11 research outputs found

    Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-3 Tahun di Kecamatan Genuk Semarang

    Get PDF
    Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak 2017 ABSTRAK Santy Sundari Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-3 Tahun di Kecamatan Genuk Semarang xvii + 101 halaman + 32 tabel + 3 gambar + 17 lampiran Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek sebagai akibat pertumbuhan linier yang terhambat, ditandai dengan z-score panjang badan menurut umur kurang dari -2 SD. Prevalensi stunting di jawa tengah mencapai 25%. Prevalensi kejadian stunting tertinggi di Semarang di Kecamatan Genuk (20,93%). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun di wilayah kerja kecamatan Genuk, Semarang. Jenis penelitian observasional dengan rancangan kasus kontrol. Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah sampel 61 subjek untuk masing-masing kelompok. Stunting diukur berdasarkan z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) dianalisis dengan software WHO Anthro 2005. Data identitas subjek dan responden diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner. Data tinggi badan anak dan tinggi badan orang tua diukur dengan menggunakan stadiometer. Data asupan makanan diperoleh menggunakan kuesioner frekuensi makanan semi kuantitatif. Analisis bivariat menggunakan Chi-Square dan continuity correction. Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko stunting pada anak usia 2-3 tahun adalah tinggi badan ayah <162 cm (p=0,004, OR=11,147), pemberian ASI yang tidak eksklusif (p=0,004, OR=9,347), riwayat ISPA (p=0,032, OR=5,939), dan asupan energi kurang (p=0,000 , OR=43,411. Faktor risiko yang tidak terbukti mempengaruhi kejadian stunting adalah tinggi badan ibu, pemberian MP-ASI, riwayat diare, riwayat campak, status imunisasi, asupan protein, asupan kalsium dan asupan zat besi. Disimpulkan bahwa tinggi badan ayah yang pendek, pemberian ASI yang tidak eksklusif, riwayat ISPA, dan asupan energi yang kurang merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun. Kata kunci : Stunting, Faktor Risiko Kepustakaan : 95 (1988-2015)Diponegoro University Faculty of Public Health Master’s Study Program in Public Health Majoring in Maternal and Child Health 2017 ABSTRACT Santy Sundari Risk Factors for Stunting on Children aged 2-3 Years Old at Genuk Subdistrict in Semarang xvii + 101 pages + 32 tables + 3 figures + 17 appendices Stunting is a problem of linear growth retardation shown by a condition of very low height for age signed by an index of z score of height for age below -2 Standard Deviation. A prevalence of stunting in Central Java was 25%. Genuk Subdistrict was the highest prevalence of stunting in Semarang (20.93%). This study aimed at analysing risk factors for stunting on children aged 2-3 years old at Genuk Subdistrict in Semarang. This was an observational study using case-control approach. Samples were selected using a technique of consecutive sampling with number of samples for each group were 61 children. Stunting was measured based on an index of z score of height for age (H/A) analysed using software of WHO Anthro 2005. Data of subjects’ identities and respondents were collected by conducting interview using a questionnaire. Height of children and their parents were measured using stadiometer. Data of food intake were collected using a semi-quantitative food frequency questionnaire. Bivariate analyses used Chi-Square and Continuity Correction tests. Multivariate analysis used a Multiple Logistic Regression test. The results of multivariate analysis showed that risk factors for stunting on children aged 2-3 years old were father’s height <162 cm (p=0.004; OR=11.147), providing non-exclusive breastfeeding (p=0.004; OR=9.347), a history of acute respiratory tract infection (ARTI)(p=0.032; OR=5.939), and a lack of energy intake (p=0.000; OR=43.411). In contrast, risk factors that were not significant were mother’s height, providing complementary foods of breastfeeding, a history of diarrhea, a history of measles, status of immunisation, protein intake, calcium intake, and iron intake. To sum up, a short father, non-exclusive breastfeeding, a history of ARTI, and the lack of energy intake were the risk factors for stunting on children aged 2-3 years old. Keywords: Stunting, Risk Factor Bibliography: 95 (1988-2015

    Analisis Sistem Manajemen Kegiatan Pojok Laktasi di Puskesmas Kota Surakarta Tahun 2014

