3 research outputs found

    Kabuyutan Cipageran Cimahi dari Zaman ke Zaman

    Full text link
    Komunitas Kabuyutan Cipageran Cimahi layaknya “museum” hidup yang menghubungkan masa lalu dan kini. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal-usul dan eksistensi Kabuyutan Cipageran. Metode penelitian sejarah yang dimulai dari heuristik sampai dengan historiografi merupakan tahapan yang tidak mudah dilewati, mengingat keterbatasan sumber, terutama sumber tertulis. Melalui teknik pengumpulan data berupa sumber tertulis/dokumentasi, wawancara terhadap empat narasumber yakni pupuhu (tokoh), budayawan, wakil komunitas kabuyutan, dan observasi di lapangan, ditemukan bahwa Kabuyutan Cipageran diduga kuat mulai ada sejak zaman Kerajaan Sunda yang eksis antara akhir abad ke-7 sampai akhir abad ke-16. Mengacu pada perjalanan sejarahnya, Kabuyutan Cipageran merupakan salah satu bukti adanya tempat leluhur Sunda, dan replika kampung Sunda tempo dulu. Amanat leluhur Sunda yang sangat dihormati oleh generasi penerusnya, menunjukkan nilai-nilai tinggi dan strategis dalam kebudayaan, khususnya kebudayaan Sunda. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjawab asal-usul Komunitas Kabuyutan dan sebagai bahan awal yang tertulis untuk penelitian selanjutnya. Kabuyutan Cipageran Cimahi Community is like a living "museum" that connects the past and present. Therefore, this study aims to determine the origin and existence of Kabuyutan Cipageran. Historical research methods starting from heuristics to historiography are stages that are not easily passed, given the limited resources, especially written sources. From some techniques of collecting data; in the form of written or documentation sources, interviews with four speakers, pupuhu (figures), cultural observers, representatives of the Kabuyutan community, and observations in the field, it was found that Kabuyutan Cipageran was strongly suspected to have existed since the 7th century of Sunda Empire to the end of the 16th century. Referring to its historical journey, Kabuyutan Cipageran is one proof of the existence of a Sundanese ancestral place, and a replica of the old Sundanese village. The mandate of Sundanese ancestors who are highly respected by their next generation shows high and strategic values in culture, especially Sundanese culture. The results of the study are expected to be able to answer the origins of the Kabuyutan Community as well as the starting written material for further research

    Kearifan Ekologi dalam Tradisi Bubur Suro di Rancakalong Kabupaten Sumedang

    Full text link
    Tradisi Bubur Suro di Rancakalong Kabupaten Sumedang merupakan kearifan lokal sebagai wujud syukur masyarakat kepada Sang Pencipta serta memiliki fungsi dalam menjaga dan memelihara kesinambungan alam (suistainability). Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai kearifan ekologi yang terdapat dalam tradisi Bubur Suro. Masalah penelitian dirumuskan dalam dua pertanyaan penelitian yaitu: (1) Bagaimanakah proses pelaksanaan tradisi Bubur Suro? (2) Nilai-nilai kearifan ekologi apa yang terdapat dalam tradisi Bubur Suro? Metode penelitian adalah deskriftif kualitatif dengan model etnografi. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi Bubur Suro yang berhubungan dengan upaya masyarakat dalam menjaga kesinambungan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan sang pencipta. Upaya menjaga kesinambungan alam tampak dalam memelihara keanekaragaman hayati (sarebu rupa), kesinambungan (babasan sarereaeun), hidup hemat dan sederhana (konsep patih goah), hidup tertib dan teratur (tataliparanti, dawegan dipares), gotong-royong serta simbol kersa nyai sebagai bentuk perlindungan terhadap tanaman lokal. The Bubur Suro tradition in Rancakalong Sumedang is one of the local wisdoms which has a function as an expression of the gratitude of the people to the Creator for mantaining the suistainabality of the cosmos. This research's aims is to identify the values of ecological wisdom contained in Bubur Suro tradition. The problem is formulated into two research questions, namely: (1) How is the Bubur Suro tradition being perfomed? (2) What ecological wisdom values are found in it? The method used is descriptive qualitative method with ethnografic model. The results show that there are local wisdom values in the Bubur Suro tradition which was related to humans efforts to maintain the sustainability of harmonious relationship among fellow human beings, nature, and the Creator. Efforts to preserve the sustainability of nature are evident in maintaining biodiversity (sarebu form), sustainability (babasan sarereaeun), frugal and simple living (patih goah), well-ordered living (tataliparanti, dawegan dipares), mutual cooperation and the symbol of kersa nyai as a form of protection of local plants
    corecore