UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta: E-Journal Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum
Not a member yet
1097 research outputs found
Sort by
Legal Pluralism and Maqāṣid Al-Sharīʿah in Regulating Cooperative Finance under Indonesia’s Financial Services Authority
Abstract: The transfer of regulatory authority over financial-service cooperatives to the Financial Services Authority (OJK) through the Financial Sector Development and Strengthening Law (Law No. 4/2023, PPSK Law) represents a paradigm shift in Indonesia’s legal landscape. Cooperatives, historically governed under a separate regime and supervised by the Ministry of Cooperatives and SMEs, are now incorporated into the national financial regulatory system. This article examines the conceptual implications of the reform through a normative juridical method supported by statutory, conceptual, and comparative approaches. Primary legal sources include the PPSK Law, Cooperative Law, Financial Services Authority Law, and OJK Regulation No. 47/2024, while secondary sources comprise scholarly literature, expert opinions, and prior research. The analysis employs three conceptual frameworks: consumer protection theory, Maqāṣid al-Sharīʿah in Islamic economic law, and legal pluralism. Findings show that OJK supervision enhances legal certainty, protects members’ financial assets, and aligns cooperative consumer rights with those of bank customers, thereby advancing the Maqāṣid principles of protection of wealth (ḥifẓ al-mā), justice (‘adālah), and balance (tawāzun). Nevertheless, the reform raises concerns about potential erosion of cooperative autonomy and the risk of marginalizing small-scale or community-based cooperatives. These tensions highlight the need for proportional and collaborative regulatory design that accommodates cooperative values while ensuring accountability and stability. The discussion concludes that cooperative supervision under OJK can serve as both a safeguard and a challenge: it strengthens governance but may undermine cooperative identity if implemented rigidly. Future empirical research is recommended to assess the real impact of the reform across regions and cooperative models.
Abstrak: Peralihan kewenangan pengawasan koperasi jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU No. 4 Tahun 2023, UU PPSK) merepresentasikan perubahan paradigma dalam lanskap hukum Indonesia. Koperasi, yang secara historis diatur dalam rezim terpisah dan diawasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM, kini masuk dalam sistem regulasi keuangan nasional. Artikel ini mengkaji implikasi konseptual dari reformasi tersebut melalui metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan komparatif. Sumber hukum primer mencakup UU PPSK, UU Perkoperasian, UU Otoritas Jasa Keuangan, serta Peraturan OJK No. 47 Tahun 2024, sedangkan sumber sekunder meliputi literatur akademik, pendapat ahli, dan hasil penelitian terdahulu. Analisis dilakukan dengan menggunakan tiga kerangka konseptual: teori perlindungan konsumen, Maqāṣid Asy-Syarīʿah dalam hukum ekonomi Islam, dan pluralisme hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan OJK meningkatkan kepastian hukum, melindungi aset keuangan anggota, serta menyelaraskan hak-hak konsumen koperasi dengan nasabah bank, sehingga memperkuat prinsip maqāṣid berupa ḥifẓ al-māl (perlindungan harta), ʿadālah (keadilan), dan tawāzun (keseimbangan). Namun demikian, reformasi ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi terkikisnya otonomi koperasi dan risiko marginalisasi terhadap koperasi kecil berbasis komunitas. Ketegangan ini menegaskan perlunya desain regulasi yang proporsional dan kolaboratif, yang mengakomodasi nilai-nilai koperasi sekaligus menjamin akuntabilitas dan stabilitas. Kajian pada artikel ini menyimpulkan bahwa pengawasan koperasi oleh OJK dapat berfungsi ganda: sebagai instrumen penguatan tata kelola, tetapi juga berpotensi melemahkan identitas koperasi jika diterapkan secara kaku. Penelitian empiris lebih lanjut sangat disarankan untuk menilai dampak nyata reformasi ini di berbagai daerah dan model koperasi
Budaya dan Infrastruktur Aturan Agama Islam dalam Implementasi Program Bimbingan Perkawinan di KUA Kecamatan Kayen Kabupaten Pati
