19 research outputs found
Kikuchi-Fujimoto Disease
Kikuchi-Fujintoto disease (KFD) was first reported by 2 Japanese pathologists, Kikuchi and Fujimoto, independently in 1972. KFD is an idiopathic, self-limited necrotizing lymphadenitis. The most common clinical manifestation is cervical lymphadenopathy accompanied by fever, myalgia, leukopenia, and skin rash. The purpose of this paper is to report the first case of Kikuchi-Fujimoto disease in a twelve year old girl in Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital. Jakarta. (Med J Indones 2005; 14: 107-12)
Keywords : Cervical limphadenopathy, self-limited necrotizing lymphadeniti
Pengetahuan Orangtua Mengenai Obat Puyer di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Latar belakang. Obat puyer telah lazim diterima oleh masyarakat, hal ini tidak terlepas dari kebiasaan dokter yang sering meresepkannya. Peresepan obat puyer mulai banyak dikritisi, bahkan menjadi topik menarik saat diseminarkan. Dalam era evidence based medicine (EBM) saat ini, peresepan obat puyer perlu dikaji kembali sehingga sesuai dengan kaidah praktik peresepan dan pembuatan obat yang baik.
Tujuan. Mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua yang datang ke Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM mengenai peresepan obat puyer.
Metode. Desain studi deskriptif cross sectional, pengambilan sampel secara konsekutif dilakukan selama bulan Juni 2008, dengan menggunakan kuesioner sederhana yang berisi 10 pertanyaan. Subjek penelitian adalah orangtua pasien yang datang pada periode penelitian dan bersedia mengisi kuesioner penelitian.
Hasil. Dari 119 responden, 111 responden (93,3%) diantaranya pernah mendapatkan obat puyer. Sebaran umur, pendidikan, dan pekerjaan responden, berturut-turut didapatkan responden berusia >30-40 tahun (57,1%), pendidikan kategori sedang (59,7%), dan mempunyai status bekerja (65,5%). Sebaran responden lebih banyak pada umur anak antara 1-5 tahun (47,1%), jumlah anak 1-3 orang (85,0%), jumlah obat dalam satu puyer lebih dari satu macam (64,9%), dan obat diperoleh di apotik (59,5%). Responden yang tidak menyukai obat puyer (58,6%), terutama responden, berturut-turut (57,7%), (56,8%), dan (62,2%) menyatakan harga obat, kemanjuran, dan ketepatan dosis obat puyer sama saja dengan obat sirup.
Kesimpulan. Hampir semua responden pernah mendapatkan obat puyer. Responden lebih banyak yang menyatakan tidak menyukai obat puyer, serta menilai harga, kemanjuran dan ketepatan dosis obat puyer sama saja dengan obat sirup
Factors Influencing Obesity on School-Aged Children
School-aged children of 6-12 year old in big cities have less physical activities and relax life style. Fast food and soft drink consumed contain high calorie and protein of protein and carbohydrate sources. Obesity has impact on children’s growth and development especially on psychosocial aspect. The factors that play a role in supporting the obesity occurrence in children include socio-economic condition, behavior and life style and diet. A cross sectional descriptive –analytic study was conducted on elementary school students in Jakarta, to identify factors that play roles on obesity of school-aged children. (Med J Indones 2006; 15:43-54)
Keywords: childhood obesity, weight shape index, body mass inde
Kebiasaan Sarapan di Kalangan Anak Usia Sekolah Dasar di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Latar belakang. Sarapan yang tidak memadai dapat menjadi faktor yang berpengaruh pada ketidakcukupan gizi. Hasil penelitian menunjukkan sarapan memiliki dampak positif terhadap kewaspadaan, kemampuan kognitif, kualitas belajar, performa akademik, juga status nutrisi. Di Indonesia belum banyak data atau laporan mengenai pola kebiasaan sarapan di kalangan anak dan remaja usia sekolah.
Tujuan. Mengetahui pola kebiasaan sarapan di kalangan anak usia sekolah dasar.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong lintang di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM periode tanggal 18- 29 Mei 2009 pada anak usia sekolah dasar beserta orangtuanya. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif melalui kuesioner. Data diolah dengan SPSS 17.0.
