39 research outputs found
Perbandingan Penerimaan dan Efek Samping Nyeri, Perdarahan dan Ekspulsi AKDR Flexi-T300 dengan AKDR Cu-T380A
Tujuan: Membandingkan penerimaan dan efek samping nyeri, perdarahan, dan ekspulsi AKDR Flexi-T300 dengan AKDR Cu-T380A.
Tempat: Klinik Raden Saleh dan Klinik Keluarga Berencana RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini dirancang sebagai uji klinis
(randomized controlled trial). Dilakukan observasi jangka waktu 6 bulan untuk menilai penerimaan dan efek samping nyeri, perdarahan serta ekspulsi AKDR Flexi-T300 dibandingkan dengan AKDR Cu-T380A. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Klinik Raden Saleh dan Klinik Keluarga Berencana RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mulai bulan Mei 2004 sampai Januari 2005.
Hasil: Secara keseluruhan peserta penelitian terdiri dari 49 (45,8%)
akseptor AKDR Flexi-T300 dan 58 (54,2%) akseptor AKDR Cu-T380A.
Angka kelangsungan pemakaian AKDR Flexi-T300 adalah sebesar
93,9% sedangkan angka kelangsungan pemakaian AKDR Cu-T380A
adalah sebesar 91,4% (p=0,621). Angka kejadian perdarahan bercak secara kumulatif pada kelompok Flexi-T300 sebesar 24,5% dibandingkan dengan kelompok Cu-T380A sebesar 50% (p=0,021). Sedangkan kejadian nyeri pada kelompok Flexi-T300 adalah 24,5% dan pada kelompok Cu-T380A adalah 29,8% (p=0,439). Kejadian perdarahan yang menyebabkan putus uji pada kelompok AKDR Cu-T380A adalah sebesar 5,2% dan pada kelompok AKDR Flexi-T300 sebesar 2,04% (p=0,621). Angka kejadian ekspulsi pada kelompok Flexi-T300 adalah 2,04% sedangkan pada kelompok Cu-T380A sebesar 3,4% (p=0,621).
Kesimpulan: Angka kelangsungan pemakaian AKDR Flexi-T300
lebih baik dibandingkan dengan AKDR Cu-T380A dengan efek samping
perdarahan bercak yang lebih rendah secara bermakna. Efek samping
nyeri dan ekspulsi AKDR Flexi-T300 lebih rendah dibandingkan dengan
AKDR Cu-T380A. [Maj Obstet Ginekol Indones 2006; 30-2:92-100]
Kata kunci: AKDR, Flexi-T300, Cu-T380A, nyeri, perdarahan,
ekspulsi, putus uji, kelangsungan pemakaian.
Objective: To compare acceptance and side effect between Flexi-
T300 and Cu-T380A.
Setting: Raden Saleh Clinic and Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Material and methods: We conducted a randomized controlled trial
of 107 women which were recruited between May 2004 and January
2005 at Dr. Cipto Mangukusumo Hospital and Raden Saleh Reproductive Health Clinic. Women were observed and evaluated during 6 months for the side effect and continuation of intrauterine devices.
Results: After all inclusion/exclusion were applied, 49 (45.8%)
Flexi-T300 and 58 (54.2%) Cu-T380A users remained in the analysis.
By the end of study 8 discontinuations had occured. The main reasons
for these early discontinuations were bleeding (4), expulsion (3) and for personal reason (1). The continuation rate of Flexi-T300 and Cu-T380A were 93.9% and 91.4% (p=0.621). Event rates at the end of study for bleeding among Flexi-T300 users were significantly lower than Cu- T380A (24.5% vs 50%) and for pain were 24.5% for Flexi-T300 and 29.8% for the Cu-T380A. The incidence of bleeding that caused IUD removal was 2.04% for Flexi-T300 group and 5.2% for Cu-T380A group. Expulsion rate among Flexi-T300 users were lower than Cu-T380A group (2.04% vs 3.4%).
Conclusions: Continuation rate of Flexi-T300 was higher than Cu-
T380A with significantly lower of bleeding event. Cumulative incidence
of pain and expulsion were also lower for Flexi-T300 than Cu-T380A.
[Indones J Obstet Ginecol 2006; 30-2: 92-100]
Keywords: IUD, Flexi-T300, Cu-T380A, pain, bleeding, expulsion,
discontinuation, continuation
Profil Resistensi Insulin pada Pasien Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi dan profil resistensi insulin
pada pasien sindrom ovarium polikistik (SOPK) di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta.
Tempat: Poliklinik Imunoendokrinologi Departemen Obstetri dan Ginekologi
Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Rancangan/rumusan data: Studi Potong Lintang Deskriptif.
