26 research outputs found

    Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Debitur Penerima Kredit Usaha Rakyat (Kur) Yang Wanprestasi Karena Overmacht Pada Perjanjian Kredit Bank (Studi Kasus Di Kota Palu)

    Get PDF
    vii RINGKASAN Maria Nova, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, November 2019, Pеlаksаnааn Pеrlіndungаn Hukum Bаgі Dеbіtur Pеnеrіmа Krеdіt Usаhа Rаkyаt (KUR) Yаng Wаnprеstаsі Kаrеnа Оvеrmаcht Pаdа Pеrjаnjіаn Krеdіt Bаnk (Studi Kasus Dі Kоtа Pаlu), Pembimbing Utama: Prof. Dr. Suhariningsih, S.H., S.U., Pembimbing Pendamping: Dr. Bambang Sugiri, S.H., M.S. Dari Latar Belakang perlu diketahui permasalahan yaitu: “Bаgаіmаnа Pelaksanaan Bеntuk Pеrlаkuаn Khusus bаgі Dеbіtur Pеnеrіmа Krеdіt Usаhа Rаkyаt (KUR) Sеbаgаі Kоrbаn Bеncаnа Аlаm yаng Tеrjаdі dі Kоtа Pаlu Prоvіnsі Sulаwеsі Tеngаh?” dan “Bаgаіmаnа Pеlаksаnааn Pеrlіndungаn Hukum bаgі Dеbіtur Pеnеrіmа Krеdіt Usаhа Rаkyаt yаng Wаnprеstаsі kаrеnа Оvеrmаcht pаdа Pеrjаnjіаn Krеdіt Bаnk (Khususnyа Pаdа Pеrіstіwа Bеncаnа Аlаm yаng Tеrjаdі dі Kоtа Pаlu)?”. Аdаpun tujuаn dаrі pеnulіsаn іnі аdаlаh untuk mеngkаjі dаn mеngаnаlіsа pelaksanaan bеntuk pеrlаkuаn khusus bаgі Dеbіtur pеnеrіmа Krеdіt Usаhа Rаkyаt sеbаgаі kоrbаn bеncаnа аlаm yаng tеrjаdі dі Kоtа Pаlu Prоvіnsі Sulаwеsі Tеngаh; untuk mеngkаjі dаn mеngаnаlіsа pеlаksаnааn pеrlіndungаn hukum bаgі Dеbіtur pеnеrіmа Krеdіt Usаhа Rаkyаt yаng wаnprеstаsі kаrеnа оvеrmаcht pаdа Pеrjаnjіаn Krеdіt Bаnk. Penelitian tesis ini merupakan pеnеlіtіаn hukum еmpіrіs аtаu sеrіng dіsеbut dеngаn pеnеlіtіаn lаpаngаn dengan mеnggunаkаn mеtоdе pеndеkаtаn yurіdіs еmpіrіs. Dаlаm pеnеlіtіаn іnі, pеnulіs mеmіlіh lоkаsі pеnеlіtіаn dі Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: 1. Kebijakan perlakuan khusus atas terjadinya bencana alam di Provinsi Sulawesi Tengah telah dirangkum dalam Siaran Pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor SP- 66/DHMS/OJK/X/2018 tanggal 10 Oktober 2018 tentang Perlakuan Khusus terhadap Nasabah dan Industri Jasa Keuangan yang terdampak Bencana di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 45/POJK.03/2017 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit atau viii Pembiayaan Bank bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam, kebijakan perlakuan khusus dimaksud diberikan dalam bentuk relaksasi/kelonggaran atas penetapan kualitas kredit melalui mekanisme restrukturisasi kredit. Mеnurut Оtоrіtаs Jаsа Kеuаngаn (ОJK) Sulаwеsі Tеngаh, kаlаu kоntеksnyа bukаn bеncаnа аlаm, rеstrukturіsаsі mеngаcu pаdа Pеrаturаn Bаnk Іndоnеsіа Nоmоr 14/15/PBІ/2012 tеntаng Pеnіlаіаn Kuаlіtаs Аsеt Bаnk Umum, tеtаpі kаrеnа kоntеksnyа bеncаnа аlаm mаkа rеstrukturіsаsіnyа іtu sеcаrа spеsіfіk аdа pеrbеdааn. Umumnyа mаyоrіtаs pеrbаnkаn іtu mеngаmbіl skеmа rеstrukturіsаsі bеrupа pеnundааn pеmbаyаrаn kеwаjіbаn ( grace period) mіnіmаl 12 (duа bеlаs) bulаn pеmbеrіаn pеnundааn; 2. Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam penulisan tesis ini adalah perlakuan yang diberikan setelah restrukturisasi kredit yang diberikan dalam bentuk penundaan pembayaran kewajiban belum maksimal, sehingga saat jatuh tempo penangguhan, Debitur masih belum mampu untuk melakukan pembayaran atau melunasi utangnya ke Bank. Apabila saat jatuh tempo penangguhan masih banyak Debitur korban bencana alam yang belum mampu untuk melakukan pembayaran atau melunasi utangnya ke Bank, maka perlakuan yang diberikan adalah bisa berupa: Perpanjangan restrukturisasi kredit; Addendum perjanjian baru; atau Hapus buku ( write off

    Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Wilayah Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Ntt)

    Get PDF
    Penulis mengangkat permasalahan mengenai pencegahan tintak pidana perdagangan orang di wilayah Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur. Dalam penulisan ini penulis merumuskan 3 (tiga) pokok permasalahan yang menjadi fokus pembahasan, yaitu: 1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang di wilayah Kepolisian Daerah Nusa Tengara Timur? 2. Kendala Apa yanga dihadapi oleh Kepolisian Daerah Nusa Tengara Timur dalam mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang ? 3.Upaya apa yang dilakuakan oleh aparat kepolisian dalam mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang di wilayah Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur? Penulis menggunakan metode penelitian Empiris. Dalam Hasil penelitian menghasilkan suatu kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang di wilayah Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Sedangkan dalam upaya pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang diwilayah Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur oleh pihak POLDA NTT dan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD, sejauh ini belum maksimal. Adapun kendala yang dialami dalam proses pencegahan oleh POLDA NTT ialah adanya ego sektoral yang membuat masing-masing instansi tidak dapat bekerja sama dengan baik. Seharusnya tidak memiliki sikap yang dinamakan ego sektoral dalam upaya mencegah TPPO di NTT, dan mematuhi gugus tugas yang telah dikeluarkan oleh Gubernur, agar proses pencegahan dapat berjalan dengan baik dan maksimal

    Residive Sebagai Pengecualian Diversi

    Get PDF
    Konsep recidive atau recidive yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mаsuk dаlаm kategori yаng dаpаt memberаtkаn pidаnа dаn penаmbаhаn hukumаn. Namun dalam penelitian ini penulis mengkaji terkait recidive yang dianut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang dijadikan sebagai syarat untuk tidak dilakukannya diversi dan dalam penerapan hukumnya syarat tersebut mengakibatkan adanya pelanggaran, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Nomor 05/pid.sus-anak/2015/PN. Bms. (Pengadilan Negeri Banyumas), yakni anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan biasa sebelumnya sudah pernah melakukan tindak pidana lainnya yaitu pencurian yang dilakukan 2 (dua) kali, namun dalam hal ini anak sebagai recidive tetap dilakukan diversi. Padahal sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 7 ayat (2) huruf b UU SPPA, anak yang telah melakukan recidive tidak dapat dilakukan diversi lagi. Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini mengenai bagaimana sistem recidive di Indonesia dan apakah sistem recidive sebagaimana dianut oleh Hukum Pidana Positif telah diaplikasikan melalui Putusan Pengadilan Nomor 05/pid.sus-anak/2015/PN. Bms. (Pengadilan Negeri Banyumas). Penelitian ini adalah penelitian yang mengunakan jenis penetilian hukum normatif/doctrinal normatif, dengan menggunakan pendekatan perundangundangan, pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum yang digunakan adalah primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik penafsiran sistematis atau dogmatis dan gramatikal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terkait recidive yang terdapat dalam UU SPPA seharusnya lebih dispesifikan pada jenis recidive tidak sejenis. Sehingga dapat diaplikasikan di dalam Putusan Pengadilan Nomor 05/pid.susanak/2015/PN. Bms. (Pengadilan Negeri Banyumas) dan putusan lainnya, karena terdakwa anak dalam melakukan recidive bukan karena faktor internal saja, akan tetapi oleh beberapa faktor lainnya dan oleh karena itu anak yang sudah pernah melakukan recidive tidak diberlakukan lagi diversi dalam setiap prosesnya. Namun dalam hal tersebut harus tetap mengedepankan kepentingan terbaik untuk ana

