73 research outputs found
Hubungan antara Terpaan Berita Kasus Narkoba Pesohor dengan Citra Pesohor di Masyarakat
HUBUNGAN ANTARA TERPAAN BERITA KASUSNARKOBA PESOHOR DENGAN CITRA PESOHOR DIMASYARAKATJurnal LatpenPENDAHULUANPesohor sering sekali kita lihat di media massa, khususnya televisi dimanapada akhir-akhir ini televisi adalah sebuah media hiburan termudah, termurahyang bias dijangkau oleh banyak masyarakat. Besarnya kebutuhan masyarakatakan informasi dan hiburan pada media televisi memunculkan beberapa jenisprogram televise baru yang menampilkan sosok pesohor idola dan kehidupanpribadinya diluar pekerjaan seakan masyarakat dibawa lebih deakat dengankehidupan pesohor melalui beberapa program pemberitaan di televisi.Kemasan pemberitaan tentang pesohor sering menjadi komoditas utamatelevisi mengingat banyaknya stasiun televisi yang berlomba untuk memilikiprogram yang sama. Infotainment menampilkan sosok pesohor dalam sudutpandang yang lebih dekat, dan menampilkan apa yang belum pernah dilihatmasyarakat tentang idolanya tersebut. Hal ini berpotensi memunculkan prosesgatekeeping pada masyarakat pada saat menerima informasi. Baik informasi yangbaik atau yang buruk dari pesohor idolanya. Pembentukan citra dan stereotipdapat sangat mudah terjadi bila tayangan pemberitaan pesohor tersebut dilakukansecara berulang-ulang. Walaupun terbentuknya citra tidak dapat diukur secarakasat mata karena adanya faktor dan pengalaman yang berbeda, menjadikanpembentukan citra antar khalayak tidak sama.Belakangan ini kabar tentang pesohor yang terlibat kasus narkoba bukansebuah hal yang baru mengingat televisi beberapa kali menayangkan berita yangserupa. Padahal seharusnya pesohor selalu memberi pengaruh baik kepadamasyarakat untuk menjauhi narkoba karena pesohor memiliki kecenderungandijadikan panutan oleh sebagian masyarakat khusunya penggemar. Yangmemilukan, liputan 6 SCTV 27 Jan 2013 memberitakan bahwa BNN menangkap17 orang di rumah artis Raffi Ahmad satu diantaranya anggota legislatif, dan 3sebagai artis, sedangkan 13 lainnya adalah kawan artis pemilik rumah(sumber:liputan6SCTV)Televisi merupakan salah satu media massa, yang paling dekat denganmasyarakat. Memiliki jaringan yang kuat untuk menyampaikan informasi dengancepat dan memiliki jangkauan yang luas. Selain hal tersebut, televisi memilikipengaruh yang lebih besar dibanding media massa seperti koran dan radio. Beritakasus narkoba pada pesohor yang diangkat oleh infotainment, disiarkan secaralugas dan transparan melalui televisi. Sehingga masyarakat mampu mengetahuikasus narkoba yang dialami pesohor, dengan mudah dan gamblang. Terhitungantara tahun 2005 hingga sekarang, kurang lebih sebelas kasus narkoba yangdialami beberapa pesohor di Indonesia dimana setiap kasusnya dibahas padasetiap acara infotainment yang menbahas secara terus menerus pada jadwalmasing masing saluran televisi.Permasalahannya apakah setelah muncul pemberitaan kasus narkoba parapesohor yag ditayangkan secara terus menerus, akan mempengaruhi citra pesohordi masyarakat. Penelitian ini, mengkaji hubungan antara terpaan berita kasusnarkoba pada masyarakat dengan citra pesohor yang di bentuk oleh masyarakat.PEMBAHASANPesohor sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat, sebagai inspiratordan penghibur. Kehidupan Pesohor semakin mendapat perhatian dari khalayakdengan adanya infotainment. Beberapa kali pesohor diberitakan tersangkut kasusyang melibatkan narkoba dan obat-obatan terlarang, sedangkan pesohormerupakan sosok yang banyak ditiru oleh penggemar ataupun pemirsa televisi.Media massa memiliki pengaruh besar kepada khalayak, mampu mempengaruhipemikiran, sikap dan perilaku khalayak. Penelitian ini diinspirasi oleh kutipandalam buku Jalaluddin Rahmat: “informasi itu dapat membentuk,mempertahankan atau meredefinisikan citra” (Rakhmat, 2005: 224). Penelitian inimencari tahu dan membahas hubungan dari pemberitaan kasus narkoba pesohordan citra pesohor di masyarakat.Hipotesis dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungannegatif antara terpaan pemberitaan kasus narkoba pesohor (X) dengan variabelcitra pesohor di masyarakat (Y). Artinya, semakin tinggi terpaan pemberitaankasus narkoba pesohor di televisi maka citra masyarakat mengenai pesohor akancenderung mengarah ke arah negatif..Cumulative Effects Theory dari Elisabeth Noelle-Neuman menyimpulkanbahwa media tidak punya efek langsung yang kuat tetapi efek itu akan terusmenguat seiring dengan berjalannya waktu. Cumulative Effects Theorymenyatakan bahwa tidak ada yang bisa menghindari media, karena sudah kemana-mana, atau pesan media (McQuail, 2011: 216). Di sini teori tersebut terlihatdimana pertama, media membentuk formasi sosial dan sejarah dengan menyusunrealita (dalam fiksi maupun berita) dengan cara yang terprediksi dan terpola. Lalukedua khalayak membentuk sendiri pandangan mereka tentang realita sosial dankedudukan mereka di dalamnya, pada interaksi dengan konstruksi simbolik yangditawarkan media.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan hubunganantara terpaan pemberitaan kasus narkoba pesohor di televisi dengan citramasyarakat mengenai pesohor. Tidak adanya kecenderungan hubungan antarakedua variabel tersebut, disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebabnyaadalah bahwa citra tidak hanya dibentuk berdasarkan faktor tunggal yang dominanTidak adanya hubungan dari kedua variabel disebabkan oleh berbagai hal,antara lain: Informasi yang diterima masyarakat tentang kasus narkoba pesohor tidak sertamerta memengaruhi citra pesohor yang dibentuk masyarakat. Masyarakat membentuk citra pesohor berdasarkan nilai-nilai yang melekat padacitra pesohor, yakni: gaya hidup pesohor,tutur kata dan penampilan pesohor. Banyak prestasi dan keunggulan yang dimiliki pesohor, sehingga membuat citrayang baik pada pesohor.Citra adalah dunia menurut persepsi kita (Rakhmat, 2005: 223).Informasi yang diterima masyarakat tentang kasus narkoba pesohor merupakansalah satu bentuk dari realita pesohor yang selanjutnya