108 research outputs found
Catatan singkat tentang alat-alat tulang ngandong
Baik di Indonesia maupun di luar Indonesia (terutama di Eropah)
kebudayaan alat-ttlat tulang pernah mengalami perkembailgan yang pesat. Kebudayaan alat tulang di Eropah menonjol pada tingkat "Magdalenian" , yaitu suatu tingkat budaya Paleolitik akhir di Eropah (istilah Magdalenian berasal dari La Madeleine yaitu nama sebuah gna di Dordogne, Perancis. Masyarakat Magdalenian hidup dalam gua-sua dengan kegiatan berburu rusa dan binatang-binatang besar lainnya pada jaman Es terakhi
Progres Penelitian Austronesia Di Nusantara.
Abstract. Progress of Austronesian Studies in the Indonesian Archipelago. Austronesian-speaking people in Indonesia, which are part of the global Austronesian-speakers, which is the most denselypopulated, have a strategic role in figuring out the global Austronesians, especially since Indonesia is located in the middle of the dispersal area. As the direct predecessors of recent Indonesian indigenous population, their emergence since ca. 4000 BP has become a highly important field of study in our nation’s life. The increasingly intensive researches within the last decade have resulted in significant progress in the Austronesian studies and have given us a better picture on the origin, dispersal, and development of the Austronesian speakers and their cultures, both synchronically and diachronically. Local evolution resulted from process of adaptation to the environment, as well as external influences, have created a cultural dynamics from the Neolithic to the Palaeometalic and historic periods, until now. Eventually the local evolution and external influences have generated unique local cultures that form a mosaic of diversity of Indonesian people and culture like we see today. The wide scopes of Austronesian studies and limited researches have left some unanswered questions, both in regionalglobal and national contexts. That is a challenge, which encourages us to carry out more intensiveresearches in the near future. Abstrak. Penutur Austronesia di Indonesia menempati posisi yang sangat strategis dalam pemahaman Austronesia global mengingat keletakannya di bagian tengah kawasan sebaran dengan populasi yang terbesar di antara negara-negara penutur Austronesia. Sebagai leluhur langsung populasi Indonesia asli sekarang, kemunculannya ca. 4000 BP menjadikan bidang studi yang sangat penting bagi kehidupanbangsa. Penelitian yang semakin intensif dalam dasawarsa terakhir telah memberikan banyak kemajuan tentang asal usul, persebaran, dan perkembangan secara sinkronis dan diakronis. Evolusi lokal sebagai hasil proses adaptasi lingkungan dan pengaruh luar menciptakan dinamika budaya dari Neolitik ke Paleometalik dan berlanjut ke masa sejarah hingga sekarang. Faktor evolusi lokal dan pengaruh luar itu lambat laun menciptakan kekhasan budaya-budaya lokal, hingga membentuk mozaik kebinekaan bangsa dan budaya Indonesia seperti yang kita lihat sekarang. Luasnya cakupan studi Austronesia dan masih terbatasnya penelitian menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab, baik dalam kaitannya dengan konteks regional-global maupun konteks nasional. Kondisi ini merupakan tantangan yang mendorong perlunya intensifikasi penelitian di masa datang
Pluralisme dan multikulturalisme dalam prasejarah Indonesia
Berisi informasi mengenai orasi pengukuhan profesor riset bidang studi prasejarah dengan judul pluralisme dan multikulturalisme dalam prasejarah Indonesia penelusuran terhadap akar kemajemukan masa kini
Kehidupan Manusia Modern Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa Awal