    Penjatuhan Pidana Dibawah Batas Minimum Khusus Pada Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 2591 K/Pid.Sus/2011)

    Get PDF
    Indonesia sudah seharusnya menegakan aturan-aturan yang dapat menjangkau, melindungi, dan memberikan rasa keadilan bagi rakyatnya. Untuk mencapai cita-cita yang terkandung dalam hukum, mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban hukum secara konsisten dan berkesinambungan. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan tujuan hukum ialah keadilan dan kepastian hukum. Namun dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, masih banyak ditemukannya inkonsistensi lembaga peradilan dalam menjatuhkan sanksi pidana dimana hakim dipandang sebagai corong Undang-Undang. Misalnya ditemukan beberapa putusan hakim yang menjatuhkan sanksi pidana dibawah minimum khusus seperti pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2591 K/Pid.Sus/2011. Sehingga problem yang muncul kemudian adalah adanya bentrok antara kepastian hukum di satu pihak dengan keadilan hukum di lain pihak dan telah bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung pengertian bahwa hukum pidana harus bersumber pada ketentuan Undang-Undang. Atas kondisi tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah: a. Apa pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam putusan nomor 2591 K/Pid.Sus/2011 ? b. Apa konsekuensi yuridis (akibat hukum) adanya putusan pengadilan dibawah batas minimum khusus pada perkara tindak pidana korupsi ? c. Bagaimana pidana minimum khusus diancamkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yang akan datang?. Jenis penelitian ini ialah yuridis normatif dengan metode pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Kasus. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan, yurisprudensi. Sumber bahan hukum sekunder adalah buku-buku yang diperoleh dari perpustakaan pusat Universitas Brawijaya dan Pusat dokumentasi Ilmu Hukum (PDIH) FH UB, viii artikerl-artikel dalam jurnal hukum, skripsi, dan karya tulis ilmiah lainnya. Sumber bahan hukum tersier diperoleh dari KBBI, Black’s law Dictionary. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa putusan Mahkamah Agung dalam Pertimbangannya terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sedemikian ringan sifatnya yaitu sejumlah Rp 13.295.251 merupakan suatu terobosan hukum ( rule breaking). Artinya dalam Pasal 3 PTPK tidak mengatur besaran akibat kerugian keuangan negara yang dikategorikan berat atau ringan sifatnya. Selain itu dalam putusan tersebut terjadinya antinomi yaitu pertentangan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan akan tetapi ketiga asas tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama-sama saling membutuhkan. Berikutnya akibat hukum putusan Mahkamah Agung, penulis membahas sejauh mana kekuasaan kehakiman yang dimiliki hakim hingga sampai dikeluarkannnya putusan pemidanaan dibawah minimum khusus. Putusan Mahkamah Agung tersebut tetap sah menurut hukum ( inkracht) dan tidak dapat dilakukan upaya hukum kembali walaupun secara materiil putusan tersebut melanggar asas legalitas. Dan terakhir diperoleh, penulis dengan mengkaitkan kedudukan hukum pidana dalam kebijakan hukum dan memperhatikan kondisi di lapangan serta membandingan aturan pidana minimum di negara lain dan melahirkan konsepan pemidanaan dan merumuskan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yang akan datan

