eJournal Badan Penelitan dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Not a member yet
5369 research outputs found
Sort by
Konfigurasi dan Uji Visual Kamera pada Rancang Bangun Remotely Operated Vehicle (ROV)
Teknologi yang dapat digunakan dalam proses pemantauan kondisi bawah air adalah Remotely Operated Vehicle (ROV). Alat ini merupakan sebuah robot penjelajah bawah air yang dikendalikan oleh operator menggunakan sistem remote control. ROV dapat dilengkapi dengan modul kamera untuk memantau kondisi bawah air dan kemudian dikirimkan ke monitor komputer. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan kamera pada rancang bangun ROV. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kamera pada ROV dapat memberikan informasi kondisi bawah air. Untuk melihat kamera pada ROV berfungsi dengan baik dilakukan beberapa pengujian didalam air. Pengujian visual kamera dilakukan dengan empat kali percobaan dari jarak 25 cm sampai jarak 100 cm. Jarak pandang kamera terhadap objek pada jarak 25 cm hingga 50 cm masih terlihat jelas, pada jarak 75 cm objek nampak tidak jelas dan pada jarak 100 cm objek tidak terlihat
Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) Dan Sanitation Standar Operating Procedure (SSOP) Pada Pengolahan Abon Ikan Bandeng (Chanos chanos) Di UMKM XXX
Penelitian ditujukan untuk menganalisis penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) proses pembuatan abon ikan bandeng (Chanos chanos) di UMKM. Subjek dalam penelitian ini adalah perusahaan pengolahan makanan laut yang memproduksi abon ikan bandeng, sementara objek yang diteliti mencakup penerapan GMP dan SSOP, serta evaluasi kelayakan dasar UMKM dalam proses produksi abon. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, yang melibatkan observasi langsung terhadap proses produksi, wawancara dengan petugas terkait, dan analisis dokumentasi yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besasr prinsip GMP dan SSOP telah diterapkan oleh UMKM. Namun beberapa aspek perlu diperbaiki, seperti pengawasan terhadap kebersihan peralatan dan sanitasi karyawan yang masih kurang optimal. Meskipun penerapan GMP dan SSOP yang sudah cukup baik, masih diperlukan peningkatan untuk mencapai kualitas dan keamanan produk yang memenuhi standar. UMKM disarankan untuk memperbaiki pengawasan serta memberikan pelatihan lebih lanjut kepada karyawan mengenai pentingnya menjaga kebersihan dan sanitasi selama proses produksi.
Aset Mata Pencaharian dan Efisiensi Model Rantai Pasok-Rantai Nilai Perikanan Tangkap Pelagis Kecil Masyarakat Pesisir Pulau Saparua
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aset mata pencaharian dan efisiensi model rantai pasok dan rantai nilai perikanan tangkap pelagis kecil masyarakat pesisir Pulau Saparua. Penelitian ini memadukan metode kuantitatif dengan desain survei. Data primer dikumpulkan dari penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dan focus group Discussion (FGD), sedangkan data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait, jurnal, dan laporan. Data dianalisis menggunakan analisis aset penghidupan dan analisis kinerja rantai pasok. Hasilnya menunjukkan bahwa, masyarakat pesisir Pulau Saparua memiliki keberagaman aset matapencaharian, antara lain aset alam, aset manusia, aset fisik, aset sosial dan aset keuangan. Namun, diantara kelima aset matapencaharian tersebut yang memiliki kontribusi besar terhadap matapencahariannya adalah aset alam dan aset sosial. Sementara, efisiensi model rantai pasok-rantai nilai menunjukan bahwa, semakin pendek rantai pemasaran maka biaya pemasaran atau produksi, margin pemasaran, harga yang dibayar konsumen akan semakin rendah, namun harga yang diterima produsen akan semakin tinggi. Kegiatan pemasaran dapat dikatakan berhasil jika didukung oleh daya beli konsumen yang tinggi dan distribusi yang baik. Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat dua rantai pemasaran pendek yang efisien dengan hanya dua pelaku (nelayan – pedagang pengumpul dan nelayan – pengecer/perempuan papalele). Namun kedua rantai pemasaran tersebut harus diperlakukan secara berbeda, dimana rantai pemasaran pertama memiliki nilai efektivitas yang lebih rendah dibandingkan rantai pemasaran berikutnya. Title: Livelihoods Assets and The Efficiency of Supply Chain-Value Chain Model of Small Pelagic Capture Fisheries of Coastal Communities of Saparua Island This study aims to investigate livelihoods assets and the effectiveness of supply chain and value chain model of small pelagic capture fisheries of coastal communities of Saparua Island. This study combined a quantitative method using a survey design. The primary data was collected from field research using in-depth interviews and focus group discussions (FGDs), while the secondary data was collected from related agencies, jurnals, and reports. The data was analyzed using livelihood asset analysis and supply chain performance analysis. The results show that the coastal communities of Saparua Island have a diversity of livelihood assets, including natural assets, human assets, physical assets, social assets and financial assets. However, among the five livelihood assets that have a major contribution to livelihoods are natural assets and social assets. Meanwhile, the effectiveness of the supply chain-value chain model shows that the lower the marketing or production costs, marketing margin, consumer prices paid, but the producer prices received would be higher. The marketing activities could be considered successful if they were supported by a high customer purchasing power and proper distribution. This study concludes that there were two effective short marketing chains with only two actors (fishermen – collecting traders and fishermen – retailers / papalele women). The two marketing chains, however, must be treated differently, with the former having a lower effectiveness value than the later
Analisis Bibliometrik Tren dan Kebijakan Sosial Ekonomi Akuakultur 2015-2025
Akuakultur berkelanjutan merupakan aspek penting dalam mendukung ketahanan pangan dan konservasi ekosistem laut di tengah tantangan perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi global. Penelitian ini menggunakan pendekatan bibliometrik untuk menganalisis tren publikasi, jaringan konseptual, pola kolaborasi global, dan implikasi kebijakan dalam akuakultur berkelanjutan selama periode 2015–2025 dengan menganalisis 345 dokumen penelitian. Data diperoleh dari basis data Scopus dan dianalisis menggunakan VOSviewer dan OpenRefine. Hasil menunjukkan peningkatan signifikan jumlah publikasi dengan dominasi negara maju serta kemunculan kata kunci utama seperti “sustainability”, “climate change”, dan “blue economy”. Analisis jaringan konseptual mengidentifikasi tujuh klaster tematik utama yang mencakup adaptasi iklim, konservasi ekosistem, ekonomi biru, sosial-ekologi, dan tata kelola kebijakan. Studi ini menegaskan perlunya integrasi multidimensi dalam kebijakan akuakultur berkelanjutan untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Rekomendasi strategis meliputi penguatan kolaborasi internasional, pengembangan teknologi adaptif, dan pemberdayaan komunitas lokal guna mendukung implementasi Sustainable Development Goals (SDGs). Rekomendasi ini memberi manfaat bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan berbasis bukti, pelaku industri akuakultur dalam adopsi praktik berkelanjutan, serta peneliti dalam identifikasi kesenjangan penelitian dan arah riset masa depan.Sustainable aquaculture is a crucial aspect in supporting food security and marine ecosystem conservation amidst the challenges of climate change and global economic growth. This study employs a bibliometric approach to analyze publication trends, conceptual networks, global collaboration patterns, and policy implications in sustainable aquaculture from 2015 to 2025 by examining 345 research documents. Data were obtained from the Scopus database and analyzed using VOSviewer and OpenRefine. The results show a significant increase in publication numbers, dominated by developed countries, along with the emergence of key keywords such as 'sustainability,' 'climate change,' and 'blue economy.' The conceptual network analysis identified seven major thematic klasters, including climate adaptation, ecosystem conservation, blue economy, socio-ecology, and policy governance. This study affirms the need for multidimensional integration in sustainable aquaculture policies to optimize economic benefits while preserving environmental sustainability and social welfare. Strategic recommendations include strengthening international collaboration, developing adaptive technologies, and empowering local communities to support the implementation of the Sustainable Development Goals (SDGs). These recommendations benefit governments in evidence-based policymaking, aquaculture industry players in adopting sustainable practices, and researchers in identifying knowledge gaps and future research directions
