4 research outputs found

    Strengthening Food Security Policy: Reforms on Hybrid Maize Seeds Delivery Mechanism

    Get PDF
    From 2009 to 2017, Indonesia produced an average of 18.8 million tons of maize per year. This failed to meet the domestic demand by an average of 2.4 million tons per year during the same period. Since imports have been severely restricted in recent years, domestic maize prices have become much higher than international prices and also caused domestic price increases for other food commodities. Since 2015, the government’s UPSUS program addresses the shortage by attempting to increase domestic maize production. Farmers are being provided with hybrid maize seeds free of charge. To improve the overall effectiveness of the UPSUS hybrid maize seed subsidies, local maize markets need to be categorized by their particular strength. Thin maize markets produce little maize because farmers opt for other crops such as vegetables and fruits as their primary source of income; in semi-strong maize markets most farmers plant traditional types of maize and there are two to four private seed companies plus one off-taker; in strong maize markets all farmers plant hybrid maize, with five or more private seed companies and at least two off-takers. Moreover, the maize market types also differ by the dominance of maize and dry land agriculture in the local markets, as well as the local adoption of Good Agricultural Practices (GAP). The UPSUS hybrid seed subsidy program is most effective in areas with semi-strong maize markets because here it supports the transition from traditional to hybrid maize types with positive effects on production levels. Since absorption rates of UPSUS seeds in thin and strong maize markets are lower, distributing seeds in these markets appears to contribute to the emergence of black-markets where farmers illegally sell their UPSUS seeds to finance other needs. The current quota system of the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation mandates that 65% of all UPSUS seeds must come from the Research and Development Agency of the Ministry of Agriculture (Balitbangtan) and licensed domestic producers. Since these seeds are of lower quality than the 35% of seeds that originate from the private sector, this quota system hinders the farmers from receiving the quality best suited to increase production levels. We propose three policy reforms for the UPSUS seed subsidy program to improve its effectiveness: Firstly, Ministry of Agriculture (MOA) regulation 03/2015 section III(B) must add a classification matrix to assess the strength of local maize markets and then reduce the distribution of UPSUS seeds to mainly districts with semi-strong markets. The development of local maize markets should be periodically assessed and the distribution of seeds should be terminated if markets have become strong enough to end the subsidy in favor of market mechanisms. Intensive capacity-building programs should facilitate this development of markets. Local governments need to create partnerships with the private sector and develop functioning seed markets for a sustainable agriculture once the UPSUS program has ended in their district. Secondly, the current quota of 65% maize seeds from Balitbangtan and other licensed producers as stipulated in the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation should be abolished. Farmers should receive seeds of the quality they request

    Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan: Reformasi Mekanisme Penyaluran Benih Jagung Hibrida