    Rekonstruksi Pengaturan Dasar Kewenangan Hakim Mengadili Perkara Pidana Untuk Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan

    Get PDF
    Disertasi ini berjudul: Rekonstruksi Pengaturan Dasar Kewenangan Hakim Mengadili Perkara Pidana Untuk Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan. Disertasi ini meneliti tentang pengaturan dasar kewenangan hakim mengadili perkara pidana dalam Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penelitian ini adalah penelitian hukum yang mengkaji secara normatif ketentuan Pasal 1 Angka 9 KUHAP melalui pendekatan filosofis dan pendekatan analisis dengan analisis bahan hukumnya adalah analisis deskriptif, interpretatif, reflektif, rekonstruktif, dan preskriptif. Persoalan dalam penelitian ini akan dikaji menggunakan kerangka teoretik berupa Teori Kewenangan, Teori Legislasi, Teori Penemuan Hukum, dan Teori Keadilan Substantif dan kerangka konseptual berupa Konsep Jabatan Hakim dan Konsep Penegakan Hukum Yang Berkeadilan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. Ratio legis atau pertimbangan hukum pembentuk undang-undang dari pengaturan dasar kewenangan hakim mengadili perkara pidana yang hanya berdasarkan KUHAP adalah penegasan adanya asas legalitas dan pembatasan kewenangan hakim mengadili dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia. 2. Ratio decidendi atau pertimbangan hakim mengadili suatu perkara tidak selalu dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang ini sebagaimana ketentuan dalam KUHAP adalah penegasan adanya asas keadilan dan kekuasaan kehakiman mengadili dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan. 3. Implikasi hukum yang bisa timbul dari ratio legis dan ratio decidendi tersebut adalah adanya ketidakpastian dalam penentuan dasar kewenangan hakim mengadili perkara pidana. 4. Rekonstruksi pengaturan dasar kewenangan hakim mengadili perkara pidana yang ideal berupa pemaknaan pengertian mengadili yaitu hakikat, cara/metode, dan tujuan hakim mengadili berdasarkan Konsep Mengadili Seutuhnya (Comprehensive Adjudication Concept) yang merupakan hasil sintesis antara konstruksi dasar kewenangan hakim mengadili perkara pidana yang hanya berdasarkan hukum dalam arti sempit yaitu undang-undang dengan dekonstruksinya yaitu dasar kewenangan hakim mengadili perkara yang berdasarkan hukum dalam arti luas. Rekonstruksinya berupa pemaknaan pengertian mengadili sebagai kewenangan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan undang-undang dengan memperhatikan tujuan dari kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum yang berkeadilan dimana dasar kewenangan hakim mengadili perkara selain berdasarkan undang-undang juga berdasarkan hukum tidak tertulis, nilai-nilai hukum, dan rasa keadilan masyarakat yang sesuai dengan Pancasila dan Prinsip Hukum Umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia berdasarkan Konsep Mengadili Seutuhnya