Integrasi Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Raja Ampat Melalui Analisis Level Aksi Kelembagaan
Masalah pengelolaan kawasan konservasi seringkali dipengaruhi oleh ketidaksesuaian kebijakan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten serta bagaimana kepatuhan terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji integrasi kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah melalui analisis pada tiga level aksi kelembagaan yaitu level konstitusional, kolektif dan operasional. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis konten peraturan dan analisis deskriptif. Penelitian dilakukan di Kampung Arborek, Yenbuba dan Sawinggrai Kabupaten Raja Ampat pada bulan Oktober 2022. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara, observasi, focus group discussion dan analisis dokumen Hasil penelitian menunjukkan bahwa Integrasi kelembagaan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Raja Ampat telah terbentuk. Pada level konstitusional, integrasi kelembagaan terlihat dari kesesuaian aturan mengenai pihak yang berwenang dalam penyusunan rencana zonasi dan pengelolaan kawasan konservasi perairan serta adanya pengakuan kewenangan masyarakat adat. Pada integrasi di level kolektif terwujud melalui adanya kesesuaian tujuan lintas sektor dan kerjasama antar pemangku kepentingan. Pada level operasional, integrasi kelembagaan terwujud melalui kesesuaian pemahaman mengenai batas wilayah konservasi perairan, pelaksanaan aturan konservasi dan pemberlakuan sanksi. Rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat integrasi kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi perairan Raja Ampat antara lain: 1) penyesuaian pembaruan penetapan kebijakan mengenai wewenang pengelolaan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten; 2) peningkatan kapasitas kelembagaan Dewan Adat Suku Maya dengan cara memberi dukungan dana, keterampilan, atau keahlian untuk menjalankan program-program konservasi perairan; 3) penyesuaian luas konservasi antara yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi Papua Barat dan pemerintah Kabupaten Raja Ampat; serta 4) pemberian tanda batas pada zona-zona konservasi. Title : The Institutional Integration of Marine Conservation Area Management in Raja Ampat Regency Through Institutional Action Level AnalysisThe management of conservation areas is often influenced by the misalignment of policies between the central government, provincial government, and regional government, as well as the level of compliance with the implementation of these policies. This study aims to examine the institutional integration in the management of regional marine conservasion areas through an analysis of three institutional levels: constitutional, collective and operational. A qualitative method with a policy analysis and descriptive analysis approach was employed. The research was conducted in the villages of Arborek, Yenbuba, and Sawinggrai, Raja Ampat Regency, in October 2022. Data were collected through interviews, observations, focus group discussions, and document analysis. The findings show that institutional integration in the management of marine conservation areas in Raja Ampat Regency has been established. At the constitutional level, institutional integration is reflected in the alignment of regulations concerning the authorities responsible for drafting zoning plans and managing marine conservation areas, as well as the recognition of indigenous people’s authority. At the collective level, institutional integration is manifested in the alignment of cross-sectoral objectives, collaboration among stakeholders, and the involvement of indigenous communities. At the operational level, institutional integration is evident in the consistency of understanding regarding the boundaries of marine conservation area, the enforcement of conservation regulations, and the imposition of sanctions. Policy recommendations that could strengthen institutional integration in the management of marine conservation area in Raja Ampat include: 1) adjusting policies regarding management authority between the central, provincial, and regionak governments; 2) enhancing the institutional capacity of the Maya Indigenous Council by providing financial support, skills, or expertise to support marine conservation programs; 3) adjusting the area of the conservation between the central government,the West Papua Provincial Government and the Raja Ampat Regency government; and 4) marking boundaries in the marine conservation zones