    Get PDF
    Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak 2014 ABSTRAK Siti Farida Analisis Sistem Manajemen Kegiatan Pojok Laktasi di Puskesmas Kota Surakarta Tahun 2014 xv + 212 halaman + 9 tabel + 3 gambar + 12 lampiran Cakupan ASI eksklusif yang ditargetkan Kota Surakarta yaitu sebanyak 80% dengan harapan dapat menjamin tumbuh kembang anak. Cakupan ASI eksklusif di kota Surakarta masih rendah jika dibandingkan dengan target Standar Pelayanan Minimal. Menurut data dari DKK Surakarta, persentase pemberian ASI eksklusif pada tahun 2009 sebesar 23%, tahun 2010 sebesar 36%, tahun 2011 sebesar 46,1%, tahun 2012 sebesar 51,07%, tahun 2013 mencapai 53,51%. Beberapa Puskesmas di Kota Surakarta melaksanakan program pengembangan dari program KIA yaitu pojok laktasi. Keberhasilan pelaksanaan program pojok laktasi di Puskesmas tidak terlepas dari peran manajemen program. Berdasarkan hasil studi pendahuluan aspek manajemen pojok laktasi di Puskesmas kurang dilaksanakan secara optimal sesuai proses manajemen yang seharusnya diterapkan oleh kepala Puskesmas. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis sistem manajemen kegiatan pojok laktasi di Puskesmas Kota Surakarta yang meliputi unsur masukan, unsur proses dan unsur keluaran. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang disajikan secara deskriptif eksploratif melalui wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan kepada Informan utama yaitu penanggung jawab/koordinator kegiatan pojok laktasi di Puskesmas yaitu petugas gizi, sedangkan informan triangulasi yakni Kepala Puskesmas, Bidan dan ibu menyusui yang berkunjung di Puskesmas. Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan metode content analysis (analisis isi) yaitu pengumpulan data, reduksi data dan kategorisasi, verifikasi kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif, dengan mengikuti pola berfikir induktif yaitu pengujian data yang bertitik tolak dari data yang telah terkumpul kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian pada aspek masukan menunjukkan bahwa belum ada petunjuk teknis, jumlah sumber daya manusia masih terbatas dengan tenaga yang terlibat yaitu petugas gizi dan bidan. Pelatihan yang pernah diikuti oleh petugas sudah menunjang terhadap pelayanan di pojok laktasi. Pada aspek proses, belum ada pembagian tugas kerja secara jelas dan belum ada pendelegasian wewenang dari kepala Puskesmas. Sedangkan pada aspek keluaran, Puskesmas belum membuat sistem pencatatan dan pelaporan pengunjung pojok laktasi. Disarankan kepada Pimpinan Puskesmas untuk melakukan aspek manajemennya sesuai proses manajemen yang seharusnya diterapkan yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan evaluasi. Kata Kunci : manajemen, pojok-laktasi Kepustakaan : 25 (1992-2013) Diponegoro University Faculty of Public Health Master’s Program in Public Health Majoring in Maternal and Child Health 2014 ABSTRACT Siti Farida Management System Analysis of Lactation Corner Activities at Health Centers in Surakarta City in 2014 xv + 212 pages + 9 tables + 3 figures + 12 enclosures A target of an exclusive breastfeeding coverage in Surakarta City was 80% with the hope to sustain child growth and development. The coverage of exclusive breastfeeding in Surakarta City was lower than the target of Minimum Service Standards. Data at Surakarta City Health Office (CHO) showed that the coverage of exclusive breastfeeding during the period 2009 – 2013 respectively was 23%, 36%, 46.1%, 51.07%, and 53.51%. Some health centers in Surakarta City had implemented the program of lactation corner. The success of the program was due to a role of a program management. A preliminary study indicated that lactation corner at health centers had not been well managed by head of health centers. This research aimed to analyze the management system of lactation corner activities at health centers in Surakarta City which encompassed aspects of input, process, and output. This was qualitative research presented using descriptive-explorative methods through in-depth interview. Main informants were nutritionists worked as an officer in charge/coordinator of lactation corner activities at health centers. Meanwhile, informants for triangulation purpose encompassed heads of health centers, midwives, and breastfeeding mothers who visited health centers. Furthermore, data were analyzed using a method of content analysis encompassed data collection, data reduction and categorization, and verification. Afterwards, data were presented descriptively following the pattern of inductive thinking in which data examination was started from collecting data to concluding. The result of this research showed that regarding the input aspect, there was no a technical guidance, number of human resources involved were limited and consisted of nutritionists and midwives. In addition, kinds of provided training supported the lactation corner services. Regarding the process aspect, there was unclear job sharing and no delegation of authority from heads of health centers. Regarding the output aspect, health centers had not made recording and reporting systems for visitors of the lactation corner. As suggestions, heads of health centers need to implement all management aspects appropriately in accordance with the management process namely planning, organizing, actuating, and evaluating. Key Words : Management, Lactation Corner Bibliography : 25 (1992 – 2013

    HUBUNGAN ANTARA KADAR HEMOGLOBIN DENGAN KEMAMPUAN KOGNITIF DAN PRESTASI BELAJAR REMAJA PUTRI MURID TIGA SEKOLAH MENENGAH UMUM DI SEMARANG