The marriage guidance program is presented as a solution to the rampant conflict of divorce. For this reason, the Ministry of Religious Affairs through the Decree of the Director General of Islamic Guidance Number 379 of 2018 instructs that every prospective couple who will carry out a marriage must first take part in a marriage guidance program as a step in realizing an ideal family. Considering the implementation of the marriage guidance program at the Kayen Sub-district KUA with two different models, the researcher is interested in examining a main problem, namely how is the culture and infrastructure of Islamic religious rules in the marriage guidance program at the Kayen KUA in Pati Regency? This research is a field research with a qualitative type and uses an empirical juridical approach. Data collection techniques in this research are observation, interview, and documentation. This research is sourced from primary and secondary data. Furthermore, the data is described, elaborated, and analyzed descriptively analytically. The results of this study contain several conclusions, 1) There already exists Islamic religious rules, but the obedience of the Muslim community to a rule is still lacking, resulting in the culture of Islamic religious rules in the Kayen District area is still considered to be minimal. The lack of culture is caused by the massive lack of KUA and Muslim community leaders in socializing the rules regarding marriage guidance so that they are actually obeyed, and consider that marriage guidance is a very important thing, 2) Without certain infrastructure or facilities, it is impossible for the enforcement of Islamic religious rules to run smoothly. These facilities include, among others, educated and skilled human resources (human resources/ KUA staff), good organization (KUA), adequate equipment (marriage guidance venues and other facilities), sufficient finances, and so on.
Program bimbingan perkawinan hadir menjadi solusi dari maraknya konflik perceraian. Oleh karena itu Kementerian Agama melalui Kepdirjen Bimas Islam Nomor 379 tahun 2018 menginstruksikan bahwa setiap pasangan calon pengantin yang akan melaksanakan perkawinan, terlebih dahulu harus mengikuti program bimbingan perkawinan sebagai langkah dalam mewujudkan keluarga yang ideal. Melihat pelaksanaan program bimbingan perkawinan di KUA Kecamatan Kayen dengan dua model yang berbeda, peneliti tertarik untuk mengkaji suatu pokok permasalahan yaitu bagaimana budaya dan infrastruktur aturan agama Islam dalam program bimbingan perkawinan di KUA Kayen Kabupaten Pati? Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan jenis kualitatif dan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Selanjutnya, data tersebut digambarkan, diuraikan, dan dianalisis secara deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini mengandung beberapa kesimpulan, 1) Sudah adanya aturan agama Islam, namun ketaatan masyarakat muslim terhadap sebuah aturan masih minim, sehingga mengakibatkan budaya aturan agama Islam di wilayah Kecamatan Kayen masih dianggap minim. Kurangnya budaya tersebut disebabkan oleh tidak masifnya KUA dan para tokoh masyarakat muslim dalam mensosialisasikan aturan mengenai bimbingan perkawinan agar benar-benar ditaati, dan menganggap bahwa bimbingan perkawinan adalah suatu hal yang sangat penting, 2) Tanpa adanya infrastruktur atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan aturan agama Islam akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil (SDM/ Kepegawaian KUA), organisasi yang baik (KUA), peralatan yang memadai (tempat bimbingan perkawinan dan fasilitas yang lain), keuangan yang cukup, dan seterusnya
Women's Leadership in the Indonesian Constitutional System and Islamic Law
This research elaborates on the power politics prevailing in Indonesia regarding women's leadership in the public sphere in Indonesia. Without realizing it, the patriarchal culture that lives in society makes women marginalized so that women are often neglected, including their rights in public leadership. This research utilizes a phenomenological approach to give meaning to the phenomenon of women's leadership in the public sphere. In addition, the legislative approach is also presented to capture and analyze regulations that open and close access for women in the public sphere. This article concludes that a woman is someone who has the right to organize and influence or organize society to achieve the goals of a country. The existence of several regulations in Indonesia that open space for women to take part in public leadership makes Indonesia an egalitarian country that provides equal and balanced rights for men and women to occupy strategic positions in the public sphere. This research found that women have the right to leadership in the public sphere just like men. Likewise, in the discourse of Islamic law, leadership is not monopolized by men but women can fill it as well as men.