Kinerja Produksi Ikan Nila Salin dengan Sistem Budidaya Bioflok pada Kolam Terpal di Daerah Istimewa Yogyakarta
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja pertumbuhan ikan nila salin yang dibudidaya dengan sistem bioflok. Karena sistem bioflok dinilai dapat menghemat penggunaan pakan, meningkatkan produktivitas budidaya, menghemat penggunaan air, dan dapat dilakukan dengan menggunakan kolam terpal atau kolam bulat. Ikan nila salin yang digunakan memiliki bobot rata-rata 10,6±0,48 gram. Penelitian ini dilakukan selama 90 hari. Penelitian ini dilakukan dengan 2 perlakuan, yaitu perlakuan A (pemeliharaan nila salin dengan sistem bioflok) dan perlakuan B (pemeliharaan nila salin tanpa sistem bioflok). Masing masing perlakuan memiliki 7 ulangan. Data yang diperoleh selama penelitian selanjutnya diuji statistika mengunakan SPSS versi 16.1 sedangkan uji T-Test digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara perlakuan yang diberikan. Berdasarkan uji statisika diketahui bahwa laju pertumbuhan bobot rata-rata ikan antara perlakuan A dan B adalah tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk rasio konversi pakan dan tingkat kelangsungan hidup memiliki hasil yang bebeda nyata, dimana perlakuan A lebih baik dari pada perlakuan B dengan nilai rasio konversi pakan perlakuan A sebesar 1,06 dan tingkat kelangsungan hidup 98%. Berdasarkan hasil penelitian ini maka budidaya nila salin sebaiknya dilakukan dengan sistem bioflok agar dapat menghemat pengunaan pakan dan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik.This study aims to analyze the growth performance of saline tilapia fish cultivated with the biofloc system. Because the biofloc system is considered to be able to save feed usage, increase cultivation productivity, save water usage, and can be done using tarpaulin ponds/circular ponds. The saline tilapia fish used had an average weight of 10.6 ± 0.48 grams. This study was conducted for 90 days. This study was conducted with 2 treatments, namely treatment A (maintenance of saline tilapia fish with a biofloc system) and treatment B (maintenance of saline tilapia fish without a biofloc system). Each treatment has 7 replications. The data obtained during the study were then tested statistically using SPSS version 16.1, while the T-Test was used to determine whether there was an effect between the treatments. This indicates that the growth performance of saline tilapia fish in treatment A and treatment B was not significantly different. Meanwhile, for the feed conversion ratio and survival rate, the results were significantly different, where treatment A was better than treatment B with a feed conversion ratio value of treatment A of 1.06 and a survival rate of 98%. Based on the results of this study, saline tilapia cultivation should be carried out with a biofloc system to save feed usage and achieve a better survival rate
EFFECTIVENESS OF BIOFLOC, PROBIOTICS AND THE COMBINATIONS ON GROWTH, IMMUNE RESPONSES AND RESISTANCE OF VANNAMEI SHRIMP INFECTED WITH Vibrio parahaemolyticus
Vibrio parahaemolyticus strain that produces PirA and PirB toxins is the main causative agent of Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) in vannamei shrimp. This study aimed to evaluate the effect of biofloc application, probiotic Pseudoalteromonas piscicida 1Ub, and their combination on growth, immune response and resistance of vannamei shrimp infected with V. parahaemolyticus strain. This study used a completely randomized design consisting of biofloc-based system treatment with or without probiotic 1Ub and normal seawater as control. All treatment groups were challenged with V. parahaemolyticus AHPND strain at a cell density of 105 CFU mL”1 through immersion, while the negative control was reared without being pathogenic challenged. The shrimp used were in averaged body weight of 1.3 ± 0.002 g, reared for 21 days and fed five times a day at 06:00, 10:00, 14:00, 18:00, and 22:00 WIB. The results showed that the B+Pro combination challenge test treatment resulted the best growth performance (specific growth rate, absolute length gain and feed conversion ratio) (P<0.05) compared to other challenge test treatments. hrimp treated with B+Pro also showed a lower intestinal cell population of V. parahaemolyticus RfR, and significantly higher immune response values (P<0.05) than those of other challenge test treatments and K+. Furthermore, those parameters supported positive impact on final shrimp survival rates in the experiment. This study shows that the application of combination of biofloc and 1Ub probiotic bacteria can significantly protect and increase the resistance of vannamei shrimp to V. parahaemolyticus AHPND infection
