuran antropometri siswa menunjukkan bahwa rerata Sitting Shoulder Height adalah 41.81±4.36 cm, Popliteal Height 36.83±3.77 cm, Hip Breadth 25.88±3.47 cm, dan Buttock-Popliteal Length 36.56±4.33 cm. Sedangkan rerata ukuran yang dinilai dari dimensi kursi adalah Seat Height 41.71±0.22 cm, Seat Width 37.2±1.26 cm, Seat Depth 37.2±1.42 cm, dan Backrest Height Above Seat 35,54±3.19 cm. Hasil Goodness of Fit dengan nilai kritis Kendall’s Tau-b untuk kesesuaian dimensi kursi terhadap antropometri siswa adalah 0.37, dan sebaliknya 0.672 yang menyatakan ketidaksesuaian. KESIMPULANTerdapat ketidaksesuaian antara dimensi kursi dan antropometri siswa sekolah dasar di Jakarta Utara. Penyesuaian dimensi kursi perlu dilakukan dengan pendekatan rerata ukuran antropometri untuk mencegah gangguan muskuloskeletal

    Pengaruh Pemberian Antibiotik terhadap Tanda Infeksi Daerah Operasi Superfisial dan Lama Tinggal Pasien Sectio Caesaria

    Get PDF
    LATAR BELAKANGStandar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1/2018 menjadikan kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) sebagai salah satu indikator mutu untuk menilai kinerja pengendalian infeksi di rumah sakit. Pemberian antibiotik lanjutan pascaoperasi sectio caesaria (SC) menjadi isu yang penting untuk dikaji, mengingat operasi ini pada dasarnya tidak membutuhkan pemberian antibiotik lanjut pascaoperasinya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pemberian antibiotik lanjutan pascaoperasi SC berpengaruh terhadap penurunan IDO superfisial dan Length of Stay (LOS) pasien. METODEPasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan jumlah masing-masing sebesar 49 subjek. Kelompok pertama adalah kelompok subjek yang diberikan antibiotik lanjut pascaoperasi SC dan kelompok kedua adalah kelompok subjek yang tidak diberikan antibiotik lanjutan pascaoperasi SC, kemudian dari masing-masing kelompok dikaji kemungkinan munculnya tanda IDO superfisial dan LOS pasien. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan data sekunder dari rekam medis pasien Januari 2019-Desember 2019. Uji analisa dengan Chi-square. HASILSetelah mengontrol variabel perancu, pemberian antibiotik lanjut pascaoperasi SC tidak signifikan berpengaruh menurunkan kemungkinan munculnya tanda IDO superfisial (OR=0.157;p=0.098; 0.02-1.41 IK 95%), juga tidak memiliki pengaruh terhadap LOS pasien (OR=1.73; p=0.562; 0.27-10.85 IK 95%). KESIMPULANTidak terdapat pengaruh dari pemberian antibiotik lanjutan terhadap tanda kejadian IDO superfisial dan LOS pada pasien post SC. Pemberian antibiotik lanjutan pascaoperasi SC merupakan pemberian antibiotik yang tidak bijak.LATAR BELAKANG Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1 / 2018 menjadikan kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) sebagai salah satu indikator mutu untuk menilai kinerja pengendalian infeksi di rumah sakit. Pemberian antibiotik lanjutan paska operasi sectio caesaria (SC) menjadi isu yang penting untuk dikaji, mengingat operasi ini pada dasarnya tidak membutuhkan pemberian antibiotik lanjut paska operasinya. Pemberian antibiotik lanjutan paska operasi SC merupakan penggunaan antibiotik tidak bijak.   METODE Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan jumlah masing-masing sebesar 49 subjek. Kelompok pertama adalah kelompok subjek yang diberikan antibiotik lanjut paska SC dan kelompok kedua adalah kelompok subjek dengan pemberian antibiotik tidak lanjut paska SC kemudian dari masing-masing kelompok dikaji kemungkinan munculnya tanda IDO dan LOS pasien. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan data sekunder dari rekam medis pasien Januari 2019 - Desember 2019. Uji analisa dengan chi square. Data dianalisa dengan SPSS Statistics.   HASIL Setelah mengontrol variabel perancu, pemberian antibiotik lanjut paska SC tidak signifikan berpengaruh menurunkan kemungkinan munculnya tanda IDO (OR = 0.157; p=0.098; 0.02-1.41 IK95%), juga tidak memiliki pengaruh terhadap LOS pasien (OR=1.73; p=0.562; 0.27-10.85 IK 95%).      KESIMPULAN Tidak terdapat pengaruh dari pemberian antibiotika lanjutan terhadap tanda kejadian IDO dan LOS pada pasien post SC sebelum dan setelah mengontrol variabel perancu. Pemberian antibiotik lanjutan paska SC merupakan pemberian antibiotik yang tidak bijak