Penelitian ini mengelaborasi politik kekuasaan yang berlaku di Indonesia terkait kepemimpinan perempuan di ranah publik di Indonesia. Tanpa disadari, budaya patriarki yang hidup di masyarakat menjadikan perempuan termarginalkan sehingga perempuan seringkali terabaikan hak-haknya termasuk hak dalam kepemimpinan publik. Penelitian ini menginstrumentasikan pendekatan fenomenologi yang hendak memberikan makna terhadap fenomena kepemimpinan perempuan di ranah publik. Disamping itu, pendekatan perundang-undangan juga dihadirkan guna memotret dan menganalisis peraturan-peraturan yang membuka dan menutup akses bagi perempuan di ranah publik. Artikel ini menyimpulkan bahwa perempuan adalah seseorang yang berhak untuk mengatur dan mempengaruhi atau mengatur masyarakat untuk mencapai tujuan suatu negara. Adanya beberapa peraturan di Indonesia yang membuka ruang bagi perempuan untuk andil dalam kepemimpinan publik menjadikan Indonesia sebagai negara egaliter yang memberikan hak yang sama dan seimbang bagi laki-laki dan perempuan untuk menduduki posisi strategis di ranah publik. Penelitian ini menemukan bahwa perempuan memiliki hak kepemimpinan di ruang publik seperti halnya laki-laki. Begitupun dalam diskursus hukum Islam, kepemimpinan tidak dimonopoli kaum laki-laki namun perempuan bisa mengisinya juga sebaimana laki-laki.
Dinamika Politik Ketatanegaraan Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)
In the contestation of the nation’s journey, Indonesia has gone through a long and dynamic period in its state policy, from colonialism to post-independence. The Declaration of Independence of 18 August 1945 was the opening gateway for Indonesia to organize its affairs independently, freely and independently. Although Indonesia can already arrange its own affairs, it does not mean that it can eliminate potential conflicts. During the years from 1950 to 1959, a series of conflicts continued, while at that time it was known as a fairly democratic time when freedom of opinion was restricted and elections were held for the first time. Starting from what is meant, this study will throw a thorough and comprehensive look at the political dynamics of Indonesian statehood in the parliamentary democracy. The method used in this study is a method of normative legal research with a historical approach. As for the technique of collection of materials used is the library study technique, with relevant materials around the conditions of Indonesia in the parliamentary democracy. The results of this study show that the political dynamics of statehood that occurred during parliamentary democracy were caused by a variety of things, ranging from the internal conflict of the Islamic group due to the question of the division of posts in the cabinet, the bunt of the Constituante in formulating the state policy, to the political intrigue played by Soekarno and the Army caused because throughout that time they were unprofitable.
Abstrak:
Dalam kontestasi perjalanan bangsa, Indonesia telah melewati masa yang panjang dan dinamis dalam ihwal politik ketatanegaraannya, mulai dari zaman kolonialisme hingga pasca-kemerdekaan. Dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus Tahun 1945 menjadi gerbang awal bagi Indonesia untuk mengatur urusan kenegaraannya secara mandiri, bebas, dan merdeka. Kendati Indonesia sudah bisa mengatur urusannya sendiri, namun bukan berarti hal tersebut bisa menghilangkan potensi-potensi konflik yang ada. Terbukti sepanjang tahun 1950 hingga tahun 1959 rentetan konflik terus terjadi, padahal pada masa tersebut dikenal sebagai masa yang cukup demokratis karena terjaminnya kebebasan berpendapat dan pemilu untuk pertama kalinya dapat dilaksanakan. Berangkat dari hal yang dimaksud, maka tujuan dalam penelitian ini menjelaskan secara runtut dan komprehensif mengenai penyebab dinamika politik ketatanegaraan Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan sejarah. Adapun teknik pengumpulan bahan yang digunakan adalah teknik studi pustaka, dengan bahan yang relevan seputar kondisi Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dinamika politik ketatanegaraan yang terjadi pada masa demokrasi parlementer disebabkan oleh berbagai macam hal, mulai dari konflik internal dari golongan Islam karena persoalan pembagian jabatan di kabinet, buntunya Konstituante dalam merumuskan dasar negara, hingga intrik politik yang dimainkan oleh Soekarno dan Angkatan Darat yang disebabkan karena sepanjang masa tersebut mereka tidak diuntungka
Relevansi Pidato Presiden pada KTT D-8 terhadap Diplomasi Indonesia dengan Palestina Perspektif Siyasah Dauliyah
Abstract: The Palestinian conflict represents a global humanitarian and justice crisis, particularly relevant to Muslim-majority countries. President Prabowo Subianto’s speech at the 2024 D-8 Summit in Cairo serves as a significant diplomatic expression of Indonesia’s support for Palestinian independence. This study aims to analyze the substance of the speech as a form of transformative diplomacy from the perspective of Siyasah Dauliyah (Islamic International Political Jurisprudence). The research employs a normative juridical method with a qualitative approach, based on library research encompassing national law, international law, and Islamic legal-political theory. The findings show that the President’s speech not only has constitutional and international legal legitimacy but also embodies the core values of Siyasah Dauliyah, including justice (‘adl), public benefit (maslahah), Islamic solidarity (ukhuwah Islamiyyah), and equality (musawah). The speech underscores Indonesia’s active diplomatic role as a moral and strategic Islamic actor that advocates not only for humanitarian sympathy but also for collective Muslim action against global injustice. Hence, the speech can be interpreted as an actualization of contemporary Islamic diplomacy that is ethical, legally valid, and strategically significant in the context of the Palestinian struggle.