Bahan dan cara kerja: Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan
rekam medis pasien SOPK yang telah dilakukan pemeriksaan meliputi
anamnesis adanya oligomenore, pemeriksaan fisik (tanda hirsutisme),
pengukuran indeks massa tubuh (IMT), pemeriksaan hormonal (estrogen,
LH, FSH dan prolaktin), pemeriksaan gula darah puasa dan insulin
puasa serta pemeriksaan USG transvaginal untuk menilai kedua ovarium.
Diagnosis SOPK ditegakkan berdasarkan kriteria Rotterdam sedangkan
resistensi insulin berdasarkan kriteria Muharam.
Hasil: Dari 44 rekam medis pasien SOPK yang berhasil dikumpulkan
dan memenuhi kriteria penelitian, didapatkan 68% pasien sudah
menikah dan 93% pasien berusia di atas 20 tahun. Amenore sekunder
merupakan jenis gangguan haid terbanyak yang menyebabkan pasien
mencari pertolongan, ditemukan pada 61% pasien. Infertilitas juga
merupakan keluhan terbanyak, ditemukan dengan persentase yang sama
dengan amenore sekunder yaitu 61%. Pada penelitian ini, pasien SOPK
yang telah menikah datang dengan keluhan infertilitas yang disertai
gangguan haid atau sebaliknya sehingga bila persentasenya dijumlahkan
akan melebihi 100%. Keluhan hirsutisme hanya ditemukan pada 18%
pasien. Tujuh puluh tiga persen pasien SOPK gemuk dengan IMT ≥ 25.
Pasien yang mengalami resistensi insulin sebanyak 75% dengan ratarata
IMT 28,6 kg/m2. Dari 32 orang pasien yang obesitas, 84% mengalami
resistensi insulin sedangkan dari 12 pasien yang tidak gemuk, 50%
juga mengalami resistensi insulin. Pemeriksaan hormonal yang lengkap
(estrogen, FSH, LH dan prolaktin) dilakukan pada 38 orang pasien dan
79% terdapat peningkatan LH/FSH dengan rasio ≥ 1. Pada 27 orang
yang mengalami resistensi insulin, 81,5% terdapat rasio LH/FSH yang
lebih tinggi, demikian juga halnya dengan 11 orang yang tidak mengalami
resistensi insulin, 90,9% terjadi penigkatan rasio LH/FSH.
Kesimpulan: SOPK adalah kondisi klinis dan metabolik yang sering
ditemui pada perempuan usia reproduksi. Patofisiologi terjadinya SOPK
sampai saat ini belum jelas tapi resistensi insulin diperkirakan sebagai
salah satu etiologinya. Prevalensi resistensi insulin ditemukan bervariasi
dari berbagai penelitian tergantung metoda yang digunakan. Dengan
menggunakan kriteria Muharam, 75% pasien SOPK pada penelitian ini
mengalami resistensi insulin dan dari 32 orang pasien yang obesitas ditemukan
84% mengalami resistensi insulin sedangkan pasien yang tidak gemuk,
50% juga terdapat resistensi insulin. Penanganan terhadap resistensi
insulin pada pasien SOPK tampaknya akan mencegah dan memperbaiki
disfungsi reproduksi maupun komplikasi jangka panjang yang akan ditimbulkannya.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2008; 32-2: 93-8]
Kata kunci: resistensi insulin, sindrom ovarium polikisti
Evaluasi pasca Radiofrequency Thermal Ablation pada Mioma Uteri dan Adenomiosis
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat miolisis dengan radiofrequency
thermal ablation terhadap mioma uteri dan adenomiosis.
Tempat: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Rancangan/rumusan data: Penelitian ini bersifat deskriptif.
Bahan dan cara kerja: Delapan orang pasien yang menderita
mioma uteri dan atau adenomiosis bergejala menjalani miolisis dengan
radiofrequency thermal ablation baik transvaginal maupun per laparoskopik.
Satu bulan pascaoperasi, pasien dievaluasi kembali ukuran massa
dengan ultrasonografi dan perubahan gejala yang berkaitan dengan
kedua patologi uterus tersebut.