Abstract. The Life of Early Modern Human in Indonesia: A Preliminary Synthesis. The Late Pleistocene period or, in broader sense, the second half of the Upper Pleistocene, was in general related to the emergence and development of Early Modern Human (EMH) in Indonesia. Archaeological evidences have more or less confirmed their existence - with records of their unique behavior - within the period. In spite of the still obscure date of their initial occupation, the available radiometry dating reveals that this early Homo sapiens had inhabited Indonesia, and Southeast Asia in general, at least since ca. 45 kya up to the end of the Ice Age. Some of the most prominent behavior phenomena, which distinct modern human to early men's behavior who inhabited Indonesia since millions of years previously, are: (I) exploitation of wider geographical area within the archipelago; (2) change of activity orientation from open-air areas to natural niches, such as caves and rock shelters; (3) development of lithic technology that produced flake tools, replacing the chopper/chopping tool groups; and (4) more advanced and diverse systems of subsistence with more varied animals to hunt. The entire phenomena of behavior are the main focus of this paper. Abstrak. Rentang waktu Plestosen Akhir atau paruh kedua Plestosen Atas pada umumnya merupakan periode yang mengait dengan kemunculan dan perkembangan Manusia Modern Awal (MMA) di Indonesia. Bukti-bukti arkeologi sedikit banyaknya telah meyakinkan keberadaannya, berikut rekaman perilakunya yang khas, dalam periode tersebut. Terlepas dari pertanggalan kolonisasi awal yang belum diketahui pasti dari manusia modern awal ini, pertanggalan radiometri yang tersedia menampakkan bahwa mereka telah menghuni Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya, paling tidak sejak sekitar 45 ribu tahun lalu hingga akhir kala Plestosen.Beberapa fenomena perilaku yang paling menonjol, yang membedakannya dari perilaku manusia purba yang mendiami Indonesia sejak jutaan tahun sebelumnya, adalah: (1) ekploitasi geografi yang semakin luas di kepulauan; (2) perubahan lokasi hunian dari bentang alam terbuka ke relung-relung alam seperti gua dan ceruk; (3) pengembangan teknologi litik yang menghasilkan alat-alat serpih menggantikan alat-alat yang tergolong kelompok kapak perimbas/penetak; dan (4) sistem mata pencaharian yang lebih maju dan beragam dengan eksploitasi lingkungan (flora dan fauna) yang lebih bervariasi. Keseluruhan fenomena perilaku tersebut akan menjadi pokok bahasan tulisan ini
The Origins of the Obsidian Artifacts from Gua Pawon, Dago and Bukit Karsamanik in Bandung, Indonesia
Abstract. This paper presents the results of a study to determine whether the obsidian artifacts found in Gua Pawon, Dago and Bukit Karsamanik in Bandung came from the well-known sources of Gunung Kendan in Nagreg, Kampung Rejeng in Garut or elsewhere. Obsidian artifacts for this study were obtained from earlier archaeological excavations at Gua Pawon and from chance finds at the sites of Dago and Bukit Karsamanik in Bandung. Samples of obsidian were also collected from the known obsidian sources in Gunung Kendan in Nagreg and Kampung Rejeng in Garut for comparative purposes.Analyses of these samples were done on a scanning electron microscope using the energy dispersive X-ray spectrometer at the University of Science Malaysia, Penang and the electron microprobe at the University of Malaya, Kuala Lumpur. Multi-element analysis was undertaken, and statistical procedures were performed on data obtained from the artifacts and the sources. The results of the study thus far suggested that the obsidian artifacts from Gua Pawon were made using obsidian obtained from both Gunung Kendan and Kampung Rejeng sources while those from Dago and Bukit Karsamanik have yet to be determined. More samples from all the known obsidian sources are needed to determine the variability within and between all the different sources. Temporally, the study also revealed that prehistoric humans at Gua Pawon exploited or used the same obsidian resources over several thousands of years. Abstrak. Tulisan ini membahas hasil studi tentang sumber bahan baku artefak obsidian yang ditemukan di Gua Pawon, Dago, dan Bukit Karsamanik, Bandung. Analisis dilakukan terhadap sejumlah