Kewords: Diplomasi; Palestine; Siyasah Dauliyah
Abstrak: Konflik Palestina merupakan isu kemanusiaan global yang mendapat perhatian besar, khususnya dari negara-negara mayoritas Muslim. Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 tahun 2024 di Kairo menjadi simbol penting dari posisi diplomatik Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis substansi pidato tersebut sebagai bentuk diplomasi transformatif dalam perspektif Siyasah Dauliyah. Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif, melalui studi pustaka terhadap sumber hukum nasional, hukum internasional, dan literatur fiqih siyasah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidato Presiden tidak hanya memiliki legitimasi konstitusional dan hukum internasional, tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip utama dalam Siyasah Dauliyah seperti keadilan, kemaslahatan umat, ukhuwah Islamiyyah, dan persamaan. Pidato ini menegaskan peran aktif Indonesia sebagai aktor diplomatik Islam yang tidak hanya menyuarakan simpati, tetapi juga menyerukan tindakan kolektif umat Islam terhadap ketidakadilan global. Dengan demikian, pidato tersebut dapat dimaknai sebagai aktualisasi diplomasi Islam kontemporer yang etis, sah secara hukum, dan strategis dalam konteks perjuangan Palestina
Kata kunci: Diplomasi; Palestina; Siyasah Dauliyah.
The Impact of Contract Blending on Sharia Compliance and Social Trust in Islamic Banking: Dampak Pencampuran Akad terhadap Kepatuhan Syariah dan Kepercayaan Sosial Perbankan Syariah
Abstract: This study analyzes the implementation of Murābahah financing at BPRS Bhakti Sumekar, focusing on compliance with Sharī‘a principles, the role of social trust, and practical solutions to address observed challenges. The background of this research lies in the importance of maintaining the integrity of Sharī‘a principles in Islamic banking operations to build customer trust. The study aims to identify procedural violations, emerging risks, and strategic measures to enhance Sharī‘a compliance. A qualitative approach involving in-depth interviews and observations was employed. Data were analyzed using Social Trust Theory as the conceptual framework. The findings reveal that blending Wakālah and Murābahah contracts, although intended to expedite administrative processes, violates Fatwā DSN-MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 and undermines the bank’s credibility. Furthermore, weak post-financing monitoring triggers side-streaming risks, where customers use funds for purposes beyond the initial agreement. Transparency and education are proven to be key factors in building social trust, influencing customer loyalty and adherence to Sharī‘a principles. The study recommends the adoption of Mu‘allaq contracts for enhanced supervision, the use of digital-based technology for monitoring, and comprehensive customer education programs. Although limited to a single Islamic financial institution, these findings provide significant contributions to the development of social trust-based Sharī‘a financing practices in the Islamic banking sector.