GENETIC DIVERSITY, GROWTH AND CARRAGEENAN QUALITY OF KOTONI (RED SEAWEED) ACROSS THREE CULTIVATION SITES IN EASTERN INDONESIA
Indonesia is a leading global producer of seaweed, with kotoni seaweed highly valued for its high-quality carrageenan, an essential ingredient in various industries. This study aimed to evaluate the growth, carrageenan quality, and genetic diversity of kotoni seaweed cultivated at three distinct sites in eastern Indonesia: Banggai, West Halmahera, and Biak. The research involved cultivating kotoni seaweed over a 45-day period using the long-line technique, with growth monitoring conducted every five days and water quality parameters measured concurrently. Additionally, ex situ analyses of nitrate, phosphate, and ammonia were performed every 15 days. Carrageenan quality was assessed by measuring carrageenan content, gel strength, and viscosity, in addition to proximate composition analysis. Genetic diversity was evaluated using the cytochrome oxidase subunit 1 (COI) gene, involving DNA extraction, PCR amplification, and sequencing to determine genetic similarity across the cultivation sites. Significant differences in growth rates and carrageenan quality were observed across the three sites. West Halmahera exhibited the highest growth rate, making it the most favorable site for large-scale seaweed cultivation. Although Biak had a lower growth rate, it produced carrageenan with superior gel strength and viscosity, indicating higher product quality. Genetic analysis confirmed 100% similarity among the samples across sites. These findings underscore the importance of site-specific cultivation practices to optimize both yield and carrageenan quality, supporting the sustainability and economic viability of kotoni seaweed cultivation in Indonesia
Jejaring Sistem Sosial-Ekologi di Kawasan PAAP Kepulauan Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan Provinsi Sulawesi Tenggara: Pemahaman Holistik untuk Transformasi Berkelanjutan
Penelitian ini menggunakan metode analisis jaringan sosial-ekologi (SENA) untuk memetakan dan menganalisis sistem sosial-ekologi skala kecil (SES) dalam pengelolaan area akses untuk perikanan skala kecil (PAAP) di Wilayah Kepulauan Wawonii, Kabupaten Kepulauan Konawe. Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara berbagai aspek sosial, ekologi, ekonomi, tata kelola, dan pemanfaatan sumber daya. Tujuan penelitian adalah menguji dinamika sistem sosial-ekologi di area PAAP Kabupaten Kepulauan Konawe. Penelitian dilakukan dari Februari hingga November 2022 dengan menggunakan metode pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi, wawancara, dan FGD kepada 227 responden yang terdiri dari nelayan PAAP dan Non PAAP. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen, dan laporan terkait. Model jaringan dasar dari SES dibangun menggunakan pendekatan jaringan untuk memahami pola interaksi antara entitas dalam sistem ini. Komunikasi, deteksi komunitas, dan analisis komputasi menggunakan R paket dilakukan untuk menghasilkan pemetaan terbaik dan mendapatkan wawasan tentang pola interaksi yang ada. Hasil pemetaan mengungkapkan kluster signifikan dan hubungan antara entitas dalam sistem perikanan skala kecil. Penelitian ini juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan kompleks antara berbagai aspek sistem perikanan skala kecil di Wilayah Kepulauan Wawonii, Kabupaten Kepulauan Konawe, yang dapat menjadi dasar untuk pengambilan keputusan dan pengelolaan yang lebih efektif. Title: Social-Ecological System Networks in the PAAP Wawonii Islands Region, Konawe Islands District: Holistic Understanding for Sustainable Transformation This research utilizes the Social-Ecology Network Analysis (SENA) method to map and analyze small-scale social-ecological systems (SES) in the management of access areas for small-scale fisheries (PAAP) in the Wawonii Islands Region, Konawe Islands District. The study identifies and analyzes the relationships among various social, ecological, economic, governance, and resource utilization aspects. The research objective was to examine the dynamics of social-ecological systems in the PAAP area of Konawe