11 research outputs found

    Pembangunan Perekonomian Perdesaan Berbasis Agribisnis Jagung Di Provinsi Gorontalo

    Full text link
    Berbagai upaya ke arah pembangunan pertanian dan perdesaan senantiasa terus dilakukan oleh pemerintah maupun berbagai pihak terkait, dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan Mencermati keberhasilan pembangunan pertanian yang dilakukan oleh propinsi Gorontalo, ternyata tidak hanya cukup dengan melimpahnya sumberdaya pertanian yang dapat dijadikan modal pembangunan, tetapi sangat tergantung pada kondisi sumberdaya manusia dan manajemen kepemimpinan dari suatu wilayah. Kebijakan yang senantiasa berpihak pada pembangunan sektor pertanian sebagai sumber perekonomian potensial, memegang peranan cukup penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan di wilayahnya. Kebijakan pembangunan pertanian berbasis agribisnis jagung di Gorontalo didasari oleh konsep dan pemikiran dari kepemimpinan daerah bahwa : (1) pembangunan harus fokus ; (2) pembangunan yang berorientasi pasar ; dan (3) membangun branding. Implementasi dari pemikiran tersebut dilakukan dengan membuka peluang pasar komoditas jagung melalui perdagangan ekspor maupun domestik, memberikan fasilitas regulasi pada upaya-upaya pengembangan jagung, melakukan pengawasan pengaturan sistem agribisnis jagung dari hulu sampai dengan hilir, menegakkan komitmen aparatur serta melakukan kebijakan pengembangan secara terintegrasi melalui pola kerjasama dengan seluruh stakeholders dan pelaku yang terkait dengan komoditas jagung. Konsep sederhana yang dibangun oleh pemerintah provinsi Gororntalo dalam kaitan pengembangan komoditas jagung menjadi komoditas potensial, terbukti telah menjadi penggerak perekonomian wilayah dan simbol keberhasilan Perubahan menuju kesejahteraan petani. Komoditas jagung telah menjadi penciri kebanggaan daerah dan secara langsung memberikan multiplier effect bagi pembangunan sektor perekonomian lainnya maupun terhadap peningkatan kinerja pembangunan wilayah secara keseluruhan

    Pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA) Dan Pasar Lelang Komoditas Pertanian Dan Permasalahannya

    Full text link
    Permasalahan yang selalu akan dihadapi adalah bagaimana menciptakan sistem penanganan komoditas pertanian, sejalan dengan perbaikan kesejahteraan pelaku di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek perdagangan hasil pertanian. Konsep STA dan sistem pasar lelang, dimaksudkan agar sistem penanganan komoditas dapat dilakukan dalam satu tatanan agribisnis, sekaligus memberikan dampak bagi petani dan pelaku kegiatan lain dalam menciptakan kesejahteraan bersama dalam satu model pemasaran komoditas hasil pertanian yang menguntungkan seluruh pihak. Kendala untuk mewujudkan semuanya itu, di antaranya adalah persaingan dengan pelaku agribisnis lainnya terutama dalam pembelian komoditas pertanian dengan harga yang lebih kompetitif. Selain itu sistem pemasaran yang sudah lama terbentuk di tingkat petani, menyulitkan akses keberadaan STA dan sistem pasar lelan

    Mendudukkan Komoditas Mangga Sebagai Unggulan Daerah Dalam Suatu Kebijakan Sistem Agribisnis: Upaya Menyatukan Dukungan Kelembagaan Bagi Eksistensi Petani

