14 research outputs found

    MONETARY POLICY IN POST CRISIS INDONESIA: SOME LESSONS LEARNED

    Get PDF
    The base money-targeting framework has shown signs of success in containing the reemergence of inflationary pressures in post crisis Indonesia. We have attributed this initial success to the plausible existence of the monetarist type economic relationships that have lent support to the effectiveness of the framework. Moreover, a clear cut and overriding commitment to maintain monetary stability clearly enhanced the framework’s performance. To further improve the effectiveness of monetary policy in the future, we suggest the use of a full-information strategy in formulating monetary policy such as the one employed by the European Central Bank (ECB)

    EKSPEKTASI INFLASI DI MASA KRISIS

    Get PDF
    Persepsi pelaku ekonomi terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda antara sebelum dan sepanjang krisis . Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan perilaku  kspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda taktis dalam rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan kebijakan moneter. Hasil penelitian membuktikan adanya “expectation loop” dalam pembentukan laju inflasi dan adanya proses backward maupun forward looking oleh pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang digunakan adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing variabel pembentuk ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang  berlangsung (inertia), (2) kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/ USD secara historis, sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan ekspektasi inflasi forward looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear tersebut selanjutnya di estimasi ulang de gan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded rationality para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi, disusul kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil simulasi ekspektasi inflasi dimasa krisis terlihat bahwa dalam bulan-bulan tertentu terdapat indikasi deviasi yang cukup signifikan yang menunjukkan adanya ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga Sembako di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah sepenuhnya diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako di bulan Agustus dan September 1998. Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-milah faktor-faktor pembentuk inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter.  Disamping itu perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading indicator pemantaunya, sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter. Dalam rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan noise, otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dengan departemen terkait

    UNDERLYING INFLATION SEBAGAI INDIKATOR HARGA YANG RELEVAN DENGAN KEBIJAKAN MONETER: Sebuah Tinjauan Untuk Indonesia

    Get PDF
    Untuk melihat keberhasilan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, indikator harga yang digunakan selama ini adalah indeks harga konsumen atau IHK karena indikator ini dapat tersedia lebih cepat dibandingkan indikator harga lainnya seperti indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan PDB deflator. Walaupun IHK merupakan pilihan terbaik saat ini sebagai indeks harga yang paling relevan untuk melihat efektivitas kebijakan moneter, namun IHK mengandung kelemahan yaitu noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Beberapa unsur noise dalam IHK tersebut adalah faktor-faktor seperti kenaikan biaya input produksi (misalnya melalui pass through depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditi input untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kenaikan biaya distribusi domestik (second stage pass through dari depresiasi nilai tukar), kebijakan fiskal, faktor non-ekonomi (misalnya, kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, gejala El-Nino, dan kebakaran hutan), administered prices, dan ketidakseimbangan serta inefisiensi dalam struktur industri. Semua faktor-faktor ini tidak memiliki relevansi dengan kebijakan moneter.Oleh karena itu, telah dilakukan pengukuran underlying inflation yaitu laju inflasi yang diturunkan dari inflasi IHK dengan mengeluarkan unsur noise dalam keranjang IHK. Terdapat beberapa metode untuk membersihkan IHK dari faktor-faktor tersebut antara lain metode specific adjustment, adjustment by exclusion, dan pemangkasan (trimmed method). Dengan mengeluarkan unsur noise dalam inflasi IHK tersebut, yang tersisa adalah laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan kekuatan-kekuatan fundamental dari sisi permintaan seperti interaksi antara ekspektasi masyarakat, jumlah uang yang beredar, dan siklus penggunaan kapasitas produksi. Dengan demikian, underlying inflation dapat menjadi proxy untuk inflasi yang disebabkan oleh sisi permintaan yang secara teoritis dekat dan relevan dengan kebijakan moneter. Dalam kaitannya dengan penetapan laju inflasi sebagai target tunggal kebijakan moneter (inflation targeting), underlying inflation dapat berperan sebagai nominal anchor yang menjadi patokan bagi ekspektasi inflasi dan policy stance bank sentral yang kemudian diikuti oleh dunia usaha. Oleh karena itu, sebagaimana di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Kanada yang sudah menggunakan underlying inflation sebagai sasaran tunggal (single target), Bank Indonesia seharusnya menggunakan underlying inflation sebagai indikator dalam rangka memonitor efektivitas kebijakan moneternyaTulisan ini bermaksud memberikan gambaran pada pembaca mengenai konsep dan pengukuran underlying inflation serta implikasinya terhadap kebijakan moneter dan kaitannya dengan penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan moneter di Indonesia. Bagian pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang dilakukannya penelitian mengenai underlying inflation sebagai indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Bagian kedua akan menyediakan landasan konseptual penelitian indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Pada bagian ketiga akan diuraikan mengenai metode-metode pengukuran underlying inflation. Di bagian keempat akan dipaparkan mengenai hasil-hasil dari penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, khususnya yang berkaitan dengan underlying inflation. Selanjutnya di bagian kelima akan diulas mengenai berbagai pelajaran yang dapat ditarik dari eskalasi krisis moneter terhadap penggunaan inflasi IHK sebagai indikator harga untuk mengukur efektifitas kebijakan moneter. Akhirnya, bagian keenam akan menyimpulkan tulisan ini sekaligus menyampaikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penggunaan underlying inflation dalam skim inflation targeting