artefak obsidian, temuan ekskavasi di Gua Pawon dan temuan permukaan di Situs Dago dan Bukit Karsamanik. Untuk perbandingan dilakukan juga analisis terhadap obsidian dari Gunung Kendan di Nagrek dan Kampung Rejeng di Garut, dua lokasi sumber obsidian di Jawa Barat.Analisis dilakukan dengan cara "scanning electron microscope", menggunakan "energy dispersive X-ray spectrometer" di Universitas Sains Malaysia, Penang dan "electron microprobe" di Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Analisis multielemen dan perhitungan statistic dilakukan terhadap data yang diperoleh dari artefak dan bahan. Hasil studi memperlihatkan artefak obsidian dari Gua Pawon menggunakan bahan dari Gunung Kendan dan Kampung Rejeng, sementara artefak Dago dan Bukit Karsamanik belum diketahui sumbernya. Analisis terhadap bahan dari sumber-sumber lain sangat diperlukan untuk menentukan variabilitas di dalam dan di antarasumber-sumber yang berbeda. Untuk sementara, hasil studi memperlihatkan manusia prasejarah Gua Pawon mengeksploitasi dan menggunakan sumber-sumber obsidian yang sama selama beberapa ribu tahun
The Homo erectus Site of Trinil: Past, Present and Future of a Historic Place
Abstrak. Trinil: Masa lalu, Sekarang dan Masa Depan Sebuah Situs Bersejarah. Dusun Trinil menjadi terkenal dengan ditemukannya Pithecanthropus erectus, sekarang Homo erectus, oleh Dubois pada tahun 1891. Setelah ekskavasi Dubois, pada tahun 1907 sebuah ekspedisi besar-besaran dipimpin oleh E. Selenka berlangsung di lokasi yang sama. Selain fosil-fosil sisa manusia, puluhan ribu fosil vertebrata lain dan moluska ditemukan dalam ekskavasi Dubois dan Selenka antara tahun 1891 dan 1907. Koleksi ini sekarang disimpan di Naturalis di Leiden (Belanda) dan di Museum für Naturkunde di Berlin (Jerman). Studi yang berlangsung saat ini terhadap koleksi-koleksi itu mendorong perlunya penelitian baru di lapangan. Tujuannya selain untuk mengetahui potensi situs juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam studi koleksi. Parit penggalian Dubois dan ekspedisi Selenka dikontekstualisasikan dalam peta geografi modern berdasarkan data historis, bahan fotografi yang masih ada, dan peninjauan lapangan 2014/2015. Potensi untuk menemukan tinggalan pada ‘Hauptknochenschicht’ (HK) cukup besar di tepi kiri sungai Solo, di selatan penggalian Dubois yang asli, termasuk di tepi kiri disebelah timur lokasi yang digali. Pertanyaan yang masih tersisa, antara lain menyangkut stratigrafi situs, umur fauna Trinil dan Homo erectus, dan homogenitas himpunan HK, diharapkan dapat terjawab melalui penelitian baru yang akan dilaksanakan di situs ini. Abstract. Trinil became famous through the discovery of Pithecanthropus erectus, now Homo erectus, by Dubois in 1891. After Dubois’ excavations it was the expedition led by E. Selenka in 1907 performing large scale fieldwork at the location. Apart from the hominin remains, thousands of other vertebrate and molluscan fossils were excavated by both Dubois and Selenka between 1891 and 1908. These collections are currently housed at Naturalis in Leiden (The Netherlands) and the Museum für Naturkunde in Berlin (Germany). Ongoing studies of these collections have raised questions that warrant new fieldwork. This study aimed to establish the site‘s present potential to solve extant research questions. The excavation trenches of Dubois and the Selenka expedition were contextualized within a modern geographical map, based on historical data, extant photographic material and a 2014/2015 field trip. The potential to reach the find bearing Hauptknochenschicht (HK) is high at the left bank of the Solo river, south of Dubois’ original excavations. Also the left bank directly east of the former excavation pits has a good potential. Still remaining questions concerning the site stratigraphy, the age of the Trinil fauna, including the Homo erectus finds, and the homogeneity of the HK assemblage, might be resolved by new fieldwork.
- …