2 research outputs found

    Pembuatan Kompos dengan Memanfaatkan Limbah Perkebunan Sawit dan Peternakan Ayam dalam Mengatasi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi pada Kelompok Tani

    Get PDF
    Keterbatasan pupuk bersubsidi bagi petani mandiri menjadi permasalahan tersendiri khususnya petani mandiri yang ada di Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pupuk subsidi jenis NPK dan Urea dengan jumlah yang terbatas hanya bisa diperoleh petani 3 karung per orang, sementara kebutuhan mereka dalam sekali pemupukan mencapai 10 karung. Akibat dari keterbatasan perolehan pupuk bersubsidi ini, hanya ada satu solusi yang dapat dilakukan yaitu membeli pupuk non subsidi dengan harganya tinggi, mencapai Rp. 525.000/karung. Faktor keterbatasan daya beli masyarakat petani untuk jenis pupuk non subsidi membuat perawatan tanamannya seperti tanaman sawit mereka tidak maksimal, tidak subur, daun menguning, dan buah pun hanya ada pada pohon tertentu yang kebetulan humus tanah nya masih relatif bagus. Kelompok tani Pelangi Nusantara dan kelompok tani Barokah, yang dijadikan mitra pada kegiatan pengabdian masyarakat kali ini, merasakan betapa besar dampak yang ditimbulkan terhadap hasil panen buah sawit yang sangat rendah dari anggota kelompok tani mereka, hasil panen mereka hanya mencapai 400 – 500 kg/ha, yang seharusnya bisa mencapai 1.500-2.000 kg/ha. Faktor utama penyebabnya adalah pohon sawit tidak menerima nutrisi akibat terbatasnya pupuk yang diberikan, Kompos dapat dijadikan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan petani tersebut. Membuat kompos dari limbah perkebunan yang berupa limbah buangan pelepah daun sawit dan limbah kotoran ayam yang banyak dijumpai di lokasi pertanian menjadi bahan pemikiran utama pada Tim ini untuk mewujudkan kompos sebagai pupuk alternatif dalam upaya membantu petani mengatasi permasalahan yang dihadapi. Teknologi Tepat Guna dapat diterapkan dalam mewujudkan pembuatan kompos guna mengganti keterbatasan petani dalam memperoleh pupuk yang non subsidi.Keterbatasan pupuk bersubsidi bagi petani mandiri menjadi permasalahan tersendiri khususnya petani mandiri yang ada di Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pupuk subsidi jenis NPK dan Urea dengan jumlah yang terbatas hanya bisa diperoleh petani 3 karung per orang, sementara kebutuhan mereka dalam sekali pemupukan mencapai 10 karung. Akibat dari keterbatasan perolehan pupuk bersubsidi ini, hanya ada satu solusi yang dapat dilakukan yaitu membeli pupuk non subsidi dengan harganya tinggi, mencapai Rp. 525.000/karung. Faktor keterbatasan daya beli masyarakat petani untuk jenis pupuk non subsidi membuat perawatan tanamannya seperti tanaman sawit mereka tidak maksimal, tidak subur, daun menguning, dan buah pun hanya ada pada pohon tertentu yang kebetulan humus tanah nya masih relatif bagus. Kelompok tani Pelangi Nusantara dan kelompok tani Barokah, yang dijadikan mitra pada kegiatan pengabdian masyarakat kali ini, merasakan betapa besar dampak yang ditimbulkan terhadap hasil panen buah sawit yang sangat rendah dari anggota kelompok tani mereka, hasil panen mereka hanya mencapai 400 – 500 kg/ha, yang seharusnya bisa mencapai 1.500-2.000 kg/ha. Faktor utama penyebabnya adalah pohon sawit tidak menerima nutrisi akibat terbatasnya pupuk yang diberikan, Kompos dapat dijadikan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan petani tersebut. Membuat kompos dari limbah perkebunan yang berupa limbah buangan pelepah daun sawit dan limbah kotoran ayam yang banyak dijumpai di lokasi pertanian menjadi bahan pemikiran utama pada Tim ini untuk mewujudkan kompos sebagai pupuk alternatif dalam upaya membantu petani mengatasi permasalahan yang dihadapi. Teknologi Tepat Guna dapat diterapkan dalam mewujudkan pembuatan kompos guna mengganti keterbatasan petani dalam memperoleh pupuk yang non subsidi

    Pelatihan Pengembangan Usaha Mikro Bidang Peternakan Ayam Petelur di Kalangan Mahasiswa