dipahami masyarakat. Darihasil kuesioner dan pengolahan data dapat ditemukan bahwa adanya pemahamanmasyarakat yang cukup baik tentang citra pesohor. citra pesohor di masyarakattergolong cukup baik. Hal tersebut ditandai melalui pandangan masyarakat pada,penampilan, gaya hidup dan tutur kata pesohor yang cukup baikPENUTUPPenelitian ini berangkat dari kutipan dalam buku Jalaluddin Rakhmat, yangmengatakan bahwa: “Buat khalayak, informasi itu dapat membentuk,mempertahankan atau meredefinisikan citra”. (Rakhmat, 2005: 224). Sehinggapenelitian ini mencoba membuktikan apakah informasi tentang kasus narkobayang dialami peshor mampu membentuk, mempertahankan atau meredefinisikancitra pesohor. Setelah dilakukan penelitian dengan melakukan wawancara pada 95responden menggunakan instrumen kuesioner, ternyata menunjukkan hasil bahwainformasi tentang kasus narkoba pesohor tidak secara langsung mempengaruhicitra pesohor di masyarakat.Dalam Penelitian ini, citra pesohor di masyarakat ditandai oleh responden melaluipandangan pada, penampilan, gaya hidup dan tutur kata pesohor yang cukup baik,dimana responden mewakili 4 kategori terpaan pemberitaan kasus narkobapesohor yang ditentukan. Terpaan berita kasus narkoba pesohor yang sangattinggi, cukup tinggi, kurang tinggi dan rendah, dengan jumlah masing – masingkategori yang tidak terlalu jauh atau timpang. Dan akhirnya dapat diketahuibahwa citra pesohor di masyarakat tergolong cukup baik. Hal tersebut ditandaimelalui pandangan masyarakat pada, penampilan, gaya hidup dan tutur katapesohor yang cukup baik.DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: PustakaPelajar.Ang, Ien. 1990. The Nature of the Audience. Dalam Downing, John, Ali Mohammadi,Annabelle Sreberny-Mohammadi [eds]. Questioning The Media: A CriticalIntroduction. California: SAGE Publication Inc.Barker, Chris. (2008). Cultural Studies, Teori & Praktik. Yogyakarta: KreasiWacana.Blake, Marc.2005. How to be a Comedy Writer. Great Britain: Summersdale PublishersLtd.Helitzer, Melvin. 2005.Comedy Writing Secrets. Ohio: F+W Publications, Inc.Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Interaksi Kelompok Punk dengan Netizen (Kajian Fenomenologi Gerakan „Punk Medsos‟ dalam Situs Direktori Konten Punk)
Punk is a co-cultural group when it comes to dominant cultures which agree on what positivity and negativity are based. In fact, society recognized Punk as a subcultural group concerned on negativity. It can be seen that there are too many cases in violence toward Punk and even Aceh province take action against Punk as they consider it as crum. This condition leads Punk into difficulties when they want to interact with outsiders. This stereotype also develops to be a stigma created by the society that Punk comes along with negativity. Thus, Punk starts the movement through the internet in which they name Punk Directory Sites. It allows Netizen to know more about Punk; how they think and it gives Punk a platform to speak up their ideas. This study used the theories co-cultural theory by Mark Orbe and Computer- Mediated Communication theory by John December. This study also expands the assumptions from Identity Negotiation theory from Stella Ting-Toomey and Self-Disclosure theory by Joseph A. Devito. The interpretative phenomenological analysis used in this study as analytical techniques of the data. The Result of this study show that Punk uses an Accommodation strategy to interact with Netizen. This strategy ranges on the Non-Assertive Accommodation and the Assertive Accommodation. Furthermore, there is a change in Netizen's viewpoints in which they disagree with the negativity stigma labeled on the Punk. Netizen shows the self-acceptance towards them since Punk attempts to do the identity negotiation in their interaction with Netizen. This identity negotiation results in the feeling of being understood, feeling of being respected, and feeling of being affirmatively valued
Pengalaman Komunikasi Wanita Penjaja Seks (Wps) sebagai Peer Educator dalam Upaya Pencegahan HIV
PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEEREDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIVAbstrakSosialisasi menjadi komunikasi persuasif yang paling sering dipilih oleh LSM maupunpemerintah dalam mempersuasif masyarakat atas isu-isu tertentu seperti pencegahan HIVmelalui penggunaan kondom, sayangnya mensosialisasi penggunaan kondom bagi para WanitaPenjaja Seks (WPS) tidak semudah mensosialisasikannya pada kelompok masyarakat lainnya.Sikap skeptis ditunjukkan WPS akibat tanggapan masyarakat atas pekerjaan mereka sertabanyaknya salah kaprah mengenai penyakit HIV yang membuat WPS menutup diri dariinformasi luar. Hadirnya Peer Educator (PE) yang merupakan WPS juga dalam program peereducation diharapkan dapat membantu mempersuasi WPS menggunakan kondom. masalahyang muncul: Bagaimana cara PE tersebut mempersuasif WPS lainnya hingga tujuan merubahperilaku dapat tercapai?Tujuan penelitian ini menggambarkan pengalaman komunikasi WPS sebagai PE dalammempersuasif WPS lainnya untuk menggunakan kondom 100% dalam upaya pencegahan HIVserta bagaimana seorang PE menjadi persuader yang baik. Upaya untuk menjawabpermasalahan dan tujuan penelitian dilakukan dengan menggunakan teori dialog dan retortikaajakan serta teori kompetensi komunikasi. Penelitian ini bertipe deskriptif kualitatif denganmetode fenomenologi untuk mengungkap pengalaman komunikasi PE kepada peer-nya.Hasil dari penelitian menunjukkan bagaimana komunikan bertipe skeptis seperti WPSdapat menerima informasi dari pihak luar dengan cara persuasif menggunakan ajakan sertadialog dimana dalam interaksi tersebut WPS dapat mengemukakan pendapat, alasan, sertapandangannya terhadap isu yang diangkat seperti penggunaan kondom untuk mencegah HIV.Selain itu kompetensi komunikasi PE sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi persuasifdimana ketiga faktor: pengetahuan, motivasi, serta keterampilan menjadi satu kesatuan yangharus dimiliki PE secara maksimal. Perlu