21 research outputs found

    Pengaruh Penambahan Natrium Metabisulfit dan Suhu Pemasakan dengan Menggunakan Teknologi Vakum terhadap Kualitas Gula Merah Tebu

    Get PDF
    Brown sugar as sucrose is derived from evaporated sugar cane molasses. Evaporation is the foodstuffs’ process which is commonly used during the manufacture of sugar cane. This process evaporates the sugar cane molasses to produce concentrate. This research was aimed to assess the influence of sodium metabisulphite against physical and chemical properties of sugar cane using vacuum evaporator. In other hand, this reserach examined the influence of temperature on vacuum evaporator for chemical and physical properties of sugar cane. Sugar cooking was done at -700 mmHg below atmospheric pressure, with variations in heating temperature of 60, 70 and 80 C, and with the addition of sodium metabisulphite 0.1; 0.3 and 0.5 g/l sugar cane molasses. The larger addition of sodium metabisulphite in the processing of sugar cane, the higher ash content generated while the green and blue colors of red sugar cane were getting smaller. The higher cooking temperature, the lower the moisture content, ash content, color intensity of red, green and blue of sugar cane. The higher the cooking temperature, the higher the degree of hardness or texture, color preference level, the taste and texture of sugar cane. Based on statistical analysis, cooking temperature affects the moisture content, ash, and the reduction sugar of cane brown sugar. While the addition of sodium metabisulfite gives effects on ash, reduction sugar and the total dissoluble solids of sugar cane. Based on the parameters of chemical properties, physical, organoleptic tests and SNI requirements of sugar cane, the addition of sodium metabisulphite variation of 0.3 g/l and a heating temperature of 80o C in processing sugar cane into brown sugar have shown the most excellent quality. The value of each parameter based on the best treatments as follows: chemical and physical parameters with 8.97 % of water content, 8.29% of reduction sugar, 0.96 % of ash content, 0.50% of total dissoluble solid, 15.68 kg/cm2 of hardness value, while for organoleptic parameters for color 5.50, flavor 5.04 and texture 5.36.ABSTRAKGula merah sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu yang diuapkan. Penguapan merupakan proses pengolahan bahan pangan yang umumnya digunakan pada pembuatan gula merah tebu, dimana proses ini menguapkan sebagian besar nira untuk menghasilkan produk yang kental (konsentrat). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penambahan natrium metabisulfit terhadap sifat fisik dan kimia gula merah tebu yang dihasilkan dari penggunaan vacuum evaporator, dan mengkaji pengaruh suhu pemasakan pada vacuum evaporator terhadap sifat fisik dan kimia gula merah tebu. Pemasakan gula dilakukan pada tekanan -700 mmHg di bawah tekanan atmosfir, dengan variasi suhu pemasakan 60, 70 dan 80o C dan dengan penambahan natrium metabisulfit 0,1; 0,3 dan 0,5 g/l nira. Semakin besar penambahan natrium metabisulfit dalam pengolahan gula merah tebu, semakin tinggi kadar abu yang dihasilkan sedangkan intensitas warna hijau dan biru gula merah tebu semakin kecil. Semakin tinggi suhu pemasakan, semakin rendah kadar air, kadar abu, intensitas warna hijau dan biru gula merah tebu. Semakin tinggi suhu pemasakan, semakin tinggi tingkat kekerasan atau tekstur, tingkat kesukaan warna, rasa dan tekstur gula merah tebu. Berdasarkan analisis statistik, perlakuan suhu pemasakan berpengaruh terhadap kadar air, kadar abu dan gula reduksi gula merah tebu. Sedangkan perlakuan penambahan natrium metabisulfit berpengaruh terhadap kadar abu, gula reduksi dan total padatan tak terlarut pada gula merah tebu. Berdasarkan parameter sifat kimia, fisik, uji organoleptik dan persyaratan SNI gula merah tebu, penambahan natrium metabisulfit 0,3 g/l dan suhu pemasakan 80o C dalam pengolahan nira tebu menjadi gula merah menunjukkan kualitas yang paling baik. Nilai masing-masing parameternya dari perlakuan terbaik sebagai berikut: parameter kimia dan fisik dengankadar air 8,97%, gula reduksi 7,96 %, kadar abu 2,65%, total padatan tak larut 0,60 %, nilai kekerasan 15,68 kg/cm2, parameter organoleptik denganwarna 5,50, rasa 5,04 dan tekstur 5,36

