11 research outputs found

    Relationship between Wind and Precipitation Observed with a UHF Radar, GPS Rawinsondes and Surface Meteorological Instruments at Kototabang, West Sumatera during September-October 1998

    Get PDF
    Simultaneous observations with a UHF-band boundary layer radar (hereafter referred as BLR), GPS rawinsondes and a tipping-bucket-type rain gauge were conducted at Kototabang (0.20 S, 100.32 E, 865 m MSL), which is located on the mountainous region near Bukittinggi, West Sumatera Province, during 27 Septemberā€“7 October 1998 (rainy season). Low-level (1ā€“3 km) westerly wind stronger than 10 m/s was observed, and precipitation tended to occur when the low-level westerly wind became weak (2ā€“5 October). Similar relationship was observed for two months (1 Septemberā€“31 October 1998) during which only BLR and surface meteorological instruments were operated at Kototabang. NCEP/NCAR objective analysis, and GMS TBB data showed that the low-level (850 hPa) wind field, and cloud distribution, were both completely different between the Indonesian Archipelago (east of Kototabang) and the eastern Indian Oceanā€”including the Bay of Bengal (west of Kototabang)ā€”during the analysis period. Two large-scale cloud disturbances existed along the equator in the western side (80 ā€“100 E), but precipitation at Kototabang did not correspond to these cloud disturbances. The implication is that effects of the mountain range of Sumatera blocked the large-scale cloud disturbances over the Indian Ocean. The precipitation by local-scale cloud systems prevailed at Kototabang. The convergences of local circulations, which are generally dominant under weak background winds, are considered as the major cause of local-scale cloud systems

    ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER DI BAGIAN UTARA EKUATOR SUMATERA PADA SAAT PERISTIWA EL-NINO DAN DIPOLE MODE POSITIF TERJADI BERSAMAAN

    Get PDF
    Analisa kondisi curah hujan yang tetap normal atau atas normal di bagian utara Sumatera pada periode bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) pada saat peristiwa El Nino dan Dipole Mode Positif terjadi secara bersaman (simultan) telah dilakukan dengan menggunakan parameter Air Mampu Curah (Precipitable Water, PW), tutupan awan, dan radiasi gelombang panjang (OLR). Sirkulasi atmosfer Timur ā€“ Barat dan Utara ā€“ Selatan yang merupakan wahana transportasi masa uap air menuju bagian utara Sumatera telah digambarkan dalam bentuk peta sirkulasi Zonal dan peta sirkulasi Meridional. Pada saat kejadian Dipole Mode (DM) positif dan terjadi El Nino akan menyebabkan bergesernya sistem sirkulasi zonal yang menjauhi wilayah Indonesia ke arah Samudera Pasifik bagian tengah karena pengaruh El Nino dan ke arah barat Samudera India karena pengaruh DM positif. Proses dinamika aliran massa uap air ini mengalami anomali mengakibatkan penurunan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan ekuator. Namun pada empat lokasi penelitian, di bagian utara Sumatera (Aceh ā€“ Medan ā€“ Lhokseumawe ā€“ Meulaboh), selama periode JJA saat terjadinya DM positif dan tahun El Nino (1963, 1973, 1982 dan 1997) sifat curah hujannya lebih tinggi dari keadaan rata-ratanya. Hal ini disebabkan masih adanya ketersediaan uap air di sekitar wilayah penelitian yang teridentifikasi antara lain; dari parameter OLR, Air Mampu Curah (Precipitable water) dan tutupan awan serta adanya mekanisme transfer masa uap air tersebut ke arah bagian utara Sumatera yang diidentifikasikan sebagai angin Monsun India. Analisis lebih rinci dari data curah hujan rata-rata bulanan di atas menunjukkan bahwa sifat hujan di Medan dan Lhokseumawe tidak signifikan bila dibandingkan dengan Aceh dan Meulaboh. Hal ini disebabkan faktor lokal seperti posisi geografi dan sirkulasi lokal berperan penting dalam proses pengangkatan massa udara/konveksi dan berfungsi dalam mekanisme pembentukan hujan di daerah tropis. Posisi geografis Medan dan Lhokseumawe yang berada di balik pegunungan Bukit Barisan menjadi daerah belakang angin selama periode Juni-Juli-Agustus (JJA), sehingga tinggi/besarnya curah hujan dari normalnya tidak signifikan. Sementara Aceh dan Meulaboh yang berada di muka pegunungan Bukit Barisan menjadi daerah hadap angin pada periode tersebut dan sifat hujan atas normalnya signifikan. Kata kunci: ENSO, India Ocean Dipole Mode (IODM), Sirkulasi Walker, Sirkulasi Hadley, PW, Tutupan Awan