adanya pemahaman mengenai peran PE oleh setiapWPS sehingga peran WPS tidak hanya penyedia kondom melainkan sesuai dengan tujuanadanya PE yaitu mengedukasi dan mempersuasif sesamanya untuk merubah perilaku.Kata kunci : Peer Educator; WPS; kompetensi komunikasiTHE EXPERIENCE OF WPS COMMUNICATION AS PEER EDUCATORIN PREVENTION OF HIVAbstractThis research aims to describe the communication between WPS (Wanita Pekerja Seks) as PeerEducator (PE) and her peer, the another WPS about using condom to prevention of HIV and toexplain how to be a good persuader in this situation. This research based on the experiencecommunication of female sex worker in Resosialisasi Argorejo, Semarang. Using the TheoryRhetoric of Persuasion, Theory Dialog and Theory Communication Competence for answer thequestion of this research. The type of this research is qualitative descriptive by usingphenomenology method. Phenomenological approach is used to reveal experiencecommunication of PE to her peer.The result of this research is how to persuade the communicant of skeptic type like WPS toaccept the information from the others is with persuasion and dialog in interaction so WPS cantell what her opinion, reason, and perspective, about using condom for prevention of HIV.Moreover, communication competence of PE is affective for the success of persuasivecommunication, which three factors of communication competence : knowledge, motivation,and skill is union and PE must have them maximum. There needs to be an understanding of therule that PE by any WPS, that PE isn't only just a condom providers but according to purposeof PE is to educate and persuasion the other.Keywords: Peer Educator; WPS; communication competenceI. PENDAHULUANSosialisasi merupakan bentuk komunikasi persuasif yang sering dipilih pemerintah maupunLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada masyarakat dalam berbagai isu penting. Meskibegitu, tidak sedikit dari sosialisasi tersebut yang menciptakan polemik dimasyarakat karenamenimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah sosialisasi penggunaan kondomdimasyarakat. Ada yang mendukung tindakan tersebut, namun tidak sedikit yang mengecamtindakan tersebut.Human Immunedefficiency Virus atau yang disingkat HIV adalah penyakit mematikanyang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. BerdasarkanDitjen PP dan PL Kemenkes RI pada laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia, jumlah kasusbaru HIV/AIDS pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2012 adalah 21.511 kasus HIVdan 5.686 kasus AIDS. Provinsi Jawa Tengah pun tidak luput dari penyakit mematikan ini.Dalam artikel berita di lensaindonesia.com, Jawa Tengah malahan menjadi peringkat ke-6nasional dari segi jumlah kasus HIV/AIDS setelah Bali, dengan jumlah penderita hingga Juni2012 yang baru terungkap mencapai 5.301 orang dari estimasi sebanyak 10.815 kasus.Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jateng, Ridha Citra Turyanimengatakan, jumlah penderita tersebut masih separuh ditemukan karena penyakit yangmematikan ini masih sangat sulit terdeteksi bagaikan gunung es. (Gawat! 436 Ibu RumahTangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. (2012). Dalamhttp://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-Jateng-terjangkithivaids.html diunduh 3 September 2013 pukul 20.30 WIB)Terdapat banyak penyebab penularan HIV, antara lain : ibu hamil dan pemberian ASI dari ibuyang menjadi penderita HIV kepada bayi, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan yangmenduduki persentase terbesar (70%-80%) adalah hubungan seksual. Menteri KesehataNafsiah Mboi menanggapi bahwa salah satu penyebab mengapa angka penderita HIB masihtinggi adalah karena masih rendahnya kesadara masyarakat terhadap seks berisiko. Tingginyapenulara HIV dan AIDS disebabkan oleh banyaknya pria dewasa yang memelihara kebiasaan“belanja seks” dan kurangnya penggunaan kondom. Menurutnya perilaku negatif inimenyebabkan 1,6 juta penduduk menikah dengan pria berisiko menderita HIV dan AIDS.(HIV/AIDS Tinggi karena Pria Doyan Jajan Seks. (2012) dalamhttp://www.tempo.co/read/news/2012/06/25/173412771/HIVAIDS-Tinggi-karena-Pria-Doyan-Jajan-Seks diunduh 3 September 2013 pukul 20.35 WIB).Sosialisasi penggunaan kondom yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSMkhususnya bidang kesehatan guna mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit HIVakibat “kebiasaan jajan pria” ini sayangnya tidak berjalan mulus, timbulnya pro dan kontramembuat sosialisasi ini kurang berdampak untuk menekan angka penderita HIV. Kini tindakansosialisasi penggunaan kondom sebagai pencegahan penyakit HIV dilakukan di beberapatempat lokalisasi (atau saat ini disebut resosialisasi), dengan kegiatan peer education.PE sebagai komunikator dalam kegiatan komunikasi berupa peer education yangdipaparkan diatas, menunjukkan betapa penting peranannya dalam mencapai keberhasilandalam mempengaruhi perilaku seseorang/kelompok, dalam hal ini yaitu WPS maupun PSK.LSM Griya Asa PKBI Kota Semarang yang merupakan salah satu LSM yang bergerakdi bidang Keluarga Berencana (KB), pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) danHIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang dikategorikankelompok Risiko Tinggi (RisTi) di wilayah Kota Semarang. Salah satu bentuk kegiatanpencegahan HIV yang dilakukan oleh LSM Griya Asa PKBI bekerjasama dengan FHI (FamilyHealth International) pada tahun 2003 adalah mengunakan peer education sebagai salah satustrategi komunikasi dalam pencegahan HIV di Lokalisasi Sunan Kuning. Alasan awal mengapadibentuk PE karena PE yang berasal dari sesama WPS, karena WPS sendiri memilikikecendurungan menutup diri, namun lebih terbuka dengan lingkungan dalamnya, khususnyasesama WPS. Hal tersebut tentu akan memudahkan LSM dalam mempengaruhi WPS untukmerubah tingkah lakunya sesuai dengan program pencegahan HIV. Selain itu, pemikiranlainnya bahwa tidak selamanya LSM Griya Asa ada di daerah lokalisasi tersebut. Harapannya,dengan adanya PE, edukasi mengenai program pencegahan HIV akan terus berlangsung meskiLSM tidak lagi ada disana.Sayangnya terdapat lack of communicator di Lokalisasi Sunan Kuning. Sejakdibentuknya kegiatan peer education pada tahun 2003 hingga saat ini 2013, tercatat sebanyak60 WPS sebagai PE. Namun Kenyataannya dari 60 WPS tersebut, kurang lebih hanya 15 orangyang aktif sebagai PE.Peer Educator yang terdapat di Lokalisasi Sunan Kuning mempunyai fungsi untukmengajak dan mengedukasi sesama WPS, untuk menjaga kesehatan reproduksi denganmenggunakan kondom dan menjalani scanning secara rutin. Sayangnya fungsi tersebut kiniberalih. “PE di Lokalisasi Sunan Kuning kini hanyalah penyetok kondom saja,” pengakuan Ari,salah satu relawan LSM Griya Asa yang mengikuti program ini sejak awal. Menurutnyadibutuhkan peran aktif dan dukungan penuh dari para pengurus resos dalam menjalankanprogram PE tersebut.Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana interaksi yang dilakukan WPSsebagai PE dalam mempersuasif sesama WPS serta bagaimana kompetensi komunikasi yangseharusnya dimiliki WPS tersebut sebagai persuader yang baik. Dalam menjawab pertanyaantersebut peneliti melakukan penelitian kepada 6 (enam) WPS sebagai informan dimana merekaterdiri dari 2 (dua) orang yang berperan sebagai peer, 2 (dua) orang yang berperan sebagai PEnon aktif, dan 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE aktif. Penelitian ini sendiri dilakukan diLokalisasi Sunan Kuning, dimana peer education pertama kali diterapkan dilingkunganlokalisasi di Semarang. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakanmetode fenomenologi dengan paradigma interpretif. Paradigma interpretif dapat dimengertimerupakan proses aktif dalam pemberian makna dari suatu pengalaman. Peneliti menggunakanparadigma ini dan berusaha mengungkapkan dan memahami pengalaman WPS sebagai peer PEdalam upaya pencegahan HIV.Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa catatan di lapangan dan hasilwawancara (Denscombe, 2007:289). Studi ini berusaha mendeskripsikan pemahaman wanitaWPS sebagai PE dan menyimpulkan pentingnya peran peer educator sebagai komunikatorkhususnya dalam upaya merubah tingkah laku sebagai tujuan pencegahan HIV. Sehingga dapatdirumuskan pengalaman WPS sebagai PE dalam upaya pencegahan HIV.II. ISISetelah melakukan depth interview, peneliti kemudian melakukan deskripsi tekstural danstruktural dari hasil wawancara tersebut. Setelah individual textural-structural descriptiontersusun, maka dibuat suatu composite description dari makna dan esensi pengalaman sehinggamenampilkan gambaran pengalaman kelompok sebagai satu kesatuan. Sehingga tahap akhirdari studi fenomenologi adalah mempersatukan pandangan dari deskripsi tekstural danstruktural guna membangun sintesis makna dan intisari dari sebuah fenomena dan pengalaman(Moustakas, 1994:181).Dalam penelitian didapatkan pemahaman WPS mengenai peran PE sangatmempengaruhi keputusannya untuk mengikuti arahan dari PE atau tidak. Ketika seorang WPSmenganggap PE hanyalah seorang “penyetok” kondom maka dirinya merasa tidak perluterbuka kepada PE mengenai kesehatan reproduksinya. Baginya keputusan menggunakankondom merupakan keputusan pribadi dimana tidak seorang pun berhak mendiktenya.Selain pemahaman peran PE di lingkungan resos, penelitian ini juga mendapatibagaimana interaksi yang dilakukan antara PE dan WPS. Dalam mempersuasif WPS, PE perlumemulai interaksi dengan menyatakan pandangannya mengenai kegunaan kondom, bagaimanamanfaat dari penggunaan kondom 100%, dan bagaimana dampak yang dirasakan PE secarapribadi selama menggunakan kondom 100%. Penjelasan tersebut dilakukan PE sebagai bentukpersuasif menggunakan kalimat mengajak dimana PE tidak serta merta memaksa WPSmenggunakan kondom, tapi sebaliknya membiarkan WPS memutuskan menggunakan kondom100% secara pribadi meski harapan dari PE mereka mengikuti program pencegahan tersebut.Ketika timbul konflik diantara PE dan WPS, PE dan PE, bahkan PE dengan pihak LSMmaupun resos, dialog menjadi pilihan utama sebagai problem solving, dimana setiap pihak yangberselisih paham dapat bebas mengutarakan pendapat dan alasannya sesuai dengan konteksyang menjadi masalah. Seperti halnya ketika ada WPS yang menolak menggunakan kondom,PE akan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau menggunakan kondom. Terjepitnya WPSakan kebutuhan yang semakin meningkat serta kondisi sepi tamu membuat WPS seringkaliberkompromi dalam menggunakan kondom atau tidak. Setelah mendengarkan penjelasan WPStersebut, PE kemudian memilih mengutarakan alasan-alasan yang rasional mengapa WPS tetapharus menggunakan kondom, seperti bagaimana penyakit HIV saat ini belum ada obat yangdapat menyembuhkannya, sehingga berapa pun uang yang dimiliki WPS tidak akan bisamenyembuhkannya ketika terjangkit HIV. Dengan penjelasan-penjelasan yang rasional sertamenyertakan contoh dan trik-trik (merayu tamu menggunakan kondom atau menggunakankondom wanita) akan membuat WPS mau terbuka atas pendapat orang lain (PE) dan mengikutiapa yang PE sampaikan karena merasa itu juga untuk kesehatan reproduksi WPS itu sendiri.Kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang PE dapat dipenuhi ketikafaktor-faktor dari kompetensi komunikasi tersebut dimiliki secara keseluruhan. pengetahuan,motivasi, serta keahlian komunikasi harus dimiliki PE untuk dapat menjadikannya seorangpersuader yang berhasil. ketika seorang PE kurang memiliki kompetensi komunikasi makadirinya pun masuk kedalam kategori PE non aktif. Adanya trauma yang dimiliki ketikamenghadapi respon negatif WPS ketika sedang dipersuasif menjadi salah satu alasan mengapaseorang PE menjadi non aktif.III. PENUTUPKomunikasi merupakan cara terbaik dalam mempersuasif seseorang agar mau merubahperilakunya sesuai dengan harapan yang diinginkan. Meski demikian tidak semua komunikasidapat berhasil. Banyaknya elemen dalam komunikasi memiliki peran tersendiri dalam mecapaikeberhasilan, namun dalam komunikasi persuasif, peran seorang komunikator mengambil andilpaling besar dibandingkan elemen komunikasi yang lainnya.Keberhasilan seorang WPS sebagai PE didalam mempersuasif WPS untuk mengikutiprogram pencegahan HIV dengan cara menggunakan kondom 100% perlu didukung olehsegala pihak, tidak hanya bagaimana seorang PE menjalankan tugas dan tanggungjawabnya,melainkan juga respon positif dari WPS lain sebagai peer-nya serta bagaimana LSM sertapengurus resos yang konsen dalam memberdayakan PE dimana terus meng-upgrade PEkhususnya agar memiliki kompetensi komunikasi adalah faktor penentu keberhasilan programpeer education di lingkungan resosialisasi.DAFTAR PUSTAKAAw., Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha IlmuJans, Molly. (1999). Comm 3210: Human Commucation Theory, Martin Buber's DialogicCommunication. Research Report. University of Colorado at BoulderKuswarno.Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi,Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung:Widya PadjadjaranLittlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2009). Theories of Human Communication (9thedition) Teori Komunikasi (diterjemahkan oleh : Mohammad Yusuf Hamdan) . Jakarta:Salemba HumanikaMiller, Robert and Williams, Gary. (2004). The 5 Paths To Persuasion: The Art of Selling YourMessage. Summaries.comMoleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja RosdakaryaMoustakas, Clark. (1994). Phenomenological Research Methods. London: SAGE Publications,Inc.Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : Lembaga Kajian Islam danSosial (LKIS)Rahmat, Jalaluddin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya OffsetTubbs, Stewart L. & Moss, Sylvia. (1994). Human Communication:Prinsip-Prinsip Dasar.(diterjemahkan oleh: Dr. Deddy Mulyana). Bandung: PT Remaja Rosdakarya OffsetWest, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introducing Theory: Analysis and Application (3rdedition). (diterjemahkan oleh: Maria Natalia Damayanti Maer). Jakarta : SalembaHumanikaJurnalAgustina, Rakhmawati. (2011). Pelaksanaan Kegiatan Peer Educator Dalam Upaya Pencegahan HIVdan AIDS di SMK Ibu Kartini Kota Semarang. Skripsi. Semarang : Universitas DiponegoroIka Setya Purwanti dan Rika Suarniati, The Indonesian Journal of Public Health vol. 2 no. 3, Mar.2006 : 98Jubaedah, Edah. (2009). Jurnal Ilmu Administrasi (pdf), Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan danKompetensi Komunikasi Dalam Organisasi. 370-375Murti, Elly Swandewi,dkk. (2006). Efektivitas Promosi Kesehatan Dengan Peer Education PadaKelompok Dasawisma Dalam Upaya Penemuan Tersangka Penderita TB Paru. BeritaKedokteran Mayarakat, Vol. 22 No. 3 September 2006, hal 128-134Zuhriyyah, L.Z. Penggunaan Kondom pada Wanita Pekerja Seks (WPS) Di Kawasan ResosialisasiGambilangu Kabupaten Kendal Tahun 2010. Skripsi. Semarang : Universitas NegeriSemarangInternetIndah,dkk. (2009). Peran Komunitas AIDS Peduli HIV/AIDS. Dalamhttp://theonlinejournalism.blogspot.com/2009/01/hivaids-siapkah-solomelawan_13.html 21/05/2013. Diunduh pada 20 Mei 2013 pukul 20.45 WIBFarihah. (2010). Dampak Psikologis PSK. Dalamhttp://ulfahfarihah51.blogspot.com/2011/07/dampak-psikologis-yang-dialami-psk.html.Diunduh pada 23 Mei 2013 pukul 18.30 WIBPeer Education (2000). Dalam http://www.unicef.org/lifeskills/index_12078.html. Diunduh 2Juni 2013 pukul 17.20 WIBIriyanto,Yuwana. (2011). Ibu Rumah Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. Dalamhttp://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jatengterjangkit-hivaids.html. Diunduh 3 September 2013 pukul 23.00 WI
Manajemen Konflik Antarpribadi Pasangan Suami Istri Beda Agama
PENDAHULUAN Fenomena peningkatan antar agama saat ini sedang marak terjadi diIndonesia, baik itu di kalangan masyarakat biasa maupun di kalangan artisibukota. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat karena menyangkut agamayang sangat sensitif. Sebagian masyarakat menentang perkawinan ini namun tidaksedikit pula yang menyetujuinya.Menurut Laswell (1987:51) perkawinan bukanlah hal yang mudahdilakukan pasangan beda agama dengan tetap menganut agamanya masingmasing.Perkawinan beda agama adalah penyatuan dua pola pikir dan cara hidupyang berbeda, dan perbedaan agama dengan pasangan dalam perkawinan banyakmenimbulkan permasalahan.Dalam perkawinan beda agama, adaptasi sangat perlu dilakukan. Karenapada saat pria dan wanita yang berbeda agama menikah, tentunya masing-masingmembawa nilai budaya, sikap, gaya penyesuaian dan keyakinan ke dalamperkawinan tersebut. Apalagi di dalam suatu perkawinan di mana kedua belahpihak yang memiliki agama berbeda rentan akan tingkat sensitifitas konflik yangcukup tinggi. Oleh karena itu pasangan suami istri dituntut untuk dapatmenyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh pasangannya yangkemungkinan besar dipengaruhi oleh agama yang dianutnya. Ditambah denganritual keagamaan yang dijalankan berbeda dengan ritual keagamaan yangdijalankan oleh pasangannya.Oleh karena itu dibutuhkan manajemen konflik yang tepat dan efektif bagipasangan beda agama guna meminimalisir konflik yang yang terjadi menyangkutperbedaan agama.Sidney Jourard dalam Teori Self Disclosure menawarkan konsepketerbukaan diri. Konsep ini memiliki arti bahwa di dalam hubunganinterpersonal yang ideal menghendaki naggota-anggota yang terlibat untukmengenal diri orang lain sepenuhnya dan membiarkan dirinya terbuka untukdikenal orang lain sepenuhnya (Littlejohn,1999:260). Penelitian ini jugamenggunakan Teori Adaptasi Antarbudaya (theory intercultural adaption) yangmengungkapkan bagaimana individu beradaptasi dalam berkomunikasi denganindividu yang berbeda budayanya. Teori ini berpendapat bahwa proses adaptasiadalah suatu cara untuk memenuhi suatu tujuan. Terakhir, RelationalMaintenances Theories juga digunakan dalam penelitian perkawinan antar agama.Teori ini menjelaskan bagaimana individu melakukan pemeliharaan hubunganyang mengacu pada sekelompok perilaku, tindakan dan yang individu gunakanuntuk mempertahankan tingkat relasi (kedekatan individu) yang diinginkan dandefinisi