Islands Regency. The research was conducted from February to November 2022 using a combination of primary and secondary data collection methods. Primary data were obtained through observations, interviews, and FGDs involving 227 respondents comprising PAAP and Non-PAAP fishermen. Meanwhile, secondary data were collected through literature reviews, document analysis, and relevant reports A basic network model of the SES is constructed using a network approach to understand the patterns of interactions among entities within this system. Communication, community detection, and computational analysis using the R package are performed to generate the best mapping and gain insights into the existing patterns of interactions. The mapping results reveal significant clusters and relationships among entities within the small-scale fisheries system. This study also provides a better understanding of the complex relationships among various aspects of the small-scale fisheries system in the Wawonii Islands Region, Konawe Islands District, serving as a foundation for decision-making and more effective management
PENGARUH TINGKAT DAN FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN DAN PEMANFAATAN PAKAN PADA PEMELIHARAAN BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy)
Pakan komersial menyumbang hingga 85% dari biaya produksi dalam pembenihan ikan gurami, dengan kenaikan harga yang berdampak pada efisiensi produksi. Optimalisasi feeding rate (FR) dan feeding frequency (FF) sangat penting dalam pengelolaan pakan. Penelitian ini menganalisis pengaruh kombinasi FR dan FF terhadap kinerja pertumbuhan dan pemanfaatan pakan pada benih ikan gurami. Rancangan acak lengkap faktorial digunakan dengan dua tingkat FR (3% dan 6%) serta tiga tingkat FF (1, 2, dan 3 kali per hari), menghasilkan enam kombinasi perlakuan dengan tiga ulangan. Ikan gurami (0,81 ± 0,02 g; 3,79 ± 0,17 cm) dipelihara selama 60 hari dalam unit dengan volume 20 L dengan kepadatan 1 ekor L⁻¹ dan pergantian air yang seragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi FR 6% dengan FF tiga kali per hari menghasilkan kinerja pertumbuhan terbaik, dengan bobot akhir (5,74 g), laju pertumbuhan spesifik (3,25% hari⁻¹), pertambahan bobot harian (82,17 mg hari⁻¹), koefisien pertumbuhan termal (4,74), dan faktor kondisi (1,91). Kombinasi FR 6% dengan FF dua kali per hari menghasilkan panjang akhir (6,96 cm), biomassa akhir (113,75 g), hasil bersih (4,87 g L⁻¹), total konsumsi pakan (120,07 g), dan tingkat kelangsungan hidup (100%) tertinggi. Rasio konversi pakan terbaik (0,83) dan efisiensi pakan tertinggi (82,46%) ditemukan pada FR 3% dengan FF tiga kali per hari, meskipun tidak meningkatkan pertumbuhan. Secara keseluruhan, FR 6% dengan FF tiga kali per hari merupakan kombinasi paling efektif untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan pemanfaatan pakan (rasio konversi pakan 1,05; efisiensi pakan 81,87%) dan direkomendasikan dalam manajemen pembenihan ikan gurami.Commercial feed accounts for up to 85% of production costs in giant gourami hatcheries, with rising prices impacting production efficiency. Optimizing feeding rate (FR) and feeding frequency (FF) is crucial for managing feed use. This study analyzed effects of different FR and FF combinations on growth performance and feed utilization in giant gourami fry. A factorial completely randomized design was used with two FR (3% and 6%) and three FF levels (1, 2, and 3 times per day), totaling six treatment combinations with three replicates. Giant gourami (0.81 ± 0.02 g, 3.79 ± 0.17 cm) were reared for 60 days in 20 L units at a density of 1 fish L-1, with uniform water exchange. Results showed that FR 6% with FF three times per day yielded the best growth performance, with final weight (5.74 g), specific growth rate (3.25% day-1), daily weight gain (82.17 mg day-1), thermal growth coefficient (4.74), and condition factor (1.91). The FR 6% with FF twice per day combination resulted in the highest final length (6.96 cm), biomass (113.75 g), net yield (4.87 g L-1), total feed consumption (120.07 g), and survival rate (100%). The best feed conversion ratio (0.83) and feed efficiency (82.46%) were observed in FR 3% with FF three times per day, though it did not enhance growth. Overall, FR 6% with FF three times per day was the most effective for optimizing growth and feed utilization (feed conversion ratio 1.05; feed efficiency 81.87%) and is recommended for giant gourami hatchery management