17 research outputs found

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 45

    Get PDF

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 35

    Get PDF

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 30

    Get PDF

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 48

    Get PDF

    Buku panduan analisis keramik

    Get PDF
    Kata keramik sebenamya merupakan indonesiasi kata dalam bahasa Inggris, yaitu ceramic.Kata ceramic dari kata Yunani yaitu keramos, yang berarti barang pecah belah atau barang yang dibuat dari tanah liat yang dibakar (baked clay). Berdasarkan pengertian itu, maka semua benda yang terbuat dari tanah liat bakar dapat digolongkan sebagai keramik. Tetapi dalam "dunia" keramik, sering ditemukan berbagai istilah yang mengacu pada pengertian tanah liat bakar ini. Umurnnya istilah-istilah itu berkaitan dengan jenis bahan dan suhu pembakarannya. Istilah yang sering digunakan adalah terakota (terracotta = tanah merah), pottery (wadah dari tanah liat bakar), earthenware (barang-barang yang terbuat dari bahan tanah liat yang berasal dari bumi), stoneware (barang-barang yang terbuat dari bahan batuan bumi), dan porcelain (barang-barang yang terbuat dari bahan yang hanya akan lebur pada suhu yang sangat tinggi). Di Indonesia, ada kecenderungan menggunakan istilah keramik untuk barang-barang yang diglasir, terbuat dari bahan batuan (stoneware) dan porselin (porcelain), sedangkan untuk earthenware atau pottery digunakan istilah "tembikar" (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Selain itu ada istilah-istilah lokal untuk menyebut barang-barang dari tanah liat bakar. Di Jawa,misalnya, tembikar disebut gerabah