    Aplikasi Pulsed Electric Field (PEF) Sistem Kontinyu pada Sari Tebu Hijau (Saccharum officinarum L.) (Kajian Tegangan dan Frekuensi PEF)

    Get PDF
    Sari tebu hijau merupakan diversifikasi produk olahan tebu hijau. Pada proses pastuerisasi sari tebu hijau dapat dilakukan dengan dua cara yaitu termal dan nontermal. Kandungan tertinggi pada sari tebu yaitu gula sebesar 75-92 %, bila dipanaskan dengan metode termal adanya ion OH- akan terjadi proses dekomposisi diawali dengan pembentukan asam organik (asam laktat) diikuti senyawa kompleks yang akhirnya dapat menghasilkan warna coklat. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan alternatif pengolahan sari tebu hijau nontermal. Salah satu pengolahan nontermal menggunakan Pulsed Electric Field (PEF). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi tegangan dan frekuensi PEF terhadap kualitas sari tebu hijau, serta untuk mengetahui kombinasi tegangan dan frekuensi PEF yang paling tepat agar dihasilkan kualitas sari tebu hijau yang terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tegangan (< 40 kV) dan frekuensi (< 40 kHz) yang rendah pada perlakuan PEF tidak berpengaruh signifikan terhadap total mikroba, total padatan terlarut, total gula, viskositas dan warna pada sari tebu hijau. Perlakuan terbaik pada penelitian ini yaitu perlakuan PEF menggunakan tegangan 40 kV dan frekuensi 40 kHz. Hasil perlakuan terbaik pada pengujian TPC pada perlakuan PEF tegangan 40 kV dengan frekuensi 40 kHz yaitu 87,48 % dengan total mikroba 8,5 x 106 cfu/ml. Penurunan total mikroba pada tegangan 40 kV dan frekuensi 40 kHz sebesar 0,9 log cycle, dengan karakteristik pH yaitu 5,83, total padatan terlarut (TPT) sebesar 13,4 derajat Brix, viskositas sebesar 5 Cp, warna kecerahan (L*) sebesar 23,55, kemerahan (a*) sebesar 7, kekuningan (b*) sebesar 7,3, dan total gula sebesar 12,24 %.Kata Kunci: Frekuensi, Pulsed Electric Field (PEF), Sari tebu hijau, Tegangan, emerging processin

    Pengaruh Penyimpanan Atmosfer Termodifikasi (Modified Atmosphere Storage/ MAS) terhadap Karakteristik Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