dari hubungan itu. Oleh karena itu, manajemen konflik ini menarik untukdipelajari bagaimana upaya-upaya dan pengelolaan konflik yang dilakukanpasangan beda agama yang hingga saat ini dapat mempertahankan keutuhanperkawinannya dengan tetap menganut agamanya masing-masing.PEMBAHASANPenelitian ini menguraikan tentang pengalaman pasangan suami istri bedaagama dan bagaimana pengelolaan konflik yang mereka lakukan dengan tetapmenganut agamanya masing-masing untuk mempertahankan keutuhanperkawinan. Berangkat dari asumsi bahwa sebagian pasangan beda agamacenderung mengalami konflik yang mendalam bahkan bisa menyebabkanperceraian. Ini dikarenakan adanya perbedaan yang sangat jelas diantarakeduanya, dimana adanya perbedaan pandangan, perbedaan keyakinan, perbedaannilai-nilai agama hingga hak pengasuhan anak.Oleh karena itu adanya pengelolaan konflik yang tepat dan efektif sangatdibutuhkan bagi pasangan beda agama guna meminimalisir konflik yang terjadimenyangkut perbedaan agama, dan ada beberapa strategi manajemen konflik yangdisesuaikan dengan situasi terjadinya konflik, yaitu : kompetisi (menguasai),penghindaran (menarik diri), kompromi (berunding), kolaborasi (menghadapi)dan akomodasi (melunak).Dalam menyelesaikan konflik yang menyangkut perbedaan agama, sebagianbesar informan mengkomunikasikan dengn cara saling membicarakan atauberkolaborasi dan berunding kepada pasangan guna menyelesaikan konflik,mereka bekerja sama dan mencari pemecahan yang memuaskan. Masing-masingpihak bersedia membuka diri sehingga menghindarkan dari perasaan tertekan danmasalah yang dipendam. Tetapi masih ada pula informan yang menyelesaikandengan cara menarik diri atau penghindaran. Mereka lebih memilih untukmengalah dan tidak ingin membicarakannya karena takut hal ini akanmenyinggung salah satu pihak. Penyelesaian dengan cara seperti ini tidak akanmemuaskan kedua belah pihak, karena pasangan tersebut tidak mendapatkan hasilseperti yang diharapkan.Penelitian ini melibatkan tiga pasang responden yang berbeda agamadengan usia perkawinan di atas sepuluh tahun. Lewat penelitian inimenggambarkan bagaimana pasangan dengan kondisi demikian berinteraksi,karena tidaklah mudah menikah dengan pasangan yang berbeda agamanya.Dengan wawancara mendalam, peneliti mengumpulkan informasi tentangpengalaman dan hambatan yang mereka alami setelah menikah dan pengelolaankonflik yang mereka lakukan guna mempertahankan keutuhan perkawinan.Pembahasan tentang penemuan-penemuan di atas menghasilkan tentangbeberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian yang telah dilaksanakan :1) Ketiga informan melakukan interaksi dengan beradaptasi dan salingmenyesuaikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki pasangannya, sepertiperbedaan pandangan, perbedaan keyakinan dan tentu saja adat sertakebiasaan yang berbeda. Para informan bukan lagi membangun hubunganyang lebih intim tetapi tujuannya guna mempertahankan dan memeliharahubungan untuk meminimalisir konflik yang muncul karena masalahkonflik yang dihadapi pasangan beda agama cenderung lebih tinggi. Parainforman menjadikan perbedaan yang ada sebagai bentuk keragaman danproses pembelajaran, bukan sebagai jurang yang dapat memisahkanhubungan yang telah mereka bina.2) Adanya sikap keterbukaan, empati dan sikap saling mendukung sangatdibutuhkan pasangan suami istri beda agama. Dengan adanya keterbukaanpara informan dapat mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiranmereka karena dua agama yang berbeda pastinya memiliki pandangan dankeyakinan yang berbeda pula. Namun, masih ada informan yang tidak mausaling terbuka kepada pasangannya, mereka kurang mampu untuk bisamengungkapkan diri, terutama yang menyangkut masalah agama. Merekajarang membicarakan masalah ini. Hal ini disebabkan masing-masingpihak takut jika ucapan-ucapan yang mereka katakan dapat menyinggungsalah satu pihak yang akhirnya berbuntut pada konflik. Berbeda dengandua informan lainnya (informan I dan informan III) dimana mereka selalubersedia menyediakan waktu untuk membicarakan hal-hal yang berkaitandengan perbedaan agama secara terbuka. Hal ini dilakukan untukmengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masing-masingpihak, dan bagaimana solusi terbaik bagi keduanya. Empati dan sikapmendukung ditunjukkan oleh ketiga informan di mana mereka salingbertoleransi kepada pasangannya. Misalnya dengan memberikankebebasan menjalankan ibadah agamanya dengan jalan berusahamenghormati jika pasangan sedang beribadah, ikut mengantar ke tempatibadah sampai dengan menyesuaikan acara keluarga dengan waktuberibadah. Atau di saat suami atau istri sedang berpuasa, mereka bersediamembangunkan dan ikut menemani sahur. Disini terlihat bahwa ketigainforman memiliki posisi yang setara dalam hal kebebasan beribadah.Adanya posisi yang setara antara suami dan istri beda agama inidiharapkan akan menciptakan suatu komunikasi yang efektif.3) Hambatan komunikasi yang terjadi pada ketiga informan, bukan faktoryang terlalu mempengaruhi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal inidikarenakan sejak awal informan telah mengetahui resiko yang terjadi jikamenikah beda agama. Hambatan muncul saat akan menikah di mana parainforman ingin tata cara agamanya lah yang dipakai dalam prosesperkawinan dan juga muncul di awal perkawinan dimana para informanmasih saling mempengaruhi untuk masuk agamanya.4) Komitmen-komitmen yang dibuat ketiga informan memberikan kontribusidalam membangun iklim komunikasi yang positif karena dengan adanyakomitmen tersebut mereka dapat meminimalisir konflik yang muncul padaperkawinan mereka. Seperti saat pemutusan agama anak, antara suamimaupun istri tidak ingin berebutan untuk mengasuh anak dalam halpemilihan agama. Pada informan I, anak-anak mengikuti agama suamidikarenakan sejak awal, sang anak bersekolah di sekolahan berbasisKatolik. Sang istri pun tidak mempermasalahkan bahwa Kenyatannyakedua anaknya mengikuti agama suami. Sedangkan pada informan IIsepakat jika nantinya sang anak ikut agama