    Get PDF
    Kualitas sumberdaya manusia di masa yang akan datang antara lain dipengaruhi oleh kualitas dari generasi mudanya saat ini. Remaja putri merupakan salah satu populasi yang mempunyai risiko tinggi untuk menderita anemia atau kadar hemoglobin dibawah normal. Kadar hemoglobin yang rendah akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir, dan kemampuan berpikir yang rendah akan mempengaruhi kemampuan kogintif dan prestasi belajar. Penelitian ini ingin memperoleh gambaran hubungan antara Kadar Hemoglobin dengan Kemampuan Kognitif dan Prestasi Belajar Remaja Putri Murid tiga Sekolah Menengah Umum di Semarang Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan cross-sectional. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan pada 290 murid putri tiga SMU di Semarang, selanjutnya untuk melihat hubungan kadar hemoglobin dengan kemampuan kognitif dan prestasi belajar dipilih 40 murid putri yang anemi dan 40 murid putri yang tidak anemi. Kadar Hb diukur dengan metode Cyanmet Haemoglobin, kemampuan kognitif diukur dengan menggunakan metode Stroop Neuropsychological Sreening Test (SNST) dengan dua macam insrumen yaitu lntrumen Color (C) Stimulus Sheet dan Instrumen Color Word (CW) Stimulus Sheet, sedangkan prestasi belajar dengan melihat nilal Ulangan Umum Bereama (UUB) catur wulan pertama tahun ajaran 2000/2001 mata pelajaran Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika + Biologi), llmu Pengetahuan Sosiai (Sejarah + Ekonomi) dan Bahasa Indonesia. Hasil pemeriksaan Hb menunjukkan bahwa rerata kadar Hb adalah 12,39 g/dl, dengan simpangbaku = 1,12, kadar Hb terendah = 8,91 g/dI dan kadar Hb tertinggi = 15,23 g/dl. Bila digunakan kadar Hb < 12 g/dI sebagai batas kejadian anemia, maka dari 290 murid putri yang diperiksa, terdapat 80 orang yang menderita anemia (27,6 persen). Setelah dipilih 80 murid putri sebagai kelompok penelitian (40 anemi dan 40 tidak anemi) didapatkan rerata kadar hemoglobin adalah adalah 11,89 g/dl, simpangbaku = 1,17, Hb terendah = 8,91 g/dI dan Hb tertinggi = 14,25 g/dl. Pemeriksaan kemampuan kognitif dengan form C stimulus sheet (responden membaca 'tulisan' yang dicetak dengan tinta yang warnanya berbeda dengan apa yang tertulis) menunjukkan bahwa rerata skor adalah 254,94, simpangbaku = 35,61, skor terendah = 112 dan skor tertinggi = 309. Dengan menggunakan form C-W stimulus sheet (responden membaca Varna') didapatkan rerata skor adalah 143, simpangbaku = 15,57, skor terendah = 66 dan tertinggi = 101,16. Variabel prestasi belajar dinilai dari nilai UUB untuk matapelajaran matematika, IPA (Fisika dan Biologi), IPS (Sejarah dan Ekonomi) dan Bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata nilai matematika adalah 5,43, simpangbaku = 1,03, nilai terendah = 3 dan nilai tertinggi = 8. Untuk matapelajaran IPA didapatkan rerata nilai adalah 5,98, simpangbaku = 0,72, nilai terendah = 4 dan nilai tertinggi = 7,5. Sedangkan untuk matapelajaran IPS didapatkan rerata nilai adalah 6,74, simpangbaku = 0,74, nilai terendah = 5,07 dan nilai tertinggi = 8. Rerata nilai matapelajaran bahasa Indonesia adalah 6,98, simpangbaku = 0,84, nilai terendah = 5,10 dan nilai tertinggi = 9. Hasil uji hipotesis dengan uji-t menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna rerata skor kognitif (metode C maupun C-W) antara murid yang anemia dengan murid yang tidak anemia, di mana rerata skor pada murid yang tidak anemia lebih tinggi dibanding murid yang anemia (nilai-p < 0,05). Dengan adanya perbedaan yang bermakna rerata skor kognitif tersebut, maka secara implisit bisa dikatakan ada hubungan antara kadar Hb dengan kemampuan kognitif murid putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rerata nilai UUB catur wulan I untuk keempat matapalajaran (semua nilai-p > 0,05). Hal ini berarti bahwa tidak hubungan yang bermakna antara kadar Hb dengan prestasi belaja

