14 research outputs found

    Optimasi Penempatan Lokasi Potensial Menara Baru Bersama pada Sistem Telekomunikasi Seluler dengan Menggunakan Fuzzy Clustering di Daerah Sidoarjo

    Full text link
    Mengikuti perkembangan jumlah pelanggan seluler yang semakin pesat, para operator terus berusaha membangun infrastruktur agar layanan dan kualitasnya semakin meningkat. Salah satu infrastruktur penyelenggaraan yang terus menerus dibangun adalah Base Transceiver Station. Namun, pembangunan BTS tersebut harus mempertimbangkan estetika dan kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tugas akhir ini bertujuan untuk menerapkan metode Fuzzy Clustering dan Harmony Search untuk mengoptimalkan penempatan lokasi potensial menara baru sehingga diperoleh solusi yang optimal. Selain RTRW, titik potensial juga dapat ditentukan dengan menggunakan titik pusat cluster melalui metode Fuzzy C-Means. Setelah itu titik menara baru dapat dioptimasi dengan menggunakan metode Harmony Search dengan meminimalkan fungsi path loss. Hasil optimasi menunjukan bahwa untuk layanan 2G membutuhkan penambahan BTS sebanyak 343 BTS yang mampu melayani kebutuhan trafik sebesar 42230 Erlang, sedangkan untuk layanan 3G membutuhkan penambahan BTS sebanyak 278 BTS yang mampu melayani Offered Bit Quantity (OBQ) sebesar 1160857 Kbps dengan total luas coverage BTS nya sebesar 60.798 km2. namun dari segi jumlah menaranya tidak terjadi penambahan pada kedua jenis layanan ini. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengefisienkan penggunaan menara eksisting. Dengan menggunakan metode Fuzzy Subtractive Clustering diperoleh 3 (tiga) jumlah cluster yang optimal di setiap kecamatan

    Sistem Pendukung Keputusan Perencanaan Penempatan Lokasi Potensial Menara Baru Bersama Telekomunikasi Seluler di Daerah Sidoarjo Menggunakan Metode Simple Additive Weighting (SAW)

    Full text link
    Perkembangan teknologi mengalami peningkatan yang pesat khususnya telekomunikasi misalnya pada teknologi GSM. Semakin berkembangnya teknologi maka semakin banyak juga pengguna sehingga operator akan menambah antena dan kemudian menambah menara untuk menyokong penambahan antena. Banyaknya menara telekomunikasi akan menimbulkan efek yang tidak baik. Oleh karena itu dikeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Telekomunikasi Bersama dimana dengan satu menara telekomunikasi harus diisi lebih dari satu operator. Melalui implementasi metode Simple Additive Weighting dapat ditentukan prioritas lokasi potensial untuk membangun menara baru berbasis website yang dapat melihat lokasi penempatan BTS eksisting ataupun menara baru dengan google Maps ataupun image yang telah diolah dari Mapinfo. Hasil yang didapatkan untuk tahun 2014 di Kabupaten Sidoarjo terdapat 469 BTS eksisting yang ditopang oleh 389 menara eksisting. Total jumlah kebutuhan untuk tahun 2019 adalah 774 BTS dan 496 menara. Dengan demikian perlu dilakukan penambahan 305 BTS dan 105 menara bersama yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo

    Optimasi Peletakan Base Transceiver Station di Kabupaten Mojokerto Menggunakan Algoritma Differential Evolution

