2 research outputs found

    Perlindungan Hukum Organisasi Penyiaran (Broadcasting Organization) dalam Kerangka UU No. 12/1977 tentang Hak Cipta

    Get PDF
    Hak cipta sebagai hak dari HAKI (Intellectual Property Rights) semula dikenal di negara yang menganut sistem Common Law, dipakai untuk menggambarkan hak penggandaan dan atau memperbanyak suatu karya cipta (copyright). Di Inggris, hak cipta berkembang untuk menggambarkan konsep guna melindungi penerbit dari tindakan penggandaan buku oleh pihak lain yang tidak mempunyai hak untuk menerbitkannya. Perlindungan diberikan bukan kepada si pencipta (author) tetapi kepada pihak penerbit, untuk memberikan jaminan atas investasi penerbit dalam membiayai pencetakan suatu karya. Dalam perkembangannya, perlindungan tidak hanya diberikan kepada penerbit tetapi juga kepada pencipta. Hal ini berpengaruh pula pada bidang yang dilindungi tidak hanya bidang penciptaan dan penerbitan buku, tetapi juga bidang drama, musik dan pekerjaan artistik. Selanjutnya pada tahun 1960-an di Amerika muncul suatu desakan yang kuat agar kepada pihak-pihak yang dinilai sangat berperan dalam pengkomunikasian suatu karya cipta kepada masyarakat diberikan perlindungan yang memadai dalam kerangka perlindungan hak cipta. Pihak-pihak ini adalah para penampil (performers), produser rekaman suara (producer of phonograms) dan organisasi penyiaran (broadcasting organization). Ternyata keinginan tersebut memerlukan perjuangan yang panjang karena banyak keberatan yang diajukan. Saat ini keinginan tersebut telah diakomodir dan dikuatkan dengan kesepakatan internasional dalam Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO) yang di dalamnya terdapat Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (selanjutnya disingkat Persetujuan TRIPs). Organisasi penyiaran (broadcasting organization) memiliki kontribusi yang sangat besar dalam upaya pengkomunikasian suatu karya cipta dan informasi kepada masyarakat luas yang dikemas dalam bentuk siaran. Dalam era global dimana tidak ada lagi batas-batas negara, siaran yang dipancarluaskan oleh organisasi penyiaran (broadcasting organization) dimungkinkan untuk disiarkan ulang secara simultan atau dialihwujudkan dan direproduksi oleh pihak lain secara tanpa izin. Kiranya tidak dapat dipungkiri, jika dalam menyuguhkan siaran tersebut, pihak organisasi penyiaran (broadcasting organization) telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, disamping pengorbanan waktu dan tenaga, sebagai contoh, pembayaran yang cukup besar harus diberikan oleh suatu organisasi penyiaran (broadcasting organization) atas hak siaran langsung pertunjukan konser penyanyi terkenal. Oleh karena itu sudah sepatutnya kepada organisasi penyiaran (broadcasting organization) diberikan perlindungan yang memadai sebagai penghargaan (reward) ataupun daya tarik (incentive) atas kontribusinya yang sangat besar dalam pengkomunikasian suatu karya cipta kepada masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Apa yang menjadi hak khusus organisasi penyiaran (broadcasting organization) ? 2. Bagaimana bentuk pelanggaran hak organisasi penyiaran (broadcasting organization) dan upaya pemulihannya? Penelitian ini bersifat juridis sosiologis. Data yang digunakan sebagai acuan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara dengan responden. Data sekunder berasal dari peraturan perundang-undangan dan kepustakaan yang terkait dengan penelitian. Lokasi penelitian adalah kota Surabaya dan Jakarta. Sebagai populasi adalah perusahaan radio dan televisi. Sebagai sampel adalah 1 stasiun televisi dan 2 radio swasta di Surabaya. Sebagai responden adalah pihak Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Himpunan Praktisi Penyiaran Indonesia. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara melaku wawancara terhadap responden secara langsung terbuka tidak berstruktural berpedoman pada daftar pertanyaan (quesionery yang telah disiapkan sebelumnya. Pengumpulan data sekunder dengan cara menginventarisasi, mengklasifikasi peraturan perundang-undangan dan kepustakaan van terkait dengan penelitian. Seluruh data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan : a. Pada dasamya organisasi penyiaran (broadcasting organization) selaku badan hukum memiliki hak sebagaimana layaknya pencipta atau pemegang hak cipta untuk materi karya siarannya sendiri (Pasal 2 ayat (1) UU No. 121 1997) dan Hak-hak yang Tterkait dengan Hak Cipta (Neighbouring Rights atau Related Rights) sebagaimana diatur dalam Pasal 43 C ayat 93) UU No. 121 1997 atas karya siaran, utamanya yang menyangkut ciptaan pihak lain. b. Bentuk pelanggaran hak yang merugikan organisasi penyiaran (broadcasting organization) adalah tindakan memperbanyak karya siaran yang telah ada dan mengumumkan (menyiarkan kepada umum) secara tanpa ijin. Upaya pemulihan yang dapat dilakukan baik secara litigasi ( gugatan perdata atau tuntutan pidana) maupun non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa}.Namun demikian dalam praktek, apabila terjadi pelanggaran lazimnya organisasi penyiaran (broadcasting organization) menyelesaikan secara informal dan keluargaan. Dalam hal ini ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan yaitu: a. Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang terpadu dalam mengatur masalah organisasi penyiaran (broadcasting organization) dan aktivitasnya. b. Perlu ditetapkan pembagian Lembaga Penyiaran secara efisien meliputi Lembaga Penyiaran Pemerintah (LPP) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), sehingga memberikan peluang bagi kedua lembaga tersebut untuk memperluas kegiatannya mencakup apa yang saat ini menjadi wewenang Lembaga Penyiaran Siaran Khusus (LPKS). c. Perlu ditingkatkan pemahaman para profesional di bidang penyiaran (broadcaster) akan perlindungan HAKI, khususnya Hak Cipta. Hal ini penting , agar mereka memahami hakekat dan manfaat perlindungan Hak Cipta bagi dirinya sekaligus menghormati karya cipta pihak lain .