    PENGARUH SUPLEMENTASI SENG TERHADAP MORBIDITAS PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN

    Get PDF
    Diare merupakan salah satu penyebab kematian terbesar bagi anak-anak di Indonesia. Beberapa penelitian telah dilakukan pada efek seng terhadap diare. Suplementasi seng dapat memperpendek durasi diare akut pada bayi dan anak-anak usia di bawah tiga tahun Namun bagaimana efek suplementasi seng terhadap durasi dan episode kejadian diare pada anak usia 2 — 5 tahun di Indonesia belum pernah diteliti. Selain diare, kecacingan merupakan penyalcit infeksi yang masih tinggi morbiditasnva dan menyebabkan masalah gizi pada anak-anak. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa cacing parasit hidup lebih baik pada tikus yang defisiensi seng dibandingkan dengan tikus gizinya baik Berdasarkan temuan pada hewan coba tersebut. maka pada penelitian ini juga akan melihat apakah suplementasi seng dapat menurunkan prevalensi kecacingan. Rancangan penelitian dengan randomized pretest posttest control group dengan tersamar ganda. Penelitian dilakukan dan bulan Mei sampai dengan Oktober 2003, di wilayah kerja Puskesmas Bangetayu, Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Penelitian ini merupakan kerjasama dengan penelitian lain yang lebih besar yang berjudul "Efek Suplementasi Seng dan Interaksinya dengan Vitamin A terhadap Respon Imun dan Morbiditas Anak Prasekolah" . Sampel pada penelitian ini merupakan sub sampel pada penelitian yang lebih besar tersebut. Suplementasi seng dilakukan selama 8 minggu dalam bentuk sirup. Kepatuhan minum sirup dan monitoring kejadian diare dipantau oleh kader Posyandu. Pemeriksaan jumlah dan jenis kecacingan menggunakan teknik Kato-Katz. Terkumpul subyek sebanyak 152 anak usia 2-5 tahun. Prevalensi kecacingan pada pemeriksaan pertama adalah 15.1% sedang pada pemeriksaan kedua 16.4%. Pada pemeriksaan pertama ditemukan bahwa subyek yang mendapat sirup seng mempunyai proporsi kecacingan lebih tinggi dibanding subyek yang mendapat sirup plasebo meskipun bedanya tidak bermakna. Temuan serupa didapatkan pada pemeriksaan kecacingan kedua. Proporsi subyek yang menderita diare pada dwi minggu pertama, kedua, adalah 2,6% dan 3,3%, sedangkan pada dwi minggu ketiga dan keempat ditemukan proporsi kejadian diare yang sama yaitu 1,3%. Proporsi kejadian diare selama masa pengamatan menunjukkan tendensi serupa, yaitu subyek yang mendapatkan sirup plasebo mempunyai proporsi kejadian diare yang lebih tinggi dibanding kelompok yang mendapatkan sirup seng meskipun tidak terdapat beda yang bermakna. Angka kejadian kecacingan dan diare yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok yang mendapat sirup seng maupun plasebo mungkin disebabkan karena jumlah subyek yang kurang memadai atau waktu pengamatan yang singkat. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan waktu pengamatan lebih lama sehingga dapat diamati kejadian diare dan kecacingan. Penelitian yang dilakukan hendaknya memasukkan memasukkan variable perancu pada analisis sehingga dapat diketahui apakah suplementasi seng dan kejadian diare juga dipengaruhi oleh variabel perancu misalnya status social ekonomi orang tua atau asupan makanan yang mengandung seng dalam makanan sehari-hari

    PENGARUH SUPLEMENTASI SENG TERHADAP STATUS GIZI PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN

    Get PDF
    Anak prasekolah (2 — 5 tahun) merupakan kelompok yang mempunyai risiko besar terkena gizi kurang. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut twnbuh kembang anak dalam masa yang cepat sehingga dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistim imun masih tarnish sehingga lebih mudah terkena infeksi dibandingkan anak dengan usia lebih tua dan lebih rentan terhadap pola asuh yang salah. Salah satu zat gizi yang panting tumbuh kembang anak adalah seng. Pala makan yang mengandalkan asupan produk nabati di satu sisi dan rendahnya asupan produk hewani yang merupakan sumber seng di sisi lain, dapat mengakibatkan anak kekurangan seng. Efek suplementasi seng pada pertumbuhan anak¬anak masih kontroversial. Suplementasi seng pada anak-anak di Amerika Selatan menunjukkan perubahan pada parameter indek komposisi tubuh Namun penelitian pada anak-anak Bangladesh yang kurang gizi, suplementasi seng tidak menunjukkan efek yang signifikan terhadap pertumbuhan. Rancangan penelitian dengan randomized pretest posttest control group dengan tersamar ganda. Penelitian dilakukan dan bulan Mei sampai dengan Oktober 2003, di wilayah kerja Puskesmas Bangetayu, Kecamatan Genulc, Kota Semarang. Penelitian ini merupakan kerjasama dengrn penelitian lain yang lebih besar yang berjudul "Efek Suplementasi Sang dan Intoraksinya dengan Vitamin A terhadap Respon lmun dan Morbiditas Anak Prasekolah" Sampel pada penelitian ini adalah sama dengan sampel pada penelitian yang lebih besar tersebut. Suplementasi seng dilakukan selama 16 minggu dalam bentuk sirup. Kepatuhan minum sirup dipantau oleh kader Posyandu. Status gizi ditentukan secara antropometri, meliputi pengukuran bent badan, tinggi badan, linglcar lengan atas drat tebal lemak bawah kulit. Selisih status gin antropometri sesudah dan sebelum perlal:uan akan dibandingkan di antara dua kelompok dengan independent sample t test bila berdistribusi normal, atau dengan Mann-Whitney test bila tidak berdistribusi normal. Terkumpul sebanyak 741 anak usia 2 — 5 tahun yang berhasil diukur antropometrinya. Jumlah sampel laki-laki dan perempuan hampir sama, yaltu laki-laki sebesar 51,7 %, sedangkan cerempuan 48,3 %. Adapun jumlah sampel yang menerima sirup seng adalah sebanyak 366 anak, sedangkan sisanya menerima sirup plasebo. Hanya rerata selisih BB/U saja yang berbeda bermakna secara statistik antara kelompok yang menerima sirup seng dengan kelompok plasebo (Asymp. sig = 0 01) Pada kelompok seng mean rank BB/U-nya lebit tinggi (391,51) dibandingkan BB/U kelompok plasebo (350,99). Parameter antropometri lainnya terutama tingga badan terhadap umur belum belum mempelihatkan dampak. Hal ini kemungkinan karena lama suplementasi penelitian ini yang hanya 16 minggu relatif lebih singkat dibandingkan penelitian lainnya yang lama suplementasi sampai satu tahun. Perin dilakukan penelitian lebih lanjut dengan waktu suplementasi yang lebih lama dan hendaknya juga memasukkan variabel perancu yang mungkin betpengaruh terhadap pertumbuhan anak