    Full text link
    Salah satu aspek penting dalam perencanaan infrastruktur jaringan seluler adalah Base Transceiver Station (BTS) yang merupakan sebuah pemancar dan penerima sinyal telephone seluler. Di satu sisi, peningkatan jumlah menara memang akan mendukung tercapainya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap layanan telekomunikasi. Namun di sisi lain, penempatan menara yang tanpa perencanaan serta koordinasi yang tepat akan menimbulkan jumlah menara yang berlebih sehingga dapat mengganggu estetika lingkungan, tata ruang suatu wilayah, dan radiasi gelombang radio yang tidak terkontrol sehingga sangat mengganggu. Berdasarkan permasalahan diatas, maka dapat diselesaikan dengan cara menyusun suatu master plan yang lengkap dan rinci tentang penataan lokasi menara di Kabupaten Mojokerto untuk lima tahun mendatang. Penataan lokasi menara dilakukan dengan menggunakan algoritma Differential Evolution (DE) untuk menemukan solusi penataan menara yang baik berdasarkan luas cakupan area sel yang dihasilkan, kemudian menggunakan software MapInfo sebagai media visualisasi peta lokasi penempatan menara telekomunikasi. Dalam perancangan menara BTS tahun 2019, Kabupaten Mojokerto membutuhkan 106 menara BTS 2G dan 36 menara BTS 3G. Penempatan menara BTS 2G dan 3G menggunakan algoritma differential evolution mampu mengoptimalkan 2,94% dari luas wilayah Kabupaten Mojokert

    Perencanaan Jumlah dan Lokasi Menara Base Transceiver Station (BTS) Baru pada Telekomunikasi Seluler di Kabupaten Lumajang Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process-TOPSIS (AHP-TOPSIS)

    Full text link
    Lahirnya teknologi baru seperti 4G LTE mendorong para operator untuk membangun infrastrur baru seperti menara BTS dalam rangka menghadapi persaingan antar operator. Dalam pembangunan menara BTS, sangat dibutuhkan suatu perencanaan yang sistematis untuk menentukan jumlah dan posisi menara BTS yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam perencanaan BTS, langkah yang wajib dilakukan adalah memprediksi kebutuhan BTS di tahun 2019. Menara BTS yang dibutuhkan didapat dengan menghitung selisih antara jumlah BTS tahun 2019 dan jumlah BTS tahun 2014 kemudian hasilnya dibagi 4 (diasumsikan satu menara BTS terdiri dari 4 BTS). Setelah diketahui jumlah kebutuhan menara BTS pada tahun 2019, selanjutnya penulis melakukan penyebaran menara tersebut ke seluruh penjuru kabupaten Lumajang. setelah itu penulis melakukan pembobotan pada tiap zona menara untuk mengetahui peringkat zona terbaik. Zona-zona dengan peringkat terbaik dianggap sebagai titik strategis untuk didirikan perangkat BTS 4G LTE. Metode yang digunakan dalam pembobotan adalah metode AHP-TOPSIS. Metode ini merupakan kombinasi dari metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Techique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS). Metode AHP berfungsi untuk mengetahui nilai prioritas tiap sub-kriteria yang digunakan sedangkan TOPSIS berfungsi untuk mencari nilai tiap zona berdasarkan input dari AHP sehingga diketahui zona prioritas

    Kinerja Sistem Komunikasi Satelit Ka-band Menggunakan Site Diversity Di Daerah Tropis

    Full text link
    Frekuensi Ka-band yang dapat digunakan pada sistem komunikasi satelit adalah sebesar 20 GHz (Downlink) dan 30 GHz (Uplink). Namun, pada kondisi daerah tropis dimana intensitas curah hujan yang cukup tinggi dapat menyebabkan kondisi sistem komunikasi satelit akan teredam di sisi penerima. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghindari dampak adanya redaman hujan adalah dengan metode site diversity. Metode site diversity adalah metode dengan proses transmisi dari satelit ka-band ke lebih dari satu lokasi stasiun bumi. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai signal to noise ratio (SNR). Penerapan metode site diversity pada sistem komunikasi satelit ka-band mengakibatkan adanya peningkatan kinerja sistem komunikasi bila dibandingkan dengan sistem komunikasi tanpa site diversity. Hal tersebut dapat dilihat pada probabilitas 0,1% nilai SNR pada link perak dengan kondisi downlink dan uplink sebesar -4,349 dB dan 0,09804 dB, sedangkan dengan menggunakan teknik selection combining menghasilkan nilai SNR kondisi downlink dan uplink sebesar 10,31 dB dan 25,15 dB

    Kinerja Sistem Komunikasi FSO (Free Space Optics) Menggunakan Cell-site Diversity Di Daerah Tropis