    The Impact of Post-GFC Monetary Policy in the US on Capital Flows to the SEACEN Economies

    Get PDF
    This paper examines the impact of unconventional monetary policy (UMP) in the US after the global financial crisis (GFC), represented by the expansion and contraction of the US Federal Reserve balance sheet, on capital inflows to SEACEN economies. The empirical results from panel data analysis of nine countries, namely Hong Kong SAR, India, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, People Republic of China, and the Republic of Korea, since 2004 to 2018 point to the importance of portfolio inflows in transmitting the spill-over effects of the UMP / QE in core AEs, particularly in the US, on the SEACEN economies in the sample. The findings imply that SEACEN’s real economy and financial system are prone to elevated risks that accompany global portfolio rebalancing, thus lead to a strong merit in strengthening the cooperation framework within SEACEN, as a platform for regional sharing of policy experiences in dealing with capital flow volatility

    PENGUKURAN TARGET INFLASI DALAM RANGKA MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MONETER SECARA FORWARD LOOKING

    Get PDF
    Sesuai dengan UU No. 23/1999 tentang Bank Sentral, telah diamanatkan kepada Bank Indonesia untuk menetapkan sasaran inflasi dalam rangka menjaga stabilitas (internal) nilai Rupiah. Dalam kaitannya dengan operasional pengendalian moneter oleh Bank Indonesia, empat isu pokok yang perlu dikaji dalam rangka penetapan sasaran (target) inflasi tersebut adalah : (1) pengukuran level target inflasi, (2) taksiran tentang time-frame pencapaiannya, dan (3) analisis tentang bagaimana strategi terbaik untuk mencapainya. Pengukuran level target inflasi diperlukan untuk menjadi nominal anchor bagi perumusan kebijakan moneter. Target tersebut diukur dengan melihat data historis tentang keterkaitan antara inflasi dan gejolaknya, serta dinamika perilaku inflasi dengan output dan kebijakan suku bunga. Sementara itu taksiran mengenai time-frame pencapaian target inflasi diperlukan untuk melihat jangka waktu yang masuk akal (reasonable) bagi evaluasi keberhasilan kebijakan moneter. Taksiran ini dilakukan dengan mengukur efek tunda (lag) kebijakan moneter. Sedangkan analisa tentang strategi kebijakan moneter untuk pencapaian target inflasi diperlukan untuk mencari alternatif strategi yang less-painfull bagi pencapaian sasaran inflasi mengingat adanya trade-off antara output dan inflasi. Hal ini dilakukan dengan melihat dampak kebijakan drastis dan gradual serta credibility effect pada dinamika loss-output. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa target inflasi dalam jangka menengah (2-5 tahun ke depan) adalah 6% sd 8%, untuk selanjutnya dapat diturunkan ke level 4% sd 6 % dalam jangka panjang (6-10 tahun ke depan). Target inflasi yang akan diumumkan dalam waktu dekat perlu mempertimbangkan efek tunda kebijakan moneter sepanjang kurang lebih 1 s/d 2 tahun, dan dalam pencapaiannya sebaiknya menggunakan strategi bertahap (gradual) untuk meminimumkan loss-output

    POLICY RULES UNTUK PENGENDALIAN INFLASI SECARA FORWARD LOOKING

    Get PDF
    Selaras dengan pesan inti UU No.23/1999 tentang kewajiban Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas internal dan eksternal nilai Rupiah, maka stabilisasi laju inflasi dalam jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguh-sungguh pencapaiannya. Pesan implisit undang-undang agar Bank Indonesia melalui kebijakan moneternya mencapai sasaran laju inflasi yang rendah dan stabil, bertolak dari argumen mengenai pentingnya stabilisasi laju inflasi bagi perekonomian secara makro. Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh para akademisi dan praktisi, manfaat stabilisasi inflasi pada intinya berkisar pada biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian jika laju inflasi berada pada level yang tinggi dan tidak stabil