    Rekonstruksi Pengaturan Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan

    Get PDF
    Sektor perpajakan merupakan salah satu faktor yang penting bagi peningkatan pendapatan negara. Untuk itu pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kali pembaharuan di bidang perpajakan atau reformasi perpajakan (tax reform) yang dimulai pada tahun 1983 kemudian pada tahun 1994/1997, dan terakhir pada tahun 2000. Dalam usaha pengamanan penerimaan negara dari sektor pajak pemerintah menetapkan suatu Peraturan Pemerintah tentang pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pada pelaksanaan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan dengan perhitungan sebagai berikut: tarif dasar final yang telah ditentukan dikalikan nilai transaksi sebagai dasar pengenaan pajaknya. Pajak Penghasilan dihitung tanpa melihat apakah nilai pengalihan (jual) yang terjadi lebih tinggi atau lebih rendah daripada nilai perolehan (beli), tetap dikenakan pajak dengan tarif final yang telah ditetapkan, artinya terhadap transaksi yang merugi (tidak memperoleh tambahan kemampuan ekonomis), tetap harus terkena Pajak Penghasilan (PPh). Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak dikenakan dari setiap tambahan kemampuan ekonomis/penghasilan (Pay as you earn), akan tetapi undang-undang itu sendiri mengatur pula bahwa terhadap penghasilan tertentu, yang antara lain adalah penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Memenuhi peraturan tersebut, pemerintah mengatur pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah, yang berlaku saat ini dengan penerapan tarif final yang dihitung berdasarkan nilai transaksi (tidak dengan nilai tambahan kemampuan ekonomis/keuntungan/penghasilan) dari Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, dapat dikatakan bahwa dari setiap transaksi pasti akan terkena pajak tanpa harus melihat apakah atas transaksi tersebut memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Telaah teoritis mendeskripsikan bahwa pajak penghasilan yang didefinisikan oleh kebijakan perpajakan tersebut tidak mencerminkan pajak penghasilan yang adil. Asas kepastian hukum sebagai salah satu asas dalam pemungutan pajak yang harus diperhatikan, tidak terpenuhi oleh karena Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini jelas bertentangan dengan isi dari undang-undangnya sendiri, bahkan ketentuan undang-undang ternyata tidak memberi kepastian untuk diterapkan dalam pelaksanaan pemungutan pajak secara nyata. Selanjutnya jika tidak terjamin terlaksananya asas kepastian hukum, seyogyanya terjamin terlaksananya asas keadilan yang tidak kalah pentingnya sebagai salah satu asas dalam pemungutan pajak oleh negara. Pajak memang perlu bagi negara, akan tetapi sebagai negara hukum, konsekuensinya adalah rakyat harus mendapatkan jaminan untuk memperoleh kepastian hukum serta keadilan. Ketidakadilan dalam pelaksanaan pemungutan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak-hak atas tanah dan atau bangunan itu dengan jelas dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut : (1) dasar pengenaan pajak yang menurut undang-undang seharusnya adalah tambahan kemampuan ekonomis atau penghasilan neto tidak diterapkan dalam pelaksanaan pemungutan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak-hak atas tanah dan/atau bangunan, (2) ukuran yang harus dipakai untuk "ability to pay" adalah seluruh jumlah penghasilan neto ("the global amount of ability to pay") juga tidak diterapkan dalam pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak-hak atas tanah dan atau bangunan, (3) bagi semua Wajib Pajak, biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak untuk merealisasikan penghasilan yang dikenakan pajak, seharusnya diperkenankan untuk dikurangkan dalam menghitung penghasilan yang dikenakan pajak, ternyata dalam kenyataannya tidak diperkenankan, (4) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang mendapat penghasilan dari penjualan hak-hak atas tanah dan atau bangunan seharusnya menurut undang-undang diberikan pengurangan sejumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak (PTKP), namun dalam sistem yang sekarang diterapkan, tidak diberikan pengurangan semacam itu, (5) menurut Undang-undang Pajak Penghasilan semua Wajib Pajak apapun jenis penghasilan yang diterima, apabila jumlah penghasilannya sama, seharusnya dikenakan pajak dengan tarif pajak yang sama, namun tidak diterapkan atas penghasilan dari transaksi hak-hak atas tanah dan/atau bangunan, (6) Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur suatu struktur tarif pajak progresif, sehingga bagi Wajib Pajak yang berpenghasilan lebih tinggi dikenakan pajak dengan tarif yang lebih tinggi, sehingga terjadi redistribusi penghasilan untuk menciptakan pembagian penghasilan yang lebih adil, (7) besarnya tarif seharusnya digantungkan kepada jumlah total penghasilan neto yang diterima, sedang dalam sistem yang berlaku sekarang, besarnya tarif tetap saja, sehingga tidak ada keadilan karena pajak dikenakan dari tarif tertentu dan bukan dari setiap tambahan kemampuan ekonomis/penghasilan (Pay as you earn)

