29 research outputs found
Influence of Stressor on Blood Pressure in School Children
INFLUENCE OF STRESSOR ON BLOOD PRESSURE IN SCHOOL CHILDRE
Kadar Transforming Growth Factor β-1 Urin pada Berbagai Keadaan Proteinuria
Latar belakang. Proteinuria masif pada sindrom nefrotik (SN) akan menginduksi suatu rentetan reaksi biologis di tubular proksimal. Reaksi ini mengaktivasi peptida vasoaktif dan produksi sitokin, seperti TGF-β1. Di dalam urin, TGF-β1 urin merupakan sitokin fibrogenik yang pluripoten, yang melalui beberapa patomekanisme menyebabkan fibrosis interstisial dan glomerulosklerosis yang pada akhirnya menimbulkan gagal ginjal.
Tujuan. Mengetahui kadar TGF-β1 urin pada berbagai keadaan proteinuria, yakni pada anak dengan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS), dalam keadaan remisi maupun relaps, dan pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).
Metode. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di 8 pusat ginjal anak di Indonesia. Subyek penelitian ini terdiri atas 34 anak dengan SNSS steroid remisi, 31 anak dengan relaps, 55 anak dengan SNRS, dan 35 anak tanpa penyakit ginjal sebagai kontrol. Kadar proteinuria dan TGF-β1 urin diperiksa pada sampel urin sewaktu yang diambil pagi hari. Kadar TGF-β1 urin diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (Quantikine kit for human TGF-β1 immuno assay; R&D Systems, Mineapolis, MN). Kadar proteinuria kuantitatif diperiksa dengan cara kolorimetri (Randox kit; Randox Laboratories, United Kingdom)
Hasil. Kadar proteinuria tertinggi didapatkan pada SN relaps, yang secara bermakna lebih tinggi daripada kadar SNRS. Namun, kadar TGF-β1 urin pada SN relaps sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS yang secara bermakna lebih tinggi daripada kadarnya pada SN remisi. Kadar TGF-β1 urin pada SN remisi tidak berbeda dengan kadarnya pada anak tanpa penyakit ginjal. Terdapat korelasi positif antara kadar TGF-β1 dan protein urin (r=0,649 ;p<0,0001).
Kesimpulan. Kadar TGF- β1 urin pada anak dengan SN relaps sama tingginya dengan kadar TGF- β1 urin pada SNRS, yang secara bermakna lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar pada anak dengan sindrom nefrotik remisi, maupun anak tanpa penyakit ginjal
Pewarnaan Gram Urin untuk Diagnosis Infeksi Saluran Kemih pada Anak Usia 2 Bulan hingga 2 Tahun
Latar belakang. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan pada anak usia 2 bulan hingga 2 tahun. Kondisi ini sulit dideteksi karena manifestasi klinis yang tidak spesifik. Kultur urin sebagai baku emas menegakkan diagnosis ISK membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Pewarnaan Gram urin adalah metode yang mungkin dapat digunakan untuk diagnosis dini ISK pada bayi dan anak.
Tujuan. Membandingkan metode pewarnaan Gram dan kultur urin untuk mendiagnosis ISK pada anak usia 2 bulan hingga 2 tahun.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan metode potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia, dari Mei 2016 -Desember 2017. Penelitian ini melibatkan 59 anak usia 2 bulan hingga 2 tahun yang dicurigai menderita ISK yang direkrut dengan metode consecutive sampling. Sampel urin diambil dengan kateterisasi uretra dan dilakukan pemeriksaan urinalisis, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan biakan urin.
Hasil. Prevalens ISK didapatkan sebesar 38,9%. Pewarnaan Gram urin memiliki sensitivitas 47,8% (95% IK 26,8-69,4%), spesifisitas 97,2% (95% IK 85,5-99,9%), nilai duga positif 91,7% (95% IK 60,3-98,8%), nilai duga negatif 74,5% (95% IK 60,3-98,8%), LR(+) 17,2 (95% IK 2,4-124,6), LR(-) 0,54 (95% IK 0,36-0,8), dan akurasi sebesar 78%.