    HUBUNGAN STATUS SENG DENGAN KEMAMPUAN MOTORIK ANAK USIA 2-5 TAHUN

    Get PDF
    Previous studies has showed the importance of zinc in the infant motoric development. However, the influence of zinc in the motoric development of children under 5 years of age remains controversial. This study was aimed to examine the association between zinc status and motoric development of children under 5 years of age. Methods: A cross sectional study as a part of a study on the influence of zinc supplementation on the immunity response and morbidity of children aged 2-5 was conducted in the Puskesmas. Bangetayu, Semarang. Motoric development was masured. The association between dependent and independent variable was tested using product moment pearson. Linear regreSsion was conducted to examine contribution of confounding variables. Result: A total of 88 children was included in the study. The mean of z score of weight for age was —1,59 ± 1,113, mean of hair zinc was 164,7 + 61,70 nig. One tenth of the subjects had zinc deficiency. Mean of motoric development score was 64,4 ± 22,02. Mean of zinc intake was 3.85 ± 1,865 mg per day. Mean of energy intake and protein intake were 68,3 + 26,61% and 156,1 ± 77,72% respectively. There is no significant relationship between hair zinc and motoric function (r = 0,116; p — 0,280). Linear regression showed that daily zinc intake, energy intake and z score of weight for age were significant predictors for motoric develoment (p = 0,001, p=0,007 and p-0,028 respectively). Conclusion: daily zinc intake, energy intake and z score of weight for age were significant predictors for motoric develoment. Penelitian terdahulu xnenunjukkan pentingnya seng bagi perkembangan kemampuan motorik pada bayi, namun, bukti dari penelitian pada usia yang lebih lanjut masih kontroversial. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan status seng dengan kemampuan motorik anak usia 2-5 tahun. Metoda: penelitian ini merupakan penelitian belah lintang dengan sampel penelitian adalah adalah anak usia usia 2-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Bangetayu, Kota Semarang, Jawa Tangah. Penelitian ini merupakan bagian penelitian Pengaruh Suplementasi Sang terhadap Respon Inmates dan Morbiditas pada anak Usia 2-5 tahun. Pada penelitian ini ditambahkan variabel kemampuan motorik. Hubungan bivariat antara status seng rambut dengan kemampuan motorik diuji dengan korelasi product moment pearson karena distribusi datanya normal. Variabel perancu diperhitungkan dalam analisa lebih lanjut dengan regresi linier. Hasil: Jumlah keselunthan sampel pada penelitian ini adalah 88 anak dengan rerata skor-z berat badan terhadap umur adalah —1,59 + 1,113. Rerata kadar seng rambut sampel adalah 164,7 ± 61,70 ug/g, dimana 10,2% menderita defisiensi seng. Rerata skor motorik sebesar 64,4 ± 22,02. Rerata asupan seng adalah sebesar 3,85 ± 1,865 mg per hari, sedangkan rerata tingkat kecukupan besi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) berturut-turut adalah sebesar 68,3 ± 26,61% dan 156,1 ± 77,72%. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status seng rambut dengan kemampuan motorik anak (r = 0,116; p = 0,280). Analisis regresi tinier menunjukkan bahwa asupan seng harian, TKE dan skor z BB/11 merupakan prediktor yang bermakna bagi kemampuan motorik (masing-masing p = 0,001, p=0,007 dan p-0,028). Kesimpulan: asupan seng harian, TKE dan skor z BB/U merupakan prediktor yang bermakna bagi kemampuan motori

    Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kabupaten Demak

    No full text
    Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak 2016 ABSTRAK Mustika Marahayu Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kabupaten Demak xvii + 94 halaman + 19 tabel + 4 gambar + 10 lampiran Stunting adalah salah satu penyebab utama morbiditas di kalangan balita. Pengetahuan tentang faktor risiko stunting merupakan syarat utama dalam mengintervensi gizi anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai faktor yang terkait dengan stunting pada anak usia 6 sampai 24 bulan di Demak, Indonesia Penelitian observasional analitik ini dilaksanakan dengan pendekatan kasus-kontrol. Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia 6 sampai 24 bulan sebanyak 60 anak pada kelompok kasus dan 60 anak pada kelompok kontrol dipilih secara Purposive Random Sampling. Pengumpulan data dilaksanakan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dan data asupan makanan dikumpulkan dengan food frequency questionnaire. Analisis data dilakukan dengan chi-square dan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko terjadinya stunting adalah riwayat berat bayi lahir rendah (OR:2,46, p=0,016), tingkat kecukupan energy (OR:2,40, p=0,023), tingkat kecukupan protein (OR:2,28, p=0,027) dan tingkat kecukupan seng yang kurang (OR:2,46, p=0,016), memiliki riwayat penyakit infeksi ISPA (OR:3,45, p=0,001), dan diare (OR:2,41, p=0,018), tidak melakukan imunisasi BCG (OR:2,11, p=0,044), memiliki ibu pendek (OR:2,10, p=0,045) serta bapak pendek (OR:2,28, p=0,027). Tingkat kecukupan protein yang rendah merupakan faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian stunting (OR:5,18, p=0,002). Disimpulkan bahwa rendahnya asupan protein merupakan faktor risiko stunting terkuat pada anak usia 6 – 24 bulan di Kabupaten Demak. Disarankan untuk mengintegrasikan upaya peningkatan asupan protein bagi ibu hamil pada kelas ibu hamil yang diselenggarakan di Kabupaten Demak serta kerjasama lintas sektoral. Kata kunci : Stunting, Faktor Risiko, 6 – 24 Bulan Kapustakaan : 45 (2006-2015) Diponegoro University Faculty of Public Health Master’s Study Program in Public Health Majoring in Maternal and Child Health 2016 ABSTRACT Mustika Marahayu Risk Factors for Stunting Occurrence among Children aged 6-24 Months in District of Demak xvii + 94 pages + 19 tables + 4 figures + 10 appendices Stunting is a main cause of morbidity among children under five years old. Having knowledge of risk factors for stunting is a main requirement in intervening children nutrition. The aim of this study was to assess factors relating to stunting among children aged 6-24 months in Demak District, Indonesia. This was an analytical observational studies using case-control approach. Research subjects were children aged 6-24 months divided into 60 children as a case group and 60 children as a control group selected using a technique of Purposive Random Sampling. Data were collected by conducting interview using a structured questionnaire. In addition, data of food intake were collected using a food frequency questionnaire. Chi square and logistic regression tests were performed to analyse data. The results of this research showed that risk factors for stunting were as follows: any history of low birth weight baby (OR=2.46; p=0.016), insufficient energy level (OR=2.40; p=0.023), insufficient protein level (OR=2.28; p=0.027), and insufficient zinc level (OR=2.46; p=0.016), any history of acute respiratory tract system (OR=3,45; p=0.001), and diarrhoea (OR=2.41; p=0.018), not immunised of BCG (OR=2.11; p=0.044), a short mother (OR=2.10; p=0.045), and a short father (OR=2.28; p=0.027). A level of protein sufficiency was a strongest factor influencing the occurrence of stunting (OR=5.18; p=0.002). To sum up, a lack of protein intake was a strongest risk factor for stunting among children aged 6-24 months in Demak District. There needs to integrate the efforts of protein intake for pregnant women in a class of pregnant woman conducted in Demak District and cooperated with other sectors. Keywords : Stunting, Risk Factor, 6-24 Months Bibliography: 45 (2006-2015

    Hubungan Status Gizi terhadap Imunoglobulin M Anti Phenolyc Glykolipid-1 pada Anak Usia 6-14 Tahun dengan Riwayat Orangtua Kusta Di Kabupaten Jepara

    No full text
    Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak 2015 ABSTRAK Ika Hermawati Hubungan Status Gizi terhadap Imunoglobulin M Anti Phenolyc Glykolipid-1 pada Anak Usia 6-14 Tahun dengan Riwayat Orangtua Kusta Di Kabupaten Jepara xiii + 106 halaman + 14 tabel + 1 gambar + 8 lampiran Pada anak yang tampaknya sehat, perlu diwaspadai adanya seropositif kusta jika ditemukan titer Imunoglobulin M anti phenolic glycolipid-1(PGL-I) yang tinggi apalagi dengan riwayat kontak orangtua yang menderita kusta. Asupan makanan yang kurang akan mengakibatkan status gizi yang kurang sehingga memudahkan terjadi penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan status gizi dengan kadar Imunoglobulin M anti phenolic glykolipid-1 (PGL-1) pada anak usia 6-14 tahun dengan riwayat kontak orangtua penderita kusta di Kabupaten Jepara. Penelitian observasional analitik ini dilaksanakan dengan pendekatan cross sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah 41 anak usia 6-14 tahun dengan riwayat orangtua kusta di Kabupaten Jepara yang dipilih secara purposive sampling. Instrumen penelitian berupa food frequency questionare, lembar observasi kebersihan diri serta kondisi rumah. Analisis data dilakukan dengan Korelasi Pearson dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata subjek memiliki gizi normal menurut skor Z IMT/U (0,96±0,47). Rerata tingkat kecukupan protein 116,2±27,9%, tingkat kecukupan energi 78,7±28,7,%, tingkat kecukupan seng 78,9±9,4%, tingkat kecukupan Selenium 79,4±10,8%, serta tingkat kecukupan vitamin D 37,8±17,9%. Ada hubungan tingkat kecukupan protein dengan kadar IgM anti PGL-1 yang bersifat negatif (r= -0,35, p=0,001). Tidak ada hubungan antara kadar IgM anti PGL-1 dengan tingkat kecukupan protein, energi, vitamin A, vitamin D, seng dan Selenium. Disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan protein, semakin rendah kemungkinan tertular kusta subklinik. Disarankan kepada puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk melakukan upaya peningkatan asupan protein pada anak diperkampungan kusta serta uji skrining kadar IgM anti PGL-1 untuk mendeteksi kusta subklinis secara dini. Kata kunci : IgM anti PGL-1, Kusta Subklinis, Anak, Status gizi Kepustakaan : 43 (1993-2014) Diponegoro University Faculty of Public Health Master’s Study Program in Public Health Majoring in Maternal and Child Health 2015 ABSTRACT Ika Hermawati The Relationship between Nutritional Status and Immunoglobulin M Anti-Phenolic Glycolipid-1 among Children aged 6-14 years old with Leprous Parents xiii + 106 pages + 14 tables + 1 figure + 8 appendices Seropositive leprosy need to be monitored among healthy children if a high level of immunoglobulin M (IgM) anti-phenolic glycolipid-1 (anti-PGL-1) is found among them with leprous parents. The lack of food intake causes poor nutritional status that leads to be more susceptible to a disease. The aim of this study was to analyse the relationship between nutritional status and a level of IgM anti-PGL-1 among children aged 6-14 years old with leprous parents in District of Jepara. This was an observational-analytic study using a cross-sectional approach. Number of subjects were 41 children aged 6-14 years old with leprous parents in District of Jepara selected using a technique of purposive sampling. Research instruments consisted of a food frequency questionnaire and an observational form for assessing personal hygiene and house condition. Furthermore, data were analysed using the Pearson product-moment correlation and multiple linear regression tests. The results of this research showed that subjects had an average normal nutritional status in accordance with a Z-score (IMT/U) equal to 0.96±0.47, an average level of protein sufficiency equal to 116.2±27.9%, a level of energy sufficiency equal to 78.7±28.7%, a level of zinc sufficiency equal to 78.9±9.4%, a level of selenium sufficiency equal to 79.4±10.8%, and a level of vitamin D sufficiency equal to 37.8±17.9%. A level of protein sufficiency had significantly negatively relationship with the level of IgM anti-PGL-1 (r= -0.35; p=0.001). On the other hand, there were no significant relationships between the factors of sufficiency levels of protein, energy, vitamin A, vitamin D, zinc, and selenium and the level of IgM anti-PGL-1. The higher protein sufficiency level, the lower possibility to be transmitted by subclinical leprosy. Health centre and District Health Office need to increase protein intake among children living in a leprous area and to conduct a screening test of the level of IgM anti-PGL-1 for detecting subclinical leprosy at an early stage. Keywords : IgM Anti-PGL-1, Subclinical Leprosy, Child, Nutritional Status Bibliography: 43 (1993-2014

    Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Praktek Perawatan Antenatal pada Kehamilan Remaja di Kabupaten Brebes Tahun 2015

    No full text
    Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak 2016 ABSTRAK Nur Bayti Ikhsanita Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Praktek Perawatan Antenatal pada Kehamilan Remaja di Kabupaten Brebes Tahun 2015 xvii + 114 halaman + 26 tabel + 7 gambar + 11 lampiran Tingginya angka perkawinan remaja dibawah usia 16 tahun di Kabupaten Brebes mencapai 40% hal ini sejalan dengan tingginya kematian ibu pada usia remaja yang mencapai 25%. Upaya pencegahan awal dengan pemeriksaan Antenatal Care (ANC) secara rutin. Tujuan penelitian adalah untuk manganalisis faktor – faktor yang berhubungan dengan praktek perawatan antenatal pada kehamilan remaja di Kabupaten Brebes. Jenis penelitian ini explanatory survey dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Subyek adalah remaja yang hamil dan memenuhi kriteria inklusi yang dipilih sebanyak 71 orang secara proportional random sampling. Analisis bivariat dengan uji korelasi rank spearman dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan subjek dengan pendidikan lanjut 78.9%, pendapatan keluarga tinggi 79,8%, pengetahuan baik 47,9%, sikap positif 59,2%, dukungan petugas kesehatan baik 78,9%, dukungan suami baik 72,3%, jarak ke pelayanan ANC dekat 53,5%, waktu tempuh singkat 94,4%,dan praktek ANC baik 57,7%. Faktor yang berhubungan dengan praktek perawatan antenatal pada kehamilan remaja yaitu pengetahuan (p = 0,016), sikap (p = 0,033), dukungan petugas kesehatan (p = 0,013). Faktor yang tidak berhubungan yaitu pendidikan ibu p = 0,296, waktu tempuh p = 0,741, jarak ke pelayanan ANC (p = 0,407), pendapatan keluarga (p = 0,084), dukungan suami (p = 0,626). Faktor yang mempengaruhi secara bersama – sama adalah dukungan petugas kesehatan (p = 0,001), pengetahuan ibu (p = 0,002), dan sikap ibu (p = 0,006). Disimpulkan bahwa dukungan petugas kesehatan, pengetahuan ibu dan sikap ibu berhubungan dengan praktek perawatan antenatal. Disarankan kepada Puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk melakukan upaya peningkatkan pengetahuan tentang antenatal care melalui program – program promotif dan preventif seperti kelas ibu hamil dan pendampingan pada ibu hamil. Kata kunci :Perawatan Antenatal, Kehamilan Remaja Kepustakaan: 104 (1992 – 2014) Diponegoro University Faculty of Public Health Master’s Study Program in Public Health Majoring in Maternal and Child Health 2016 ABSTRACT Nur Bayti Ikhsanita Factors Relating to Practice of Antenatal Care on Adolescent Pregnancy in Brebes District in 2015 xvii + 114 pages + 26 tables + 7 figures + 11 appendices An adolescent marriage rate under 16 years old in Brebes District reached 40%. This condition was in accordance with maternal mortality rate on adolescent age that reached 25%. Early prevention effort was by doing Antenatal Care (ANC) routinely. The aim of this study was to analyse factors relating to practice of ANC on adolescent pregnancy in Brebes District. This was explanatory survey using cross-sectional approach. Data were collected by conducting interview using a structured questionnaire that had been tested for validity and reliability. Number of subjects were 71 persons consisted of pregnant adolescents who met inclusion criteria selected using a technique of proportional random sampling. Bivariate analysis used a correlation test of Spearman’s rank and multivariate analysis used Logistic Regression test. The results of this research showed that majority of respondents had high education level (78.9%), high family income (79.8%), good knowledge (47.9%), good attitude (59.2%), good health worker’s support (78.9%), good husband’s support (72.3%), close to ANC services (53.5%), short travel time (94.4%), and good practice of ANC (57.7%). Factors relating to the practice of ANC on adolescent pregnancy were as follows: knowledge (p=0.016), attitude (p=0.033), and health worker’s support (p=0.013). In contrast, factors of mother’s education (p=0.296), travel time (p=0.741), distance to ANC services (p=0.407), family income (p=0.084), and husband’s support (p=0.626) were statistically insignificant. Factors of health worker’s support (p=0.001), mother’s knowledge (p=0.002), and mother’s attitude (p=0.006) jointly influenced the practice of ANC on adolescent pregnancy. To sum up, health worker’s support, mother’s knowledge, and mother’s attitude statistically relates to the practice of ANC. As suggestions, Health Centre and District Health Office need to make efforts to improve knowledge of ANC through promotive and preventive programs like pregnant woman’s class and accompanying pregnant women. Keywords : Antenatal Care, Adolescent Pregnancy Bibliography: 104 (1992-2014