    Full text link
    Kebutuhan masyarakat akan adanya layanan komunikasi multimedia seperti video conference, high speed internet, video streaming, dan lain sebagainya, saat ini terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perlu adanya suatu sistem komunikasi nirkabel dengan kecepatan tinggi. Salah satunya yaitu dengan menggunakan FSO (Free Space Optics). FSO merupakan sistem komunikasi yang memungkinkan memiliki koneksi layaknya serat optik, namun media transmisi yang digunakan yaitu melalui atmosfer. Penggunaan FSO di daerah tropis memiliki kendala yang cukup serius yaitu tingginya intensitas curah hujan yang dapat mempengaruhi kinerja dari FSO. Semakin tinggi intensitas curah hujan, maka nilai redaman hujan juga semakin besar. Untuk mengatasi dampak redaman hujan tersebut, maka digunakan teknik cell-site diversity dengan selection combining. Penerapan teknik cell-site diversity pada sistem komunikasi FSO menggunakan variasi panjang lintasan 0,5 km, 1 km, 1,5 km, dan 2 km serta variasi sudut antar link sebesar 45°, 90°, 135°, dan 180°. Hasil dari penerapan teknik cell-site diversity menunjukkan bahwa adanya peningkatan kualitas sinyal FSO, dalam hal ini yaitu nilai SNR. Peningkatan nilai SNR terbesar didapatkan pada panjang lintasan 2 km dengan sudut antar link 180° serta pada link availability 99,9 %. Untuk konfigurasi cell-site diversity terbaik didapatkan pada sudut antar link sebesar 90° dan 180°

    Spatial Correlation of Radio Waves for Multi-Antenna Applications in Indoor Multipath Environments

    Full text link
    This paper presents the results of a concerted effort in characterizing the spatial correlation of radio waves detected by a multi-element antenna system in indoor environments. The number of arriving paths and their directions are first studied through a series of measurements. The results are then used in a simulation to obtain spatial correlation indoors. It is found that generally an antenna array positioned near the center of the room will experience more rapidly decreasing correlation with spacing, which is a desired trait. In addition, a linear array oriented perpendicular to the length of the room in general shows better characteristics in terms of faster slope of correlation compared to the one in parallel with the length of the room. The average correlation indoors is also found to be similar to the correlation function arising from the two-dimensional circularly distributed random scatterers proposed by Clarke. For practical implementation of antenna arrays in small terminals for indoor wireless applications, it is suggested that the inter-element spacing be made 0.3? in the least

    Pemodelan Varima Dengan Efek Deteksi Outlier Terhadap Data Curah Hujan

    Full text link
    Makalah ini menyampaikan hasil pemodelan VARIMA (Vektor Autoregressive Integrated Moving Average)dengan efek deteksi outlier terhadap data curah hujan di Surabaya. Pemodelan ini menggunakan program SASdan minitab. Tahap awal dari pemodelan ARIMA adalah identifikasi stasioneritas data, baik dalam mean danvarians. Identifikasi bentuk ACF dan PACF dari data yang sudah stasioner digunakan untuk menentukan ordemodel VARIMA dugaan. Tahapan selanjutnya adalah estimasi parameter dengan MLE (Maximum LikehoodEstimation) dan cek Approx. Pr.>⎢t⎥ harus lebih kecil dari 0,05. Jika hasil Approx. Pr.>⎢t⎥ lebih besar dari 0,05maka orde dari model yang diduga tidak signifikan. Sehingga, langkah selanjutnya yang dilakukan adalahmengeliminasi orde tersebut dari model ARIMA dugaan. Pada bagian akhir dari hasil ditunjukkan rangkumandari deteki outlier dan jenisnya. Hasil penelitian menunjukkan Dengan program SAS dapat ditentukan secaraotomatis jumlah outlier yang terjadi, sehingga menghindari terjadinya ‘spurious outlier’. Untuk jarak antarraingaguge > 1 Km maka data curah hujan diantara 2 raingaguge tidak saling berpengaruh, sebaliknya jikajaraknya < 1 Km maka hasil perekaman data curah hujan saling mempengaruhi. Hal ini bisa terjadi karena selhujan yang terjadi mempunyai radius sekitar 1 Km. Artinya diameter sel hujan yang terjadi < 1 Km, sehinggajika jarak pengukuran > 1 Km maka alat ukur (raingauge) yang kedua berada pada sel hujan yang berbedadengan alat ukur (raingauge) yang pertama

    Model Statistik Fading Karena Hujan di Surabaya

    Full text link
    Pada sistem komunikasi gelombang milimeter, peristiwa fading (pelemahan) sangat mempengaruhipenyampaian gelombang elektromagnetik karena dapat menyebabkan sinyal yang diterima terganggu. Untukmengurangi pengaruh ini, maka diperlukan perancangan kontrol daya dari stasiun pemancar yang dapatmengikuti variasi fading selama peristiwa hujan untuk mengimbangi redaman hujan. Penelitian ini mencarimodel distribusi fade dynamics dari pengukuran parameter hujan di Surabaya yang terdiri dari fade slope danfade duration. Model ini akan diterapkan untuk mengevaluasi Fade Mitigation Tehniques (FMT) yang sesuaiuntuk iklim di Indonesia, dengan melakukan pengukuran curah hujan di lingkungan kampus ITS. Sedangkandata kecepatan angin diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Juanda Surabaya. Data curah hujan dankecepatan angin tersebut digunakan untuk menghitung besarnya redaman hujan. Dari nilai redaman tersebutmaka dapat dilakukan perhitungan untuk menentukan fade slope pada tiap even hujan dan fade duration denganmenentukan batas thresholdnya yaitu pada 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 dB yang berorientasi pada dua arah linkyaitu Barat-Timur dan Utara-Selatan. Selanjutnya dilakukan perhitungan statistik fade slope dan fade durationkondisional sehingga dapat diperoleh model statistik fading di Surabaya. Statistik fading sangat dipengaruhioleh variasi wilayah, tahun, arah angin dan arah link komunikasi serta panjang link komunikasi. Sehinggadalam merancang sistem komunikasi harus memperhatikan hal-hal tersebut. Perancangan kontrol daya harusmemperhitungkan arah dan kecepatan angin. Dalam perancangan kontrol daya jika panjang lintasan yangdiinginkan semakin panjang, maka equalizer juga harus dirancang untuk bisa mengikuti variasi sinyal yangsemakin cepat.Katakunci : Fading, fade slope, fade duration, fade mitigation techniques

    Analisis Redaman Hujan pada Frekuensi C-Band dan Ku-band untuk Komunikasi VSAT-TV pada Daerah Tropis

    Full text link
    Penggunaan satelit untuk berbagai macam komunikasi semakin berkembang dewasa ini salah satunya yaitu teknologi VSAT untuk keperluan TV berbayar yang dinilai sangat strategis. Teknologi VSAT digunakan oleh Perusahaan TV berbayar sebagai backbone dari jaringan yang mereka tawarkan kepada konsumen. Penggunaan VSAT sebagai alat komunikasi memiliki banyak sekali keuntungan antara lain kemudahan dalam hal instalasi, biaya yang murah dan kemudahan dalam pemeliharaan. Di samping semua keunggulan yang dimiliki oleh VSAT, teknologi VSAT yang menggunakan frekuensi C-Band dan Ku-Band ini memiliki beberapa kekurangan diantaranya yaitu masalah propagasi terutama propagasi yang disebabkan oleh redaman hujan. Dalam Studi ini penulis melakukan analisis redaman hujan menggunakan empat model prediksi redaman hujan yaitu model ITU-R P.618-5, model Global Crane, Model SAM, dan model ITU-R modifikasi untuk daerah tropis. Keempat model tersebut dibandingkan dengan pengukuran guna mengetahui model redaman hujan yang mendekati untuk wilayah Surabaya. Dalam studi ini untuk pengukuran pada kanal Ku-Band menggunakan satelit JCSAT 4B sedangkan untuk pengukuran kanal C-Band menggunakan satelit TELKOM-1 dengan menggunakan VSAT berukuran 0,6 m. Berdasarkan hasil analisis didapatkan model redaman hujan mendekati pengukuran untuk kanal C-band adalah model Global Crane dengan persen error sebesar 73,1 %. Sedangkan untuk kanal Ku-band adalah model ITU-R Modifikasi untuk daerah tropis dengan persen error sebesar 22,4 %
    corecore