    PROSES METEOROLOGIS BENCANA BANJIR DI INDONESIA

    No full text
    Bencana banjir harus diatasi dari segala aspek. Awan konvektif jenis cumulonimbus dapat menyebabkan bencana banjir lokal. Sistem cuaca skala meso seperti zona konvergensi intertropis (ZKI) dan siklon tropis dapat menyebabkan bencana banjir skala luas. Pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF) zona konvergensi intertropis berada di atas wilayah Indonesia belahan bumi selatan. Siklon tropis yang bergerak dekat dengan perairan Indonesia mampu meningkatkan intensitas bencana banjir. Baik hujan konveksional, hujan konvergensi, maupun hujan siklon tropis, ketiganya diakibatkan oleh sel tekanan udara rendah pada pusat konveksi, zona konvergensi intertropis dan mata siklon tropis. Hujan konveksional terjadi setelah insolasi maksimum. Sebagai wilayah monsun, Indonesia mengalami hujan lebat terutama pada musim panas dan gugur belahan bumi. Efek orografik di daerah monsun juga dapat meningkatkan jumlah curah hujan pada lereng di atas angin. Ā  Flood disaster must be overcomed from the whole aspects. Convective clouds of cumulonimbus type cause local flood disaster, while meso ā€“ scale weather system, such as intertropical convergence zone (ICZ), and tropical cyclone result in large scale flood disaster. In the months of December, January, February, the intertropical convergence zone lies over the southern hemisphere Indonesian region. Track of tropical cyclone near the Indonesian waters is able to increase the intensity of flood disaster. Either convectional or convergence rainfall as well as tropical cyclone rainfall, the three of them in consequence of the low air pressure at the convection center, the intertropical convergence zone and the tropical cyclone eye. Convectional rainfall occures after the maximum insolation. As a monsoon region, Indonesia suffer heavy rainfall especially in hemisphere summer and autumn. Orographic effect in monsoonal region can also increase the amount of rainfall in the windward slope

    DAMPAK VARIASI TEMPERATUR SAMUDERA PASIFIK DAN HINDIA EKUATORIAL TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

    Get PDF
    Monsun menyebabkan variasi iklim musiman, sedangkan fenomena alam lain seperti El Nino, La Nina, Osilasi Selatan dan Dipol Osean Hindia menyebabkan variasi iklim nonā€“musiman. Wilayah Indonesia dipengaruhi oleh rezim sirkulasi ekuatorial dan monsunal dengan karakter yang berbeda. Rasio antara jumlah curah hujan dalam monsun Asia (DJF) dan dalam monsun Australia (JJA) lebih besar untuk tipe hujan monsunal dari pada untuk tipe hujan ekuatorial. Pengaruh fenomena El Nino dan IOD(+) adalah penurunan jumlah curah hujan, sehingga masa tanam lebih pendek. Sebaliknya La Nina dan IOD (ā€“) menyebabkan peningkatan jumlah curah hujan dengan demikian masa tanam lebih lama. Frekuensi kejadian El Nino, La Nina di Samudera Pasifik Ekuatorial dan Dipol Osean Hindia Ekuatorial kurang sering dibandingkan kondisi normalnya. Kata kunci : Curah hujan, SST, El Nino, La Nina, Osilasi Selatan, Dipol Osean Hindia

    Variabilitas Angin Berdasarkan Pengamatan Radar Boundary Layer 1357.5 Mhz Di Serpong

    No full text
    Analisa spektral data angin hasil pengamatan Boundary Layer Radar di Serpong menunjukkan adanya variasi harian, empat harian, 30 - 60 harian dan tahunan. Variasi harian berkaitan dengan adanya sirkulasi darat-laut, variasi 4 (empat) harian berkaitan dengan gangguan gelombang Rossby -gravity, variasi 30 - 60 harian berkaitan dengan gelombang Kelvin dan variasi tahunan berkaitan dengan pergantian antara angin musim samudera Hindia dan angin pasat samudera Pasifik.Hlm. 44-5
    corecore