Hasil: Dari pasien yang diteliti, 5 pasien (62,5%) menderita adenomiosis,
dan 3 pasien (37,5%) menderita mioma uteri. Rata-rata diameter
dan volume massa paling besar per pasien berturut-turut adalah
4,6 cm (1,4 - 9,0) dan 694,3 cm3 (11,5 - 3061,8). Tujuh pasien (87,5%)
mengeluh dismenorea, dan hanya 1 pasien mengeluh menorragia. Tiga
pasien (37,5%) menjalani miolisis laparoskopik. Tidak terdapat komplikasi
intraoperatif atau pascaoperatif. Rata-rata reduksi volume massa
pada follow-up 1 bulan adalah 67,5%; reduksi mioma uteri mencapai
81,5%; sedangkan adenomiosis 59,1%. Pada follow-up tersebut, semua
pasien menyatakan keluhan dismenorea atau menorragia menghilang.
Kesimpulan: Pada penelitian pendahuluan ini, miolisis dengan radiofrequency
thermal ablation telah berhasil mengurangi volume mioma uteri
dan adenomiosis serta menghilangkan gejalanya. Diperlukan follow-up serial
dan penelitian tambahan untuk menilai efikasi dan keamanan teknik
ini.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2007; 31-2: 79-85]
Kata kunci: mioma uteri, adenomiosis, miolisis, radiofrequenc
The Effectiveness of Clomiphene Citrate and Letrozole for Ovulation Induction Related to Endometrial Thickness and Number of Dominant Follicle
The aim of the study is to know the effectiveness of clomiphene citrate and letrozole for ovulationrelated to endometrial thickness and number of dominant follicle. Study design was cross sectional basedon medical records of women who underwent ovulation induction from January 2011-May 2015. A numberof 143 anovulation women were divided into clomiphene citrate 50mg, clomiphene citrate 100 mg, letrozole2.5mg and letrozole 5mg. Each group received the agent daily on 3rd-7th day of menstrual cycle. On 12thday of menstrual cycle, the transvaginal ultrasound was performed to measure endometrial thickness anddominant follicle number. From all subjects, 45 subjects (31.5%) were in 50mg clomiphene citrate groups, 29subjects (20.3%) in 100mg clomiphene citrate group, 23 subjects (16.1%) in 2,5mg letrozole group, and 46subjects (32.2%) in 5mg letrozole group. Subjects who received letrozole had thicker endometrium comparedto clomiphene citrate (p<0.05). Different doses were not associated with endometrial thickness betweensubjects who received either letrozole or clomiphene citrate. In addition, subjects receiving letrozole hadhigher proportion of having trilaminar endometrium morphology. We did not observe the difference in totalnumber of dominant follicle between groups. It is concluded that letrozole is more effective than clomiphenecitrate in terms of endometrial thickness but not for number of dominant follicles
Case Management of Pure Gonadal Dysgenesis 46, XY (Sindrom Swyer)
Disorders of sex development (DSD) are medical conditions in which the development of chromosomal, gonadal or anatomic sex varies from normal and may be incongruent with each other. Swyer syndrome is a condition caused by pure gonadal dysgenesis 46,XY, which followed by inadequate anti-mullerian (AMH) production results in maintenance and further development of mullerian duct into uterus. Therefore, many patients who suffer from this condition initially come with chief complaint of primary amenorrhea with insufficient development of secondary sexual characteristics. Patient’s gender orientation commonly is a female, since her brain was not sufficiently exposed with androgen hormone. Management of DSD patients should be based on patient-centered approach. Therefore, overall management of DSD patients should follow according to patient’s perception regarding to her gender orientation. Herein, we reported a case of Swyer syndrome in female aged 29 years with chief complain primary amenorrhea. Chromosomal analysis was 46,XY (20 mataphase), FSH level was 31.5miu/ml, LH 10.8miu/ml, estradiol (E2) <5pg/ml, testosteron total (T) <0.0025ng/ml. Medical management for this patient has the purpose to drive her feminization process in order to improve her physical appearance. However, since there is a great tisk for having gonadal tumor development from intra-abdominal dysgenetic gonad with Y chromosome, this patient has been strongly suggested to have bilateral gonadectomy. 
Effect of Anti Zona Antibody on In Vitro Growth and In Vitro Maturation of Intact Follicles
Tujuan: Mengetahui pengaruh antibodi anti zona pellucida terhadap
perkembangan (in vitro growth = IVG) dan pematangan (in vitro maturation
= IVM) folikel.
Tempat: Laboratorium biologi dan reproduksi Fakultas Kedokteran
Hyogo, Nishinomiya, Jepang.
Rancangan/rumusan data: Studi eksperimen pada hewan coba.