Hasil. Dari 58 subjek penelitian, 91,4% orangtua menganggap sarapan penting. Proporsi anak yang memiliki kebiasaan sarapan setiap hari 77,6%, sedangkan yang memiliki kebiasaan tidak sarapan sebesar 22,4%. Alasan yang melatar-belakangi kebiasaan sarapan sebagian besar adalah keinginan untuk membantu kecerdasan anak (77,2%) sedangkan alasan tidak sarapan sebagian besar (52,4%) adalah faktor selera makan anak (anak tidak mau makan). Pola menu sarapan pada subjek penelitian terutama adalah nasi dan lauk-pauk (52,6%).
Kesimpulan. Sebagian besar orangtua menganggap sarapan penting. Proporsi anak yang biasa sarapan lebih dari tiga kali dibanding yang tidak. Kebiasaan sarapan sebagian besar adalah untuk membantu kecerdasan anak sedangkan alasan tidak sarapan sebagian besar karena anak tidak mau makan. Pola menu sarapan terutama adalah nasi dan lauk-pauk, dan secara keseluruhan adalah makanan yang kaya karbohidrat
Gambaran Persepsi Orang Tua tentang Penggunaan Antipiretik sebagai Obat Demam
Latar belakang. Pemberian antipiretik pada anak dengan demam, sering dilakukan
sendiri oleh orang tuanya. Walaupun masih ada yang memberikannya dengan indikasi
dan cara yang kurang tepat. Semua jenis antipiretik mempunyai efek samping oleh sebab
itu, perlu diberikan informasi yang jelas tentang cara penggunaannya pada mereka.
Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
persepsi orang tua pasien tentang penggunaan antipiretik.
Metoda. Penelitian deskriptif ini dengan desain cross sectional yang dilakukan pada
orang tua pasien yang datang ke Poliklinik Umum Ilmu Kesehatan Anak, RS.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta pada Desember 2005.
Hasil. Pada penelitian ini ditemukan bahwa indikasi pemberian antipiretik cenderung
berlebihan bahkan diberikan pada suhu tubuh yang masih normal. Antipiretik yang
sering digunakan adalah asetaminofen. Sumber informasi penggunaan antipiretik
terbanyak dari dokter.
Kesimpulan dan saran. Frekuensi penggunaan antipiretik sudah benar, tetapi dosis
tidak tepat karena tidak menggunakan sendok takar yang dianjurkan. Antipiretik yang
sering digunakan adalah asetaminofen karena mudah didapat dan harga murah.
Penggunaan antipiretik terutama didapat dari informasi tenaga medis (88,3%) maka
diharapkan tenaga medis yang memberikan pelayanan primer memberikan informasi
dengan tepat
Kesulitan Makan pada Pasien: Survei di Unit Pediatri Rawat Jalan
Latar belakang. Masalah kesulitan makan pada anak sangat sering dihadapi baik oleh para orangtua maupun dokter atau petugas kesehatan yang lain, namun data mengenai kesulitan makan pada anak yang berobat di unit rawat jalan belum banyak diketahui.
Tujuan. Mengetahui prevalensi kesulitan makan berdasarkan kelompok usia, keluhan kesulitan makan, karakteristik anak, gejala klinis esofagitis refluks pada kesulitan makan, dan hubungan beberapa variabel ibu dan anak dengan kesulitan makan.
Metode. Penelitian cross-sectional dilakukan pada semua pasien yang datang ke Unit Pediatri Rawat Jalan antara bulan November 2007-Januari 2008. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan fisik. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Pengolahan data dengan program SPSS versi 13.
Hasil. Kelompok usia terbanyak mengalami kesulitan makan adalah usia 1 sampai 5 tahun (58%), dengan jenis kelamin terbanyak laki-laki (54%). Empat puluh tiga persen subjek memiliki status gizi kurang. Kesulitan makan didapatkan pada 50 orang dari 109 orang subjek (45,9%). Gejala klinis esofagitis refluks ditemukan dalam jumlah yang sama (45,9%). Keluhan berupa menghabiskan makanan kurang dari sepertiga porsi (27,5%), menolak makan (24,8%) dan anak rewel, merasa tidak senang atau marah (22,9%), hanya menyukai satu jenis makanan (7,3%) hanya mau minum susu (18,3%), memerlukan waktu >1 jam untuk makan (19,3%) dan mengemut (15,6%). Keluhan 72% telah dialami lebih dari 6 bulan , 50% memiliki keluhan gangguan kenaikan berat badan, 22% rewel, 12% nyeri epigastrium, 10% back arching, dan 6% nyeri menelan serta sering muntah.
