45 research outputs found

    Penilaian Pengaruh Penambahan Lysine Pada Nasi

    Full text link
    Pengaruh penambahan lysine pada mutu protein nasi dilakukan pada tikus putih dengan mengukur Protein Efficiency Ratio. Nasi dan Nasi dengan sayur beserta laukpauk, seperti dikonsumsi oleh kebanyakan keluarga di Indonesia, yang berasnya lebih dulu ditambahi butiran premix berisi lysine, thiamine dan riboflavin ternaya menghasilkan Protein Efficiency Ratio lebih tinggi dari pada yang tidak ditambahi

    Prevalensi Kkp Anak Balita Di Wilayah Indonesia Bagian Timur

    Full text link
    Telah dianalisis data berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) anak Balita yang dikumpulkan pada waktu pelaksanaan Studi Prevalensi Defisiensi Vitamin A dan Zat-zat Gizi Lainnya di Wilayah Indonesia Timur pada tahun 1990/1991. Tujuan analisis ini terutama untuk mengetahui prevalensi Kurang Kalori Protein (KKP) di empat propinsi Wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT) dan perbandingan antara prevalensi KKP menurut perhitungan berdasarkan median baku Harvard dengan Z-skor berdasarkan baku WHO-NCHS. Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan sedang (KKP) di wilayah IBT masing-masing 17% menurut indeks BB/U berdasarkan median baku Harvard dan 44% menurut indeks BB/U berdasarkan -2 SB baku WHO-NCHS. Prevalensi KKP menurut TB/U berdasarkan Z-skor WHO-NCHS hampir sama dengan prevalensi menurut indeks BB/U berdasarkan median bahan baku Harvard. Untuk mendapatkan prevalensi KKP yang hampir sama antara kedua indikator tersebut, batas ambang penentuan status KKP (gizi baik dan gizi kurang) menurut indeks BB/U berdasarkan baku WHO-NCHS adalah antara -2.6 SB dan -2.8 SB, atau rata-rata -2.75 SB

    Prevalensi Anemia Anak Sekolah Dasar Di Daerah Penghasil Dan Bukan Penghasil Sayuran Hijau Di Kabupaten Bogor

    Full text link
    Telah dilakukan penelitian secara cross-sectional untuk mengetahui gambaran dan perbedaan konsumsi sayuran hijau dan prevalensi anemia anak SD di daerah penghasil dan bukan penghasil sayuran hijau di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di tlga desa penghasil sayuran hijau di Kecamatan Ciampea dan tiga desa bukan penghasil sayuran hijau di Kecamatan Nanggung di wilayah Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak SD di daerah penghasil sayuran hijau lebih sering dan lebih banyak mengkonsumsi sayuran hijau dibandingkan dengan anak SD di daerah bukan penghasil sayuran hijau (P<0.05). Prevalensi anemia pada anak SD di daerah penghasil sayuran hijau tidak berbeda nyata dengan anak SD di daerah bukan penghasil sayuran hijau. Tetapi rata-rata kadar Hb anak SD di daerah penghasil sayuran hijau berbeda nyata dengan anak SD di daerah bukan penghasil sayuran hijau (12.3 g/dl vs 11.9 g/dl). Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada kadar Hb anak SD di daerah penghasil sayuran hijau ialah frekuensi makan sayur dan konsumsi zat besi dengan koefisien regresi sebesar 0.38009 dan 0.32432. Demikian juga faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kadar Hb anak SD di daerah bukan penghasil sayuran hijau ialah konsumsi zat besi dan frekuensi makan sayur dengan koefisien regresi sebesar 0.49240 dan 0.43696

    Kadar Protein Makanan Masak, Yang Diperoleh Dari Hasil Perhitungan Dan Analisa

    Full text link
    Kadar protein 23 makanan masak ditentukan menurut dua cara. Pertama, dihitung dari kadar protein bahan mentahnya dikalikan angka rasio berat mentah : masak. Kedua, menganalisa kandungan nitrogen makanan masak kemudian mengalikannya dengan 6,25. Ternyata kadar protein hitung lebih tinggi daripada kadar protein hasil analisa langsung. Secara keseluruhan, perbedaan kadar protein hitung dan analisa makanan masak yang diselidiki pukul rata 3,6 gram atau 14%