Abstrak: Penelitian ini menganalisis implementasi pembiayaan Murābahah di BPRS Bhakti Sumekar dengan fokus pada kepatuhan terhadap prinsip syariah, peran kepercayaan sosial, dan solusi praktis untuk mengatasi tantangan yang ditemukan. Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya menjaga integritas prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah untuk membangun kepercayaan nasabah. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pelanggaran prosedural, risiko yang muncul, dan langkah strategis untuk meningkatkan kepatuhan syariah. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi. Data dianalisis menggunakan Teori Social Trust sebagai kerangka konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran akad Wakālah dan Murābahah, meskipun bertujuan mempercepat proses administrasi, melanggar Fatwa DSN-MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 dan menurunkan kredibilitas bank. Selain itu, monitoring pasca-pembiayaan yang lemah memicu risiko side-streaming, yang mana nasabah menggunakan dana untuk tujuan di luar kesepakatan awal. Transparansi dan edukasi terbukti menjadi faktor kunci dalam membangun kepercayaan sosial yang memengaruhi loyalitas nasabah dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Penelitian ini merekomendasikan penerapan akad Mu‘allaq untuk meningkatkan pengawasan, penggunaan teknologi berbasis digital untuk monitoring, dan program edukasi nasabah secara komprehensif. Meskipun penelitian ini terbatas pada satu lembaga keuangan syariah, temuan ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan praktik pembiayaan syariah berbasis kepercayaan sosial di sektor perbankan Islam
Halal Certification and Consumer Protection: Legal Review of the Marshmallow Pork-Gelatin Case: Sertifikasi Halal dan Upaya Perlindungan Konsumen: Tinjauan Hukum atas Kasus Marshmallow Berbahan Gelatin Babi
Abstrak: Artikel ini mengkaji efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dalam merespons tantangan kehalalan produk impor, khususnya kasus marshmallow yang terindikasi mengandung gelatin babi meski telah bersertifikat halal. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan metode studi kasus eksploratif dan analisis naratif-etnografis, serta menggunakan teori moral panic dan Maqāṣid Asy-Syarīʿah sebagai landasan analisis. Temuan dalam kajian artikel ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan, inkonsistensi pelabelan halal, dan lemahnya penegakan hukum, yang berkontribusi pada krisis kepercayaan konsumen Muslim. Pelanggaran terhadap prinsip hifz al-din (agama), hifz al-nafs (jiwa), dan hifz al-mal (harta) mengindikasikan bahwa isu kehalalan tidak hanya berdimensi hukum formal, tetapi juga menyentuh aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi kebijakan halal yang mencakup harmonisasi regulasi, peningkatan transparansi informasi, penguatan lembaga pengawas, serta edukasi publik secara menyeluruh sebagai bentuk perlindungan menyeluruh terhadap konsumen Muslim di tengah dinamika pasar global.
Abstract: This article examines the effectiveness of the implementation of Law No. 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantee (UU JPH) in responding to the challenges of imported product halalness, particularly the case of marshmallows that were indicated to contain pork gelatin even though they were certified halal. The research employs a legal-normative approach using exploratory case study and narrative-ethnographic analysis methods, and draws on moral panic theory and Maqāṣid Asy-Syarīʿah as analytical frameworks. The findings reveal gaps in the oversight system, inconsistencies in halal labelling, and weak enforcement of the law, which contribute to a crisis of trust among Muslim consumers. Violations of the principles of hifz al-din (religion), hifz al-nafs (soul), and hifz al-mal (property) indicate that the issue of halal is not only a formal legal matter but also touches on moral and spiritual aspects. Therefore, a reformulation of halal policies is needed, encompassing regulatory harmonization, enhanced information transparency, strengthened oversight institutions, and comprehensive public education as a form of comprehensive protection for Muslim consumers amid the dynamics of the global market
Ijtihad Maqashid Sharia in the Thought of Asy-Syatibi and Muhammad At-Tahir Ibn Ashur
The study of ijtihad in maqashid shariah within the thoughts of asy-Syatibi and Ibn Ashur contains a rational intellectual substance. However, previous studies have not fully explored asy-Syatibi and Ibn Ashur’s perspectives in elaborating the methodological foundations of maqashid shariah. This study employs a qualitative approach through a literature review on the thoughts of asy-Syatibi and Ibn Ashur regarding maqashid shariah, utilizing content analysis as its research method. The primary data is sourced from al-Muwafaqat and Maqashid al-Shariah al-Islamiyyah. Meanwhile, secondary data is derived from texts that correlate with the maqashid perspectives of both scholars. The data is then analyzed to understand the epistemological framework of asy-Syatibi and Ibn Ashur’s ijtihad. The findings of this study reveal that Asy-Syatibi argues that the implementation of shariah for mukallaf aims to achieve maslahah in relation to religious well-being and sustenance in worldly life. Asy-Syatibi mapped the core principles of the maslahah framework onto the five primary necessities (ad-dharuriyyat al-khams). Flexibility in worship is positioned as a secondary need, while the cultivation of akhlaq al-karimah serves as a complementary element in achieving the objectives of maqashid shariah. Meanwhile, Ibn Ashur’s concept of maqashid shariah distinguishes between maslahah that is general and maslahah that is specific. Maslahah ‘ammah presents a framework that categorizes needs into primary, secondary, and tertiary levels. Meanwhile, maslahah khassah focuses on specific benefits for individuals, encompassing worship (ibadah), transactions (mu‘amalat), family law, and criminal law. The concept of ibadah aims to purify both the soul and body, while mu‘amalat seeks to establish justice in individual rights within social contracts. Family law serves to protect the rights of the husband, wife, and children, whereas criminal law is designed to uphold justice. The concept of maqashid shariah proposed by asy-Syatibi and Ibn Ashur serves as a bridge and provides solutions to contemporary challenges related to modern issues and Islamic law.
Kajian ijtihad maqashid syariah dalam pemikiran asy-Syatibi dan Ibnu Asyur memuat substansi pemikiran yang rasional. Namun, penelitian terdahulu belum sepenuhnya membahas pemikiran asy-Syatibi dan Ibnu Asyur dalam mengelaborasi landasan metodologis maqashid syariah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi pustaka terkait pemikiran maqashid syariah asy-Syatibi dan Ibnu Asyur dan metode analisis konten. Data primer bersumber dari kitab al-Muwafaqat dan Maqashid Syariah al-Islamiyyah. Sedangkan data sekunder lainnya bersumber dari teks yang memiliki korelasi dalam maqashid kedua tokoh tersebut. Data kemudian dianalisis untuk memahami kerangka epistemologis dari pemikiran asy-Syatibi dan Ibnu Asyur dalam berijtihad. Hasil kajian ini menemukan bahwa asy-Syatibi berpendapat pemberian syariat kepada mukalaf bertujuan untuk mewujudkan maslahah dirinya pada kemaslahatan agama dan keberlangsungan hidupnya di dunia. Asy-Syatibi memetakan pokok pemikiran maslahahnya pada lima kebutuhan primer (ad-dharuriyyat al-khams). Keringanan dalam beribadah diposisikan sebagai kebutuhan sekunder dan tercipatnya akhlaqul-karimah sebagai penyempurna maqashid syariah. Sedangkan gagasan maqashid syariah oleh Ibnu Asyur menunjukkan adanya maslahah yang bersifat umum dan bersifat khusus. Maslahah ‘ammah menawarkan konsep kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Maslahah khassah menawarkan konsep kemaslahatan secara khusus bagi individu yang terdiri atas ibadah, muamalat, hukum keluarga, dan hukum pidana. Konsepsi ibadah bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga manusia, muamalat bertujuan untuk menciptakan keadilan pada hak-hak individu dalam kontrak sosial, hukum keluarga melindungi hak suami, istri serta anak, dan hukum pidana bertujuan untuk menegakkan keadilan. Gagasan maqashid syariah yang diutarakan oleh asy-Syatibi dan Ibnu Asyur mampu menjembatani dan menjawab tantangan zaman yang berkaitan dengan problem modern dan hukum Islam
Perlindungan Hukum dan Pencegahan Kejahatan Siber di Era Digital dalam Sistem Hukum di Indonesia
This research discusses aspects of legal protection and prevention of cybercrime in the digital era in the Indonesian legal system. The purpose of the research is to evaluate the effectiveness of criminal provisions in the Electronic Information and Transaction Law (ITE Law) and the role of the Personal Data Protection Law (PDP Law) as a preventive instrument. The research method used is a normative research model with a statutory approach to examine the text of the law and a philosophical approach to outline the urgency of legal protection related to cybercrime, as well as a conceptual approach to assess the suitability of norms against the legal objectives of justice, legal certainty, and expediency in the context of cyber resilience. The data analysis technique is carried out using a descriptive-qualitative model. The results show that the development of the digital world through technology and information has had an impact on the development of data security issues and the orderly use of internet technology. In Indonesia, the ITE Law has established various cyber offences with criminal sanctions, there are still overlapping norms, cross-border jurisdictional constraints, and still faced with limited digital forensic capacity of law enforcement officials. Meanwhile, the PDP Law provides a foundation for institutions and risk mitigation mechanisms through data protection, but has not been systemically integrated with criminal instruments. Thus, the main challenge of legal protection against cyber crime in the digital era is the synchronisation and optimisation of regulations and supporting tools in order to achieve cyber resilience and security.
Abstrak
Penelitian ini membahas aspek perlindungan hukum dan pencegahan kejahatan siber di era digital dalam sistem hukum di Indonesia. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi efektivitas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta peran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai instrumen preventif. Metode penelitian yang digunakan adalah model penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) untuk menelaah teks undang-undang dan pendekatan filosofis (philosophical approach) untuk menguraikan urgensi perlindungan hukum terkait cybercrime, serta pendekatan konseptual untuk menilai kesesuaian norma terhadap tujuan hukum keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam konteks ketahanan siber. Teknik analisis data dilakukan menggunakan model deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan dunia digital melalui teknologi dan informasi telah berdampak pada berkembangnya masalah keamanan data dan tata tertib penggunaan teknologi internet. Di Indonesia telah ada UU ITE telah menetapkan berbagai delik maya dengan sanksi pidana, masih terdapat tumpang tindih norma, kendala yurisdiksi lintas negara, dan masih dihadapkan keterbatasan kapasitas forensik digital aparat penegak hukum. Sementara itu, UU PDP memberikan landasan tentang kelembagaan dan mekanisme mitigasi risiko melalui perlindungan data, namun belum terintegrasi secara sistemik dengan instrumen pidana. Degan demikian tantangan utama perlindungan hukum terhadap kejahatan cyber di era digital adalah sinkronisasi serta optimalisasi regulasi dan perangkat pendukung yang mumpuni dalam rangka mencapai ketahanan dan keamanan cybe
Menakar Ulang Kedudukan TAP MPR dalam Konstelasi Peraturan Perundang Undangan Pasca Amandemen
The amendment of the Constitution does not only change the authority and position of the MPR in the constitutional system but also has an impact on its legal products. The placement of MPR Decree in the hierarchy of laws and regulations raises norm conflicts that lead to legal uncertainty, this research aims to examine how the ideal position of MPR Decree in the hierarchy of laws and regulations. This research uses normative juridical method with conceptual approach and statute approach. The results of the study found that there are several norm conflicts due to the inclusion of TAP MPR in the hierarchy, namely the issue of content material, the role of the consideration, the status of validity and constitutional testing which causes legal uncertaint. The author offers two alternative recommendation to the legislators. First, it is necessary to reassess to determine which provisions are still relevant to be maintained, so that a definite number is agreed upon. Then the content material is moved into the law. So that all MPR Decrees can still be used in the form of laws. Then revise the hierarchy of laws and regulations. Secondly, the lawmakers can just leave the MPR Decrees that are still recognised as MPR Decrees, with the legal status of laws and regulations. Whatever the lawmakers' choice, the MPR Decree must be removed from the hierarchy.
Amandemen Undang Undang Dasar tidak hanya mengubah wewenang dan kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan namun juga berimbas pada produk hukum nya. Penempatan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang undangan menimbulkan konflik norma yang berujung pada ketidakpastian hukum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana idealnya kedudukan TAP MPR dalam hirrarki peraturan perundang undangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan konseptual. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kajian literatur . hasil penelitian menemukan terdapat beberapa konflik norma karena masuknya TAP MPR dalam hierarki yaitu masalah materi muatan, peran konsideran, status keberlakuan dan pengujian konstitusional yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga TAP MPR harus dikeluarkan dari hierarki melalui revisi UU no.12/201