54 research outputs found

    The relationship between body mass index (BMI) with the distance of the skin-epidural space in 3rd and 4th lumbar epidural anesthesia in nonobstetric surgery of Indonesian patients

    Get PDF
    Skin to epidural space distance varies in an insertion of epidural needle which can greatly affectthe identification of the epidural space and epidural anesthesia complications. Therefore, acareful prediction of skin to epidural space distance is needed in doing insertions. The purposeof this study was to evaluate the relationship between body mass index (BMI) and the distanceof skin to the epidural space in the 3rd – 4th lumbar epidural anesthesia in nonobstetric surgery ofIndonesian patients. This was a prospective observational study with cross sectional designinvolving patients of both sexes between the age 18-65 years with ASA physical status I-II whounderwent non obstetric surgery with 3rd-4th lumbar epidural anesthesia in Dr. Sardjito GeneralHospital, Yogyakarta and in Satellite Hospital. Weight, height and BMI were considered as theindependent variables, whereas skin to epidural space distance was considered as dependentvariable. Data were collected and analyzed using multiple regression analysis continued usingPearson’s correlation test to evaluate the relationship between BMI and skin to epidural spacedistance. One hundred patients selected from October to December 2011 were evaluated in thisstudy. The mean of weight, height and BMI were 57.35±11.59 kg, 155.98±5.88 cm and23.52±4.26 kg/m2, respectively. The mean of skin to epidural space distance of non obstetricsurgery of Indonesian patients was 40.89±9.95 mm. Multiple regression analysis showed thatBMI had a strongest relationship (r= 0.81; p<0.03) with skin to epidural space distance comparedto weight (r= 0.11; p=0.78) and height (r= 0.04; p<0.83). Further analysis using Pearsoncorrelation test showed that a significantly good correlation of BMI (r=0.92; p=0.001) andbody weight (r=0.87; p=0.001) with the skin to epidural space distance were observed. Inconclusion, BMI and body weight have a significant correlation with the skin to epidural spacedistance in non obstetric surgery patient.

    Optimised reversal without train‑of‑four monitoring versus reversal using quantitative train‑of‑four monitoring: An equivalence study

    Get PDF
    Background and Aims: Less residual paralysis in recovery room was demonstrated when train‑of‑four (TOF) monitoring was applied. The aim of this study was to know whether optimisation of neostigmine reversal without TOF monitoring was equivalent to reversal using TOF monitoring. Methods: Seventy two patients, aged 18–60 years, undergoing elective surgery under general anaesthesia (sevoflurane and rocuronium) with intubation were randomised into two interventions: an optimised neostigmine reversal strategy without TOF monitoring (group A, n = 36) and a neostigmine reversal strategy using quantitative TOF monitoring (group B, n = 36). Per‑protocol analysis was performed to compare incidence of residual paralysis in the recovery room between the two groups. Results: Six residual paralyses occurred in group A in the recovery room, whereas one case occurred in group B. The equivalence test showed that the 95% confidence interval of this study was outside the range of equivalence margin (15%). The absolute difference was 13.9%: standard error (SE) =0.068 (P = 0.107; 95% confidence interval (CI): 1%, 27.2%). No subjects had TOF ratio <0.70 in the recovery room. The TOF ratio in the recovery room did not differ between the two groups (mean difference: −2.58; P = 0.05; 95% CI: −5.20, 0.29). One respiratory adverse event occurred in this study. Conclusion: An optimised reversal strategy without TOF monitoring is not equivalent to a reversal strategy based on quantitative TOF monitoring. TOF monitoring should be used whenever applicable, although neostigmine is optimised

    Penggunaan Delta C-Reactive Protein dan SOFA Score Sebagai Prediktor Kematian Pasien Sepsis