    Large Scale Distribution of Massive Dose Vitamin a in Indonesia (a Study of the Operational Aspects)

    Full text link
    Suatu pilot proyek pemberian vitamin A dosis tinggi (200.000 IU vitamin A dan 40 IU vitamin E dalam kapsul) sekali tiap 6 bulan kepada anak-anak umur 1-4 tahun di 20 kecamatan Jawa Barat, Tengah dan Timur diadakan mulai 1973. Berdasar perhitungan proyeksi penduduk hasil sensus 1971, di wilayah proyek ini terdapat sejumlah 92.247-101.468 anak sasaran. Pemberian kapsul vitamin A di tiap kecamatan dilakukan oleh dua petugas Puskesmas yang bekerja 3 hari seminggu sedemikian hingga dalam 6 bulan dicapai seluruh anak sasaran dalam wilayah tugasnya. Mereka masing-masing dibantu oleh dua tenaga desa selama bekerja di desa yang bersangkutan. Pemberian kapsul dijalankan secara mengumpulkan anak-anak di suatu tempat di Rukun Tetangga, atau mengunjungi rumah-ke-rumah, atau kombinasi dari keduanya. Tiap anak berumur 1-4 tahun didaftar nama, jenis, umur, nama orang tuanya. Mereka yang berhasil diberi kapsul dicatat. Juga dicatat mereka yang tidak berhasil diberi kapsul, serta alasannya. Pada putaran berikutnya; semua anak yang menjadi berumur 1 tahun diberi kapsul, sedang yang lewat 4 tahun tidak diberi lagi. Hasil penilaian tahun pertama menunjukkan bahwa 76-86 persen dari anak sasaran berhasil diberi kapsul. Jumlah ini menurun dari putaran pertama ke putaran kedua. Sebabnya a.l. musim hujan, sukar mengenali kembali anak yang telah diberi kapsul, dan penolakan orang tua terhadap pemberian kapsul kepada anaknya. Penolakan karena anak muntah dan berak setelah diberi kapsul sebesar setengah persen dari jumlah anak yang diberi kapsul. Tidak diketahui dengan pasti apakah itu gejala hipervitaminosis A. Jumlah anak yang tidak berhasil diberi kapsul rata-rata 20 persen dari anak sasaran. Tidak diketahui apakah kepekaan terhadap defisiensi vitamin A mereka ini sama dengan yang berhasil diberi kapsul. Jika anak yang tidak berhasil diberi kapsul itu justru golongan terpeka, maka cara pencegahan defisiensi vitamin A ini belum berhasil. Perhitungan sementara menunjukkan bahwa biaya pemberian vitamin A dosis tinggi ini per tahun per anak = 54 sen US$, dan akan berkurang bila modal awal dirata-ratakan untuk tahun-tahun berikutnya

    Prevention Of Xerophthalmia By Oral Massive Dose Vitamin A: (A Preliminary Report)

    Full text link
    Untuk menilai efektivitas pemberian vitamin A dosis tinggi (200.000 IU vitamin A dan 40 IU vitamin E) secara masai dalam USAha pencegahan xerophthalmia, dilakukan penelitian terhadap seluruh anak umur 1-5 tahun di tujuh RK kotamadya Salatiga dan lima desa kabupaten Semarang, oleh suatu team ophthalmologi. Pada pemeriksaan awal ditemukan 132 penderita xerophthalmia diantara 2812 anak (4,7 persen). Kepada 2680 anak yang tidak menderita xerophthalmia sebagian diberi kapsul vitamin A dosis tinggi dan sebagian lain diberi kapsul placebo yang identik, secara "double-blind" diperiksa ulang sesudah enam bulan. Ternyata bahwa 7 diantara 1286 anak penerima vitamin A yang diperiksa (0,5 persen) menunjukkan tanda-tanda xerophthalmia. Sedang diantara 1183 anak penerima placebo yang diperiksa ternyata terdapat 43 penderita xerophthalmia (3,6 persen). Secara statistik bedanya amat bermakna. Tanda-tanda utama yang ditemukan adalah kombinasi dari buta-senja, xerosis conjunctiva, dan bercak Bitot. Kedua tanda yang terakhir ini terdapat pada 90 persen dari penderita, sedang buta-senja hanya 15 persen. Pada pemeriksaan ulang 132 anak penderita xerophthalmia yang telah diberi kapsul vitamin A dosis tinggi ternyata bahwa 91 persen dari yang diperiksa tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda xerophthalmia. Jumlah anak yang tidak dapat diperiksa kembali jauh dibawah angka perkiraan. Sebagian besar karena telah pindah alamat, sebagian kecil meninggal. Antara golongan placebo dan vitamin, jumlah anak yang tidak dapat diperiksa kembali ini sama besar. Penelitian ini membuktikan bahwa kapsul vitamin A dosis tinggi efektip sekali untuk mencegah timbulnya xerophthalmia dan menyembuhkan gejala-gejala xerophthalmia ringan