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 39

    Get PDF

    KALPATARU Majalah Arkeologi 11

    Get PDF

    AMERTA 31 nomor 2

    Get PDF
    MUATAN INTAN SHIPWRECK ABAD KE-10: VARIABILITAS DAN KRONOLOGI Naniek Harkantiningsih Dalam dua dasawarsa ini, banyak penemuan kapal karam dengan berbagai jenis muatannya di perairan Nusantara. Sebagian besar peninggalan kapal karam tersebut ditemukan di perairan Nusantara bagian barat (perairan Sumatra-Jawa). Ini suatu kenyataan, bahwa perairan laut Nusantara memiliki tinggalan kapal karam yang sangat banyak. Salah satu kapal karam yang ditemukan, ialah Intan Shipwreck. Artikel ini akan membahas variabilitas dan kronologi muatan kapal karam yang telah dieksplorasi pada tahun 1997. Kemudian hasil identifikasi muatan kapal itu, dibandingkan dengan tinggalan arkeologi yang ditemukan dari hasil penelitian di situs-situs arkeologi. Sebagian besar muatan kapal karam ini, dapat dipastikan sebagai barang komoditi yang akan didistribusikan ke negara konsumen. Pola persebaran dan persamaan muatan kapal karam di situs arkeologi memperkuat adanya jaringan pelayaran dan perniagaan, baik jarak jauh maupun jarak dekat, dalam konteks jamannya. SITUS KAPAL KARAM GELASA DI SELAT GASPAR, PULAU BANGKA, INDONESIA Harry Octavianus Sofian Wilayah perairan Nusantara merupakan budaya, ekonomi dan politik sejak beratus tahun yang lalu. Perairan Nusantara berfungsi menjadi penghubung interaksi berbagai etnis, pedagang dan menyebarkan pengaruh satu sama lain. Interaksi itu mewariskan tinggalan-tinggalan arkeologi bawah air yang tersebar di perairan Nusantara. Pembahasan ini akan menginformasikan hasil penelitian untuk melihat tinggalan arkeologi bawah air, yaitu kapal karam di perairan Selat Gaspar. Penelitian ini menghasilkan bukti-bukti tinggalan arkeologi bawah air berupa kapal karam yang menggunakan bahan kayu dan tembaga, keramik, botol-botol, tulang, meriam, batu pemberat kapal (ballast) pasak, dan beberapa artefak yang belum dapat diidentifikasi. ERUSAKAN SITUS ARKEOLOGI DI KALIMANTAN SELATAN: DAMPAK NEGATIF AKIBAT KEGIATAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH DAERAH Sunarningsih Banjarbaru, Kalimantan Selatan Abstrak. Seperti halnya di daerah lain di Indonesia, jumlah situs-situs arkeologi di wilayah Kalimantan Selatan terbilang cukup banyak. Ada dua jenis situs di wilayah Kalimantan Selatan ini, yaitu situs tertutup dan situs terbuka. Kedua jenis situs tersebut sudah ada yang diteliti secara intensif ada juga yang belum, dan sebagian sudah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya (BCB). Fenomena yang terjadi pada saat ini adalah masih terjadi aktivitas yang merusak wilayah situs baik yang sudah dilindungi maupun yang belum. Kegiatan tersebut dilakukan baik oleh masyarakat umum di lingkungan situs maupun atas kebijakan pemerintah daerah setempat. Makalah ini bertujuan untuk melihat kembali kerusakan situs-situs arkeologi di wilayah Kalimantan Selatan akibat dampak negatif dari aktivitas masyarakat, dan berusaha mendapatkan strategi untuk mengurangi kegiatan yang merugikan. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan induktif. Data dikumpulkan dari hasil studi pustaka, yaitu dari laporan yang tersimpan di perpustakaan Balai Arkeologi Banjarmasin, dan dari hasil pengamatan penulis saat melakukan penelitian arkeologi. Berdasarkan hasil analisis dari masing-masing kasus, dapat diketahui bahwa kebutuhan ekonomi masyarakat dan pembangunan oleh pemerintah daerah yang banyak mendorong terjadinya kerusakan situs. Aktivitas yang merusak dilakukan karena masih rendahnya pemahaman akan pentingnya sebuah situs purbakala dan masih lemahnya penerapan sangsi terhadap pelanggaran Undang-undang Cagar Budaya. ERMUKIMAN KUNA DI KAWASAN WAY SEKAMPUNG, LAMPUNG, PADA MASA ŚRIWIJAYA Nanang Saptono Lampung pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Śriwijaya. Hal ini ditandai oleh temuan Prasasti Palas Pasemah, Bungkuk, dan Batu Bedil yang merupakan prasasti dari masa Śriwijaya. Prasasti, terutama prasasti peringatan, pasti ditempatkan di areal permukiman. Selain lokasi prasasti, kawasan permukiman dapat dilacak melalui tinggalan arkeologis. Melalui pendekatan arkeologi keruangan dapat diperoleh gambaran tentang pola permukiman di sepanjang aliran Way Sekampung. Pada dasarnya kawasan di sepanjang sungai dapat dibedakan menjadi kawasan hulu dan hilir. Kawasan hulu cenderung merupakan kawasan masyarakat penganut Hindu, sedangkan di hilir merupakan masyarakat penganut Buddha. Pada kedua permukiman kelompok masyarakat tersebut juga terdapat jejak religi budaya megalitik. HE VEDIC RELIGION IN NUSANTARA* Hariani Santiko Agama Weda di Nusantara. Pedagang-pedagang yang berlayar dari India dan Asia Tenggara berperanan penting dalam menyebarkan agama-agama India di Nusantara. Para brahmin diundang oleh penguasa-penguasa lokal untuk melegitimasi status baru mereka dan melaksanakan upacara-upacara bagi mereka. Misalnya, menurut sejumlah prasasti yūpa dari abad ke-4 Masehi, Raja Mūlavarman dari Kutai, Muarakaman, Kalimantan Timur, melakukan pekerjaan-pekerjaan mulia (punya-), dengan memberi sumbangan pada persembahan kurban (yajña) yang dilakukan di suatu punyatama. ksetra yang dikenal dengan nama Vaprakeśvara. Yajñas- yajña dilaksanakan oleh para vipra (semacam brahmin) yang datang ke Kalimantan dari berbagai tempat. Dengan membandingkan data arkeologis dan sumber-sumber tertulis, misalnya prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta, kita dapat menyimpulkan bahwa agama Veda merupakan agama India pertama yang dianut oleh para penguasa di Nusantara. Setidaknya tiga raja telah mengundang para brahmin telah untuk melakukan yajña- yajña, misalnya Raja Mūlavarman (dari abad ke-4 Masehi), Raja Pūrnavarman dari Tārumanagara (pada abad ke-5 Masehi), dan Raja Gajayana dari Kanjuruhan, Jawa Timur (pada abad ke-7 Masehi). Raja yang disebutkan terakhir bahkan menganut Sivaisme (Hindu-Saiva), namun ia mengundang pendeta-pendeta Veda untuk melakukan yajña Veda. Ritual-ritual Veda mungkin dilakukan pula di Kota Kapur, Bangka. Tinggalan berupa altar-altar Veda, fragmen arca Visnu, dan temuan-temuan lain ditemukan di situs tersebut