    Stability of the Demand for Real Narrow Money in lndonesia

    No full text
    The stability of the demand for real Ml in Indonesia is empirically examinedusing quarterly data between 1981 and 2002. A cointegrated VAR methodology thatisolates the period of structural breaks in the data generating process of the variables,caused by the Asian crisis, is used. The results show that the nominal Ml demandfunction is long run homogenous in the price level and the price level itself isendogenous in the equation for nominal Ml. Therefore, a reparameterization towardsthe real Ml demand function is necessary. In the pre and post Asian crisis era, thedemand function for real Ml in Indonesia is empirically stable and consists of a smallnumber of variables. In the long run, the real private household consumption spendingforms the permanent part of the demand for real Ml balances. Meanwhile, in theshort run, the opportunity cost of holding real Ml balances, measured by the l-monthnominal interest rate of time deposits in commercial banks, and agents' seasonalpreference for real money balances, are key determinants of the demand for real Mlbalances. In addition, there is evidence of a co-breaking relationship between the realMl balances and the real private household consumption spending in Indonesiaduring the Asian crisis.money demand; cointegrated V AR; structural breaks; co-breaking; Asian crisis; Indonesia

    Money - Inflation Nexus in Indonesia: Evidence from a P-Star Analysis

    No full text
    In this paper the effect of excess narrow money (MI) on C PI intlation in Indonesiabefore, during, and after the Asian crisis is empirically examined. The standard model for themonetary analysis of inflation, i.e. the P-Star model by Hallman-Porter-Small (1991), isapplied and tested empirically using quarterly Indonesian data between 1981 and 2002. Theempirical model is a Markov switching error correction model. The results show that the tworegime P-star model, in terms of excess MI, tracks the long run dynamics of CPI inflation inIndonesia remarkably weIl. Hence, there is an empirical support for the assertion that longrun CPI intlation in Indonesia is a monetary phenomenon. In addition, there is evidence of aco-breaking relationship between excess MI and consumer prices in Indonesia during theAsian crisis.inflation; monetary model; structural break; regime switching error correction model; co-breaking; Asian crisis; Indonesia

    A direct test of Kuznets in a developing economy: a cross-district analysis of structural transformation and inequality in Indonesia

    No full text
    This paper empirically tests the Kuznets hypothesis that structural transformation – the movement of labour from low productivity to higher productivity sectors – is associated with rising inequality in a developing economy. We assemble a unique data set of inequality and sectoral employment shares of almost 300 districts of Indonesia and sector-specific measures of inequality for the period 1992–2017. Unlike studies that use value added shares to test the Kuznets hypothesis, this paper is among a few that directly test it with sectoral employment shares. We find that structural change and rising inequality coevolve in different ways depending on the modality of structural transformation. Specifically, we find in the Indonesian case that structural transformation has a tendency to be associated with falling inequality during a period of industrialization and increasing inequality during a period of tertiarization

    The dynamics of global financial cycle and domestic economic cycles: Evidence from India and Indonesia

    No full text
    This paper analyses the role of the global financial cycle in determining domestic economic cycles, defined as business and credit cycle, of India and Indonesia, two key open lower-middle income emerging economies in Asia. The paper particularly examines to what extend the global financial cycle can explain the variation in domestic economic cycles in the two countries and analyses the differences. Using quarterly data from 2000 to 2018, and employing various econometric techniques such as concordance index, DCC-GARCH model and standard SVAR, the study finds: (i) the domestic credit cycle is highly synchronized with global financial cycle for India, whereas in the case of Indonesia the synchronization is muted and indirect, (ii) exchange rate appreciation leads to credit boom in India, indicating risk taking behaviour through the financial channel; while in Indonesia, credit boom is driven mainly by the indirect impact of global financial cycle through the domestic real economy, (iii) the Reserve Bank of India responds to output gap strongly, suggesting an adherence to inflation targeting framework, and (iv) Bank Indonesia also responds to exchange rate volatility and credit cycle as an approach to mitigate the risks associated with large and often volatile capital flows. These differences in monetary policy approach may explain the differences in transmission of spill-over effects of global financial cycle on domestic economic cycles in the two countries
    corecore