6 research outputs found

    Pengendalian Terpadu Penyakit Kudis (Sphaceloma Batatassaw.) pada Ubijalar

    Get PDF
    Penyakit kudis yang disebabkan oleh Sphaceloma batatas merupakan penyakit penting dan banyak menimbulkan kerugian hasil yang cukup besar di negara-negara produsen ubijalar (Ipomoea batatas)di Asia, Australia, negara-negara Caribia, kepulauan Pacific dan Amerika latin. Di Indonesia penyakit kudis telah tersebar di sentra produksi ubijalar di Jawa,Bali, Sumatera dan Papua. Kehilangan hasil ubijalar akibat serangan penyakit kudis dapat mencapai 30%, tergantung varietas, umur tanaman pada saat terinfeksi dan kondisi lingkungan. Umumnya penyakit kudis berkembang didataran tinggi dan terutama pada musim hujan. Pengendalian terpadu penyakit kudis dapat dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa cara pengendalian yang saling kompatibel dalam satu paket pengendalian yaitu: menanam varietas yang tahan (Muaratakus, Cangkuang, Sewu, Sari, Sukuh, Kidal, Papua Salosa dan Sawentar), menggunakan bibit sehat atau mencelup bibit dalam larutan fungisida Benomyl atau Mankozeb selama 15 menit, rotasi tanam dengan tanaman yang bukan inang jamur seperti tanaman kacang tanah, kedelai, jagung atau padi, sanitasi lahan dengan memusnahkan bekas tanaman yang terinfeksi dan menyemprot fungisida Benomyl (400 g ba/ha), Chlorotalonil 1300 g ba/ha, Captafol 1520 g ba/ha, fentin hidraxide 300 g ba/ha, tembaga oxiklorida 1500 g ba/ha dan Mankozeb 1500 g ba/ha, atau pestisida nabati (4 g/100 ekstrak bawang merah) apabila diperlukan

    Incorporating Root Crops Under Agro-Forestry as the Newly Potential Source of Food, Feed and Renewable Energy

    Full text link
    Entering the third millennium food and energy crisis is becoming more serious in line with water scarcity amid of climate change induced by global warming, that so called as FEWS (food energy and water scarcity). In the last five decades Indonesian agricultural development of food crops had been emphasized on cereals and grains based. Conversion of forest into agricultural field in the form of upland and lowland facilitated by irrigation is prioritized for cereals such as rice, maize as well as grain legumes such as soybean, peanut etc. Unfortunately, root crops which their main yield underground are neglected. At the end of second millennium Indonesia was seriously suffered from multi-crisis economic trap, so Indonesia as part of countries under World Food Program to import the huge of food to cover domestic consumption such as rice, wheat, soybean, corn etc. On the other hand, consumption of energy was also increase significantly. These conditions triggering government to stimulate integrated agricultural enterprises for providing abundance of food as well as adequate renewable energy. Although root crops were neglected previously, however from its biological potential to produce biomass promotes root crops into an appropriate position. The variability of root crops which ecologically can be grown from upland in dry areas till swampy submergence condition. Forest conversion into agricultural land is not allowed due to forest is useful to prevent global warming. Therefore, food, feed and fuel (renewable energy) production have to be able grown under agro-forestry. Fortunately the potential of root crops has competency to meet the current need to fulfil food, feed and fuel as well as fibre under future greener environment

    Deraan Kekeringan pada Tanaman Ubijalar

    Full text link
    Isu Perubahan iklim secara global merupakan salah satu tantangan bagi para ahli di bidang masing-masing yang berkaitan dengan iklim. Bidang pertanian menerima dampak yang banyak meresahkan petani. Kekeringan yang berkepanjangan mengakibatkan turunnya produksi pangan lebih dari 22%, bahkan di Papua penurunan produksi pangan lebih dari 50%. Sejak terjadi bencana kekeringan pada tahun 1997 yang berkelanjutan mengakibatkan, kematian yang tinggi pada pertanaman ubijalar (Ipomoea batatas (L.) Lam). Namun masih terdapat kultivar yang tersisa yang diharapkan merupakan kultivar yang secara genetis toleran terhadap deraan kekeringan. Sebagai reaksi terhadap bencana kekeringan telah dilakukan pengujian ketahanan ubijalar terhadap deraan kekeringan dan hasilnya sangat beragam antarkultivar. Hasil evaluasi ketahanan plasma nutfah ubijalar asal Papua yang telah dilakukan tahun 1998 telah diperoleh 14 kultivar yang toleran terhadap kekeringan dan mampu menghasilkan umbi pada perlakuan kekeringan. Penelitian ketahanan terhadap kekeringan di Balitkabi terus berlanjut hingga sekarang, namun indikator morfologis dan fisiologis belum dapat diketahui secara pasti. Pada kultivar ubijalar tertentu kelayuan tajuk dapat digunakan sebagai indikator peka terhadap kekeringan, pada kultivar lain indikator ketahanan ditunjukkan dengan sifat perakaran. Kandungan prolin kultivar ubijalar yang meningkat pada kondisi terdera kekeringan belum dapat digunakan sebagai indikator toleransinya terhadap deraan kekeringan walaupun pada jenis tanaman tertentu peningkatan kadar prolin dapat digunakan sebagai ketahanan terhadap kekeringan. Pada kultivar ubijalar yang peka terhadap kekeringan produksi umbi dapat turun lebih dari 50–70 % terhadap kondisi normal, sedang kultivar yang toleran penurunan produksi di bawah 20%. Dengan menanam kultivar yang toleran terhadap deraan kekeringan kerugian petani dapat ditekan
    corecore