    KALPATARU Majalah Arkeologi vol. 23 nomor 1

    Get PDF
    Perkembangan Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Nusantara Oleh: Bagyo Prasetyo, Pusat Arkeologi Nasional Sejak dasawarsa terakhir ini eksplorasi untuk mengetahui jejak-jejak manusia dan budaya akhir Pleistosen-awal Holosen makin meluas. Wilayah pengamatan telah menjangkau Aceh, Pulau Nias, pedalaman Sumatera Selatan, pesisir Pantai Barat Kalimantan Barat dan Barito Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Tengah, Halmahera, Ponorogo dan Pacitan (Jawa Timur), Wonosari (Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, dan Kupang. Makalah ini merupakan kompilasi data dari sejumlah hasil penelitian yang menyangkut budaya akhir Pleistosen-awal Holosen, dalam upaya mencari informasi baru jejak-jejak perkembangan munculnya manusia sapiens yang menyangkut distribusi situs dan kronologinya. Melalui tulisan ini diperoleh sumbangan data berupa tambahan jumlah hasil pertanggalan dan persebaran situs-situs serta teknologi budaya manusia sapiens pada akhir Pleistosen-awal Holosen di Indonesia. Awal Pengaruh Hindu Buddha di Nusantara Oleh: Agustijanto Indradjaja, Endang Sri Hardiati Pusat Arkeologi Nasional Berbicara tentang awal pengaruh Hindu Buddha di Nusantara sejauh ini selalu dimulai pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh kehadiran kerajaan Kutai dan Tārumanāgara di Nusantara dan masih sedikit perhatian terhadap periode sebelum itu. Padahal periode awal sampai dengan abad ke-5 M. adalah periode krusial bagi munculnya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Penelitian terhadap periode awal sejarah dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat Nusantara sehingga mampu menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing (India) yang pada puncaknya memunculkan sejumlah kerajaan bersifat Hindu-Buddha di Nusantara. Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis tipologis dan kontekstual serta beberapa analisis C-14 atas temuan diharapkan dapat menjelaskan kondisi masyarakat Nusantara pada masa lalu. Hasil penelitian ini dapat mengidentifikasikan sejumlah tinggalan arkeologi seperti sisa tiang rumah, sisa perahu, keramik, tembikar, manik-manik, alat logam, dan sejumlah kubur yang diidentifikasi berasal dari periode awal sejarah. Berdasarkan tinggalan tersebut dapat direkonstruksi kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara dan peranannya di dunia internasional di Kawasan Asia Tenggara. Jejak-jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara Oleh: Titi Surti Nastiti, Pusat Arkeologi Nasional Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan kuna di Indonesia pada abad ke-4-5 M. dan berakhir pada awal abad ke-16iM. Adapun maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui peradaban Hindu-Buddha secara komperhensif di Nusantara, berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-Balai Arkeologi di seluruh Indonesia, sejauh yang dapat dijangkau oleh penulis. Metode yang dipakai lebih kepada pengumpulan data dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-Balai Arkeologinya, ditelaah, dan dibuat suatu ikhtisar yang menggambarkan jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Hasil kajian memperlihatkan adanya berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa Hindu-Buddha yang mendukung maju-mundurnya suatu peradaban seperti aspek sosial, politik, ekonomi, agama, kesenian (sastra, arsitektur, arca), ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aspek tata ruang tempat di mana masyarakat itu hidup. Aspek-aspek Kajian Islam di Nusantara: Langkah Meniti Peradaban Oleh: Sonny C. Wibisono, Pusat Arkeologi Nasional Tulisan ini merupakan sebuah tinjauan atas zaman pengaruh Islam di Nusantara, sebuah rentang zaman yang menandai salah satu perubahan budaya di Nusantara. Maksud dari tinjauan ini adalah menemukan sebuah kerangka tentatif yang dapat digunakan untuk mengungkap aspek-aspek yang diharapkan dapat diajukan dalam penelitian arkeologi. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain diaspora Islam, negeri kesultanan, jaringan perniagaan, permukiman dan perkotaan, teknologi dan produksi, literasi dan keagamaan, dan kesenian. Tersedianya bahan teks merupakan bagian untuk memahami konteks peristiwa dari fragmentasi data arkeologi dari zaman ini. Studi literatur dan kasus penelitian berkaitan dengan topik ini digunakan sebagai bahan dalam tulisan ini
    corecore