    Get PDF
    Penelitian ini berfokus pada penggunaan skor DELTA CRP dan SOFA dalam memprediksi prognosis pada pasien ICU. Penelitian observasional kohort digunakan sebagai desain. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito periode Februari–Juli 2019. Sampel dipilih menggunakan teknik pengambilan sampel berturut-turut. Para peneliti mengumpulkan 32 responden dengan sepsis dan syok sepsis yang dirawat di ICU berdasarkan kondisi ini. Skor area under curve (AUC) delta CRP menunjukkan >0,7 (0,780;CI 95%: 0,58–0,97) dengan cut-off 3 (sensitivitas=53,8%, spesifisitas=91%), menyiratkan bahwa CRP delta dapat menunjukkan keadaan pasien sepsis dan syok septik yang memburuk, tetapi kurang sensitif untuk memprediksi kematian. Sementara itu, skor AUC of SOFA >0,7 (0,787; 95% CI: 0,58–0,98) pada hari ke-0 dengan cut-off 8,5 (sensitivitas=76,9%, spesifisitas=81,8%), dan 0,836 (CI 95%: 0,67–0,99) pada hari ke-2 dengan cut-off 6 (sensitivitas=84,6%, spesifisitas=72,7%). Hal ini menunjukkan bahwa skor SOFA dapat memprediksi tingkat kematian prognostik pada pasien yang didiagnosis sepsis dan syok septik di ICU. Baik skor delta CRP dan SOFA memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,7, tetapi hanya delta CRP yang memiliki sensitivitas rendah sebagai prognostik kematian.Penelitian ini berfokus pada penggunaan skor DELTA CRP dan SOFA dalam memprediksi prognosis pada pasien ICU. Penelitian observasional kohort digunakan sebagai desain. Sampel dipilih menggunakan teknik pengambilan sampel berturut-turut. Para peneliti mengumpulkan 32 responden dengan sepsis dan syok septik yang dirawat di ICU berdasarkan kondisi ini. Skor AUC delta CRP menunjukkan > 0,7 (0,780) (CI 95%: 0,58-0,97) dengan cut off 3 (sensitivitas= 53,8%, spesifisitas= 91%), menyiratkan bahwa CRP delta dapat menunjukkan keadaan pasien sepsis dan syok septik yang memburuk, tetapi kurang sensitif untuk memprediksi kematian. Sementara itu, skor AUC of SOFA > 0,7 (0,787) (95% CI: 0,58-0,98) pada hari ke-0 dengan cut off 8,5 (sensitivitas=76,9%, spesifisitas= 81,8%), dan 0,836 (CI 95%: 0,67-0,99) pada hari ke-2 dengan cut off 6 (sensitivity=84,6%, spesifisitas=72,7%). Hal ini menunjukkan bahwa skor SOFA dapat memprediksi tingkat kematian prognostik pada pasien yang didiagnosis sepsis dan syok septik di ICU. Baik skor delta CRP dan SOFA memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,7, tetapi hanya delta CRP yang memiliki sensitivitas rendah sebagai prognostik kematian.

    Open Lung Recruitment untuk Pasien Udem Paru Akut Pasca Operasi Sesar

    No full text
    Udem paru akut pada wanita hamil merupakan kejadian yang jarang tetapi merupakan kejadian yang dapat mengancam jiwa. Meskipun merupakan kejadian yang jarang terjadi tetapi berhubungan dengan meningkatnya resiko pada ibu juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. Beberapa faktor resiko yang diidentifikasikan dapat menyebabkan udem paru: preeklamsi atau eklamsi, infeksi yang berat, penggunaan obat tokolitik, kelebihan cairan dan kehamilan ganda. Selain itu, perubahan fisiologi yang berhubungan dengan kehamilan mungkin bisa menjadi penyebab udem paru pada wanita hamil. Ventilasi mekanik efektif meningkatkan kandungan oksigen dan menurunkan trauma pada paru. Open lung recruitment dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan udem paru akut, dapat menurunkan indeks cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pengembangan paru dan menurunkan tekanan pada jalan nafas. Laporan kasus ini menjelaskan tentang penanganan udem paru akut pada wanita muda pasca operasi sesar atas indikasi preeklamsi, dimana dilakukan open lung recruitment saat pasien dirawat di ruang ICU, pasien dirawat selama hampir 2 minggu dan pulang dalam keadaan baik. Open Lung Recruitment for Patient Acute Pulmonary Edema Post Caesarean Section Abstract Acute pulmonary edema in pregnant women is a rare but life-threatening event. Although it is a rare event, but it is associated with an increased risk for the mother as well as increasinh fetal morbidity and mortality. Several indentified risk factors can cause pulmonary edema : preeclampsia or eclamsia, severe infections, use of tocolytic drugs, fluid overload, and multiple pregnancies. In adition, physiological changes related to pregnancy may be a cause of pulmonary edema in pregnant women. Mechanical ventilation effectively increases oxygen content and reduces trauma to the lungs. Open lung recruitment can increase oxygenation in patient with acute pulmonary edema, can reduce the pulmonary extravascular fluid index, increase lung development, and reduce pressure on the airway. This case report describes the management of acute pulmonary edema in young women post-operative cesarean section for indications of preeclampsia, where open lung recruitment is performed when the patient is treatedin the ICU, the patient is treated for almost two weeks and return home in good condition