Kesimpulan Anak dengan kesulitan makan terbanyak kelompok usia 1-5 tahun dan lebih sering pada anak laki-laki. Gejala kesulitan makan berturut-turut menghabiskan makanan kurang dari sepertiga porsi, menolak bila diberi makan, rewel, merasa tidak senang atau marah selama proses makan, memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk makan, hanya mau minum susu, dan mengemut. Pasien yang mengalami esofagitis refluks gejala klinisnya gangguan kenaikan berat badan disusul oleh rewel/iritabel, nyeri epigastrium, back arching, nyeri menelan, dan muntah
Profil Status Imunisasi Dasar Balita di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
Latar belakang. Vaksinasi merupakan salah satu upaya kesehatan masyarakat yang paling efektif. Di
Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo
(IKA RSCM), masih ditemukan pasien dengan imunisasi dasarnya tidak lengkap.
Tujuan Penelitian. Mengetahui status imunisasi dasar, penyebab imunisasi tidak lengkap, serta cakupan
imunisasi.
Metode. Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan studi seksi silang dilakukan di Poliklinik Umum
Departemen IKA RSCM selama kurun waktu 8 minggu (Mei-Juli 2006) pada semua pasien anak balita.
Sampel diambil secara consecutive sampling. Data penelitian dikumpulkan dan diolah dengan program Excell.
Hasil. Persentase cakupan imunisasi pada 84 anak yang diteliti untuk masing-masing jenis vaksin adalah BCG
97,6%, DPT1 97,6%, DPT 2 90,5%, DPT3 78,6%, polio 1 100%, polio 2 97,6%, polio 3 92,9%, polio 4
90,5 %, hepatitis B 1 95,2%, hepatitis B2 88,1% ,hepatitis B3 78,6% dan campak 76,2%. Alasan orang tua
tersering untuk tidak melengkapi imunisasi anaknya adalah anak sering sakit (20 orang), ibu cemas/takut (4
orang), tidak tahu (2 orang), sibuk (2 orang), lupa (2 orang), sering pindah rumah (2 orang).
Kesimpulan. Status imunisasi dasar lengkap 66,7% diantara 84 pasien anak balita di Poliklinik Umum
IKA-RSCM pada bulan Mei-Juli 2006. Cakupan jenis imunisasi yang masih di bawah 90% adalah campak,
Hepatitis B 3, DPT 3, dan Hepatitis B 2. Alasan orang tua tersering untuk tidak melengkapi imunisasi
adalah anak sering sakit. Tempat imunisasi dan tenaga medis yang paling banyak dipilih adalah praktek
bidan dan Puskesmas (perawat
Kepatuhan Berobat dengan Antibiotik Jangka Pendek di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Latar belakang. Kepatuhan berobat (compliance) merupakan masalah kompleks dan multifaktor yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan. Sedangkan dampak dari ketidakpatuhan berobat (non-compliance) pada seseorang dapat mengakibatkan kesalahan dalam menilai efektivitas obat, uji diagnostik, perubahan atau penggantian obat, dan perawatan di rumah sakit yang sebenarnya tidak diperlukan.
Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien rawat jalan dalam kepatuhan menjalankan pengobatan antibiotik jangka pendek.
Metode. Studi analitik deskriptif secara potong lintang, dilakukan di Poliklinik Umum Departemen IKA RSCM selama 12 minggu (Februari-April 2008) pada semua orangtua/wali pasien berusia 1 bulan-18 tahun yang mendapat pengobatan antibiotik jangka pendek. Sampel diambil secara consecutive sampling, data diolah dengan program SPSS ver 12 for windows.
Hasil. Delapan puluh dua subjek ikut serta dalam penelitian. Angka kejadian kepatuhan berobat (compliance) dalam melaksanakan pengobatan antibiotik jangka pendek 75,6%. Terdapat korelasi kuat antara ”lupa” (adjusted OR 0,086, IK 95%; 0,019-0,378, p=0,001) dan ”sibuk” (adjusted OR 0,023, IK 95%; 0,003-0,153, p=0,000) dengan ketidakpatuhan berobat seseorang.