Kesimpulan. Terdapat korelasi yang baik antara pewarnaan Gram urin dan hasil biakan urin untuk mendiagnosis ISK pada anak usia 2 bulan hingga 2 tahun. Antibiotik dapat segera diberikan setelah pewarnaan Gram menunjukkan hasil positif
Prevalence of Urinary Incontinence, Risk Factors and Its Impact: Multivariate Analysis from Indonesian Nationwide Survey
Aim: to describe the profile of urinary infection (UI) and to analyze its risk factors and impacts. Methods: subjects were enrolled consecutively from pediatric, urology, obstetrics & gynecology, and geriatric outpatient clinics at six teaching hospitals in various regions of Indonesia. Those with urinary tract infection and diabetes mellitus were excluded. The UI questionnaire was adapted from the 3 Incontinence Questions (3IQ). Written informed consent was obtained prior to the interview. Results: about 2765 completed questionnaires were obtained. The overall UI prevalence was 13.0%, which consisted of prevalence of stress UI (4.0%), urgency UI/wet OAB (4.1%), dry OAB (1.6%), mixed UI (1.6%), overflow UI (0.4%), enuresis (0.4%), other UI (0.7%). The prevalence of UI was significantly higher (p0.05) between male and female subjects. Enuresis and urgency UI/wet OAB were the most common UI in pediatric population. The prevalence was 2.3% and 2.1% respectively. Urgency UI and stress UI were the two most common type in adult and geriatric population. Both have an equal prevalence of 4.6%. The multivariate analysis showed that the prevalence of UI increased with LUTS (PR 4.22, 95%CI 2.98-5.97), chronic cough (PR 2.08, 95% CI 1.32-3.28), and fecal incontinence (PR 1.85, 95% CI 1.03-3.32). We found that UI impaired family life (25.3%), sexual relationship (13.6%), and job/school performance (23.7%). Frequent toilet use and reducing fluid intake were the two most common behavior changes. Conclusion: the prevalence of UI in Indonesia is nearly similar to other Asian countries. It increases with age and is not affected by gender. LUTS, chronic cough, and fecal incontinence may have significant effects on the prevalence. UI seems to impact daily life and behavior. Key words: urinary incontinence, daily life, LUTS, prevalence, age
Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak
Pengobatan sindrom nefrotik pada anak mengalami perubahan dari masa ke masa. Sudah sejak lama kita mengadopsi rekomendasi
International study of kidney disease in children (SKDC) yaitu pemberian kortikosteroid 8 minggu, 4 minggu dosis penuh dilanjutkan
dengan 4 minggu dosis alternating. Dengan skema pengobatan ini 80% sindrom nefrotik idiopatik pada anak mengalami remisi,
tetapi 70%-80% di antaranya mengalami relaps dan separuhnya relaps berulang/frekuen. Pengobatan hanya 8 minggu dirasakan
kurang adekuat (Kidney Disease Improving Global Outcome= KDIGO), maka KDIGO membuat rekomendasi baru pada tahun
2013. Pengobatan inisial dapat dipilih dengan pemberian kortikosteroid 12 minggu atau tetap 8 minggu dan dilanjutkan dengan
penurunan dosis selama 2-3 bulan (tapering-off). Namun usulan KDIGO dibantah oleh Japanese Study Group of Kidney Disease in
Children (JSKDC) tahun 2015 dengan melakukan penelitian untuk membandingkan prednisolon 4-4 minggu selama 6 bulan yaitu
4-4 minggu + tapering off. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian prednison 4-4 minggu tidak lebih inferior dan
pemberian 6 bulan tidak mengurangi relaps. Rekomendasi lain dari KDIGO 2013 diterima dengan sedikit modifikasi yang akan
dikemukakan pada makalah ini secara rinci, baik untuk pengobatan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) maupun sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS). Juga diajukan pemberian beberapa preparat kortikosteroid “sparing agent” yang dapat dipakai pada sindrom
nefrotik relaps frekuen/dependen steroid
Kelainan Kardiovaskular pada Anak dengan Berbagai Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Latar belakang. Penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab orbiditas dan mortalitas tersering pada penyakit ginjal kronik (PGK) anak. Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) dan disfungsi diastolik paling awal terlihat.
Tujuan. Mengetahui proporsi PKV pada PGK stadium 1, hubungan stadium PGK dengan LVH, dan disfungsi jantung.
Metode. Penelitian potong lintang analitik komparatif 26 subjek PGK anak di RS M Djamil Padang/ RS Hasan Sadikin Bandung. Dilakukan pemeriksaan urinalisis, hematologi rutin, ureum, kreatinin (eLFG), EKG, foto toraks, ekokardiografi. LVH dengan ekokardiografi bila left ventricular mass index (LVMI) >persentil 95 (38g/h2,7). Uji stastistik bermakna bila p<0,05.