    Diagnosis dan Tatalaksana Emboli Air Ketuban

    No full text
    Emboli air ketuban merupakan sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan atau segera setelah melahirkan. Emboli air ketuban adalah peristiwa masuknya air ketuban yang mengandung sel-sel janin dan material debris lainnya ke dalam sirkulasi maternal yang menyebabkan kolaps kardiorespirasi. Patofisiologinya sampai saat ini belum jelas. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu yaitu robekan amnion dan korion, terbukanya vena ibu baik melalui vena-vena endoserviks, sinus venosus subplasenta atau akibat laserasi segmen bawah rahim serta adanya tekanan yang mendesak masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu. Gambaran klinisnya sesak yang tiba-tiba, gagal nafas dan hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskuler, DIC dan kematian. Emboli air ketuban mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pengenalan dini dan diagnosis emboli air ketuban sangat penting untuk meningkatkan angka harapan hidup maternal maupun janin. Penatalaksanaan emboli air ketuban bersifat non spesifik dan suportif, yaitu meningkatkan oksigenasi, memperbaiki sirkulasi, dan memperbaiki koagulopati diikuti dengan prinsip-prinsip basic life support dan advanced life support, dengan fokus utama yaitu stabilisasi kardiopulmonal maternal secara cepat. Tujuan utama yang paling penting adalah mencegah bertambah beratnya hipoksia dan gagal organ yang lebih lanjut. Resusitasi cepat sangat diperlukan tergantung pada keadaan klinis pasien. Pasien dengan emboli air ketuban mempunyai prognosis yang sangat jelek. Sampai saat ini, sindroma ini tidak dapat diprediksikan atau dicegah. Dengan diagnosis awal yang baik, resusitasi cepat dan pendekatan multidisiplin yang baik akan meningkatkan prognosis, memperbaiki mortalitas dan morbiditas maternal maupun fetal. Diagnostic and Management of Amniotic Fluid Embolism Abstract Amniotic fluid embolism (AFE) is a catastrophic syndrome that occurs during pregnancy and childbirth or immediately after delivery. Amniotic fluid embolism is an event when amniotic fluid containing fetal cells and other debris enter the maternal circulation, which causes cardiorespiratory collapse. The pathophysiology is not yet clear. There are three main factors that cause the entry of amniotic fluid into the mother's circulation, i.e. tearing of the amnion and chorion, an opening of the maternal veins either through the endocervical veins, subplacental venous sinuses or due to laceration of the lower uterine segment and the pressure that forces the entry of amniotic water into the mother's circulation. The clinical features are sudden onset of breathlessness, respiratory failure and hypotension followed by cardiovascular collapse, DIC and death. Amniotic fluid embolism has high morbidity and mortality rates. Early recognition and diagnosis of amniotic embolism are very important to increase the life expectancy of both the maternal and the fetus. Management of amniotic fluid embolism is non-specific and supportive, namely increasing oxygenation, improving circulation, and improving coagulopathy followed by the principles of basic life support and advanced life support, with the main focus of rapid maternal cardiopulmonary stabilization. The main and most important goal is to prevent further progression of hypoxia and organ failure. Rapid resuscitation is necessary, depending on the clinical condition of the patient. Patients with amniotic fluid embolism have a very poor prognosis. Until recently, this syndrome could not be predicted or prevented. With a good initial diagnosis, rapid resuscitation and a good multidisciplinary approach will improve prognosis, improve maternal and fetal mortality and morbidity