    Full text link
    Pengembangan komoditas hortikultura sebagai alternatif sumber perekonomian masyarakat dari sektor pertanian, senantiasa terus mendapat perhatian dari berbagai fihak. Salahsatu komoditas hortikultura yang berkembang diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Majalengka, adalah komoditas mangga. Pengembangan komoditas mangga di beberapa daerah di wilayah Kabupaten Majalengka, telah banyak dilakukan baik secara individu maupun dalam kaitan dengan program pengembangan komoditas unggulan daerah melalui suatu sistem agribisnis. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah andalan pengembangan mangga di Indonesia yang memberikan kontribusi tertinggi kedua setelah Provinsi Jawa Timur. Luas panen mangga di Jawa Barat tahun 2003 mencapai 7.424 ha dengan total produksi 141.064 ton, atau setara dengan produktivitas 190 kwintal per ha. Lima jenis mangga utama yang dikembangkan di sentra mangga Jawa Barat yang meliputi kabupaten Majalengka, Cirebon dan Indramayu, adalah mangga harumanis, gedong, gedong gincu, dermayu dan golek. Diantara jenis mangga tersebut, gedong gincu merupakan jenis unggulan daerah yang mempunyai nilai kompetitif. Namun demikian USAha pengembangan produksi mangga secara umum masih dihadapkan pada permasalahan; (1) sangat dipengaruhi oleh musim dan curah hujan, (2) skala USAhatani, (3) pemasaran dengan sistem tebasan, ijon dan kontrak yang mengarah kepada eksploitasi produksi, akibat adanya desakan kebutuhan ekonomi, menghindari resiko gagal produksi serta menghindari biaya pemeliharaan yang besar; dan (4) Secara umum profit pemasaran lebih banyak dinikmati oleh para pelaku pasar, bukan petani mangga. Dengan kondisi tersebut, perlu upaya konkret dari berbagai fihak terkait untuk menyatukan dukungan kelembagaan bagi eksistensi petani dalam suatu sistem agribisnis mangga yang dijalankan. Dukungan pemikiran serta kebijakan pemerintah daerah dalam upaya mencari solusi kearah itu sangat dinantikan sehingga komoditas mangga sebagai salahsatu komoditas unggulan daerah, tidak hanya menjadi ”maskot” daerah semata tetapi juga harus menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan bagi para petani yang mengusahakannya. Pemerintah Kabupaten Majalengka telah mencoba merintis kelembagaan kearah itu dengan pola kerjasama kemitraan, sekaligus sebagai bentuk dukungan nyata untuk mendorong eksistensi petani dalam sistem agribisnis mangga yang saling menguntungkan

    Rancang Bangun Sinergi Kebijakan Agropolitan Dan Pengembangan Ekonomi Lokal Menunjang Percepatan Pembangunan Wilayah

    Full text link
    Orientasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat memicu pembangunan yang bias perkotaan dan diskriminasi terhadap wilayah perdesaan dan sektor pertanian, sehingga menyebabkan ketimpangan transfer sumberdaya dari desa ke kota. Kondisi ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan seperti kesenjangan pendapatan antara masyarakat perdesaan dengan komunitas perkotaan, migrasi penduduk secara berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan, dan eksploitasi wilayah perdesaan yang cenderung kurang mengindahkan aspek lingkungan sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem dan kemiskinan masyarakat perdesaan. Sinergi kebijakan agropolitan dan pengembangan ekonomi lokal melalui rekayasa kelembagaan klaster ekonomi dan forum kemitraan dapat dianggap sebagai salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Idealnya sinergi kebijakan tersebut diimplementasikan mengacu pada langkah strategi seperti sosialisasi, konsolidasi, dan uji coba (fase awal) kegiatan dalam kerangka otonomi daerah

    Konsep Dan Implementasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia

    Full text link
    Pembangunan berkelanjutan termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan komitmen negara-negara dunia yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Pelaksanaan pembangunan pada masa lalu yang hanya menekankan tujuan kemajuan ekonomi telah berdampak kepada kerusakan lingkungan dan timbulnya masalah sosial. Pendekatan pembangunan berkelanjutan pada hekekatnya adalah kegiatan pembangunan yang memadukan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun demikian dalam implementasi-nya konsep ini belum dilaksanakan oleh semua negara sesuai kesepakatan. Hal ini tercermin dari masih banyaknya ditemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam. Masih banyak dijumpai permasalahan dalam implementasi pembangunan pertanian berkelanjutan terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, salah satu penyebab yang menonjol adalah adanya ego sektoral yang menyebabkan pelaksanaan menjadi tersekat. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multi dimensi sehingga dalam implementasinya harus merupakan program terpadu lintas sektor dan multi disiplin pada tingkat pusat dan/atau daera

    Gagasan Dan Implementasi System of Rice Intensification (SRI) Dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE)

