6 research outputs found

    Konfigurasi Medan Magnetik Daerah Aktif Di Matahari Yang Menghasilkan Flare

    No full text
    Untuk mengetahui struktur medan magnetik daerah aktif yang menghasilkan flare, diambil enam buah daerah aktif sebagai pembanding. Tiga dari daerah aktif ini (NOAA 5629, NOAA 6089, dan NOAA 6919) menghasilkan banyak flare, baik flare yang besar maupun subflare, sedangkan tiga daerah aktif yang lain (NOAA 5625, NOAA 6110, dan NOAA 6926) tidak menghasilkan flare. Berdasarkan Model Medan Potensial yang dibuat oleh Somov, dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan magnetik daerah aktif yang menghasilkan flare lebih kompleks dibandingkan dengan yang tidak menghasilkan flare.hlm. 108-11

    Perbandingan Sinar X Dan Ha Yang Dihasilkan Flare

    No full text
    ABSTRACT Ha flare-:associated soft X-ray bursts (1-8 A) were examined for 577 events observed by Automatic Flare Detection System. Their time profiles were roughly similar to those of the associated Ha flares. Observation to the maximum time of Ha flare and the SXR indicated that on average the SXR maximum time came behind the maximum of Ha flare. This time difference seemed to be longer with the longer duration of Ha flare, due to the emission measure. The maximum flux of Ha was also higher with the higher maximum flux of SXR. RINGKASAN Dengan sistem pendeteksi Ha, diamati 577 peristiwa flare Ha yang berasosiasi dengan radiasi sinar X lunak (SXR) dengan panjang gelombang 1-8 A. Kurva waktu kedua macam radiasi ini ternyata hampir mirip. Meskipun demikian, dengan mengamati waktu flare Ha dan SXR mencapai maksimum, diketahui bahwa pada umumnya SXR mencapai maksimum lebih lambat dari pada flare Ha. Perbedaan waktu ini disebabkan oleh adanya 'emission measure', dan cenderung makin besar bila kala hidup flare Ha makin lama. Selain itu diperoleh juga bahwa besarnya fluks Ha juga sebanding dengan besarnya fluks SXR.Hlm. 36-4

    Pengaruh Badai Antariksa Oktober-November 2003 Terhadap Lapisan Ionosfer Dan Komunikasi Radio

    No full text
    Makalah ini membahas dampak badai antariksa yang terjadi pada tanggal 28 dan 30 Oktober 2003 terhadap lapisan ionosfer dan dan komunikasi radio di Indonesia. Data yang digunakan adalah hasil pengamatan dengan ionosonda IPS7 1 di Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) Tanjungsari, dan sistem monitoring sinyal radio gelombang pendek (short wave,SW). Dari pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa dampak badai antariksa yang terjadi pada tanggal 28 dan 30 Oktober 2003 adalah terjadinya badai ionosfer negatif di Tanjungsari pada tanggal 30 dan 31 Oktober 2003. Kemudian diikuti badai ionosfer positif pada tanggan 1 dan 2 November 2003. Sementara dampaknya pada komunikasi radio adalah terjadinya blackout pada sirkuit komunikasi Songkla-Tanjungsari, terjadi tanggal 30 Oktober 2003 sebanyak dua kali, yaitu pagi dan siang hari, serta berdampak pula terhadap penerimaan sinyal gelombang RRI Jakarta dan ABC-Melbourne.Hlm. 84-9

    Aplikasi Metode Khabarova untuk Memprediksi Gangguan Geomagnet

    No full text
    Gangguan geomagnet di lintang rendah dipantau dengan menggunakan indeks Dst. Indeks ini menggambarkan gangguan geomagnet yang ditimbulkan oleh arus cincin yang berkaitan dengan proses yang terjadi di magnetosfer. Angin surya yang mengalir membawa partikel bermuatan. Medan magnet antarplanet di magnetosfer akan berinteraksi dengan medan geomagnet dan energi dari angin surya akan di transfer ke magnetosfer bagian dalam dan kemudian sampai di permukaan bumi. Prediksi gangguan geomagnet agak sulit dilakukan karena sangat dipengaruhi oleh kondisi angin surya dan medan magnet antarplanet. Khabarova telah mengembangkan metode untuk menghitung nilai dari gangguan geomagnet dengan menggunakan parameter kerapatan partikel angin surya dan medan magnet antarplanet. Untuk menguji seberapa efektif metode yang dikembangkan oleh Khabarova dalam prakiraan gangguan geomagnet yang akan terjadi dilakukan analisis statistik terhadap data indeks Dst. Indeks Dst ini diperoleh dari OMNI data, Goddart Space Flight Center, NASA dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 untuk 28 kejadian badai geomagnet. Hasil analisis menunjukkan rata-rata simpangannya adalah 16 % dan dapat memprakirakan gangguan geomagnet 14 jam kedepan.Hal.20-24 : ilus

    Latitudinal GRBR-TEC estimation in Southeast Asia region based on the two-station method

    Get PDF
    Article first published online: 13 OCT 2014Total electron content (TEC) is an important parameter for revealing latitudinal ionospheric structures, such as the equatorial ionization anomaly (EIA) in Southeast Asia. Understanding the EIA is beneficial for studying equatorial spread F. To reveal the structures, the absolute TEC as a function of latitude must be accurately determined. In early 2012, we expanded a GNU Radio Beacon Receiver (GRBR) network to provide latitudinal coverage in the Thailand-Indonesia sector. We employed the GRBR network to receive VHF and UHF signals from polar low-Earth-orbit satellites. The TEC offset is an unknown parameter in the absolute TEC estimation process. We propose a new technique based on the two-station method to estimate the offset for the latitudinal TEC estimation, and it works better than the original method for a sparse network. The TEC estimation system requires two iterations to minimize the root-mean-square error (RMSE). Once the RMSE reaches the global minimum, the absolute TECs are estimated simultaneously over five GRBR stations. GPS-TECs from local stations are used as the initial guess of the offset estimation. The height of the ionospheric pierce point is determined from the ionosonde hmF2. As a result, the latitudinal GRBR-TEC was successfully estimated from the polar orbit satellites. The two EIA humps were clearly captured by the GRBR-TEC. The result was well verified with the TEC reconstructed from the C/NOFS density data and the ionosonde bottomside data. This is a significant step showing that the GRBR is a useful tool for the study of low-latitude ionospheric features
    corecore