istri, dikarenakan suami seringdinas keluar kota yang berarti dirinya akan jarang berada di rumah. Lainlagi dengan informan III, dari awal suami sepakat menyerahkan hak asuhanak kepada istrinya.5) Konflik yang masih sering terjadi dalam rumah tangga informan berasaldari faktor internal yang melibatkan pasangan informan sendiri. Konfliktersebut menyangkut masalah ‘perbedaan agama\u27 di antara keduanyadimana mereka memiliki keinginan dan harapan yang berbeda diantarasuami istri, yang akhirnya hal itu berujung pada konflik.6) Dalam penyelesaian konflik yang menyangkut perbedaan agama, sebagianbesar informan mengkomunikasikan dengan cara saling membicarakan(berkolaborasi) dan berunding kepada pasangan guna menyelesaikanmasalah, mereka bekerja sama dan mencari pemecahan yang memuaskan.Masing-masing pihak bersedia membuka diri sehingga menghindarkandari perasaan tertekan dan masalah yang dipendam. Tetapi masih adainforman yang menyelesaikan dengan cara penghindaran. Mereka lebihmemilih untuk mengalah dan tidak ingin membicarakannya karena takuthal ini akan menyinggung salah satu pihak. Namun, penyelesaian dengancara seperti ini tidak akan bisa memuaskan kedua belah pihak, karenainforman tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.7) Ketiga informan memandang perkawinan mereka sebagai suatu hal yangpositif. Adanya pro dan kontra dari masyarakat bukan sesuatu hal yangperlu dikhawatirkan. Namun informan melarang jika nantinya anak-anakmereka juga melakukan perkawinan beda agama seperti orangtuanya.PENUTUPDalam penelitian ini, pasangan beda agama seharusnya bisa saling terbukakepada pasangannya. Apa yang diinginkan dan dibutuhkan masing-masing pihakbisa saling diungkapkan dengan menggunakan kata-kata yang tidak menyinggungperasaan pasangan. Jika pasangan suami istri beda agama saling memahami danmenerima perbedaan yang mereka miliki, perbedaan tidak akan menjadisandungan bagi keduanya.Dalam mengelola konflik, khususnya konflik yang disebabkan olehperbedaan agama, diusahakan masing-masing pihak tidak saling menghindar,karena suatu saat masalah tersebut dapat muncul kembali dan permasalahannyaakan menjadi semakin besar. Sebaiknya konflik dihadapi dengan terbuka dengansaling mengungkapkan dan mendengarkan keinginan pasangan guna mencapaikesepakatan bersama, sehingga konflik menyangkut agama tidak menjadiancaman bagi kelangsungan rumah tangga mereka, melainkan berguna untuklebih meningkatkan kualitas hubungan suami istri beda agama
Penerimaan Suku Anak dalam terhadap Pendidikan
IONTITLE :NAMA :NIM :ACCEPTANCE OF EDUCATION AMONG ANAKDALAM TRIBEM. SYAMSUL HIDAYATD2C606031Trough the nine-years compulsory education program, EducationDepartment of Soralangun, Jambi held socialization the importance of educationfor Anak Dalam Tribe. The local government was purpose to prevalent educationfor all Sarolangun citizen, included Anak Dalam Tribe. However, the fact is AnakDalam Tribe have some response about the education ratification by government,some of Anak Dalam Tribe accepting the education, but most of them resist thesocialization by government because they have not been taught by their parents,temenggung, and their ancestor, so they don\u27t have to accept it and attend school.This Research aims to find out the acceptance of education among AnakDalam Tribe, why most of them who have faith that education never been taughtby their ancestor instead accept it and finally attend school. This research wasconducted by using phenomenological approach by relating the governmentexperience of socialization who with theory of persuasion to encourage andchange the thought and assumption of Anak Dalam Tribe so they accept educationand attend school. Also acceptance and experience of Anak Dalam Tribe afterthey accept and attend school, this research attempts to explain the Anak DalamTribe\u27s efforts in order to be accepted by people outside agains the stereotypeabout them in the people\u27s sight and otherwise. The subject of this researchconsists of three people from government dan three Anak Dalam Tribe\u27s peoplewho attend school and settle outside the forest. The data was obtainedbyinterview, observation, and literature.Results of this study indicate that government was done persuasioncommunication by interacting directly with Anak Dalam Tribe, trying to convinceand changing the thought and behavior of Anak Dalam Tribe. In effort to changethe behavior, the governments formerly try to establish the cognitive and affectivecomponent from Anak Dalam Tribe, the expectation is by changing thecomponent, could change their behavior. To establish the cognitive component,government conveying the importance of education and then the teachers andexperts in their field indirectly has set an example for Anak Dalam Tribe. Thegovernment also gives all equipment and school supplies. Moreover, Anak DalamTribe is free of charge for school. It is done in order to establish the affectivecomponent of Anak Dalam Tribe. After cognitive and affective has been establish,it will be directly followed by changes of behavior, that is Anak Dalam Tribe whowant to attend school
Hubungan Intensitas Penggunaan Game Online, Pengawasan Orang Tua terhadap Anak, dengan Prestasi Belajar Anak