    Get PDF
    The food storing technology is growing fast. Since the optimal storage could increase the value of the material being stored. A proposed solution to overcome counter this issue is the use of modified atmosphere storage (MAS) technology. White oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) is one of vegetables that is highly perishable that makes this mushroom has a short shelf life. Therefore, appropriate postharvest handling is needed to maintain the quality of oyster mushrooms by expanding its shelf life. The aims of this research were to assess the effect of the use of MAS technology and to characterize the white oyster mushroom. Based on the research conducted at the Laboratory of Agricultural Processing and Postharvest Engineering, Department of Agricultural Engineering, Brawijaya University showed that the modified atmosphere storage of white oyster mushroom affected the respiration rate and shelf life of the studied commodities. On the basis of the observations on each parameter (respiration rate and storage time), the normal storage time for white oyster mushrooms is 1 day. While iby applying MAS, the white oyster mushrooms could last for 3 days using treatment A (21 % O) and B (12,4 – 12,5 %   O), and could last for 4 days using treatment C (9,2– 9,3 % O2) , D (5,9 – 6,1 % O2), and E (3,5 – 3,7 % O). Therefore, It can be concluded that by using MAS storage at low O2 concentrations, the shelf life of mushrooms could be longer. ABSTRAK Teknologi penyimpanan saat ini berkembang cukup pesat. Hal ini dikarenakan penyimpanan yang optimal akan meningkatkan nilai dari bahan yang disimpan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal tersebut yaitu penyimpanan menggunakan metode atmosfer termodifikasi (Modified Atmosphere Storage/MAS). Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu komoditas sayuran yang bersifat mudah rusak, hal ini membuat jenis jamur ini memiliki umur simpan yang terbilang singkat. Oleh karena itu, penanganan pasca panen yang tepat pun dibutuhkan agar kualitas jamur tiram dapat dipertahankan sehingga umur simpannya juga lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh penggunaan teknologi penyimpanan dengan MAS terhadap karakteristik jamur tiram putih. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Teknik Prosesing Hasil Pertanian, Jurusan Keteknikan Pertanian, Universitas Brawijaya, menunjukkan bahwa penyimpanan dengan atmosfer termodifikasi  dapat mempengaruhi laju respirasi dan lama simpan komoditas jamur tiram putih. Hasil pengamatan pada tiap parameter (laju respirasi dan lama penyimpanan) dapat diketahui bahwa lama simpan jamur tiram putih pada kondisi normal adalah 1 hari. Sedangkan pada kondisi penyimpanan menggunakan metode atmosfer termodifikasi jamur tiram putih dapat bertahan selama 3 hari pada perlakuan A (21 % O2) dan B (12,4 – 12,5 % O), dan bertahan selam 4 hari pada perlakuan C (9,2 – 9,3 % O2), D (5,9 – 6,1 % O2), dan E (3,5 – 3,7 % O2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan penyimpanan MAS pada konsentrasi O2 yang rendah maka umur simpan jamur akan semakin lama

    ANALISA SIFAT FISIK DAN KANDUNGAN NUTRISI TEPUNG TALAS (Colocasia esculenta L.) PADA SUHU PENGERINGAN YANG BERBEDA

    No full text
    Taro flour is one of dried products of taro (Colocasia esculenta L.). The characteristics of taro flour that low water content has an important role in determining the storage time. The presence of water in materials is influenced by internal factors of material, processing, moisture of storage and packaging materials. The water level reduction technique commonly used is by drying process, one of them is by using a tray dryer machine. The aim of the study was to analyze the physical properties, and nutritional content of taro flour produced from drying taro chips using a tray dryer machine at a drying temperature of 50°C, 60°C and 70°C with drying times 5, 6, and 7 hours. The physical parameters observed were water content, density and color, the nutritional parameters observed were protein, fat, ash, carbohydrates and crude fiber. The results of study showed that the water content ranged from 6.14 - 8.34%, density ranged from 0.45 - 0.57 kg/m3 and the lightness parameter values ranged from 69.9 - 72.0, with redness values between 12.2 - 12.8 and yellowness values between 11.5 - 13.1. The highest values of protein, fat and carbohydrate were 8.34%, 0.38% and 86.94%. The highest ash and crude fiber values were 3.84% and 2.99%

    Pengaruh Daya Microwave Terhadap Kandungan Lignoselulosa Serta Karakteristik Fisik dan Kimiawi Biomassa

    No full text
    Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi yang bisa digunakan untuk menggantikan bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, Bioetanol juga memiliki potensi tinggi di Indonesia karena bahan utama bioetanol berupa biomassa mudah diperoleh, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri agrikultural terbesar sehingga limbah yang dihasilkan juga dalam jumlah besar. Selain itu, karena berasal dari limbah, biomassa memiliki harga yang relatif murah, sehingga dari segi ekonomi cukup menguntungkan. Salah satu jenis biomassa ini adalah jerami rapa, yang memiliki total kandungan selulosa sebanyak 37% dan hemiselulosa sebesar 19.6%. Proses pengolahan biomassa menjadi bioetanol terdiri dari 3 langkah : Hidrolisis, Fermentasi dan Pemurnian. Namun masalah yang dihadapi pada proses produksi ini yaitu adanya kandungan lignin pada lignoselullosa biomassa yang menghambat proses hidrolisis, sehingga jumlah selulosa yang diperoleh tidak maksimal. Salah satu cara untuk meminimalisir kandungan lignin ini yaitu dengan proses pretreatment. Pretreatment Microwave-assisted acid merupakan metode pretreatment yang menggabungkan gelombang mikro dan H2SO4 untuk memecahkan lignin. Pada artikel utama menggunakan daya microwave sebesar 550 Watt, 700 Watt, 900 Watt. Artikel review diharapkan dapat memberikan informasi serta kebaharuan terkait pengaruh daya microwave yang digunakan terhadap kandungan lignoselulosa serta karakteristik fisik dan kimiawi dari jerami rapa. Berdasarkan literatur review yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan metode Microwave-assisted acid efektif untuk pemecahan lignin hal ini di tunjukkan pada angka efektifitas yaitu 52% berdasarkan beberapa literature pembanding yang telah dikembangkan