    Get PDF
    Dari tahun 2009 hingga 2017, Indonesia memproduksi rata-rata 18,8 juta ton jagung setiap tahunnya. Angka ini gagal memenuhi kebutuhan domestik yang rata-rata mencapai 21,3 juta ton per tahun di periode yang sama. Semenjak impor jagung dibatasi pada beberapa tahun terakhir, harga jagung domestik jadi meningkat banyak bila dibandingkan dengan harga internasional dan menyebabkan kenaikan harga domestik dari komoditas lainnya. Sejak 2015, program Upaya Khusus (UPSUS) yang dibentuk oleh pemerintah ditujukan untuk mengatasi kekurangan persediaan jagung dengan cara meningkatkan produksi jagung domestik melalui pemberian benih jagung hibrida secara gratis bagi para petani. Untuk meningkatkan keseluruhan efektivitas bantuan benih jagung hibrida UPSUS, pasar jagung di daerah perlu dikategorikan berdasarkan kekuatan mereka. Pasar jagung yang lemah memproduksi sedikit jagung karena petani lebih memilih menanam tanaman lainnya seperti sayur dan buah sebagai sumber pendapatan utama mereka; di pasar jagung yang semi-kuat, kebanyakan petani menanam jenis jagung tradisional dan didaerah tersebut terdapat dua hingga empat perusahaan benih swasta dan satu pembeli jagung besar; semua petani di kawasan pasar jagung yang kuat menanam jagung hibrida dan di daerah tersebut terdapat setidaknya lima perusahaan benih swasta serta dua pembeli jagung besar. Selain itu, tipe pasar jagung juga dibedakan berdasarkan dominasi komoditas jagung, penerapan teknik budidaya, serta faktor pendukung seperti lahan pertanian , modal dan irigasi. Program bantuan benih jagung hibrida UPSUS sangat efektif dilakukan pada daerah dengan pasar jagung yang semi-kuat karena pasar ini mendukung transisi dari penggunaan jenis benih jagung tradisional ke benih jagung hibrida sehingga berdampak positif pada peningkatan level produksi jagung. Selain itu, karena angka penyerapan benih jagung UPSUS lebih rendah pada pasar jagung yang lemah dan kuat, maka pendistribusian benih di kedua pasar ini dapat berpotensi membuka pasar gelap di mana petani secara ilegal menjual benih UPSUS yang mereka dapat untuk membiayai kebutuhan lain. Sistem kuota terkini yang mengacu pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 menyatakan bahwa 65% dari seluruh benih jagung hibrida UPSUS harus diproduksi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian dan produsen domestik berlisensi. Benih tersebut secara umum memiliki kualitas yang lebih rendah daripada 35% benih yang berasal dari produsen benih swasta, karena itu sistem kuota ini menghalangi petani untuk menerima benih kualitas terbaik yang dapat meningkatkan tingkat produksi jagung. Kami mengajukan 3 perubahan kebijakan untuk program benih bantuan UPSUS supaya efektivitasnya meningkat: (1) Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) Nomor 3 tahun 2015 bagian III (B) harus menambahkan matriks klasifikasi untuk menilai kekuatan pasar jagung di daerah yang akan menerima bantuan, (2) lalu memfokuskan distribusi benih UPSUS agar ditargetkan ke daerah yang memiliki pasar jagung semi-kuat. Pengembangan pasar jagung di daerah ini sebaiknya di-evaluasi secara berkala dan selanjutnya distribusi benih sebaiknya dihentikan jika pasar sudah menjadi cukup kuat agar dapat menjadi pasar jagung yang mandiri. Pada daerah ini program pengembangan kapasitas bagi petani sebaiknya ditingkatkan untuk memfasilitasi pengembangan pasar. Pemerintah daerah perlu menjalin kemitraan dengan pihak swasta dan mengembangkan pasar benih agar tercipta sektor pertanian jagung yang berkelanjutan apabila program UPSUS dihentikan di daerah tersebut. (3) Penerapan kuota yang menyatakan 65% benih jagung dari Balitbangtan dan produsen berlisensi lainnya seperti yang tertera pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 sebaiknya dihapuskan agar petani dapat menerima benih sesuai dengan kualitas yang mereka minta

    Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan: Reformasi Mekanisme Penyaluran Benih Jagung Hibrida

    Get PDF
    Dari tahun 2009 hingga 2017, Indonesia memproduksi rata-rata 18,8 juta ton jagung setiap tahunnya. Angka ini gagal memenuhi kebutuhan domestik yang rata-rata mencapai 21,3 juta ton per tahun di periode yang sama. Semenjak impor jagung dibatasi pada beberapa tahun terakhir, harga jagung domestik jadi meningkat banyak bila dibandingkan dengan harga internasional dan menyebabkan kenaikan harga domestik dari komoditas lainnya. Sejak 2015, program Upaya Khusus (UPSUS) yang dibentuk oleh pemerintah ditujukan untuk mengatasi kekurangan persediaan jagung dengan cara meningkatkan produksi jagung domestik melalui pemberian benih jagung hibrida secara gratis bagi para petani. Untuk meningkatkan keseluruhan efektivitas bantuan benih jagung hibrida UPSUS, pasar jagung di daerah perlu dikategorikan berdasarkan kekuatan mereka. Pasar jagung yang lemah memproduksi sedikit jagung karena petani lebih memilih menanam tanaman lainnya seperti sayur dan buah sebagai sumber pendapatan utama mereka; di pasar jagung yang semi-kuat, kebanyakan petani menanam jenis jagung tradisional dan didaerah tersebut terdapat dua hingga empat perusahaan benih swasta dan satu pembeli jagung besar; semua petani di kawasan pasar jagung yang kuat menanam jagung hibrida dan di daerah tersebut terdapat setidaknya lima perusahaan benih swasta serta dua pembeli jagung besar. Selain itu, tipe pasar jagung juga dibedakan berdasarkan dominasi komoditas jagung, penerapan teknik budidaya, serta faktor pendukung seperti lahan pertanian , modal dan irigasi. Program bantuan benih jagung hibrida UPSUS sangat efektif dilakukan pada daerah dengan pasar jagung yang semi-kuat karena pasar ini mendukung transisi dari penggunaan jenis benih jagung tradisional ke benih jagung hibrida sehingga berdampak positif pada peningkatan level produksi jagung. Selain itu, karena angka penyerapan benih jagung UPSUS lebih rendah pada pasar jagung yang lemah dan kuat, maka pendistribusian benih di kedua pasar ini dapat berpotensi membuka pasar gelap di mana petani secara ilegal menjual benih UPSUS yang mereka dapat untuk membiayai kebutuhan lain. Sistem kuota terkini yang mengacu pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 menyatakan bahwa 65% dari seluruh benih jagung hibrida UPSUS harus diproduksi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian dan produsen domestik berlisensi. Benih tersebut secara umum memiliki kualitas yang lebih rendah daripada 35% benih yang berasal dari produsen benih swasta, karena itu sistem kuota ini menghalangi petani untuk menerima benih kualitas terbaik yang dapat meningkatkan tingkat produksi jagung. Kami mengajukan 3 perubahan kebijakan untuk program benih bantuan UPSUS supaya efektivitasnya meningkat: (1) Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) Nomor 3 tahun 2015 bagian III (B) harus menambahkan matriks klasifikasi untuk menilai kekuatan pasar jagung di daerah yang akan menerima bantuan, (2) lalu memfokuskan distribusi benih UPSUS agar ditargetkan ke daerah yang memiliki pasar jagung semi-kuat. Pengembangan pasar jagung di daerah ini sebaiknya di-evaluasi secara berkala dan selanjutnya distribusi benih sebaiknya dihentikan jika pasar sudah menjadi cukup kuat agar dapat menjadi pasar jagung yang mandiri. Pada daerah ini program pengembangan kapasitas bagi petani sebaiknya ditingkatkan untuk memfasilitasi pengembangan pasar. Pemerintah daerah perlu menjalin kemitraan dengan pihak swasta dan mengembangkan pasar benih agar tercipta sektor pertanian jagung yang berkelanjutan apabila program UPSUS dihentikan di daerah tersebut. (3) Penerapan kuota yang menyatakan 65% benih jagung dari Balitbangtan dan produsen berlisensi lainnya seperti yang tertera pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 sebaiknya dihapuskan agar petani dapat menerima benih sesuai dengan kualitas yang mereka minta