    Nutrition Anemia and Physical Endurance Among Civil Construction Workers

    Full text link
    Penyelidikan ini adalah untuk membuktikan suatu hypothesa bahwa ada pengaruh dari keadaan gizi dan kesehatan terhadap kemampuan bekerja para pekerja. Sejumlah 571 pekerja laki-laki telah dipilih dari tiga daerah tempat bekerja yaitu : Rentang, Seladarma (pembuatan canalj Halim Perdanakusuma (pembuatan lapangan terbang) Didapatkan bahwa seluruh pekerja mempunyai nilai gizi yang borderline dan tidak ada perbedaan didalam keadaan fisik mereka, namun masih terdapat rata-rata 30 percent menderita anemia. Anemia banyak disertai dengan rendahnya kadar Iron darah pada pekerja di Rentang dan Seladarma hal ini tidak terdapat pada pekerja di Halim. (Table 4). Mengenai infeksi cacing terutama cacing tambang maka diseluruh pekerja menderita infeksi cacing tersebut tingkat pertama yaitu infeksi ringan yang tidak akan mempengaruhi keadaan fisik kecuali hanya kekurangan Iron didalam darah. Untuk mengetahui kemampuan bekerja maka telah dipakai Harvard Step Test Scores selama 5 menit. Dan ternyata bila pekerja-pekerja tersebut dibagi dua group yaitu yang diatas dan yang dibawah nilai Hb. 11 Gm/100 ml maka terdapat perbedaan yang menyolok sekali atas kemampuan pekerja tersebut didalam melakukan test fisik. Hal ini sesuai dengan penyelidikan Veteri. Perlu juga disini diketahui bahwa pekerja berasal dari Rentang dan Seladarma lebih banyak menggunakan tenaga kaki oleh karena selalu naik dan turun canal. Kesimpulan penyelidikan ini adalah adanya pengaruh yang positip antara faktor makanan dan infeksi cacing dengan kemampuan bekerja yang dewasa ini amat diperlukan didalam pembangunan negara

    The Change of Prevalence of Xerophthalmia on Lombok, September 1977 - September 1983

    Full text link
    Berdasarkan data "Survei Prevalensi Kebutaan Gizi" tahun 1977, Lombok, Nusa Tenggara Barat, dinyatakan sebagai wilayah tinggi prevalensi xeroftalmia. Sebagai suatu wilayah dengan prevalensi xeroftalmia paling tinggi di Indonesia, banyak faktor risiko yang diidentifikasi bagi daerah ini, termasuk kejadian kecacingan, kekurangan frekuensi pemberian ASI pada anak yang masih menyusu; kekurangan "kamar cuci" di dalam rumah; variasi diet yang terbatas, tidak ada variasi konsumsi bahan pokok selain beras; dan kecilnya konsumsi sumber-sumber protein. Faktor risiko khusus xeroftalmi-korneal berkaitan dengan riwayat penyakit yang baru diderita si anak (campak dan infestasi berat kecacingan) dan kurang kalori protein berat. Sejak tahun 1978, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan berbagai macam pendekatan untuk mengawasi (kontrol) xeroftalmia; sampai tahun 1982 telah mencapai 80% sasaran (anak Balita) dan telah menghasilkan penurunan prevalensi xeroftalmia di wilayah ini. Penurunan prevalensi ini dicapai tanpa penurunan secara proporsional faktor-faktor risiko terkait
    corecore