3 research outputs found
Bukan Sekadar Konfirmatorik
Adalah James Earle Deese (1921–1999), murid B.F. Skinner, seorang peneliti psikologi kognitif yang berparadigma sosial berpendapat bahwa fakta merupakan hasil interpretasi subjektif dari subjek pengamatnya. Pernyataan ini didasarkan pada penelitiannya yang konsisten tentang fakta, ingatan dan bahasa dalam karir sebagai peneliti psikologi. Ia menerangkan bahwa fakta adalah pemahaman subjek tentang stimulus atau data, yang terbentuk oleh ingatan. Ingatan (memory) sebenarnya adalah state dibentuk oleh bahasa dan pengalaman kesehariannya. Lantas Deese pun memberikan kesimpulan tegas bahwa subjektivitas memiliki kontribusi yang besar dalam lahirnya sebuah fakta apa pun, karena alasan peran ingatan (Deese, 1972 dalam Gross, 2017).Bahasa adalah penentu ingatan yang dikonstruksi oleh lingkungan subjek (Marshall Deese, 1968). Bahasa adalah artikulasi manusia yang dibangun sebagai hasil interaksinya dengan lingkungannya. Segala peristiwa perjumpaan yang dialami seseorang dimediasi oleh sistem koding tertentu yang memungkinkan satu dengan yang lain terhubung. Selanjutnya bisa diidentifikasi bahwa lingkungan yang berbeda akan melahirkan variasi bahasa; bahasa subjek adalah representasi dari masing masing lingkungannya (Chomsky, 1986; 2000; Wilson, 2005).Lingkungan adalah bagian dari determinasi ingatan yang menentukan lahirnya fakta. Jika ternyata konten dan karakter ingatan ditentukan oleh bahasa, maka jelaslah bahwa kontribusi lingkungan menjadi layak untuk diperhitungkan ketika mengkaji sebuah fakta. Seperti dikatakan Deese dan kawan kawannya ingatan bentukan lingkungan adalah referensi yang memberikan semacam “kerangka” bagi subjek dalam memahami suatu data atau objek yang dijumpainya. Salah satu penelitian yang terinspirasi oleh pemikiran Deese tentang memori dan bahasa yaitu Roedinger McDermott yang di pada tahun 1995 dengan judul “Creating False Memories: Remembering Words Not Presented in Lists”, dan mencetuskan paradigma paradigma Deese-Roediger-McDermott (DRM), yang merupakan teknik eksplorasi dalam terjadinya ingatan palsu (false memory). Dalam paradigma ini, peserta diberikan daftar kata-kata yang semuanya terkait dengan kata kritis yang tidak ditampilkan. Misalnya, jika kata kritis adalah "tidur," daftar tersebut mungkin termasuk kata-kata seperti "tempat tidur," "mimpi," dan "lelah." Peserta kemudian diminta untuk mengenali kata-kata yang mereka lihat, dan ternyata para peserta lebih sering melaporkan pemahaman yang sebenarnya tidak ada dalam daftar probabilitas kata kritis. Penelitian ini telah memberikan wacana dalam studi tentang ingatan, bahasa, dan bagaimana fakta terbentuk. Ingatan adalah sebuah referensi membangun fakta pengetahuan. Ingatan adalah data yang telah terkonstruksi sedemikian rupa dalam kognitif subjek, selanjutnya menjadi sistem atau model asosiasi (Deese, 1972; Carruthers, 1990; Copenhaver, 2006). Objek atau data yang baru yang dijumpai subjek akan diasosiasikan dengan model ingatan dan akhirnya pemahaman fakta tentang suatu objek terbentuk, menjadi informasi dan memiliki prospek menjadi pengetahuan (Engel, 1999; Danziger, 2002). Cara pandang ini menyiratkan bahwa sebenarnya tiada fakta pengetahuan yang bisa diberlakukan secara universal, dengan mempertimbangkan ragam lingkungan yang membangun variasi ingatan dalam subjek.