    Skrining dan Analisis Fitokimia pada Ekstraksi Daun Torbangun (Coleus amboinicus L.) dengan Metode Maserasi dan Microwave Assisted Extraction (MAE)

    No full text
    Daun torbangun (Coleus amboinicus, L) sering dimanfaatkan masyarakat Sumatera Utara sebagai sayur. Bagian yang dikonsumsi adalah bagian daun. Daun torbangun mempunyai kandungan senyawa bioaktif yang banyak, anatara lain flavonoid, fenol, steroid, saponin, kuinon, terpenoid dan tannin. Untuk mengetahui senyawa tersebut dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi selanjutnya dilakukan proses skrining. Salah satu cara untuk mengambil senyawa fenolik dilakukan proses ekstraksi. Namun dengan metode konvensional memiliki kelemahan waktu eksrtraksi yang lama dan membutuhkan pelarut yang banyak. Oleh sebab itu penelitian ini dimodifikasi dengan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) yang memiliki kelebihan waktu ekstraksi yang lebih pendek, kebutuhan pelarut yang rendah dan rendemen ekstraksi yang tinggi. Tetapi pada proses ekstraksi dengan menggunakan MAE perlu dicari perlakuan terbaiknya. Penelitian ini menggunakan perlakuan rasio pelarut (1:10, 1:15, 1:20, 1:30, 1:40 dan 1:50 (b/v)), daya (100, 180, 300, 450 dan 600 Watt) dan waktu ekstraksi (1,2,3,4 dan 5 menit). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh MAE terhadap kandungan fenol dari daun torbangun serta mengetahui pengaruh rasio pelarut, daya dan waktu ekstraksi pada proses ekstraksi daun torbangun dengan metode MAE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan rasio pelarut, daya dan waktu ekstraksi. Perlakuan terbaik diperoleh dari perlakuan rasio pelarut 1:15 (b/v), daya 300 Watt dan waktu ekstraksi 5 menit dengan nilai total fenol 36,887 mg GAE/g ekstrak

    Kinetika Ekstraksi Flavonoid Daun Bunga Melati (Jasminum Sambac L.) Metode Maserasi dengan Pelarut Etanol pada Kajian Suhu dan Lama Proses

    No full text
    Daun Bunga Melati (Jasminum sambac L.) menjadi salah satu tanaman yang memiliki ekonomis yang tinggi. Penggunaan sampel berupa daun melati dalam penelitian ini ialah untuk mengetahui zat antioksidan yang terkandung dalam sampel. Salah satu kandungan yang terdapat pada daun bunga melati adalah senyawa flavonoid yang dapat diperoleh dengan cara diekstrak menggunakan salah satu metode yaitu maserasi. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96% dalam proses maserasi yang pada hasil akhirnya diperoleh ekstrak daun bunga melati. Dengan ini saya bernama Bulan Febrina Pardede mengambil judul skripsi “Kinetika Ekstraksi Flavonoid pada daun bunga melati (Jasminum Sambac l.) Metode Maserasi dengan pelarut etanol dengan kajian dari suhu dan lama proses”. Tujuan dari penelitian ini diantaranya mengidentifikasi senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak daun bunga melati menggunakan FTIR, menganalisis ekstrak daun bunga melati yang dihasilkan dari metode maserasi berdasarkan kadar flavonoid, mengetahui pada temperatur dan lama proses yang sesuai untuk pembuatan ekstrak daun bunga melati pada metode maserasi. Adapun hasil dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar flavonoid terbaik berdasarkan suhu dan waktu maserasi. Berdasarkan hasil yang didapat adalah senyawa yang terkandung dalam analisa FTIR dengan puncak tertinggi terdapat senyawa amina. Dan terdapat juga kandungan aldehid, keton serta asam karboksilat.Perlakuan suhu dan waktu maserasi serta interaksi antara perlakuan sangat berpengaruh terhadap karakteristik rendemen, kadar flavonoid ekstrak daun bunga melati (Jasminum sambac.). kadar flavonoid tertinggi mencapai 100,3 mg QE/ gr ekstrak.Perlakuan suhu 40°C dan waktu maserasi selama 48 jam merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan ekstrak daun bunga melati (Jasminum sambac.). sebagai sumber flavonoid dengan karakteristik rendemen 20%

