16 research outputs found

    Intra Household Priority for Employment Opportunity: a Challenge for Rural Women Despite Gender Indiscrimination - a Case Study From Banyuwangi, East Java

    Full text link
    The poverty rate of rural population in Indonesia has always been higher than the urban poverty rate, despite the high national economic growth and reduced national poverty rate. This trend can also be observed for poverty severity and poverty depth which is due to lack of assets, skills and working opportunities for rural population, among others. Female population in particular, must deal with poverty more than their male counterparts. If poverty is defined as deprivation of capabilities and the absence of freedom to choose whichever kind of life an individual is aspired to, then women suffer more because they have less option to access employment in villages. This paper aims to explore how typical households in small villages in an East Java district prioritise the household (HH) members' access to health, education, job opportunity and inheritance. This paper is written based on parts of the findings from a household socio-economic and public health survey in 5 villages in Pesanggrahan sub district, Banyuwangi, East Java, conducted in late 2011. The findings reveals that in general, male and female HH members are given equal opportunity in terms of access to decision making process within the household, education, inheritance and even more in terms of access to health. Nonetheless, when it comes to access to jobs, priorities are given to the male HH members. Working opportunities are indeed rare, and traditional jobs are dwindling and become more vulnerable in the Indonesian villages nowadays. Competition to enter employment is tougher; therefore while the respondents perceive women as equal to men in many other life aspects, they still see men as the ones who must be the breadwinner. This can be seen as more pressure to men, but it also epitomise the fact that in the society that has no longer practised discrimination against women, less options are available for women to exercise their right to work. As a result, women who lacking options to enter local job market must look for options beyond their village. They are most likely travel abroad to work as migrant domestic workers, and encountering risks. One important lesson drawn is that labour intensive and decent job creation –in or off-farm in rural areas, must be the priority of Indonesian government policies if it aims to achieve a more quality growth and more equal development in urban and rural areas, for men and women

    Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Anak: Pembelajaran dari Nepal dan Sri Langka

    Full text link
    Saat ini pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) 4 dan 5, yakni penurunan angka kematian Balita (AKABA) dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih jauh dari target 2015 yaitu 102 AKI per-100.000 kelahiran hidup dan 34 AKABA per 1.000 kelahiran. Meskipun terjadi penurunan AKABA dari 97 (1991) menjadi 44 (2007) dan AKI menurun dari 390 (1991) menjadi 228 (2007), pencapaian ini masih jauh dari target yang harus dicapai. Selain itu, pencapaian tersebut masih di bawah negara-negara lain di Asia seperti: Vietnam, Nepal, Sri Lanka, dan Malaysia. AKI di Vietnam pencapaiannya lebih bagus dari Indonesia, padahal gross domestic product (GDP) Vietnam hanya US141miliardanjauhberadadibawahIndonesiaUS 141 miliar dan jauh berada di bawah Indonesia US 878 miliar (2012). Sri Lanka dengan GDP-nya hanya US59,4miliardanNepalUS 59,4 miliar dan Nepal US 19,4 miliar capaian AKI dan AKABA-nya melesat jauh di atas Indonesia. Berbagai strategi telah dicanangkan untuk menurunkan AKI dan AKABA antara lain: peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, peningkatan infrastruktur dan kapasitas fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif) dan Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) serta memperbanyak jumlah Polindes (Pondok Bersalin Desa), pemberdayaan masyarakat melalui ambulan siaga dan tabungan bersalin (tabulin), serta pembebasan biaya persalinan melalui Jampersal (Jaminan Persalinan). Namun demikian, penurunan AKI dan AKABA masih jauh dari yang diharapkan. Dua tahun menuju tahun 2015 merupakan kesempatan emas untuk mengejar ketertinggalan dari target AKI 102 dan AKABA 34. Berbagai kendala bermunculan mulai dari belum dipenuhinya alokasi anggaran kesehatan 5% dari total APBN di luar gaji pegawai, masih minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan, rendahnya akses ke fasilitas PONED dan PONEK, rendahnya pemanfaatan Jampersal, tidak berfungsinya Polindes sebagaimana mestinya dan pergantian petugas-pejabat yang sangat cepat dan lainnya. Permasalahan ini mengindikasikan bahwa Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan dan menelaah dengan seksama kebijakan kesehatan ibu dan anak yang saat ini berlaku untuk diperbaiki dan dikembangkan di kemudian hari. Di samping itu, pemerintah perlu menata kebijakan kesehatan secara lebih baik. Untuk mencapai target MDGs ini selain mengevaluasi langkah-langkah yang telah ditempuh Indonesia sampai saat ini, kita juga perlu menilik ke upaya-upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara berkembang lain di Asia yang telah berhasil mencapai penurunan tajam AKI dan AKABA. Nepal dan Sri Lanka merupakan contoh negara yang mengalami penurunan AKI dan AKABA yang sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Pembelajaran mengenai hal-hal yang berdayaguna dan berdayaungkit tinggi bagi Indonesia untuk mengidentifikasi peluang yang ada demi mencapai target MDGs dalam 2 tahun mendatang. Lalu, dengan mengetahui kebijakan AKI dan AKBA di dua negara tersebut, kita akan dapat belajar atas tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam mencapai target penurunan AKI dan AKABA