    Tatalaksana Sindroma Hiperstimulasi Ovarium (SHO)

    No full text
    Sindroma hiperstimulasi ovarium merupakan kondisi iatrogenik akibat stimulasi ovarium suprafisiologis pada tatalaksana fertilitas. Gangguan ini ditandai dengan pembesaran ovarium disertai perpindahan cairan ke rongga ketiga dan dehidrasi intravaskuler. Eksudasi masif ke ruang ekstravaskuler dapat menyebabkan asites, efusi pleura dan efusi perikardium, syok hipovolemi, oliguria, gangguan keseimbangan elektrolit dan hemokonsentrasi yang menyebabkan hiperkoagulasi dengan risiko komplikasi tromboemboli yang mengancam nyawa. Pada beberapa kasus jarang pasien dapat mengalami kegagalan multi-organ dan kematian. Dengan meningkatnya jumlah pasien yang menjalani assisted reproduction therapy (ART), sindroma ini semakin sering kita jumpai pada unit perawatan intensif dan membutuhkan tatalaksana multidisiplin. Pemahaman tentang patofisiologi sindroma ini dapat membantu identifikasi dan mencegah berkembangnya gejala

    Autoregulasi Serebral dalam Kehamilan

    No full text
    Autoregulasi merupakan suatu proses penting untuk menjaga sirkulasi saat terjadi peningkatan maupun penurunan tekanan arteri secara mendadak. Batas autoregulasi otak ini memiliki rentang fisiologi pada 50–150 mmHg. Cerebral Blood Flow (CBF) dipengaruhi oleh volume dan kekentalan darah, tekanan perfusi, dan tekanan intrakranial. Adaptasi sirkulasi serebral dalam kehamilan berfungsi untuk mempertahankan oksigenasi dan pengiriman nutrisi terhadap janin serta fungsi ekskresi yang sama seperti dalam keadaan tidak hamil, terutama dalam menghadapi perubahan hemodinamik sistemik yang luar biasa terkait dengan kehamilan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi autoregulasi, salah satunya adalah hipertensi. Hipertensi adalah salah satu komplikasi medis yang paling sering dijumpai dalam kehamilan, dan menjadi penyebab kematian ibu. Hipertensi dalam kehamilan mempengaruhi beberapa organ, tetapi pengaruh paling besar adalah terhadap organ serebrovaskular karena dapat menyebabkan kematian atau morbiditas jangka panjang. Meskipun begitu perubahan serebrovaskuler di otak, tidak selalu diiringi dengan kenaikan tekanan intrakranial yang menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan tindakan dan obat yang dipakai dalam anestesi

    Penatalaksanaan Anestesi pada Seksio Sesarea Penderita HIV/AIDS dengan Space Occupying Lession (SOL)