***Diskusi tentang bagaimana peran ingatan sebagai referensi pembentukan fakta dan pengetahuan adalah layak untuk dipertimbangkan dalam memahami ilmu psikologi dalam perspektif kontekstual maupun generik. Hal ini sangat berguna dalam membangun kemampuan distingsi dalam membaca perkembangan dan aktualitas psikologi yang berkembang. Kemampuan distingtif dalam membaca perkembangan dan aktualitas pengetahuan psikologi merujuk pada pilihan kesadaran kita dalam memperlakukan hasil-hasil penelitian psikologi; hasil yang bersifat teoritis logis, dan mana yang relevan dengan kebutuhan dan konteks nyata (Gross, 2017). Diakui, lebih banyak hasil penelitian psikologi yang lebih bertujuan mempertajam sisi logis teoritik dalam psikologi daripada yang berfokus pada persoalan- persoalan yang kontekstual (Ratner, 1991; Gross 2017). Pada sisi yang lain melalui pertimbangan tersebut, sebagai peneliti kita memiliki kesempatan untuk membuka diskusi kritis kepada publik ilmiah psikologi tentang evaluasi dan refleksi soal penerapan teori psikologi arus utama yang dijadikan referensi dalam meneliti problem lokal. Sekurang kurangnya, kedua kepentingan ini berguna untuk membangun kesadaran dan peta jalan pengembangan ilmu psikologi yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat kita.Kita tentu menyadari bahwa batu bata pengetahuan yang berupa teori dan perspektif yang telah dirintis oleh para pelopor psikologi adalah sangat bernilai, dan menjadi kapital penting dalam menerapkan dan mengembangkan psikologi sebagai ilmu. Perspektif dan teori tersebut memberikan dasar pemahaman bagi para ilmuwan dan praktisi psikologi dalam memahami perilaku. Teori dan perspektif dapat dianggap semacam “ingatan” dalam memahami data, seperti teori psikologi digunakan dalam mencerna data perilaku menjadi fakta pengetahuan.Perspektif dan teori psikologi yang generik esensial menjadi instrumen yang telah lazim digunakan dalam penelitian psikologi. Umumnya penelitian psikologi yang saya baca, selalu menggunakan teori teori besar psikologi sesuai topiknya sebagai landasan untuk mendefinisikan data, gejala dan membangun pemaknaan simpulan psikologisnya. Dari berbagai bidang penelitian yang ada dalam psikologi seperti diketahui, tidak pernah sekalipun melewatkan pembubuhan teoritis salah satu (atau justru semua) mazhab psikologi (Psikoanalisa, Behaviorisme, Humanistik, Psikologi Gestalt, Psikologi Positif, Psikologi Transpersonal dan Psikologi lintas Budaya) dalam mendefinisikan kajiannya. Tentu ini adalah sah sah saja, karena sebagai peneliti kita perlu mengantar, menjelaskan objek kajian kepada pembacanya, hingga peneliti sekaligus pembaca terbantu dalam berkomunikasi tentang topik penelitian.Cara kerja konfirmatorik menjadi tren dalam pembacaan data psikologi (Ratner, 1991; Gross, 2017). Paradigma dan teori psikologi yang pernah lahir dalam ruang pengetahuan secara masif digunakan oleh para peneliti sebagai “kacamata” untuk melihat data yang ditemukan. Cara kerja konfirmatorik dalam meneliti memang memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menentukan judgement criteria terhadap data dan hasilnya, sehingga arah tindakan penelitian tampak lebih jelas (Danziger, 2002). Selanjutnya melalui jalan konfirmatorik peneliti barangkali juga dimudahkan dalam menentukan dan mengontrol konten dan karakter objek kajiannya, sekaligus dapat menyusun argumen yang lebih jelas dalam penelitian. Secara praktis penelitian (dan juga tindakan psikologis) dapat membangun kesan tentang hasil dan penjelasan yang kredibel dan komunikatif. Titik lemah paradigma konfirmatorik dalam penelitian terletak pada aktualitas dan kontekstualitasnya (Danziger, 2002; Gross, 2017). Hal ini sangat mungkin terjadi karena pergerakan realitas dunia, termasuk realitas keperilakuan yang sangat dinamis. Melalui perubahan segala dimensi dan spektrum kehidupan yang pesat terjadi, maka realitas dan problem perilaku juga bergerak dan berubah (Giddens, 2003). Kombinasi perubahan konteks temporal, geografis dan struktural telah melahirkan