    Peran reseptor nuklear pada implantasi dan perkembangan blastokista

    Get PDF
    Syarat penting untuk terjadinya kehamilan, yaitu blastokista pada fase tertentu siap melakukan implantasi dan proliferasi endometrium, sehingga menjadi reseptif terhadap embrio untuk melakukan implantasi. Pada tahap selanjutnya, masih terdapat proses molekular yang berkesinambungan sampai pada akhirnya terjadi hubungan langsung antara blastokista dan dinding endometrium dengan membentuk plasenta. Implantasi yang tidak efisien tentunya akan menyebabkan kegagalan implantasi, sehingga muncul masalah infertilitas. Sebanyak 30% kasus kegagalan kehamilan disebabkan oleh masalah kesehatan embrio. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sinyal-sinyal yang berperan pada kedua proses berkesinambungan tersebut diharapkan dapat memberikan metode terapi yang baru pada kasus infertilitas, sehingga meningkatkan jumlah kehamilan.Syarat penting untuk terjadinya kehamilan, yaitu blastokista pada fase tertentu siap melakukan implantasi dan proliferasi endometrium, sehingga menjadi reseptif terhadap embrio untuk melakukan implantasi. Pada tahap selanjutnya, masih terdapat proses molekular yang berkesinambungan sampai pada akhirnya terjadi hubungan langsung antara blastokista dan dinding endometrium dengan membentuk plasenta. Implantasi yang tidak efisien tentunya akan menyebabkan kegagalan implantasi, sehingga muncul masalah infertilitas. Sebanyak 30% kasus kegagalan kehamilan disebabkan oleh masalah kesehatan embrio. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sinyal-sinyal yang berperan pada kedua proses berkesinambungan tersebut diharapkan dapat memberikan metode terapi yang baru pada kasus infertilitas, sehingga meningkatkan jumlah kehamilan

    Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia: distribusi dan faktor demografis yang berpengaruh

    Get PDF
    Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber alam dan memiliki lebih dari 400 etnis dan sub etnis yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Daerah Jawa, Sunda, Manado, Kalimantan, dan berbagai daerah lainnya masih memanfaatkan tanaman sebagai obat tradisional yang merupakan warisan turun temurun. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan  obat tradisional dibagi menjadi 3 kategori, dan digunakan oleh masyarakat secara turun temurun, dengan cara pengolahan yang sederhana.  Secara global, rata–rata penggunaan obat tradisional di seluruh dunia adalah 20-28% dari seluruh penduduk dunia. Menurut hasil dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, ditemukan bahwa prevalensi penduduk Indonesia di atas 15 tahun yang pernah mengonsumsi obat tradisional sebanyak 59.12%, tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Obat tradisional banyak digunakan untuk mencegah penyakit dan mengatasi berbagai keluhan penyakit sebagai obat pendamping maupun obat pengganti. Beberapa faktor memengaruhi pemilihan seseorang untuk  menggunakan obat tradisional antara lain tingkat pengetahuan. Namun, tingkat pengetahuan seseorang  seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya juga seperti pendidikan, informasi/media massa, sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman, serta usia. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan masyarakat mengenai obat tradisional dengan penggunaannya. Namun, masih ada masyarakat yang enggan memilih jamu sebagai obat dikarenakan beberapa faktor lainnya. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai jenis tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan tradisional dan faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatannya. Sehingga pemanfaatan obat tradisional sebagai obat penggunaannya dapat meningkat di masyarakat

