3 research outputs found

    Poor resource setting hindering surgeries based on Indonesian general surgeon competencies in West Timor, Indonesia

    Get PDF
    Background: A surgeon is trained and educated to do a wide-range of surgeries but some surgeries may not materialize due to lack of supporting facilities or other essentials. Our objective is to provide an insight of what type of surgery that can or cannot be done in a poor resource setting in West Timor, Indonesia. Methods: Ours is a cross-sectional and qualitative study conducted in the only general hospital in each district town: Soe (TTS), Kefamenanu (TTU), and Betun General Hospital (Malaka). The data were collected from the surgeons in each district. We listed whether the surgeries in the Indonesian surgeon competencies can or cannot be done in the district public hospitals and we interviewed the surgeons about the facilities lacking in their hospitals. Result: From a total of 184 surgeries in the competency list, the percentage of surgeries that cannot be done in Soe was 38.59% (f=71), Kefa 20.11% (f=37), and Betun 30.43% (f=56). The figures included some emergency surgeries unavailable in three hospitals. Conclusion: Poor resources hindered the surgeons from delivering the services they were trained for.</p

    Interferon-Gamma dan Prokalsitonin Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis

    No full text
    Banyak biomarker telah diteliti kegunaannya sebagai prediktor luaran pasien sepsis. Prokalsitonin telah sering digunakan untuk memprediksi syok sepsis dan telah banyak didokumentasikan hubungannya yang baik dengan infeksi sistemik bakteri Gram negatif, tetapi tidak pada infeksi lain. Biomarker lain yang meningkat pada infeksi bakteri Gram negatif, bakteri lain, virus dan fungal adalah Interferon-Gamma (IFN-γ). Karena itu IFN-γ diharapkan dapat mencakup lebih banyak pasien sepsis. Walaupun, masih ada kontroversi apakah kadar IFN-γ yang tinggi pada kondisi sepsis menandakan prognosis yang baik ataukan buruk. Untuk memprediksi luaran pasien, penelitian kesintasan paling baik menggambarkan besarnya risiko kematian dan durasi bertahan hidup pasien. Penelitian kesintasan menggunakan kombinasi Prokalsitonin dan IFN-γ masih sulit ditemukan. Gabungan kedua biomarker ini diharapkan dapat memberikan petunjuk yang lebih objektif dalam memprediksi luaran pasien sepsis dalam bentuk jumlah dan durasi atau kecepatan terjadinya mortalitas. Penelitian kesintasan ini memakai metode kohort prospektif. Diagnosis sepsis ditegakkan dengan kriteria SEPSIS-3. Sisa serum pasien suspek sepsis dikumpulkan. Kemudian, dilakukan pemilahan serum pasien berdasarkan rekam medis pasien apakah pasien memenuhi kriteria inklusi dan tidak tereksklusi. Lama rawat dan luaran pasien dicatat. Lalu, dilakukan pemeriksaan serologis IFN-γ menggunakan ELISA kit (LEGENDMAX) dan Prokalsitonin menggunakan metode ECLIA (Roche Elecsys). Data yang terkumpul dianalisis dengan uji normalitas distribusi, uji beda, analisis kurva ROC, analisis kesintasan menggunakan Kurva Kaplan Meier, Hazard Ratio menggunakan Cox regression. Penelitian ini melibatkan 78 pasien sepsis yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak tereksklusi. Secara keseluruhan, 66,67% subyek berjenis kelamin lakilaki, dengan rerata usia 55,03 tahun. Survivor berjumlah 28 orang (35,90%). Sumber infeksi terbanyak adalah saluran nafas sebanyak 35 subyek (44,87%). Sebesar 50% dari subyek menjalani kultur, sisanya tidak ada kultur. Dari semua hasil kultur, 64,2% positif, sedangkan sisanya negatif. Sampel kultur terbanyak adalah darah dan sputum. Ketika dibedakan berdasarkan luaran, jika kelompok survivor dan non-survivor dibandingkan, maka tidak