    Kegagalan Transformasi Ketenagakerjaan, Perlindungan Sosial yang Mengecewakan: Pekerja Informal Mencapai 67,5 Juta Jiwa dan Hanya 0,02% yang Mendapatkan Perlindungan Sosial.

    Full text link
    Poin Penting: 1. Dari 149, 8 juta total tenaga kerja diIndonesia, ternyata 103,2 juta adalah pekerja sektor informal dan setengah pengangguran sedangkan 7,2 juta berstatus pengangguran. 2. Hanya sekitar 0,02% dari 67,5 juta tenaga kerja informal ikut dalam kepesertaan program Jamsostek. Bandingkan dengan tenaga kerja formal yang mencapai 62,4% dari 46,6 juta tenaga kerja. 3. Diperlukan roadmap serta tindakan segera transformasi ketenagakerjaan dan perlindungan sosial

    The Go-Jek problem: Congestion, Informality and Innovation in Urban Transport in Indonesia

    Full text link
    Belum lama ini muncul sebuah terobosan baru dalam hal transportasi umum, yaitu ojek online yang bisa dipesan melalui ponsel pintar kita. Ojek online ini sangat berbeda dengan sistem ojek tradisional yang sudah ada sejak tahun 1960an. Pada ojek tradisional, harga harus disepakati antara penumpang dan pengemudi. Namun, ojek online menawarkan penggunaan tarif sesuai dengan jarak tempuh. Sejak diperkenalkannya aplikasi ojek online “Go-Jek” pada tahun 2014, perusahaan ini mendominasi pasar ojek di perkotaan. Hal tersebut dipengaruhi dengan layanan dengan tarif relatif murah dan pengendara yang terdaftar. Para pelanggan dapat memesan ojek dan layanan lainnya melalui aplikasi di ponsel pintar mereka. Menurut Go-Jek (2017), saat ini ada sekitar 300 ribu supir Go-Jek, di kota-kota besar di Jawa dan Bali. Keberadaan Go-Jek dan perusahaan aplikasi transportasi lain sejenis, seperti GrabBike Bike dan Uber di kota-kota besar cukup menimbulkan kontroversi. Masalah yang timbul, misalnya, perdebatan sampai kalangan pejabat tinggi yang sempat menyebabkan dibatalkannya salah satu peraturan Menteri Perhubungan terkait pelarangan aplikasi transportasi online yang disebabkan pemerintah belum mampu menyediakan transportasi massal yang cepat dan layak bagi warga. Alasan lain yang menjadi perdebatan, seperti penyerapan tenaga kerja juga digunakan walau banyak pendapat yang menyatakan bahwa pelanggan moda transportasi baru ini hanyalah pindahan dari penyedia transportasi publik yang sudah stabil ke penyedia yang lebih tidak teregulasi. Terkait fenomena tersebut, terdapat penelitian dari Robbie Peters (antropolog dari University of Sydney) yang dilakukan pada awal tahun 2016 di beberapa kantong kemiskinan di Jakarta dan Surabaya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak diantara laki-laki berusia antara usia 18-60 tahun yang sebelumnya menganggur dan setengah menganggur telah menjadi pengemudi Go-Jek dalam enam bulan terakhir. Meskipun wajar bagi pekerja sektor informal untuk berganti-ganti pekerjaan ketika kesempatan yang lebih baik muncul, fenomena menjadi pengemudi Go-Jek cukup signifikan dilihat dari skala pergeseran dan waktu yang sangat cepat serta guncangan politik yang disebabkannya. Perkumpulan Prakarsa juga telah melakukan survei cepat di wilayah sekitar Jabodetabek pada bulan Mei 2016 terhadap 250 responden pengemudi ojek online untuk menggambarkan profil mereka yang bekerja di sektor ini. Hasil sementara dari survei ini menunjukkan bahwa mereka yang tergabung menjadi pengemudi ojek online adalah laki-laki berusia 20 sampai 60 tahun dengan latarbelakang pendidikan mayoritas SMA, serta sebelumnya bekerja sebagai pekerja sektor informal dan formal yang sedang mencari pendapatan lebih baik. Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, peneliti University of Sydney, Perkumpulan Prakarsa dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupaya melakukan penelitian mengenai para pekerja di sektor transportasi online di Jakarta dan Surabaya pada awal tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana isu perkembangan layanan ojek online sehubungan dengan isu ketenagakerjaan di kota- kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat persepsi warga komuter yang menggunakan jasa mereka. Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan argumen untuk mendorong kebijakan berbasis bukti dengan melihat tren transportasi online di Jakarta dan Surabaya. Penelitian ini menghasilkan studi-studi kasus yang dilakukan dengan beberapa metode. Metode tersebut, antara lain wawancara, survei dan pengamatan terhadap pengemudi ojek, serta perbandingan praktik dan kondisi pekerja transportasi online yang sedang merebak. Penelitian ini juga dilakukan dengan mewawancarai konsumen transportasi tentang persepsi mereka mengenai penggunaan jasa transportasi ini serta wawancara dengan beberapa narasumber kunci yang penting.Online ojek has appeared recently as a new breakthrough in terms of public transportation, which can be booked through our smart phone. This online ojek is very different from the conventional ojek system that already existed since the 1960s. In conventional ojek, prices must be agreed between passengers and drivers. However, online ojek offers the use of fares in accordance with mileage. Since the introduction of online ojek application "Go-Jek" in 2014, this company dominates the ojek market in urban areas. This is influenced by services with relatively cheap tariffs and registered riders. Customers can order ojek and other services through applications on their smartphones. According to Go-Jek (2017), there are currently about 300,000 Go-Jek drivers, in major cities in Java and Bali. The existence of Go-Jek and other similar transportation application companies, such as GrabBike and Uber in major cities are causing controversy. Problems arising on the high official level, for example, through the cancellation of one of the Minister of Transportation regulations related to the prohibition of online transportation applications. The cancellation is due to the inability the government to provide fast and decent mass transportation for public. Others argue with the contribution to labor absorption despite many opinions stating that these costumers of the new transportation mode are merely moving from a stable public transport provider to a more unregulated provider. Related to the phenomenon, a research from Robbie Peters (anthropologist from the University of Sydney) conducted in early 2016 in several pockets of poverty in Jakarta and Surabaya shows that many of the men aged between 18-60 years old who were previously unemployed and underemployed have been Go-Jek's drivers in the past six months. While it is natural for informal sector workers to switch jobs when better opportunities arise, the phenomenon of being a Go-Jek driver is significant in terms of the scale of the shift and the rapid time and the political shocks it causes. Perkumpulan Prakarsa has also conducted a quick survey in the area around Jabodetabek in May 2016 to 250 respondents of online ojek drivers to illustrate the profile of those working in this sector. The current findings from this survey indicate that those who are working as online ojek drivers are men aged 20 to 60 with a majority of high school education background and previously worked as informal and formal sector workers looking for better income. Based on the previous research, University of Sydney researchers, Perkumpulan Prakarsa and the Indonesian Institute of Sciences (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI) attempted to conduct research on workers in the online transportation sector in Jakarta and Surabaya in early 2017. It aims to understand the issue of the development of online ojek service in relation to labor issues in big cities, such as Jakarta and Surabaya. In addition, this study also seeks the perception of commuting citizens who use their services. It is hoped that the results of this study will provide arguments to encourage evidence-based policies by looking at online transportation trends in Jakarta and Surabaya. This study uses case studies conducted with several methods. These methods include interviews, surveys and observations of ojek drivers, as well as a comparison of the prevailing practices and conditions of online transport workers. This study was also conducted by interviewing transport consumers about their perceptions of the use of these transport services as well as interviews with key informants

    Refleksi Upaya Pencapaian MDGs 4 & 5 di Daerah Menjelang 2015: Studi Kasus Kebijakan Penurunan Kematian Ibu & Anak Baru Lahir di Kabupaten