    Full text link
    System of rice intensification (SRI) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan. Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980. Pengembangan SRI juga dilakukan melalui uji coba di berbagai negaraAsia, termasuk Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Di Indonesia gagasan SRI juga telah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi serta Papua. Penerapan gagasan SRI berdasarkan pada enam komponen penting : (1) Transplantasi bibit muda, (2) Bibit ditanam satu batang, (3) Jarak tanam lebar, (4) Kondisi tanah lembab (irigasi berselang), (5) Melakukan pendangiran (penyiangan), (6) Hanya menggunakan bahan organik (kompos). Hasil penerapan gagasan SRI di lokasi penelitian (Kabupaten Garut dan Ciamis), menunjukkan bahwa : (1) Budidaya padi model SRI telah mampu meningkatkan hasil dibanding budidaya padi model konvensional, (2) Meningkatkan pendapatan, (3) Terjadi efisiensi produksi dan efisiensi USAhatani secara finansial, (4) Pangsa harga pasar produk lebih tinggi sebagai beras organik. Sekalipun demikian, konsep SRI masih belum dapat diterima serta masih menimbulkan polemik dan kontroversial dalam penerapannya hampir di semua tempat maupun di lembaga terkait, termasuk IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Internasional. Namun dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida kimia serta semakin rusaknya lingkungan sumberdaya telah mendorong petani di beberapa tempat mempraktekan sistem pendekatan SRI. Peluang pengembangan SRI ke depan juga didukung oleh tuntutan globalisasi dan konsumen Internasional terhadap budidaya padi ekologis ramah lingkungan, kemudian dengan sistem penyuluhan yang mudah dimengerti, juga terkait dengan kondisi peningkatan semua input produksi serta kebutuhan produk organik. Kendala pengembangan dalam skala luas, terkait dengan ketersediaan bahan-bahan organik, tenaga kerja tanam model SRI, serta kemauan dari petani sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian penerapan SRI di dua lokasi kajian, sebagai bahan informasi tambahan terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya pada konteks SRI. Dengan informasi ini dapat mendorong ide dan pemikiran baru berkaitan dengan masih adanya pendapat yang mempersoalkan pendekatan SRI ini

    Sistem Resi Gudang Dalam Perspektif Kelembagaan Pengelola Dan Pengguna Di Kabupaten Subang: Studi Kasus KSU Annisa

    Full text link
    EnglishA drop in agricultural commodity prices at harvest season and difficulty of obtaining farm financing are problems often faced by farmers . Warehouse Receipt System (WRS) is expected to be one among other government efforts to facilitate farmers to cope with these problems. WRS is a delay selling strategy by farmers in a way to temporarily storage their products in the warehouse and sell them at the right time to get the possi ble highest price . Warehouse Receipt ( WR) may be used by farmers as collateral to get loan from designated b ank and other financial institution. In general, the implementation of the WRS has been slow and has not been widely used by farmers and other WRS target participants. This paper aims to analyze policy in the implementation of WRS with regard to institutional perspectives of service supplier and users in Subang Regency and to formulate policy options for future performance improvement. Some findings indicate that small land size, the immediate need of cash during harvest season and famers' limited ability to meet quality standards are regarded as constraining factors for farmers to utilize WRS. Lacks of understanding of the concept , benefits, and impl ementation procedures of WRS remain fundamental problems. These occur at the farm level and in related agencies including local government officials. Dissemination and advocacy of WRS to farmers, farmer groups and all stakeholders need to be undertaken in a wider scale . An active role of local government is urgently needed to accelerate the dissemination of SRG. IndonesiaMerosotnya harga komoditas pertanian saat musim panen dan kesulitan memperoleh pembiayaan USAha tani merupakan fenomena yang seringkali dihadapi oleh para petani. Sistem Resi Gudang (SRG) diharapkan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memfasilitasi petani dan peserta skim SRG lainnya dalam menghadapi permasalahan tersebut. SRG merupakan strategi tunda jual yang dilakukan petani dengan cara menyimpan hasil panennya di gudang pengelola SRG dan menjualnya pada saat yang tepat untuk memperoleh harga yang tertinggi. Resi Gudang (RG) dapat dipergunakan oleh para petani sebagai jaminan untuk memperoleh kredit perbankan atau lembaga keuangan lain yang ditunjuk. Secara umum pelaksanaan SRG masih berjalan lambat dan belum banyak dimanfaatkan oleh para petani dan sasaran peserta skim SRG lainnya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan penyelenggaraan SRG dalam perspektif kelembagaan pengelola dan pengguna di Kabupaten Subang dan merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan kinerja SRG. Terbatasnya luas lahan garapan, kebutuhan untuk memperoleh uang tunai serta persyaratan kualitas dan volume minimal produk yang ditetapkan pengelola SRG, merupakan pembatas tingkat partisipasi petani dalam memanfaatkan SRG. Keterbatasan pemahaman tentang konsep dan manfaat SRG maupun tata cara pelaksanaannya menjadi permasalahan mendasar, tidak hanya di tingkat petani sebagai sasaran, tetapi juga terjadi pada para petugas pelaksana instansi terkait, termasuk aparat Pemda setempat. Oleh karenanya, sosialisasi dan advokasi tentang SRG kepada petani, kelompok tani, dan semua pemangku kepentingan perlu ditingkatkan dan diperluas. Peran aktif Pemda setempat sangat dibutuhkan untuk mempercepat penyebarluasan SRG