    Pembuatan Produk Sediaan Tablet Temulawak (Curcuma zanthorrhiza Roxb) Melalui Uji Senyawa Total Fenol dan Flavonoid dengan Metode Evaporasi Vacuum

    No full text
    COVID-19 saat ini menjadi masalah kesehatan dari lebih 200 negara di dunia. Menurut WHO (2020) salah satu cara preventif untuk mencegah COVID-19 adalah dengan meningkatkan dan menjaga imun tubuh dengan cara mengonsumsi temulawak. Temulawak merupakan tanaman yang sering digunakan sebagai rempah dan bahan baku obat tradisional yang memiliki kandungan senyawa fenol dan flavonoid yang bertindak sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk sediaan tablet temulawak dengan penambahan maltodekstrin sebagai filler yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan lebih efektif dan efisien dengan takaran dosis yang seragam. Pembuatan tablet temulawak menggunakan metode evaporasi vacuum cooling dalam proses pengolahan bahan sari temulawaknya. Dalam mengetahui hasil terbaik dalam pembuatan tablet temulawak, dilakukan pengujian secara fisika maupun kimia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pada tablet temulawak dengan bahan sari temulawak hasil evaporasi pada suhu konstan 45oC selama 20 menit menggunakan konsentrasi maltodesktrin memiliki nilai paling tinggi pada sampel 1:2 yang mampu menghasilkan nilai rerata total fenol dan flavonoid tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan 1:4 dan 1:6. Nilai total fenol yang didapatkan pada perlakuan 1:2 sebesar 3,63 mg GAE/g ± 0,09 dan nilai total flavonoid sebesar 6,11 mg QE/g ± 0,30. Sehingga dapat disimpulkan bahwa banyaknya konsentrasi maltodekstrin berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap nilai total fenol dan flavonoid, hal ini disebabkan rasio antara sari temulawak dengan maltodekstrin semakin besar sehingga kedua senyawa tersebut akan semakin renda

    Sintesis 5-Hidroksimetilfurfural Menggunakan Tepung Terigu dengan Variasi Molar pada Pelarut Deep Eutectic Solvent (DES)

    No full text
    5-Hidroksimetilfurfural salah satu bahan kimia yang memiliki banyak kegunaan pada industri. Larutan ini, dapat dimanfaatkan sebagai bahan kimia pengganti asam tereftalat pada produksi plastik kimia dan prekursor serbaguna untuk sintesis menjadi berbagai bahan kimia dan bahan bakar bernilai tambah. 5-Hidroksimetilfurfural didapatkan dari bahan yang mengandung glukosa dan fruktosa. Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan salah satu bahan yang memiliki kandungan karbohidrat mencapai 70-80 % yang terdiri atas monomer glukosa. Monomer glukosa ini merupakan kandungan yang dapat menjadi bahan pembuatan atau sintesis 5-HMF. Deep Eutectic Solvent (DES) digunakan sebagai pelarut pada sintesis 5-Hidroksimetilfurfural karena bersifat alami, mudah didapat, dan memiliki efek yang dapat meningkatkan yield 5-HMF. Sintesis Deep Eutectic Solvent berbasis choline chloride dengan ethylene glikol dengan variasi molar 1:2, 1:3, dan 1:4 memiliki karakteristik yang sesuai dari segi densitas, viskositas, pH dan kenampakan fisik sehingga layak digunakan sebagai pelarut pada proses dehidrasi 5-HMF. Pada hasil sintesis 5-Hidroksimetilfurfural dengan pelarut berbasis Deep Eutectic Solvent (DES) dengan variasi molar 1:2, 1:3 dan 1:4 memiliki pengaruh terhadap hasil yield 5-HMF dengan variasi molar terbaik yang terbaik adalah molar 1:4. Sementara, pada perbandingan penambahan glukosa: DES yaitu 1:6 berpengaruh pada hasil yield 5-HMF didapatkan yield tertinggi senilai 87,4 % pada konsentrasi glukosa 49.54 mg/ml dan terendah 1:0 atau tanpa DES 62.48 % dengan konsentrasi glukosa yang sama. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan, pemberian DES sebagai pelarut dalam proses sintesis 5-HMF dapat meningkatkan yield 5-HMF