    Get PDF
    Kebutuhan telur untuk kota Palangka Raya dan sekitarnya diperkirakan mencapai 260.000 butir per hari, atau sekitar 13 ton, dan hanya sekitar 35% yang dapat diproduksi di Palangka Raya, selebihnya di datangkan dari luar Kalimantan Tengah. Rendahnya produktivitas peternak tersebut, memicu ketergantungan masyarakat Kota Palangka Raya akan kebutuhan telur. Indikator penyebab rendahnya produktivitas telur di daerah ini disinyalir ada tiga hal utama, yaitu (1) rendahnya animo masyarakat untuk beternak ayam petelur karena rentan dengan penyakit, (2) tidak menguasai sistem pemeliharaan yang benar, serta (3) besarnya modal yang diperlukan. Di Kalimantan Tengah terdapat 228 orang peternak unggas, baik peternak mandiri maupun peternak yang bermitra dengan perusahaan, dan hanya terdapat 15% yang menggeluti peternakan ayam petelur, yang menyebar di Kalimantan Tengah dan hanya ada 12 peternak di Palangka Raya dan sekitarnya. Penyebab kurangnya minat peternak yang bergelut dibidang peternakan ayam petelur perlu di perhatikan dan diberikan solusi agar animo masyarakat dapat ditingkatkan dan sehingga ketergantungan masyarakat Kalimantan Tengah dan Palangka Raya pada khusunya atas kebutuhan telur dapat dikurangi. Solusi yang ditawarkan adalah melakukan rekrutmen calon-calon peternak baru dari kalangan mahasiswa berbagai program studi di FKIP Universitas Palangka Raya untuk dilatih selama dua hari, dilanjutkan magang selama tiga hari. Pelatihan diakukan di Palangka Raya, sedangkan magang ini dilakukan di lokasi peternakan di Desa Takaras, Kecamatan Rakumpit Kota Palangka Raya. Pelatihan yang diikuti magang ini dinilai cukup efektif untuk mengatasi permasalahan dalam peternakan ayam petelur, karena di dalam kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan SDM mahasiswa untuk membuka usaha baru pasca pandemic Covid-19.Kebutuhan telur untuk kota Palangkaraya dan sekitarnya diperkirakan mencapai 260.000 butir per hari, atau sekitar 13 ton. Dari data ini hanya sekitar 35% yang dapat diproduksi di Palangkaraya, selebihnya di datangkan dari luar Kalimantan Tengah, seperti halnya Banjarmasin dan Surabaya, dari angka tersebut terlihat begitu rendahnya hasil produktivitas peternak yang ada di daerah kita. Hal ini memicu ketergantungan masyarakat kota palagkaraya akan kebutuhan telur karena harus menunggu kiriman telur dari daerah luar. Indikator penyebab rendahnya produktivitas telur di daerah ini disinyalir ada tiga hal utama, yaitu (1) rendahnya animo masyarakat untuk beternak ayam petelur karena rentang dengan penyakit, (2) tidak menguasai sistem pemeliharaan yang benar (SDM yang rendah), serta besarnya modal yang diperlukan. sebagai gambaran untuk beternak ayam petelur 1000 ekor diperlukan moal sebesar Rp.65.000.000 buat puletnya (ayam yang siap betelur), belum termasuk pakan dan vitamin yang harus diberikan setiap hari untuk menjaga pertumbuhan ayam agar tetap sehat. Di Kalimantan Tengah terdapat 228 orang peternak unggas, baik peternak mandiri maupun peternak yang bermitra dengan perusahaan, dan hanya terdapat 15% atau sekitar 34-35 orang yang menggeluti peternakan ayam petelur, inilah yang menyebar di Kalimantan Tengah, sementara dari angka itu hanya ada 12 orang yang ada di Palangkaraya dan sekitarnya. Penyebab kurangnya minat peternak yang bergelut dibidang peternakan ayam petelur perlu di perhatikan dan diberikan solusi yang serius agar supaya minat dan animo masyarakat yang begitu rendah dapat ditingkatkan, sehingga ketergantungan masyarakat Kalaimantan tengah dan Palangkaraya pada khusunya atas kebutuhan telur dapat dikurangi. Solusi yang ditawarkan adalah melakukan rekrutmen calon-calon peternak baru yang diambil dari kalangan mahsiswa dari berbagai program studi di FKIP Universitas Palangkaraya bahkan mungkin masyarakat luar yang beminat untuk didik dalam bentuk pemberian pelatihan selama dua hari yang diteruskan dengan magang selama tiga hari. Pelatihan diakukan di Palangkaraya, sedangkan magang ini dilakukan di lokasi peternakan yang ada di Takaras Kecamatan Rakumpit, sekitar 60 km dari Kota Palangkaraya. Pelatihan yang di ikuti dengan magang ini dinilai cukup efektif untuk mengatasi permasalahan dalam peternakan ayam petelur, karena di dalam kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan SDM mahsiswa untuk membuka usaha baru pasca pandemic Covid-1
    corecore