    Sistem Pertanian Terintegrasi – Simantri: Konsep, Pelaksanaan, dan Perannya dalam Pembangunan Pertanian di Provinsi Bali

    Get PDF
    EnglishIntegrated agriculture system (Simantri) is one of the priority program in Bali Province in order to enhance agricultural sector\u27s role to support Bali Mandara. This paper aims to describe potency, opportunity, and support of the local governments to empower farmers through Simantri program. This program is initiated Bali Governor (2008-2013) and based on Prima Tani model. Simantri was initially started in 2009 in 10 sites of the Gapoktans\u27 demonstration plots in 7 regencies. Durineg the period of 2009-2013 Simantri developed into 400 sites out of 1,000 targeted sites in 2018 in 9 regencies/cities. Total budget spent by Bali Government Province for Simantri 2009-1013 was more than Rp 8 billion from social assistance and CSR funds. Simantri enhances relation among farm activities and utilizes farm wastes inside the groups. Simantri orients its activities based on agriculture without waste or zero waste and produces 4 F (Food, Feed, Fertilizer and Fuel). Livestock-farm integration implemented by Simantri boosts farmers\u27 group business, job opportunity, and supplies of food, feed, fertilizer, organic pesticide, and bio gas to meet group members\u27 demand and for commercial purpose supported by local governments. In the future it is expected that Simantri becomes an integrated agriculture-energy program for food self-reliance and farmers\u27 welfare. It is as also expected that this program sustains regardless the changes in local government leaders and all attached policies. IndonesianSistem pertanian terintegrasi (Simantri) merupakan salah satu program unggulan daerah Pemprov Bali untuk peningkatan peran sektor pertanian mendukung Bali Mandara. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan tentang potensi, peluang, dan dukungan kebijakan pemerintah daerah terhadap sekor pertanian untuk kesejahteran petani melalui program Simantri. Inisiasi kegiatan didasarkan pada ide, gagasan, dan pemikiran Gubernur Bali (2008-2013) dan model Prima Tani. Implementasi Simantri dimulai tahun 2009 pada 10 lokasi percontohan Gapoktan Simantri di 7 kabupaten. Perkembangan Simantri 2009-2013 telah mencapai 400 lokasi, dari target 1000 lokasi Simantri tahun 2018 di 9 kabupaten/kota. Jumlah anggaran Pemprov Bali untuk kegiatan Simantri (2009-2013) mencapai lebih dari Rp80 miliar dalam bentuk bansos dan CSR. Konsep Simantri selain memberdayakan hubungan fungsi masing-masing kegiatan juga mendorong pada pemanfaatan limbah pertanian dan ternak menjadi komponen pendukung integrasi di tingkat kelompok Simantri. Kegiatan ini berorientasi pada USAha pertanian tanpa limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel). Beberapa hasil penelitian terkait dengan Simantri di Provinsi Bali menunjukkan bahwa pelaksanaan pola integrasi tanaman ternak di lokasi Simantri telah memberikan dampak pada tumbuhnya kegiatan USAha kelompok, lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan pangan, pakan, pupuk dan pestisida organik serta biogas di tingkat kelompok maupun untuk tujuan komersial melalui dukungan kebijakan pemda setempat. Potensi, peluang, dan dukungan kebijakan dalam pelaksanaan kegiatan Simantri diharapkan menjadi embrio bagi keberlanjutan program pembangunan sektor pertanian daerah menuju sistem pertanian energi terpadu untuk kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Dengan asumsi bahwa keberlanjutan program ini tidak terdistorsi oleh proses pergantian pimpinan daerah dan kepentingan kebijakan yang menyertainya
    corecore