Hubungan Intensitas Penggunaan Game Online,Pengawasan Orang Tua terhadap Anak,dengan Prestasi Belajar AnakABSTRAKSIHubungan Intensitas Penggunaan Game Online,Pengawasan Orang tua terhadap Anak, dengan Prestasi Belajar AnakLatar belakang penelitian ini didasari oleh banyaknya kasus anak pecandu game online di Indonesia, salah satunya seorang gadis usia 12 tahun kabur dari rumahnya selama 2 minggu, untuk tinggal di warnet untuk bermain game online. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa minat remaja terhadap game online cukup besar. Hal-hal seperti ini kurang diperhatikan orang tua, orang tua terkadang memberi kebebasan pada anaknya dalam bersosialisasi melalui dunia maya atau internet. Kurangnya pengawasan dan kepekaaan dari orangtua menjadi salah satu faktor penyebab perilaku anak di dunia maya tidak terbendung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara intensitas penggunaan game online, pengawasan orang tua terhadap anak, dengan prestasi belajar anak. Teori yang digunakan untuk penelitian ini, antara lain flow theory, roles theory, dan parental mediation. Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar dan menegah yang bermain game online di game center atau warnet yang berada di kecamatan Banyumanik, Semarang. Sample dalam penelitian ini sampel 150 orang, di ambil masing-masing 10 orang dari lima belas warnet yang rata-rata jumlah pemain game online-nya 20-50 per hari. Untuk pengujian hipotesis digunakan perhitungan statistik Koefisien Korelasi Pearson sebagai alat untuk menguji atau menghitung tingkat koefisien korelasi antar variabel.Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hasil penelitian intensitas penggunaan game online (X1) berada dalam kategori tinggi. Hal ini disebabkan sebagian besar anak bermain game online dengan frekuensi 7 hari dengan lama waktu bermain selama 5 jam. Sedangkan untuk variabel pengawasan orang tua terhadap anak (X2) menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh orang tua dalam kategori tinggi, hal ini disebabkan karena sebagian responden menyatakan bahwa orang tua mereka menetapkan aturan, memberikan larangan, mengetahui teman dan tempat bermain mereka, serta mengingatkan kembali apabila terdapat aturan yang tidak dipatuhi. Hasil penelitian mengenai prestasi belajar (Y) menyatakan bahwa prestasi belajar yang diperoleh oleh responden dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar anak yang bermain game online mempunyai nilai rata-rata (gabungan semester satu dan dua) sebesar 6. Berdasarkan perhitungan statistik, variabel intensitas penggunaan game online (X1) dengan prestasi belajar anak (Y) memiliki koefisien korelasi sebesar - 0,561 dengan nilai signifikansi 0,000. Pada hubungan variabel pengawasan orang tua terhadap anak (X2) dengan kepuasan prestasi belajar anak (Y) diperoleh hasil koefisien korelasi sebesar 0,594 dengan nilai signifikansi 0,000. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antar variabel tersebut dan hubungannya juga sangat signifikan. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara intensitas penggunaan game online dengan prestasi belajar anak dan juga terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengawasan orang tua terhadap anak dengan prestasi belajar anak. Saran penelitian ini adalah orang tua perlu meningkatkan pengawasan terhadap anak tidak hanya controling roles tapi juga nurturing roles, selain itu orang tua perlu memperluas kemampuan literasi media, supaya bisa mengimbangi perkembangan teknologi dan membatasi anak dalam penggunaannya.Kata Kunci: intensitas penggunaan game online; pengawasan orang tua; prestasi belajar.ABSTRACRelation of Intensity of Using Online gaming, Parental Supervision of Child,and Child's Academic AchievementThe background of this research is based on the number of cases of children who addicted to online games in Indonesia, one of them is a 12-year- old girl who ran away from home for 2 weeks to stay in the internet cafe to play online games. From these data it can be seen that there is big interest for online gaming especially for teenager. Things like this have less attention from parents, parents sometimes give their children the freedom to socialize through cyberspace or the internet. Lack of parental supervision and sensitivity is one of the factors causing the child's behavior in cyberspace is not unstoppable. This study aims to determine the relationship between the intensity of the using online games, parental supervision of the child , and the child's academic achievement . Theory used for this study, among other things flow theory, roles theory, and parental mediation. The population in this study were children who in age of elementary and middle school who play online games in the game center or internet cafe at Banyumanik, Semarang. Sample in this study is 150 people, each taken 10 people from fifteen internet cafe that have the average number of online game players the 20-50 per day . For statistical hypothesis testing used Pearson correlation coefficient calculation as a tool to test or measure the level of the correlation coefficient between variables .Results of this study declare that the research intensity of using online games ( X1 ) are in the high category. This is due to the majority of children play games online with a frequency of 7 days with long time playing games online for 5 hour. As for parental supervision (X2) states that supervision is done by the parents in the high category, and this is because the majority of respondents stated that their parents set rules, give prohibition, knowing their friends and play area, and reasserts if there is a rule that was not followed. Results of research on child‟s academic achievement (Y) states that the achievement obtained by the respondents in the low category. This is due to most of the kids who play online games have an average value (combined from semesters one and two) at 6 . Based on statistical calculations, the variable intensity of using online games (X1) with the academic achievement of children (Y) has a correlation coefficient of - .561 with a significance value of 0.000 . Parental supervision to child (X2) to the satisfaction of academic achievement of children (Y) obtained by the correlation coefficient is 0.594 with a significance value of 0.000 . From the results of these calculations, it can be concluded that there is a strong relationship between these variables and the relationship is also very significant. It can thus be concluded that there is a significant negative correlation between the intensity of using online games with academic achievement of children and there is also a positive and significant relationship between parental supervision for children with academic achievement of children. