Karakterstik bahasa anak-anak down syndrome yang dimaksud dalam makalah ini
berkaitan dengan wujud bahasa pertama dan kedua yang dikuasai anak-anak down
syndorme, baik secara leksikal maupun gramatikal. Keunikan bentuk-bentuk
bahasa/pengungkapan menjadi titik tekan dalam riset ini. Penelitian ini dilakukan di
kampung idiot/kampung down syndrome Kabupaten Ponorogo yang meliputi Desa
Krebet Kecamatan Jambon, Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon, Desa Karangpatihan
Kecamatan Sidoharjo, Desa Pandak Kecamatan Balong, dan Desa Dayakan Kecamatan
Badegan. Tujuan penelitian ini adalah berusaha (1) menjelaskan karakteristik bentuk
leksikal dan gramatikal bahasa pertama anak-anak down syndrome di Kabupaten
Ponorogo; dan (2) menjelaskan kerakteristik bentuk leksikal dan gramatikal bahasa
kedua anak-anak down syndrome di Kabupaten Ponorogo. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi penyediaan data dengan metode wawancara dan angket;
analisis data dilakukan dengan metode identitas (padan) dan metode deskriptif melalui
tahap mengidentifikasi, mengklasifikasi, menginterpretasi, dan mengeksplanasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak down syndrome yang berusia 7-15
tahun, yang menjadi objek penelitian, sampai saat ini baru menguasai bahasa pertama
(bahasa ibu), yaitu bahasa Jawa ragam ngoko. Mereka tidak menguasai bahasa Jawa
ragam krama dan tidak menguasai bahasa kedua (bahasa Indonesia). Karakteristik
pemerolehan bahasa pertama berupa leksikon bentuk-bentuk unik, di antaranya
penyebutan sebuah objek dengan sebutan unik seperti pisau disebut pangot, penyebutan
benda berdasarkan bunyinya (onomatope), misalnya eong untuk menyebut kucing,
penghilangan konsonan dan vokal awal, penghilangan konsonan tengah, penggantian
konsonan dan lain-lain. Anak-anak down syndrom tidak mengenal kata depan, tidak
mengenal kata ulang, tidak mengenal kata majemuk. Konsep-konsep yang dikuasai
adalah the here and now, yakni hal yang ada di sekelilingnya dan sekarang, bukan hal
yang lampau dan imajinasi. Selain itu, anak-anak down syndrome sering melakukan
echolalia (menirukan ucapan orang lain), autoecholalia (mengulangi ucapannya
sendiri), verbal auditory agnosia atau cogenital word deafness (salah satu problem
fonologi persepsi). Sebagian informan juga mengalami gangguan bicara atau gagap dan
mutisme selektif (tidak mau berbicara dalam situasi dan tempat tertentu). Respons anak
down syndrome terhadap cerita bergambar sangat minim, yakni hanya 3 orang dari 14
informan. Tiga orang informan tersebut memberikan respons cerita bergambar dengan
satu dan dua kata saja, yang untuk anak-anak normal hal demikian biasa terjadi pada
anak usia 1 s.d. 2 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan anak
down syndrome pada usia 7-15 tahun, apabila tanpa pendampingan belajar bahasa,
sama dengan anak normal usia 1-2 tahun