Hasil. Rerata umur subjek 9,1(3,8) tahun. LVH pada 1 dari 3 subjek PGK stadium 1 dan 61,5% pada PGK seluruh stadium, terbanyak stadium 5. Tidak terdapat hubungan bermakna stadium PGK dengan LVH (p=0,055), disfungsi diastolik (p=0,937) dan disfungsi sistolik (p=0,929).
Kesimpulan. Pada PGK stadium 1 ditemukan LVH dan disfungsi diastolik. Tidak terdapat hubungan antara stadium PGK dengan LVH dan disfungsi jantung
Urinary tract infection among neonatal sepsis of late-onset in Cipto Mangunkusumo Hospital
Background Urine culture, as part of a full septic work-up for
late-onset neonatal sepsis, was not routinely done in the Neona-
tal Ward at Cipto Mangunkusumo Hospital, and as of today, the
prevalence of urinary tract infection (UTI) among neonates with
late-onset sepsis remains unknown.
Objectives To determine the prevalence and microbiological pat-
terns of UTI among late-onset neonatal sepsis in Cipto
Mangunkusumo Hospital.
Methods We conducted a cross-sectional study on all neonates
diagnosed as suspected late-onset sepsis who underwent sep-
sis evaluation between 20 October 2003 – 30 April 2004. Urine
specimens were collected by bladder catheterization for culture
and urinalysis.
Results UTI was found in 14.9% (7/47) neonates who under-
went urine culture (male: female ratio was 5:2). Six subjects
who had UTI were preterm neonates, Klebsiella pneumoniae
was found in both blood and urine cultures of 1 subject, while the
others showed different microorganisms. Forty-five out of 47
subjects, who were suspected of late-onset sepsis, had posi-
tive blood cultures. All subjects with UTI had positive bacteriuria
from Gram-stained specimen.
Conclusions The prevalence of UTI among neonates with late-
onset sepsis in Cipto Mangunkusumo Hospital was 14.9%. The
microorganisms most frequently found in urine cultures were
Pseudomonas sp., Staphylococcus epidermidis, and Klebsiella
pneumoniae. Urine culture, urinalysis, and urinary Gram-stain
should be performed as part of sepsis evaluation for late-onset
neonatal sepsis, especially in male and preterm neonate
Gambaran Klinis Glomerulonefritis Akut pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Glomerulonefritis akut merupakan glomerulonefritis yang sering ditemukan pada anak
ditandai dengan hematuria, hipertensi, edem, dan penurunan fungsi ginjal.
Glomerulonefritis akut pada anak paling sering ditemukan pada umur 2- 10 tahun dan
umumnya terjadi pasca infeksi streptokokus.
Tujuan: mengetahui gambaran klinis glomerulonefritis akut pada anak di Departemen
Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta.
Metoda: penelitian deskriptif retrospektif. Data diperoleh dari catatan medik pasien
dengan diagnosis glomerulonefritis akut yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSCM, Jakarta, sejak tahun 1998 sampai 2002.
Hasil: selama 5 tahun (1998-2002), didapatkan 45 pasien glomerulonefritis akut (26
laki-laki dan 19 perempuan) yang berumur antara 4 – 14 tahun dengan umur paling
sering adalah 6-11 tahun. Riwayat infeksi saluran nafas akut didapatkan pada 36 pasien,
dan infeksi kulit 14 pasien. Hematuria makroskopik didapatkan pada 29 pasien, anuria/
oliguria 31 pasien, dan edem pada 39 pasien. Hipertensi dijumpai pada 39 pasien, 19 di
antaranya merupakan hipertensi krisis. Proteinuria dan hematuria mikroskopik
didapatkan pada semua pasien, leukosituria 29 pasien. Penurunan fungsi ginjal didapatkan
pada 21 pasien, peningkatan titer ASO 21 pasien, dan komplemen C3 yang menurun
32 pasien.
Kesimpulan: hematuria, proteinuria, edem, hipertensi, dan oligo/anuria merupakan
manifestasi klinis glomerulonefritis akut yang paling sering ditemukan pada anak.
Dibandingkan dengan periode sebelumnya, kejadian glomerulonefritis akut semakin
menurun