Bahan dan cara kerja: Dilakukan pengambilan 80 folikel intak secara
mekanik dari ovarium mencit (C57BL/6 x DBA2-F1 mice) usia 16
hari kemudian dilakukan inkubasi pada medium yang mengandung antibodi
anti zona pellucida selama 8 hari. Antibodi ini diambil dari kelinci
yang disuntikkan komponen ZPA dan ZPC mencit. Serum kelinci
normal digunakan sebagai kontrol. Folikel dikelompokkan menjadi 4
kelompok dengan masing-masing terdiri dari 20 folikel. Kelompok 1 sebagai
kontrol, kelompok 2 diinkubasi dengan serum kelinci normal,
kelompok 3 diinkubasi dengan anti ZPA dan kelompok 4 diinkubasi
dengan anti ZPC. Setelah 8 hari seluruh folikel dipindahkan ke medium
IVM untuk dinilai perubahannya menjadi folikel antral.
Hasil: Secara morfologis tidak dijumpai perbedaan bermakna pada
perkembangan folikel antara kelompok kontrol dan perlakuan. Tetapi
antibodi anti zona pellucida mempengaruhi perkembangan folikel antral
pada kelompok perlakuan. Secara statistik dijumpai perbedaan bermakna
dalam jumlah folikel antral antar kelompok 3 dan 4 dengan
kelompok 1 dan 2. Pada kelompok 3 (anti ZPA) 9 dari 20 folikel (45%)
berkembang menjadi folikel antral sedangkan pada kelompok 4 (anti
ZPC) 11 dari 20 folikel (55%) berkembang menjadi folikel antral,
dibandingkan dengan kelompok 1 dan 2, masing-masing 100% dan 85%
folikel pre antral berkembang menjadi folikel antral. Kemudian seluruh
folikel antral ditransfer ke medium IVM dan diinkubasi selama 16-17
jam. Pada kelompok 1, 100% folikel mengalami mucifikasi, sedangkan
pada kelompok 2, 3 dan 4 masing-masing sebesar 75%, 55% dan 15%
folikel mengalami mucifikasi. Setelah dilakukan denudasi germinal vesicles
(GV) dijumpai sebanyak 5% pada kelompok 1,5% pada kelompok
2, dan 10% pada kelompok 4. Sedangkan pada kelompok 3 tidak dijumpai
GV. Metafase 1 dijumpai sebanyak 40% pada kelompok 1,35% pada
kelompok 2,50% pada kelompok 3 and 50% pada kelompok 4. Sedangkan
metafase 2 dijumpai sebanyak 55% pada kelompok 1,60% pada
kelompok 2, dan 40% pada kelompok 3. Tidak dijumpai metafase 2 pada
kelompok 4. Beberapa oosit yang berdegenerasi dijumpai pada kelompok
2 (5%), kelompok 3 (5%) dan kelompok 4 (30%). Terdapat perbedaan
bermakna dalam hal pematangan folikel (IVM) antara kelompok
kontrol dan perlakuan.
Kesimpulan: Antibodi anti zona pellucida mempengaruhi proses
perkembangan dan pematangan folikel in vitro. Efeknya pada fertilisasi
masih harus diteliti lebih lanjut.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2007; 31-4: 226-30]
Kata kunci: folikel intak, perkembangan folikel (IVG), pematangan
folikel (IVM), antibodi anti zona pellucida, folikel antral, mucifikasi,
germinal vesicles, metafase-1, metafase-
The Effectiveness of Phalleria Macrocarpa Bioactive Fraction in Alleviating Endometriosis And/or Adenomyosis Related Pain
The overexpression of estrogen receptor-beta (ER-ß) and the cyclooxygenase-2 (COX-2) enzyme coupled with the absence of expression of progesterone receptors (PR) is critical to thepathogenesis of endometriosis and adenomyosis associated pain. DLBS1442, a novel bioactiveextract of Phaleria macrocarpa, exerts its action by downregulating the overexpressed ER-ß andCOX-2 products and up-regulating PR gene expression. This pilot study was conducted to evaluatethe effectiveness of DLBS1442 treatment in alleviating endometriosis- and/or adenomyosis-relatedpain. Ten endometriosis and/or adenomyosis patients were recruited consecutively at YasminClinic Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital in January - March 2013. Pain associated withmenses, including pre-menstrual pain, dysmenorrhea, dyschezia and dysuria, was measuredusing the visual analog scale (VAS) at each of the next three menstrual cycles. Patients reportingone or more pain symptoms with a VAS score = 4 were given 100 mg of DLBS1442 three timesdaily for 12 weeks. VAS score reduction was noted in the first post-treatment menstrual cycle(approximately 5.3 weeks after treatment initiation) and VAS scores continued to decline overthe final two cycles. DLBS1442 was effective in alleviating endometriosis- and/ or adenomyosisrelatedpain, as demonstrated by early pain reduction as evaluated using the VAS