    Analisis Pengendalian Proses Produksi pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) “Oh My Gethuk” di Kota Malang untuk Meningkatkan Kualitas Produk

    No full text
    Getuk makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari singkong yang dikukus, kemudian digiling dan ditambahkan gula sebagai pemanis. Getuk biasa dibentuk lindri serta ditambahkan kelapa parut sebagai pelengkapnya. Salah satu UMKM yang memproduksi getuk singkong adalah “Oh My Gethuk”. Oh My Gethuk sebagai penyedia produk harus melaksanakan dan menjalankan fungsi manajemen dengan baik terutama pada pengendalian proses produksi. Pengendalian proses produksi harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas produk yang baik, karena kualitas produk yang baik menjadi salah satu faktor keberhasilan bagi perusahaan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis proses produksi, kesetimbangan massa dan menghitung tingkat presentase kerusakan di UMKM Oh My Gethuk di Kota Malang. Sampel yang digunakan dalam pengamatan produk untuk mengetahui tingkat kecacatan pada penelitian ini merupakan getuk gulung varian rasa millo dan kemasan yang digunakan. Getuk gulung millo yang digunakan terdiri dari dua lapisan getuk dengan rasa vanilla dan coklat serta dilengkapi topping coklat cair dan bubuk millo dengan ukuran kurang lebih 18 cm. Kemasan yang digunakan pada getuk millo yang diamati terbuat dari kertas tebal dengan laminasi plastik pada bagian dalamnya. Variabel yang diidentifikasi adalah proses produksi, standar kualitas produk, jumlah produksi dan jumlah produk cacat. Kriteria cacat produk yang telah ditetapkan meliputi aroma, tekstur, warna atau kenampakan dan rasa. Hasil penelitian menunjukkan proses produksi dari hulu ke hilir yang telah dilaksanakan oleh UMKM Oh My Gethuk di Kota Malang masih kurang efektif karena masih ditemukan beberapa kecacatan seperti tekstur kurang lembut dan kurang sempurnanya proses pengolesan coklat sebagai topping. Sedangkan nilai rendemen singkong yang didapat pada getuk vanilla, millo, cheese, macchiato, taro dan nougat secara berurutan adalah 73,78%, 73,87%, 73,54%, 74%, 73,87% dan 73,45% dengan rata-rata rendemen 73,75%. Dari data kerusakan produk, digambarkan dalam bentuk peta kendali C untuk menghitung banyak cacat dalam satu unit produk. Pada peta kendali C terdapat satu data yang berada diluar batas kendali yang berarti proses produksi yang dilakukan Oh My Gethuk belum terkendali. Penyebab belum terkendalinya proses produksi antara lain mesin yang digunakan masih manual dan terbatas, karyawan kurang teliti serta bahan yang digunakan terlalu berminyak. Grafik peta kendali C dilakukan perbaikan sebanyak satu kali dan semua data kecacatan sudah dalam batas kendali. Tingkat presentase kerusakan produk di UMKM Oh My Gethuk Kota Malang secara berurutan pada tekstur, warna atau kenampakan, kemasan, aroma dan rasa adalah 43%, 37%, 20%, 0% dan 0
    corecore