73 research outputs found
PENTINGNYA RATIFIKASI CISG UNTUK EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA
The United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) sebagai dasar hukum perdagangan internasional bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait perjanjian jual beli internasional. Untuk dapat mengadopsi CISG, perlu adanya ratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Ratifikasi adalah pengesahan perjanjian internasional, yang berarti bahwa negara turut menandatangani dan terikat dengan perjanjian internasional tersebut. Hingga saat ini Indonesia belum juga melakukan ratifikasi CISG. Pada kenyataannya, Indonesia banyak terlibat dalam kegiatan ekspor dan impor yang membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perkembangan ekonomi. Kegiatan ekspor dan impor tidak lepas dari perjanjian jual beli internasional yang merupakan bahasan pokok dan tujuan utama dibentuknya CISG, sehingga ratifikasi CISG menjadi langkah yang esensial bagi pemerintah Indonesia demi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini mempunyai tujuan untuk membahas bagaimanakah pentingnya ratifikasi CISG untuk ekspor dan impor Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris dengan menerapkan pendekatan komparatif (comparative approach). Sumber hukum yang relevan bagi penelitian ini adalah sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Berdasarkan penelitian ini, penulis berpendapat bahwa adanya hukum yang berbeda-beda di setiap negara dapat menimbulkan permasalahan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian jual beli internasional, serta menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga diratifikasinya CISG menjadi krusial bagi Indonesia
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 MENGENAI PHK AKIBAT PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003). Seringnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam dunia bisnis menjadikan PHK salah satu isu penting dalam ketenagakerjaan. Salah satu alasan PHK yang diberikan oleh pengusaha adalah adanya perkawinan antar sesama pekerja. Larangan atas PHK akibat perkawinan diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003. Namun, ketentuan tersebut mengandung pengecualian yang membenarkan adanya pembatasan hak individu untuk melakukan perkawinan, sehingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dimohonkan pembatalan. Sebagai tindak lanjut, MK mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017. Dalam penelitian ini, penulis bermaksud menganalisis implementasi putusan MK tersebut dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang merubah ketentuan UU 13/2003. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Sumber hukum yang digunakan adalah data sekunder, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan penelitian ini, putusan MK tersebut telah diimplementasikan dalam beberapa peraturan dengan adanya penghapusan ketentuan pengecualian sebagaimana telah dinyatakan oleh MK
Vitamin D levels in epileptic children on long-term anticonvulsant therapy
Background Long-term anticonvulsant therapy, especially with enzyme inducers, has been associated with low 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D] levels and high prevalence of vitamin D deficiency. However, there have been inconsistent results in studies on the effect of long-term, non-enzyme inducer anticonvulsant use on vitamin D levels.
Objective To compare 25(OH)D levels in epileptic children on long-term anticonvulsant therapy and non-epileptic children. We also assessed for factors potentially associated with vitamin D deficiency/insufficiency in epileptic children.
Methods This cross-sectional study was conducted at two pediatric neurology outpatient clinics in Jakarta, from March to June 2013. Subjects in the case group were epileptic children, aged 6-11 years who had used valproic acid, carbamazepine, phenobarbital, phenytoin, or oxcarbazepine, as a single or combination therapy, for at least 1 year. Control subjects were non-epileptic, had not consumed anticonvulsants, and were matched for age and gender to the case group. All subjects’ 25(OH)D levels were measured by enzyme immunoassay.
Results There were 31 epileptic children and 31 non-epileptic control children. Their mean age was 9.1 (SD 1.8) years. Most subjects in the case group were treated with valproic acid (25/31), administered as a monotherapy (21/31). The mean duration of anticonvulsant consumption was 41.9 (SD 20) months. The mean 25(OH)D level of the epileptic group was 41.1 (SD 16) ng/mL, lower than the control group with a mean difference of 9.7 (95%CI 1.6 to 17.9) ng/mL. No vitamin D deficiency was found in this study. The prevalence of vitamin D insufficiency in the epileptic group was higher than in the control group (12/31 vs. 4/31; P=0.020). No identified risk factors were associated with low 25(OH)D levels in epileptic children.
Conclusion Vitamin D levels in epileptic children with long-term anticonvulsant therapy are lower than that of non-epileptic children, but none had vitamin D deficiency
Hepatitis B antibody titers in Indonesian adolescents who received the primary hepatitis B vaccine during infancy
Backgi-ound Hepatitis B (HB) has been classified as moderate-tohighly
endemic in Indonesia. HB vaccination, the most effective
method to prevent HB viral transmission, induces protective
antibodies against HB surface antigen (anti-HBs). However, these
antibodies decline in titer over time. Studies on the duration of
protection and the prevalence of n on-responders in Indonesian
adolescents have been limited.
Objectives To determine anti-HBs titers in 15-17-year old
Indonesian adolescents given primary HB vaccine during infancy
and the prevalence of non-responders after a HB vaccine booster
dosage.
Methods This cross-sectional study was performed from February
to September 2008 on adolescents aged 15-17 years in three
senior high schools in Jakarta who received complete primary HB
vaccines during infancy, based on parents' recall. Investigations
included HB vaccination history, anthropometric measurements,
and blood tests for anti-HBs before and 4-6 weeks after a booster
dose ofHB vaccine.
Results Of 94 subjects, 35 had protective anti-HBs and 59 had
undetectable anti-HBs. A booster dose was administered to 5 8 of the
n on-protected subjects, of which 33 showed anamnestic responses.