    Hubungan Antara Obesitas Dengan Peningkatan Kurva Lumbal Pada Mahasiswa

    No full text
    LATAR BELAKANGMasalah kesehatan yang berhubungan dengan berat badan seperti obesitas telah berkembang semakin luas. Obesitas sendiri akan berdampak pada berbagai sistem di dalam tubuh termasuk sistem muskuloskeletal. Obesitas dengan penambahan lingkar pinggang akan menyebabkan perubahan biomekanik yang memberikan pengaruh pada perubahan kurva vertebra lumbal. Studi ini ingin melihat hubungan antara lingkar pinggang berlebih dengan kejadian hiperlordosis pada orang-orang yang mengalami obesitas. METODEPenelitian menggunakan studi analitik potong lintang yang mengikutsertakan 88 mahasiswa dan mahasiswi di Jakarta. Sampel di pilih dengan menggunakan metode Consecutive Non Random Sampling dengan mengikuti kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Kelompok mahasiswi yang masuk dalam kategori hamil, seorang atlet maupun yang memiliki riwayat gangguan pada struktur tulang belakang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang serta pengukuran kurva lumbal dengan menggunakan flexible ruler. Derajat dosis lumbal dihitung dengan menggunakan rumus baku. Uji statistik Chi-square digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara obesitas dan lingkar pinggang berlebih dengan hiperlordosis lumbal dengan nilai p<0.001. HASILDari 88 mahasiswa yang turut serta dalam penelitian ini, didapatkan hampir sepertiganya (27.3%) mengalami obesitas dan ditemukan 37 orang (42%) yang memiliki hiperlordosis lumbal. Dari hasil uji Chi-square didapatkan adanya hubungan antara status gizi obesitas dan lingkar pinggang berlebih dengan kejadian hiperlordosis lumbal (p=0.000). Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hiperlordosis. KESIMPULANPada penelitian ini menunjukkan bahwa berat badan obesitas dan lingkar pinggang yang berlebih memiliki hubungan dengan peningkatan kurva lumbal pada mahasiswa.LATAR BELAKANG : Masalah kesehatan yang berhubungan dengan berat badan seperti obesitas telah berkembang semakin luas. Obesitas sendiri akan berdampak pada berbagai komplikasi kesehatan seperti gangguan sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, gangguan kemampuan fisik dan lain-lain. Gangguan muskuloskeletal dikarenakan obesitas akan menjadi beban yang berlebih pada sendi lumbosacral sehingga akan menyebabkan pembentukan kurva lumbal yang abnormal (hiperlordosis). TUJUAN : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dengan peningkatan kurva lumbal pada mahasiswa dan melihat ada tidaknya hubungan antara lingkar pinggang dan peningkatan kurva lumbal. METODE : Penelitian menggunakan studi observasional dengan desain cross-sectional yang mengikutsertakan 88 mahasiswa yang melakukan pemeriksaan kurva lumbal. Selama dilakukannya pengukuran kurva lumbal, para responden diposisikan berdiri tegak dalam posisi yang rileks tanpa menggunakan alas kaki. Kurva lumbal setiap responden diukur dengan alat ukur flexible ruler dan hasilnya disalin kedalam kertas putih polos. Dihitung derajatnya menggunakan rumus yang telah ditetapkan dan baku. Berat badan, tinggi badan dan lingkar pinggang juga dilakukan pengukuran. HASIL : Terdapat hubungan antara obesitas dengan peningkatan kurva lumbal pada mahasiswa dan adanya hubungan antara lingkar pinggang dengan peningkatan kurva lumbal. Dibuktikan pada hasil uji chi square didapatkan p = 0,000 pada obesitas dengan peningkatan kurva lumbal dan p = 0,000 pada lingkar pinggang dengan peningkatan kurva lumbal. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan kurva lumbal. KESIMPULAN : Pada penelitian ini menunjukkan bahwa berat badan obesitas dan lingkar pinggang yang berlebih memiliki hubungan dengan peningkatan kurva lumbal pada mahasiswa

