15 research outputs found

    Studi penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah ortopedi di RSUD Kabupaten Sidoarjo

    Get PDF
    Bedah ortopedi merupakan cabang ilmu kedokteran yang memperlajari cedera akut, kronis, dan trauma pada sistem muskuloskeletal. Salah satu contoh dari tindakan bedah ortopedi yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Sebelum penanganan bedah ortopedi pada kasus fraktur terbuka dan fraktur tertutup memerlukan pemberian antibiotik profilaksis. Menurut penelitian AMRIN (Antimicrobial Resistance in Indonesia) Study pada tahun 2000-2004 di dua rumah sakit menunjukkan penggunaan antibiotok profilaksis tanpa indikasi di RSUP Dr Kariadi Semarang sebanyak 43-81% dan RSUD Dr Soetomo Surabaya ditemukan 45% - 76%. Pemberian antibiotik profilaksis harus digunakan secara tepat dan rasional, sehingga tidak menimbulkan resistensi terhadap bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil dan rasionalitas penggunaan terapi antibiotik profilaksis pada pasien bedah ortopedi dengan diagnosis fraktur di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Sidoarjo dengan menggunakan metode Gyssens. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan metode deskriptif non eksperimental. Sampel yang diperoleh berjumlah 39 pasien yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis yang sering digunakan adalah cefazolin (77,5%). Evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan kriteria Gyssens diperoleh 23,1% termasuk kategori V (tidak ada indikasi penggunaan antibiotik), 17,9% termasuk kategori IVA (terdapat antibiotik yang lebih efektif), 59% termasuk kategori IIIA (pemberian terlalu lama)

    Pengaruh Selang Waktu Pemberian Kolostrum Terhadap Konsentrasi IgG Serum Dan Average Daily Gain (ADG) Pedet Friesian Holstein (FH) Sapih Di PT. Greenfields Indonesia

    Get PDF
    Pedet postnatal pra sapih memiliki sistem pencernaan yang belum sempurna, dimana dari ke empat bagian perut sapi (rumen, retikulum, omasum dan abomasum), yang berfungsi hanya abomasum saja. Pakan yang cocok untuk dikonsumsi pada fase ini adalah pakan cair. Contohnya seperti kolostrum dan susu. Kolostrum merupakan susu dengan nilai antibodi dan nutrien yang lebih tinggi dibanding dengan susu. Antibodi yang terdapat dalam kolostrum yaitu berupa imunoglobulin. Sedangkan kandungan imunoglobulin paling tinggi adalah Imunoglobulin G (IgG). Antibodi dalam kolostrum merupakan maternal antibody yang berfungsi sebagai proteksi dari infeksi penyakit dengan cara transfer imun pasif dari induknya, karena pedet lahir dalam keadaan kekurangan antibodi dan masih belum bisa untuk membuat antibodinya sendiri. Namun, pedet memiliki keterbatasan dalam menyerap IgG. Semakin lama pemberian kolostrum, maka permeabilitas sel epitel dalam usus halus semakin menurun dalam menyerap IgG. Selain antibodi kolostrum juga memiliki growth factor yang berfungsi sebagai penunjang masa otot. Growth factor dalam kolostrum juga meningkatkan gula darah dan memfasilitasi transporatasi viii glukosa ke otot (Godhia and Neesah, 2013). Pemberian kolostrum yang tepat akan menginduksi sintesis protein yang menyebabkan peningkatan bobot badan tanpa mempengaruhi jaringan adiposa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh selang waktu pemberian kolostrum pasca kelahiran terhadap konsentrasi IgG serum dan ADG pedet umur sapih. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui waktu yang tepat dalam pemberian kolostrum, sehingga terjadi penyerapan IgG yang optimal dan ADG yang tinggi. Materi dalam penelitian adalah serum darah pedet yang diperoleh dari pedet umur 48 jam, pedet FH betina umur kurang dari dua bulan sebanyak 30 ekor, serta alat yang digunakan adalah timbangan untuk mengukur ADG pedet dan seperangkat alat untuk mengukur konsentrasi IgG dalam serum darah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan dengan 3 perlakuan dan 10 ulangan berdasarkan perbedaan waktu pemberian kolostrum. Adapun perlakuan yang digunakan adalah selang waktu pemberian kolostrum 0-20 menit pasca kelahiran (P1), 21 -40 menit pasca kelahiran (P2) dan 41-60 menit pasca kelahiran (P3). Varibel yang diamati adalah konsentrasi IgG serum dan ADG pada umur sapih. Data dianalisis statistik menggunakan ANOVA dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL), apabila terdapat perbedaan nyata atau sangat nyata diantara perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan selang waktu dalam pemberian kolostrum menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap konsentrasi IgG serum. Namun perlakuan terbaik didapatkan pada P3 dengan rerata konsentrasi IgG serum adalah 12,1054 ± 3,59 g/L yang kemudian disusul pada P2 dan P1 dengan nilai rerata berturutturut sebesar 11,6572 ± 3,10 g/L dan 11,5576±2,17g/L. Pengamatan ADG pada umur sapih juga menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan nilai tertinggi hingga terendah tiap perlakuan adalah P3 (0,6633± 0,13 kg/ekor/hari), P1(0,6283±0,10 kg/ekor/hari) dan P2(0,6183±0,05 kg/ekor/hari). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa selang waktu pemberian kolostrum pasca kelahiran dengan rentang waktu kurang dari 1 jam menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi IgG serum maupun ADG pada umur sapih. Saran yang diberikan berdasarkan hasil pelitian ini, yang pertama sebaiknya pemberian kolostrum dilakukan kurang dari satu jam pasca kelahiran, sehingga tranfer maternal antibody akan sukses dan menghasilkan pedet yang sehat dengan penampakan fenotip yang bagus. Kedua, dalam pemeliharaan pedet sebaiknya delakukan pengelompokan berdasarkan bobot lahir untuk mempermudah dalam manajemen pemberian kolostrum
    corecore