    Strengthening Food Security Policy: Reforms on Hybrid Maize Seeds Delivery Mechanism

    Get PDF
    From 2009 to 2017, Indonesia produced an average of 18.8 million tons of maize per year. This failed to meet the domestic demand by an average of 2.4 million tons per year during the same period. Since imports have been severely restricted in recent years, domestic maize prices have become much higher than international prices and also caused domestic price increases for other food commodities. Since 2015, the government’s UPSUS program addresses the shortage by attempting to increase domestic maize production. Farmers are being provided with hybrid maize seeds free of charge. To improve the overall effectiveness of the UPSUS hybrid maize seed subsidies, local maize markets need to be categorized by their particular strength. Thin maize markets produce little maize because farmers opt for other crops such as vegetables and fruits as their primary source of income; in semi-strong maize markets most farmers plant traditional types of maize and there are two to four private seed companies plus one off-taker; in strong maize markets all farmers plant hybrid maize, with five or more private seed companies and at least two off-takers. Moreover, the maize market types also differ by the dominance of maize and dry land agriculture in the local markets, as well as the local adoption of Good Agricultural Practices (GAP). The UPSUS hybrid seed subsidy program is most effective in areas with semi-strong maize markets because here it supports the transition from traditional to hybrid maize types with positive effects on production levels. Since absorption rates of UPSUS seeds in thin and strong maize markets are lower, distributing seeds in these markets appears to contribute to the emergence of black-markets where farmers illegally sell their UPSUS seeds to finance other needs. The current quota system of the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation mandates that 65% of all UPSUS seeds must come from the Research and Development Agency of the Ministry of Agriculture (Balitbangtan) and licensed domestic producers. Since these seeds are of lower quality than the 35% of seeds that originate from the private sector, this quota system hinders the farmers from receiving the quality best suited to increase production levels. We propose three policy reforms for the UPSUS seed subsidy program to improve its effectiveness: Firstly, Ministry of Agriculture (MOA) regulation 03/2015 section III(B) must add a classification matrix to assess the strength of local maize markets and then reduce the distribution of UPSUS seeds to mainly districts with semi-strong markets. The development of local maize markets should be periodically assessed and the distribution of seeds should be terminated if markets have become strong enough to end the subsidy in favor of market mechanisms. Intensive capacity-building programs should facilitate this development of markets. Local governments need to create partnerships with the private sector and develop functioning seed markets for a sustainable agriculture once the UPSUS program has ended in their district. Secondly, the current quota of 65% maize seeds from Balitbangtan and other licensed producers as stipulated in the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation should be abolished. Farmers should receive seeds of the quality they request
    corecore