terdapat beda signifikan antara proporsi laki-laki, usia, dan kadar Prokalsitonin. Namun terdapat beda signifikan dari segi kadar IFN-γ dan lama rawat. Secara keseluruhan, terdapat 64% event, dengan mean survival 18,7 hari dan median survival 12 hari. Pada analisis kurva ROC IFN-γ untuk memprediksi mortalitas, didapatkan AUC 72% (95%CI 59,7%-84,4%), nilai p=0,001. Pada cutoff optimal yaitu 65,82 pg/mL didapatkan sensitivitas 64% dan spesifisitas 75%. Dari analisis kesintasan, kelompok penderita sepsis dengan kadar IFN-γ <65,82 pg/mL terdapat 46,2% event, yang lebih rendah daripada event pada kelompok dengan kadar IFN-γ ≥65,82 pg/mL yaitu 82,1%. Pada kelompok dengan kadar IFN-γ <65,82 pg/mL rerata survival 19,01 hari dan median survival 22 hari, lebih panjang daripada kelompok dengan kadar IFN-γ ≥65,82 pg/mL yaitu rerata survival 14,29 hari dan median survival 9 hari. Hazard Ratio (HR) kelompok berkadar IFN-γ ≥65,82 pg/mL dibandingkan dengan kelompok berkadar yang lebih rendah adalah 1,938 (95%CI 1,078-3,482, p=0,027). Pada analisis kurva ROC Prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas, didapatkan AUC 60% (95%CI 46,8%-73,2%), nilai p=0,143. Karena analisis ROC yang tidak signifikan, maka nilai cutoff yang dipakai mengacu dari penelitian lain yaitu 57 ng/mL. Pada kelompok dengan kadar Prokalsitonin <57 ng/mL terdapat 59,6% event yang lebih rendah daripada event pada kelompok dengan kadar Prokalsitonin ≥57 ng/mL yaitu 76,2%. Pada kelompok dengan kadar Prokalsitonin <57 ng/mL memiliki mean survival 13,39 hari dan median survival 12 hari, sedangkan kelompok dengan kadar Prokalsitonin ≥57 ng/mL memiliki mean survival 18,89 hari dan median survival 10 hari. Analisis kelompok dengan kadar Prokalsitonin ≥57 ng/mL dibandingkan dengan kelompok dengan kadar yang lebih rendah menghasilkan HR 1,067 (95%CI 0,58-1,97, p=0,835). Ketika IFN-γ dan Prokalsitonin dikombinasikan dengan memperhitungkan jumlah biomarker yang lebih dari cutoff, maka didapatkan proporsi non-survivor paling rendah pada kelompok dengan kedua biomarker dibawah cutoff atau kelompok 0 faktor risiko (40,0%), meningkat jika salah satu biomarker diatas cutoff atau memiliki 1 faktor risiko (51,3%) dan paling tinggi pada kelompok dengan kedua biomarker diatas cutoff atau memiliki 2 faktor risiko (82,4%). Mean dan median survival pada kelompok 0 faktor risiko adalah yang paling panjang (mean 17,4 hari dan median 18 hari), disusul oleh kelompok 1 faktor risiko (mean 17,8 hari dan median 16 hari), dan yang paling pendek adalah pada kelompok dengan 2 faktor risiko (mean 14,4 hari dan median 7 hari). Namun, penghitungan statistik menyatakan perbedaan ini tidak signifikan (nilai p=0,17). Analisis HR kelompok 1 faktor risiko memiliki HR 1,51, dan kelompok 2 faktor risiko memiliki HR 2,1, tetapi keduanya tidak signifikan secara statistik (p>0,05) Dapat disimpulkan bahwa ketika digabungkan, IFN-γ dan Prokalsitonin menunjukkan perbedaan prognosis dari segi jumlah event, mean dan median survival, dan juga HR. Adanya kadar IFN-γ dan atau Prokalsitonin yang tinggi dapat menjadi peringatan meningkatnya risiko mortalitas dan pendeknya durasi survival pada pasien sepsis. Survival rate dan HR pada penelitian ini tidak memiliki nilai p yang signifikan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi faktor perancu yang mengakibatkan kurang baiknya nilai prognostik Prokalsitonin pada penelitian ini, misalnya dengan pemilihan subyek hanya yang terbukti mengalami infeksi sistemik oleh bakteri Gram negatif. Karena luaran pasien dipengaruhi banyak faktor, maka dapat pula dilakukan penelitian untuk menentukan skoring menggunakan kombinasi beberapa biomarker untuk prediksi luaran pasien sepsi
    corecore