    No full text
    Kehamilan mempunyai dampak terhadap perubahan anatomi, fisiologi, farmakologi dan psikis pada sang ibu sehingga seksio sesarea pada ibu hamil merupakan tantangan tersendiri untuk spesialis anestesiologi, karena pertimbangannya terhadap keselamatan ibu dan anak. Apabila kehamilan disertai dengan penyulit yang lain, maka kondisi ini akan semakin kompleks. Kasus ini mengemukakan ibu hamil penderita HIV/AIDS dengan penyulit Space Occupying Lession (SOL), pertimbangan seksio sesarea dilakukan sebagai terminasi kehamilan untuk mengurangi paparan Maternal to Child Transmission (MTCT) terhadap anak yang dilahirkan. Pertimbangan pemilihan tehnik anestesinya berdasarkan fisiologi kehamilan, patofisiologi HIV/AIDS, efek samping obat Anti Viral (ARV), interaksi obat ARV dengan obat anestesi, komplikasi HIV/AIDS pada otak berupa SOL yang berhubungan dengan peningkatan TIK, dampak infeksius penyakot ini kepada lingkungannya serta antisipasi terhadap medis/paramedic yang ikut menangani tindakan terminasi. Pada penderita ini kami lakukan tehnik anestesi edpidural dengan bupivacaine 0,5 % sebagai bfasilitas anestesi selama seksio sesarea. Pascaoperasi dilanjutkan nyeri melalui kateter epiduralnya. Anesthesia Management of Sectio Caesaria HIV/AIDS Patient with Space Occupying Lession (SOL) Sectio caesarea on prenatal vidual have challenge in anaesthesia because influence safety mothers and children. Pregnancy to changes anatomy, physiology, pharmacology and psychology on the mother moreover that’s can accompanied by another complications, and make change this increasingly complex. In this case was pregnant mothers HIV/AIDS sufferes with a  complication space occupying lesion (SOL). Sectio caesaria done to termination of pregnancy to reduce exposure transmission against children born gord loan-to- maternal child transmission (MCTC), Consideration of anestesinya technique based on pregnancy, physiology, pahtopfisiologi HIV/AIDS, adverse side effects anti retro viral (ARV) and interaction with medicine. Anaethetic complication SOL in HIV/AIDS in the brain associated with increased intracranial pressure. The impact of infectious disease that contaminate the environment and anticipations for medical paramedics / anaesthetic to prevent its. We did the patient  with ep[idural anaethetic technique and used bupivacaine 0.5 % as facilitate anesthesia during section caesaria. Postoperaive continued pain releave through her catheter epidural

    Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Ventrikel Septal Defek

    No full text
    Pasien hamil yang memiliki penyakit jantung kongenital merupakan tantangan untuk dokter kandungan dan dokter anestesi ketika pasien akan menjalani operasi sesarea mergensi. Dalam penanganan pasien hamil yang beresiko tinggi dibutuhkan pemahaman yang baik tentang perubahan hemodinamik saat kehamilan, dan efek perubahan tersebut terhadap pasien dan fisiologi jantung abnormal. Penyakit jantung kongenital merupakan penyebab paling banyak masalah jantung pada pasien hamil tetapi pasien dengan defek yang tidak dikoreksi merupakan kasus yang jarang pada bagian kandungan. Pada populasi dewasa, lesi jantung kongenital kronik yang tidak diperbaiki merupakan situasi yang sulit bagi dokter anestesi karena tingginya resiko anestesi obstetrik. Laporan kasus ini menjelaskan tentang keberhasilan operasi sesar pada pasien penyakit jantung kongenital dalam kondisi emergensi. Wanita umur 28 tahun, G1P0A0 dengan umur kehamilan 38–39 minggu datang ke rumah sakit untuk melahirkan. Wanita ini memiliki riwayat penyakit jantung kongenital ventrikel septal defek (VSD). Kemudian dilakukan operasi sesar dengan anestesi umum dengan gas inhalasi dan obat intravena. Cefotaxim dan gentamisin diberikan untuk propilaksis endokarditis bakteri. Bayi lahir dengan skor APGAR 8 setelah menit ke 5. Pasca operasi pasien dibawa ke ruang ICU untuk monitoring ketat tanda vital dan perawatan pasca operasi. Laporan kasus ini menjelaskan tentang kondisi pasien pre-operasi, intra-operasi dan pasca-operasi.   Anesthesia for a Cesarean Section in a Patient with Ventricular Septal Defect Abstract Pregnant patient with congenital heart disease (CHD) make for a unique challenge to the obstetrician and anesthesiologist, when the patient has to undergo emergency cesarean section. Managing high-risk parturient requires a thorough understanding of the hemodynamic changes of pregnancy, its effect on the patient and physiology of the abnormal heart. CHD is becoming the most common source of cardiac problem in pregnant patient but non-corrected cardiac defect patient are rare cases in the obstetric departement. In adult population, chronic non-palliated congenital heart lession present new difficult situation for the anesthesiologist working with high-risk obstetric anesthesia. This case report makes a successful cesarean section in a CHD patient in emergency condition. A 28 year old female, gravida 1 at 38-39 weeks gestation age admitted to our hospital for delivery. She had a history of CHD with ventricular septal defect. She was prepared for cesarean section under general anesthesia with inhaled and intravenous anesthetic agents. Cefotaxim and gentamicin were administered for prophylaxis against bacterial endocarditis. The newborn was delivered quickly with APGAR score 8 after 5 minutes. Postoperatively, the patient was admitted to the intensive care unit (ICU) for close monitoring of vital signs and post-operative care. The case report will include details in pre-operative, intra-operative and post-operative outcome of the patient

    Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Preeklamsia Berat dan Morbid Obese

    No full text
    Pendahuluan: Preeklampsia adalah terjadinya trias preeklampsia (hipertensi, hipoalbuminemia, dan edema) yang mendadak setelah 20 minggu kehamilan. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis dalam tatalaksana anestesi. Kasus: Wanita, 22 tahun G2P1A0 hamil 39 minggu dengan preeklampsia berat, KPD 12 jam, obesitas morbid akan dilakukan seksio sesarea emergency dengan status fisik ASA IIIE, dilakukan pembiusan dengan teknik regional anestesi subarachnoid block dengan puncture di L3–L4 median, menggunakan agen levobupivakain 15 mg dan fentanyl 25 mcg. Operasi berlangsung selama 1 jam 15 menit, dengan perdarahan 350 cc, hemodinamik stabil. Lahir bayi laki-laki, BB 3400 gr, APGAR Score 8–9–10. Diskusi: Preeklampsia adalah penyakit multiorgan yang spesifik terhadap kehamilan manusia, namun etiologi spesifik yang mendasari tetap belum diketahui. Tatalaksana bersifat suportif, melahirkan bayi dan plasenta tetap menjadi satu-satunya terapi definitif. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis untuk dipertimbangkan. Pemahaman mengenai patofisiologi akan membantu memberikan tatalaksana anestesi yang lebih baik. Simpulan: Pemilihan teknik neuraksial anestesi lebih direkomendasikan karena menghindari kemungkinan intubasi sulit pada kasus emergensi, perfusi uteroplasenta yang lebih baik, kualitas analgesi/anestesia yang baik, mengurangi obat yang masuk ke sirkulasi uteroplasenta, menurunkan stress operasi, dan psikologis ibu yang dapat melihat bayinya saat dilahirkan.   Anesthesia Management in Caesarean Section with Severe Preeclampsia and Morbid Obese Abstract Introduction: Preeclampsia is a sudden triad of preeclampsia (hypertension, hypoalbuminemia and edema) after 20 weeks of pregnancy, Obese patients have many clinical implications to consider. Case: Female, 22 years old with G2P1A0, 39 weeks pregnant with severe preeclampsia, 12 hours PROM, pro morbid obesity SCTP-E with ASA IIIE physical status. Labor pain management was carried out using regional subarachnoid block anesthesia technique with puncture in median L3-L4, clear CSF (+), blood (-) using levobupivacaine 15 mg + fentanyl 25 mcg. The operation lasted for 1 hour 15 minutes, with 350 cc bleeding, hemodynamically stable. Born a baby boy, BW 3400 gr, APGAR Score 8-9-10. Discussion: Preeclampsia is a multiorgan disease that is specific to human pregnancy, and the underlying specific etiology remains unknown. Management is supportive, giving birth to the baby and placenta remains the only definitive therapy. Obese patients have many clinical implications to consider. Understanding of pathophysiology will help provide better anesthesia management. Conclusion: The neuraxial anesthesia technique is recommended to avoids the possibility of difficult intubation, better uteroplacental perfusion, good analgesia / anesthesia quality, reducing drugs that enter the uteroplacental circulation, decreasing surgical stress, and maternal psychological to be able to see the baby at birth
    • …
    corecore