    Full text link
    Angka Kematian Ibu, Bayi dan Balita di Indonesia masih cukup tinggi dan merupakan salah satu masalah utama kesehatan. Menurut Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) 2015, target Indonesia terkait penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian bayi (AKB) 23 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) 32 per 100.000 kelahiran hidup. Informasi terakhir dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan AKI masih 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 100.000 kelahiran hidup dan AKABA 44 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) dan AKABA dalam 5 tahun terakhir menunjukkan tren penurunan, namun tren AKI diperkirakan tidak akan dapat mencapai target MDGs. Desentralisasi sektor kesehatan di Indonesia memiliki dampak baik sekaligus buruk pada pembangunan kesehatan, khususnya pada program penurunan AKI, AKB dan AKABA. Desentralisasi memungkinan provinsi dan kabupaten/kota membuat program pembangunan kesehatan yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan setempat. Tetapi desentralisasi juga memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan program pembangunan kesehatan yang kurang sesuai dengan kebijakan pembangunan kesehatan nasional, sehingga pencapaian outcome kesehatan secara nasional tidak merata dan bahkan di beberapa daerah menjadi lebih buruk dari pada saat sistem pemerintahan masih bersifat sentralistik. Beberapa kabupaten di Indonesia telah memiliki regulasi daerah yang spesifik mengatur tentang penurunan AKI, AKB dan AKABA, antara lain Kabupaten Pasuruan di Jawa Timur, Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Pasuruan menurunkan Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Desa (Perdes) mengenai KIBBLA (Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) pada tahun 2008, dan berhasil menurunkan berbagai angka indikator kesehatan ibu anak dan Balita, bahkan mendapatkan MDGs Award pada tahun 2012 dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs. Sedangkan Kabupaten Takalar berupaya menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi dengan mengeluarkan Perda No 2 Tahun 2010 tentang Kemitraan Bidan dan Dukun dan telah mencapai nol angka kematian ibu sehingga menjadi daerah percontohan bagi daerah lain. Sementara itu Kabupaten Kupang, setelah adanya program Revolusi KIA dari pemerintah provinsi NTT tahun 2009, juga telah mengeluarkan Perbup No 16 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelayanan Kesehatan untuk Ibu dan Anak, namun masih jauh dari target penurunan yang disasar. Upaya penurunan Angka Kematian Ibu, Bayi dan Balita di beberapa kabupaten ini menunjukkan adanya inovasi kebijakan daerah di bidang kesehatan. Pada tiap-tiap kebijakan yang ditelurkan, tentu ada yang berhasil, namun ada juga yang kurang berhasil serta harus menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan outcome kesehatan penduduk di wilayah tersebut. Oleh karena itu, studi ini dilakukan untuk mempelajari secara lebih mendalam bagaimana kebijakan daerah tentang penurunan angka kematian ibu dan anak di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Kupang diimplementasikan. Apa saja yang mendorong keberhasilan tersebut dan apa hambatan serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut? Studi ini kami pandang penting agar menghasilkan catatan-catatan pembelajaran (lessons learned) yang nantinya dapat menjadi rujukan bagi daerah lain di Indonesia yang juga sedang berupaya untuk mempercepat pencapaian target MDGs pada tahun 2015. Penelitian ini dapat dilakukan berkat support dari EED (Evangelischer Entwicklungs Dienst) Jerman dan atas kerja keras dari tim peneliti sehingga dapat terlaksana. Akhirnya, selamat membaca, semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan menjadi rujukan bagi daerah lain ataupun pada level nasional yang juga sedang berupaya untuk mempercepat pencapaian target MDGs pada tahun 2015

    Policy Review 02 - Rasio Pajak Rendah Utang Makin Menumpuk

    Full text link
    enerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat ekonominya setara. Rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berkisar 12%. Padahal rata-rata penerimaan pajak negara-negara yang termasuk dalam kelompok menengah bawah (lower middle income) seperti Indonesia mencapai 19%. Rasio pajak Indonesia bahkan di bawah rata-rata negara miskin (low income) yang sudah mencapai 14,3%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, penerimaan pajak Indonesia diproyeksikan mencapai Rp 1.033 triliun. Berdasarkan kategori negara berpendapatan menengah, dengan jumlah tersebut negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak sekitar Rp 512 triliun atau hampir 50%. Perkiraan konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40%. Ketidakmampuan mengoptimalkan penerimaan pajak menyebabkan utang terus “berkelanjutan”. Jumlah utang baru, hampir selalu lebih besar cicilan utang. Akumulasi utang akan mencapai Rp 1.937 triliun tahun ini, artinya setiap penduduk Indonesia menanggung utang Rp 8 juta. Rasio utang terhadap PDB di bawah 30% bukan berarti aman apabila rasio pajak terus rendah. Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan membawa Indonesia terjebak dalam perangkap utang (debt trap)
    corecore