Kesimpulan. Angka kejadian kepatuhan berobat dalam melaksanakan pengobatan antibiotik jangka pendek di Poliklinik Umum IKA RSCM adalah 75,6%. Lupa dan sibuk merupakan dua faktor yang sangat mempengaruhi kepatuhan berobat pasien
Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu pada Bayi yang Berkunjung ke Unit Pediatri Rawat Jalan
Latar belakang. Makanan pendamping (MP) ASI harus diberikan mulai usia 6 bulan
karena mulai usia ini bayi sangat rentan untuk terjadi malnutrisi. Namun, pemberian
MP-ASI terlalu dini mempunyai dampak yang kurang baik pada bayi.
Tujuan. Untuk mengetahui pengetahuan orangtua mengenai MP-ASI tentang usia
pemberian, alasan ibu memberikannya jenis MP-ASI dan cakupan pemberian ASI
eksklusif.
Metoda. Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang, dilakukan pada orang tua
pasien yang membawa anaknya berusia 1-12 bulan, yang sudah diberikan makanan
pendamping untuk berobat di Pediatri Rawat Jalan, RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta.
Hasil. Responden perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, usia berkisar 17-38 tahun,
pendidikan mulai SD sampai perguruan tinggi. Memberikan MP-ASI <4 bulan pada
12 responden (12,63 %), 4-6 bulan 80 responden (84,21 %) dan 3 responden memberikan
pada usia >6 bulan (3,6 %). Jenis MP-ASI berupa air tajin, bubur susu, buah-buahan
dan biskuit. Jumlah bayi yang mendapat susu formula 9 (9,47 %).
Kesimpulan. Delapan puluh empat persen orang tua memberikan MP-ASI pada usia
bayi sesuai anjuran WHO yaitu usia 4-6 bulan. Makanan pendamping ASI yang diberikan
pada anak yang termuda adalah air tajin dan air kaldu ceker ayam. Cakupan pemberian
ASI eksklusif 6,3 %, sedangkan jumlah bayi yang hanya diberi susu formula 9,47 %
Tingkat Depresi Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dan Faktor-Faktor Terkait
Latar belakang.Program pendidikan dokter spesialis seringkali menimbulkan stres pada kehidupan personal
maupun profesional seorang residen. Residen diharapkan mampu memenuhi tuntutan klinis, akademis,
fisis, dan sosial, sementara bekerja hingga 80 jam per minggu. Kondisi ini sangat berhubungan erat dengan
ketidakpuasan terhadap program studi dan rumah sakit. Stres dapat menyebabkan seorang dokter tidak
mampu bertanggungjawab secara penuh terhadap diri dan pekerjaannya.
Tujuan.Mengetahui prevalens depresi, hubungannya dengan berbagai faktor sosiodemografis serta aspek
lingkungan, dan cara mengatasinya.
Metode.Studi potong-lintang, deskriptif-analitik dengan teknik total samplingterhadap seluruh residen
yang masih terdaftar dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak (PPDS IKA) pada
periode Agustus-September 2010. Kuesioner Major Depression Inventory(ICD-10) dari WHO disebarkan
untuk mengetahui derajat depresi yang dialami dalam dua minggu terakhir.
Hasil.Angka kejadian depresi berdasarkan kuesioner MDI, 28 (23,9%), 15 di antaranya mengalami depresi
ringan, 10 mengalami depresi sedang, dan 3 mengalami depresi berat, tidak banyak berbeda dengan angka
kejadian depresi yang dirasakan oleh subjek secara subjektif (n=31, 26,5%). Sebagian besar (59%) pernah
mengalami depresi lebih dari satu kali.
Kesimpulan. Angka kejadian depresi pada peserta PPDS IKA berdasarkan kuesioner MDI, 28 (23,9%).
Tidak didapatkan faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan terjadinya depresi. Upaya untuk mengatasi
depresi dengan berdoa, menghabiskan waktu atau bercerita pada teman dan keluarga tentang masalah yang
dialami