    ASPEK JURIDIS PERJANJIAN KREDIK SINDIKASI

    Get PDF
    Menyongsong tahap tinggal landas dalam Pernbangunan Nasional di Indonesia, terlihat bahwa penekanan pada pemerataan yang diiringi dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi paradigma yang mengkcdepan dalam proses pernbangunan karena pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam rangka pcrnbangunan nasional ini, peran sektor swasta baik yang berskala bcsar, menengah ataupun kecil terns clipacu untuk lebih menggiatkan aktivitasnya. Aktivitas kegiatan perusahaan tersebut tentunya rnernbutuhkan modal baik untuk pendirian lIlaupun dalam rangka perluasan usahanya. Penggalian dana oleh perusahaan dapat melalui berbagai cara, di antaranya dengan menjual saham dan obligasi di pasar modal atau dengan mengajukan perrnohonan kredit melalui lembaga kcuangan bank atau lembaga pernbiayaan lainnya. Penggalian dana melalui perbankan banyak diminati olch perusahaan. Namun bila jumlah dana yang dibutuhkan sangat besar, hal ini merupakan kendala terscndiri bagi perbankan, terlebih dcugan adanya ketentuan Batas Maksimum Penibcrian Kredit (8M PK) yang diatur dnlam UU No. 711 992 tcntang Perbankan. BMPK membatasi krcdit yang diberikan oleh pemimjam atau sekelompok pemimjam yang terkait tidak boleh melebihi dari 30 % modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya ketentuan BMPK keinampuan suatu bank untuk menyalurkan kredit kepada suatu perusahaan atau group menjadi terbatas, sehingga bank-bank berpaling kepada Iernbaga kredit sindikasi. Hal ini sesuai pernyataan Remi Syahdeini bahwa (Info Bank, No. 170 Pebruari 1994: 12) Penyelesaian masalah pelanggaran pernenuhan BMPK melalui asuransi selain belum Iancar, sifatnya hanya temperer. untuk itu penyelesaiau yang lebih mendasar seperti pemberian kredit dengan sinclikasi bank-bank perlu dikembangkan
    corecore