    Hubungan Implementasi Program Konseling Menyusui oleh Konselor ASI dengan Keberhasilan Konseling Menyusui di Wilayah Kota Salatiga

    No full text
    Universitas Diponegoro Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak 2016 ABSTRAK Citra Elly Agustina Hubungan Implementasi Program Konseling Menyusui oleh Konselor ASI dengan Keberhasilan Konseling Menyusui di Wilayah Kota Salatiga xvi + 92 halaman + 22 tabel + 2 gambar + 12 lampiran Implementasi konseling menyusui oleh konselor ASI di wilayah kota Salatiga belum optimal karena belum memperhatikan mekanisme pelaksanaan konseling menyusui yang meliputi komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi dalam pelaksanaan konseling menyusui. Implementasi konseling menyusui yang belum optimal ini menyebabkan cakupan ASI eksklusif yang belum mencapai 80 %. Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional dengan pendekatan crossectional, sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 41 responden konselor ASI dan 41 responden klien konseling menyusui dengan tehnik total sampling, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk mengetahui implementasi program konseling menyusui yang berhubungan dengan keberhasilan konseling menyusui oleh konselor ASI Hasil penelitian menunjukan Sebagian besar keberhasilan konseling menyusui tercapai. Faktor Komunikasi, struktur birokrasi, sumberdaya berhubungan signifikan dengan keberhasilan konseling menyusui. Faktor disposisi tidak berhubungan dengan keberhasilan konseling menyusui. Besar sumbangan sumberdaya dan struktur birokrasi program konseling menyusui dalam mempengaruhi keberhasilan konseling menyusui yaitu sebanyak 97%. Disarankan meningkatkan pengetahuan konselor menyusui melalui penyegaran (refresh) mengenai permasalahan dan penanganan masalah menyusui serta selalu mendokumentasikan semua kegiatan program konseling menyusui. Kata kunci : Implementasi, Konselor ASI, Keberhasilan konseling menyusui Kepustakaan : 59 (2006-2015) Diponegoro University Faculty of Public Health Master’s Study Program in Public Health Majoring in Maternal and Child Health 2016 ABSTRACT Citra Elly Agustina The Relationship between the Implementation of Breastfeeding Counselling Program by Breastfeeding Counsellors and the Success of Breastfeeding Counselling in Salatiga City xvi + 92 pages + 22 tables + 2 figures + 12 appendices The implementation of breastfeeding counselling by breastfeeding counsellors in Salatiga City was not optimal because mechanisms of breastfeeding counselling implementation like communication, resource, disposition, and a structure of bureaucracy had not been followed. This condition caused a coverage of exclusive breastfeeding had not reached 80%. This was an observational study using cross sectional approach. Number of samples were 41 breastfeeding counsellors and 41 clients of breastfeeding counselling selected using a technique of total sampling. A research instrument used a questionnaire to identify the relationship between the implementation of a breastfeeding counselling program and the success of breastfeeding counselling by breastfeeding counsellors. The results of this research showed that breastfeeding counselling mostly had achieved the target. The factors of communication, a structure of bureaucracy, and resource statistically significantly related to the success of breastfeeding counselling. In contrast, the factor of disposition was not statistically significant. The factors of resource and a structure of bureaucracy influenced the success of the breastfeeding counselling program as much as 97%. The knowledge of the breastfeeding counsellors needs to be improved by refreshing their minds about current problems and the methods of problem solving. In addition, all activities of the breastfeeding counselling program needs to be well documented. Keywords : Implementation; Breastfeeding Counsellor; The Success of Breastfeeding Counselling Bibliography: 59 (2006-2015
    corecore