The Effect of Money Supply and Government Expenditure Shock in Indonesia: Symmetric Or Asymmetric?

It has been more then four years since the economic crisis in Indonesia. While other Asian countries such as South Korea and Malaysia have shown significant improvement, Indonesia seems to have the slowest economic recovery process. In order to deal with the economic crisis, the government has imposed several policies, both monetary and fiscal. This paper tries to achieve two objectives; first, it tries to determine the existence of an asymmetric reaction of output and inflation to government expenditures and the money supply, and second, it tries to find the best policy to deal with the economic crisis, i.e., to determine which policy generates a larger and quicker response to output. It contains an overview of government expenditures and the money supply in the pre-crisis year, theoretical background and data analysis. The results of the study show that a shock in government expenditures has a significant effect on changes in output, and that the effect is asymmetric (positive shock has a larger impact than negative shock), while a money supply shock does not have a statistically significant effect on output. The paper concludes with three important government policy implications. First, the government must reallocate its spending, i.e. allocate more to development expenditures which will increase the productive capacity. Second, since Indonesia currently has a huge debt burden, it is not necessary for the government to increase its expenditures, since the effect on output reduction is not statistically significant. Third, the monetary authority should not use a shock in money supply to boost output, but it should focus on its function in delivering a low level of inflation

Pertambangan di Kawasan Konservasi: Permasalahan Regulasi dan Koordinasi

Informasi dan klaim tentang berlangsungnya kegiatan pertambangan di hutan konservasi dapat dengan mudah kita jumpai. Salah satunya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam presentasi tentang koordinasi dan supervisi pengelolaan mineral dan batu bara di 19 provinsi pada akhir 2014, menyatakan bahwa izin pertambangan di kawasan hutan konservasi mencapai 1,37 juta hektar (KPK, 2014)

Peranan Harga Crude Palm Oil Pada Konversi Hutan Produksi Di Indonesia

Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu latar belakang alih fungsi hutan di Indonesia , khususnya pada hutan produksi konversi (HPK). Tingginya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit diindikasikan memberikan dampak negatif terhadap fungsi dan kondisi hutan di Indonesia. Alih fungsi lahan hutan melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit menjadi tujuan penelitian dengan menggunakan variabel independen yang mempengaruhi permintaan lahan untuk sawit yaitu harga CPO, tingkat suku bunga, nilai tukar, serta besarnya share industri pengolahan dalam Produk Domestik Bruto (PDB), dan Gross Domestic Product (GDP) dunia. Pelepasan kawasan hutan diestimasi menggunakan model tobit dengan left-ccensored (0) dengan menggunakan data pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di tingkat provinsi tahun 1995 sampai tahun 2017. Hasil empiris menujukkan bahwa tingkat harga pada lag tertentu secara signifikan mempengaruhi peningkatan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit, demikian juga dengan luas HPK, serta tingkat suku bunga Internasional , pertumbuhan ekonomi dunia, dan share indutri dalam PDB secara positif dan signifikan mempengaruhi peningkatan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Hasil dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat suku bunga dan nilai tukar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konversi hutan untuk perkebunan sawit di Indonesia