    Perbаikаn Аkibаt Tindаk Pidаnа Sebаgаi Pidаnа Tаmbаhаn Dаlаm Undаng-Undаng Nomor 32 Tаhun 2009 Tentаng Perlindungаn Dаn Pengelolааn Lingkungаn Hidup

    No full text
    Pаdа Skripsi ini penulis mengаngkаt tentаng “Perbаikаn Аkibаt Tindаk Pidаnа” yаng terkаndung dаlаm Pаsаl 119 Huruf c UUPPLH, dimаnа dаlаm hаl ini tidаk dijelаskаn terkаit keаrаh mаnа “Perbаikаn” yаng diinginkаn oleh Undаng-undаng tersebut, pun dаlаm hаl ini tidаk terdаpаt pulа penjelаsаn pаdа аturаn terkаit seperti PERMА mаupun Perаturаn Jаksа Аgung, disisi lаin Pаsаl tersebut jаrаng sekаli digunаkаn oleh penegаk hukum dаlаm pemberiаn sаnksi bаgi pelаku pencemаrаn lingkungаn hidup, pаdаhаl sudаh selаyаknyа ketikа dibentuk, suаtu Undаng-undаng hаrus memperhаtikаn Аsаs Tujuаn yаng Jelаs, mаkа dаri itu perlu mempertegаs Mаknа Frаsа dаn kedudukаn sаnksi “Perbаikаn Аkibаt tindаk Pidаnа” dаlаm UUPPLH tersebut. Berdаsаrkаn lаtаr Belаkаng tersebut, permаsаlаhan hukum yаng dikemukаkаn dаlаm penelitiаn ini аdаlаh terkаit “Kekаburаn” Pаsаl 119 huruf c “Perbаikаn Аkibаt Tindаk Pidаnа” yаng tidаk emberikаn penjelаsаn terkаit аpа “Perbаikаn” yаng di аmаnаtkаn dаlаm Pidаnа tаmbаhаn tersebut sertа penggunааn terkаit Double Trаck sistem yаng tidаk jelаs dаn perlu untuk dipertegаs lаgi melаlui proses formulаsi pаsаl yаng bаru. Untuk menjаwаb permаsаlаhаn hukum tersebut, penelitiаn ini berdаsаrkаn pаdа penelitiаn hukum normаtif, dimаnа mengkаji melаlui mrtode pendekаtаn Undаng-undаng, Pendekаtаn Konsep, Pendekаtаn Аnаlisis, dаn Pendekаtаn Perbаndingаn, gunа menemukаn jаwаbаn terkаit dengan bentuk ‘Perbаikаn” yаng diаmаnаtkаn oleh UUPPLH tersebut. Dаri Pembаhаsаn yаng telаh dijelаskаn dаlаm Penelitiаn ini, dаpаt penulis Simpulkаn bаhwа tidаk ditemukаn mаknа frаsа “Perbаikаn Аkibаt Tindаk Pidаnа” dаlаm seluruh Undаng-undаng mengenаi Lingkungаn Hidup yаng pernаh berlаku di Indonesiа, dаn аpаbilа dilihаt dаri struktur bаhаsа melаlui “KBBI” “Perbаikаn Аkibаt Tindаk Pidаnа” dаpаt merujuk pаdа “Perbаikаn terhаdаp Korbаn аtаu Lingkungаn Hidup biologis dаn sosiаl” mаupun dаpаt merujuk pаdа “Perbаikаn Terhаdаp Lingkungаn Hidup Fisik”, mаkа dаri itu berdаsаrkаn penjelаsаn, sudаh sааtnyа mempertegаs isi pаsаl tersebut yаitu “Perbаikаn Terhаdаp Lingkungаn Hidup yаng Rusаk dаn/аtаu Tercemаr Аkibаt Tindаk Pidаnа”. Sertа dipertegаsnyа sаnksi tindаkаn, dаn dаlаm hаl ini sаnksi “Perbаikаn” dаpаt menjаdi sаnksi yаng berdiri sendiri аtаu pun sаnksi yаng diаkomodir sebаgаi “Pidаnа Tаmbаhаn” yаng berdiri sendiri seperti hаlnyа yаng diterаpkаn oleh KUHP Bhutаn yаng dаlаm hаl ini meletаkkаn sаnksi “Perbаikаn” аtаu sаnksi tindаkаn tersebut setаrа dengаn sаnksi pidаnа pokok yаng lаin, serta memfokuskan terhadap Perlindungan korban akibat pencemaran lingkungan hidu

    “Pengaturan Penggunaan Disappearing Ink Sebagai Bentuk Tipu Muslihat Berdasarkan Ketentuan Tindak Pidana Penipuan dalam Pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023”

    No full text
    Pada skripsi ini, permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah permasalahan terkait pengaturan tindak pidana penipuan menggunakan Disappearing Ink sebagai bentuk tipu muslihat berdasarkan Pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Dalam berkembangnya zaman yang sangat pesat, tentu dibutuhkan pula hukum yang dapat mengakomodasi perubahan zaman tersebut sebagaimana hukum pada hakikatnya haruslah bersifat adaptif dan progresif, tak terkecuali hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan perkembangan zaman, tentunya hadir pula perkembangan pemikiran yang salah satunya adalah perkembangan pemikiran yang negatif. Dengan adanya pemikiran yang negatif ini, tentu melahirkan tindakan yang tidak negatif juga yaitu tindak pidana. Tindak pidana hadir dalam segala jenis dan bentuk, dimana salah satunya adalah tindak pidana penipuan yang akan diteliti pada skripsi ini. Tindak pidana penipuan sendiri memiliki banyak jenis serta cara melakukannya, sebagaimana diatur di dalam hukum di Indonesia yaitu Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai produk hukum terbaru yang mengatur tindak pidana di Indonesia. Walaupun demikian, terdapat pula probabilitas adanya tindak pidana penipuan yang baru dengan seiring perkembangan zaman yang mana salah satu contohnya adalah dengan penggunaan alat bantu Disappearing Ink . Maka berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang kemudian diangkat dalam skripsi ini adalah: (1) Apakah penggunaan Disappearing Ink sebagai alat bantu tindak pidana penipuan dapat dikategorikan sebagai bagian dari tindakan tipu muslihat berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? (2) Bagaimanakah pengaturan terkait penggunaan Disappearing Ink sebagai alat bantu tindak pidana penipuan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana? Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), dan pendekatan perbandingan secara khusus pendekatan perbandingan mikro (micro-comparative approach ). Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dan dikorelasikan dengan permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini. Hasil dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: (1) Penggunaan Disappearing Ink dikategorikan sebagai alat bantu tindak pidana sebagai bagian dari tindakan tipu muslihat sebagaimana penggunaan Disappearing Ink berkedudukan sebagai alat bantu untuk tujuan penipuan dengan bentuk perbuatan sebagaimana makna dari tipu muslihat berdasarkan pada Pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana; (2) Pengaturan terkait penggunaan Disappearing Ink di Indonesia belum ada khususnya secara mendetail tentang alat bantu tindak pidana penipuan berdasarkan pada Pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana salah satunya adalah tipu muslihat (yang diteliti dalam penelitian ini) telah mengakomodir tindak pidana penipuan menggunakan Disappearing Ink . Adapun sebagai tambahan, pengaturan yang lebih lengkap dapat diberikan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum atas hukum yang adaptif dan progresif dalam mengikuti perkembangan zaman sebagaimana berkaca pada negara-negara lain yang mengatur tindak pidana penipuan secara komprehensif yaitu wilayah Britania Raya meliputi Inggris, Wales, dan Irlandia Utara serta negara India

    Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan Dan Lahan

    No full text
    Korporasi sebagai subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dalam perbuatan pembakaran hutan dan lahan. Hal tersebut diatur di berbagai macam peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-undang Perkebunan. Dalam hal penentuan kapan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kasus karhutla ini dirasa masih ada kekurangan atau kekosongan mengenai kapan perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan korporasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan hukum yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah kapan suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku dalam tindak pidana pembakaran hutan dan lahan dan bagaimana penjatuhan pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/PID.SUS/2015 dan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 serta Putusan PT Pekanbaru Nomor 212/PID.SUS-LH/2017/PT PBR. Untuk menjawab permasalahan diatas, penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti diperoleh melalui penelusuran kepustakaan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis sistematis guna menjawab isu hukum yang telah dirumuskan. Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan: 1.) doktrin ajaran gabungan adalah doktrin yang paling tepat dalam menentukan kapan suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan. 2.) pada putusan-putusan yang ada terkait korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dan lahan memunculkan dua model pertanggungjawaban yakni korporasi yang berbuat korporasi dan pengurus yang bertanggungjawab, korporasi yang berbuat pengurus yang bertanggungjawab, serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup adalah peraturan yang sering digunakan dalam mempidana korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dan lahan karena undang-undang tersebut merupakan lex specialis sistematis. Dari kesimpulan tersebut, penulis memiliki saran 1.) penentuan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana pembakaran hutan dan lahan harus dicermati secara bijak dan tepat oleh penegak hukum. 2.) penegak hukum harus lebih x berani lagi memberikan pidana tambahan berupa perbaikan kembali lingkungan yang rusak kepada korporas

    Kriminalisasi Perbuatan Cabul Terhadap Mayat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia

    No full text
    Skripsi ini mengangkat tentang kekosongan hukum terkait perbuatan cabul terhadap mayat. Perbuatan cabul terhadap mayat seharusnya termasuk dalam pelanggaran terhadap kesusilaan yang secara khusus melanggar kehormatan kesusilaan mayat. Karena perbuatan cabul terhadap mayat termasuk kejahatan kesusilaan karena adanya dorongan hawa nafsu yang bersifat seksual. Namun nyatanya perbuatan tersebut belum diatur dalam hukum positif Indonesia. Dalam RKUHP terdapat pasal 269 RKUHP yang menggunakan frasa memperlakukan jenazah secara tidak berdadab, namun frasa tersebut mengandung makna yang luas dan multitafsir serta sulit menjerat pelaku perbuatan cabul terhadap mayat. Sehingga untuk mengatasi kekosongan hukum yang ada, penulis membandingkan antara peraturan di Indonesia dengan Negara Inggris dan Negara Nevada yang telah mengatur perbuatan cabul terhadap mayat dalam Sexual Offences Act 2003 (Section 70) dan Nevada Revised Statute (Section 201.450). Skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang�undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Penelitian ini menghasilkan 2 (dua) jawaban yaitu, Pasal 269 RKUHP dengan frasa memperlakukan jenazah secara tidak beradab tidak memenuhi asas lex certa karena frasa tersebut masih tidak jelas, multitafsir dan belum dapat mengatasi kekosongan hukum atas perbuatan cabul terhadap mayat. Kedua, Berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Negara Inggris dan Nevada, perbuatan cabul terhadap mayat merupakan perbuatan penetrasi seksual seperti memasukkan bagian tubuh pelaku (seperti, kelamin laki-laki atau perempuan, jari atau benda lain) ke dalam bagian tubuh mayat (seperti, kelamin laki-laki atau perempuan, mulut atau anus)
    corecore