However, 25 subjects failed to generate protective anti-HBs. Taking
into consideration the adolescents with protective anti-HBs before
and after the booster dose, serologic protection was demonstrated
in 73%. Non-responder prevalence was 27%. The high prevalence
of non-responders may indicate bias of parents' recall.
Conclusion Protective anti-HBs is detected in less than half of
Indonesian adolescents given primary HB vaccine during infancy.
Following booster dosage, anamnestic responses are n oted in onethird
of subjects. The prevalence of non-responders is 27%, but
confirmation with further study is needed
Faktor Prognosis Sindrom Syok Dengue pada Anak
Latar belakang. Manifestasi klinis yang bervariasi, patogenesis yang kompleks, dan perbedaan serotipe virus membuat sulit memprediksi perjalanan penyakit dengue. Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang faktor prognosis terjadinya sindrom syok dengue (SSD), tetapi semuanya menggunakan pedoman World Health Organization (WHO) tahun 1997.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor prognosis terjadinya SSD berdasarkan pedoman WHO tahun 2011.
Metode. Studi retrospektif menggunakan data rekam medik pasien anak usia 0 sampai <18 tahun dengan diagnosis demam berdarah dengue (DBD), SSD dan expanded dengue syndrome (EDS) yang memenuhi kriteria WHO tahun 2011 di RSCM dari Januari 2013 sampai Desember 2016. Variabel independen, yaitu jenis kelamin, usia, status gizi, infeksi dengue sekunder, leukopenia, nyeri abdomen, perdarahan gastrointestinal, hepatomegali dan kebocoran plasma. Syok merupakan variabel dependen. Analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik.
Hasil. Subyek yang memenuhi kriteria penelitian 145 pasien, 52 (35,8%) di antaranya mengalami SSD. Lima dari 52 pasien SSD mengalami syok selama perawatan di rumah sakit. Analisis bivariat yang menghasilkan faktor-faktor signifikan di antaranya, malnutrisi, gizi lebih dan obesitas, perdarahan gastrointestinal, hemokonsentrasi, asites, leukosit ≥5.000 mm3, ensefalopati, peningkatan enzim hati dan overload. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel hemokonsentrasi dan peningkatan enzim hati merupakan faktor prognosis SSD.
Kesimpulan. Hemokonsentrasi dan peningkatan enzim hati merupakan faktor prognosis terjadinya SSD
Perundungan-siber (Cyberbullying) serta Masalah Emosi dan Perilaku pada Pelajar Usia 12-15 Tahun di Jakarta Pusat
Latar belakang. Internet dan media sosial memberikan banyak kemudahan hidup, namun juga berpotensi untuk disalahgunakan, misalnya untuk perundungan-siber. Perundungan-siber memiliki efek negatif terhadap kesehatan fisik, psikologis, dan sosial pelaku maupun korbannya.
Tujuan. Mengidentifikasi karakteristik perundungan-siber serta masalah emosi dan perilaku pelajar usia 12-15 tahun di Jakarta Pusat.
Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada pelajar usia 12-15 tahun pada satu SMP di Jakarta Pusat. Perundungan-siber dinilai dengan kuesioner perundungan-siber Hinduja dan Patchin, yang telah diterjemahkan dan divalidasi dengan Cronbach’s α=0,72. Masalah emosi dan perilaku ditapis dengan menggunakan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ).
Hasil. Dari 274 pelajar yang berpartisipasi dalam penelitian ini, prevalens perundungan-siber adalah 48,2% (korban 11%, pelaku 14,2%, korban sekaligus pelaku 23%). Jenis perundungan-siber tersering yang dialami korban adalah tidak dihargai oleh orang lain (83,3%), disinggung-singgung oleh orang lain (80%), dan diacuhkan oleh orang lain (73,3%). Chat room di Line (60%) dan Instagram (60%), merupakan media sosial tersering yang digunakan. Teman sebaya laki-laki merupakan pelaku tersering (66,7%). Masalah hubungan dengan teman sebaya merupakan masalah emosi dan perilaku yang paling sering dialami oleh korban (10,2%), pelaku (13,5%), dan korban sekaligus pelaku (20,4%).
Kesimpulan. Perundungan-siber merupakan suatu fenomena yang sering dijumpai pada pelajar usia 12-15 tahun di sebuah SMP di Jakarta Pusat. Masalah tersebut memerlukan perhatian yang lebih serius dari orangtua, guru dan tenaga kesehatan
Kadar Antibodi Campak pada Anak Usia 1-4 Tahun Pasca Imunisasi Campak
Latar belakang. Belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan kadar antibodi campak pada anak usia 1-4 tahun, setelah imunisasi campak 1 kali dibanding 2 kali.
Tujuan. Menganalisis apakah kadar antibodi campak setelah pemberian imunisasi campak 2 kali mencapai kadar protektif dibanding imunisasi campak 1 kali.
Metode. Penelitian potong lintang di 6 posyandu di 5 wilayah DKI Jakarta pada Juni - Agustus 2014. Anak yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa kadar IgG campak, dievaluasi dan dilakukan uji korelasi untuk menilai hubungan antara imunisasi campak dosis ke-2 dengan kadar antibodi campak.
Hasil. Dari 145 subjek penelitian, 125 subjek (86,2%) memiliki kadar antibodi campak mencapai kadar protektif (≥ 120 mIU/ml). Kelompok usia 3-4 tahun memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif terbanyak yaitu 56 subjek (91,8%) dibanding kelompok usia lainnya.
Kesimpulan. Pemberian imunisasi campak 2 kali meningkatkan antibodi campak yang mencapai kadar protektif sebesar 1,2 kali dibanding pemberian imunisasi campak 1 kali
- …