    Kekambuhan asma pada perempuan dan berbagai faktor yang memengaruhinya

    Get PDF
    Asma merupakan penyakit multifaktorial yang terjadi pada saluran napas akibat reaksi inflamasi kronik yang menyebabkan hiperresponsif jalan napas dengan gejala mengi, sesak napas dan dada terasa berat disertai batuk dan gejalanya umumnya terjadi malam hari atau menjelang pagi. Bila asma tidak terkontrol dapat menyebabkan kematian. Sesungguhnya asma tidak dapat sembuh sempurna hanya dapat menghilangkan gejalanya. Setelah pubertas, asma menjadi lebih umum terjadi bahkan dapat semakin parah pada seorang perempuan, dan paling tinggi terjadi pada perempuan dengan menarche dini atau dengan kehamilan banyak. Mekanisme yang mendasari perbedaan gender dalam prevalensi asma masih diselidiki tetapi sebagian besar merujuk pada perbedaan hormon dan perbedaan dalam kapasitas paru-paru. Peranan reseptor estrogen ditemukan pada banyak sel pengatur imun dan memengaruhi respons imunologis ke arah perkembangan alergi. Beberapa faktor yang memengaruhi kekambuhan asma pada perempuan antara lain faktor genetik dengan adanya polimorfisme pada gen yang berhubungan dengan asma, faktor pulmoner yaitu adanya penghambatan produksi surfaktan oleh estrogen yang meningkatkan kerentanan terhadap alergi, faktor persepsi dan perilaku perempuan terhadap gejala asma yang dialami sehingga menyebabkan kualitas hidup lebih buruk, dan faktor obesitas menyebabkan peningkatan aromatase yang berefek meningkatkan estrogen serta peningkatan kadar leptin yang berperan dalam pengaturan berat badan dan meningkatkan mediator proinflamasi.Asma merupakan gangguan yang terjadi pada saluran nafas akibat reaksi inflamasi kronik yang menyebabkan peningkatan respon jalan napas dengan gejala mengi, sesak nafas dan dada terasa berat disertai batuk. Gejala asma biasanya terjadi malam hari atau menjelang pagi. Bila asma tidak  terkontrol dapat menyebabkan kematian. Sesungguhnya asma tidak dapat sembuh sempurna hanya dapat menghilangkan gejalanya. Setelah pubertas, asma menjadi lebih umum terjadi bahkan dapat semakin parah pada seorang perempuan, dan paling tinggi terjadi pada perempuan dengan menarche dini atau dengan kehamilan multiple. Hal ini menunjukan  adanya peran hormon seks dalam patogenesis asma. Namun, pengaruh hormon seks pada patofisiologi asma  masih membingungkan dan sulit dibedakan dari usia, obesitas, atopi, maupun paparan lingkungan terkait gender lainnya. Mekanisme yang mendasari perbedaan gender dalam prevalensi asma masih diselidiki tetapi sebagian besar merujuk pada perbedaan hormon dan perbedaan dalam kapasitas paru-paru. Terdapat bukti kuat yang mendukung efek gender pada kejadian dan tingkat keparahan asma. Banyak studi epidemiologis menunjukkan bahwa perempuan berisiko lebih tinggi terkena asma awitan dewasa dan juga menderita penyakit yang lebih parah daripada pria. Perbedaan gender ini tampaknya merupakan produk dari perbedaan biologis dan perbedaan sosiokultural serta lingkungan. Perbedaan biologis terkait jenis kelamin termasuk faktor genetik, dan paru.   METODE Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui Google Scholar dan basis data PubMed dengan kata kunci asma, faktor risiko asma, perempuan, hormon seks, jenis kelamin. Kepustakaan diambil dari jurnal yang membahas kekambuhan asma pada perempuan dan faktor yang memengaruhinya.   KESIMPULAN Studi epidemiologis menunjukkan bahwa perempuan berisiko lebih tinggi terkena asma awitan dewasa dan juga menderita penyakit yang lebih parah daripada pria. Perbedaan gender ini tampaknya merupakan produk dari perbedaan biologis dan perbedaan sosiokultural serta lingkungan. Perbedaan biologis terkait jenis kelamin termasuk faktor genetik, dan paru

    94

    full texts

    100

    metadata records
    Updated in last 30 days.
    Jurnal Biomedika dan Kesehatan is based in Indonesia
    Access Repository Dashboard
    Do you manage Open Research Online? Become a CORE Member to access insider analytics, issue reports and manage access to outputs from your repository in the CORE Repository Dashboard! 👇