data data keperilakuan yang tak lagi cermat terbaca oleh teori- teori (ingatan yang bukan lokal) psikologi yang kemarin lalu. Tentu kenyataan ini mengingatkan kita tentang risiko dalam menjalani cara berpikir konfirmatorik alam penelitian.Membuka ruang inklusif dalam model konfirmatorik menjadi pertimbangan penting. Menyadari potensi persoalan di balik kejelasan dalam cara berpikir konfirmatorik, perlu sebuah improvisasi untuk memberikan ruang bagi cara berpikir inklusif dalam praktek konfirmatorik. Jika hasil penelitian hanya berhenti pada kesimpulan sesuai dan tidak sesuai, sejalan atau berlawanan dengan sebuah ground theories-nya, barangkali sebuah penelitian sekadar wujud replikasi saja, dan yang kurang mendukung aktualitas dan pengembangan pengetahuan. Seperti yang dikhawatirkan oleh Karl Popper (1959), bahwa konfirmatorik dalam penelitian ilmiah hanya akan menghasilkan penegasan ulang yang kurang sebenarnya tidak membuat pengetahuan berkembang. Karl Popper menyebutnya sebagai arah pengembangan pengetahuan yang meluas namun tidak mendalam.Agenda temuan tambahan sebagai langkah praktis inklusif. Kesadaran pada praktek penelitian yang tidak berhenti pada konfirmasi hipotetik menunjuk pada semangat curiosity peneliti untuk mengetahui lebih dalam tentang hasil analisis data yang ditemukannya, dan mengartikulasikannya dalam agenda “temuan tambahan”. Selain menuruti hipotesa penelitian, sebaiknya peneliti juga memberdayakan konteks dalam analisis dengan mencari dan menemukan hasil hasil yang khas dari data penelitian. Hal ini dapat dilakukan melalui penyajian temuan temuan khas di luar hipotesa penelitian menjadi bagian dari temuan penelitian. Sebagai sebuah penelitian yang mungkin akan dibaca publik psikologi melalui proses publikasi, sajian temuan tambahan (temuan lain di luar hipotesis) ini barangkali akan menjadi hasil penelitian yang akan memperkaya muatan penelitian; secara praktis hal ini juga membuka kemungkinan untuk menginspirasi publik psikologi untuk mendalami dan barangkali meneruskan dalam agenda penelitian yang baru.Ruang inklusi dalam praktek penelitian psikologi memberikan kemungkinan pengembangan ilmu psikologi secara lebih komprehensif. Selain berpegang teguh pada teori dan perspektif yang telah kokoh dan diyakini banyak orang, rupanya keterbukaan pada gejala dan dinamika yang kontekstual dan terlihat marginal juga tak kalah pentingnya. Keberanian untuk melibatkan gejala dan kekuatan kontekstual menjadi penting bagi pengembangan ilmu psikologi yang aktual dan kritis, supaya kita tidak tergelincir pada gerakan replikasi yang berpotensi membawa psikologi pada diskusi pengetahuan yang formal semata.***Dalam SUKSMA edisi Oktober 2023 ini, kami menghaturkan 6 artikel penelitian terpilih: (1) Studi Kasus: Pengaruh Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada Klien dengan Diagnosa Gangguan Afektif Bipolar, (2) Rumus Slovin: Panacea Masalah Ukuran Sampel?, (3) Kesepian dan Regulasi Emosi pada Emerging Adulthood, (4) Gambaran Perilaku Komunikasi Guru Sekolah Menengah Pertama berdasarkan Konstruk Teacher Communication Behaviour Questionnaire (TCBQ), (5) Program Intervensi Narimo Ing Pandum dalam Meningkatkan Penerimaan Diri ADHA di Kota Yogyakarta, (6) Literasi digital pada PNS; dan 1 artikel gagasan: Taksonomi Kewenangan Psikolog.Dengan segala hal yang barangkali kurang sempurna kami berharap para pembaca dapat menikmati sajian kami. Masih dalam semangat membangun ruang inklusi dalam pengembangan pengetahuan psikologi melalui ketujuh atikel ini, SUKSMA mengajak para pembaca untuk mengkritisi dan membangun diskusi yang berkontribusi bagi pengembangan pengetahuan psikologi yang progresif dan aktual. Terima kasih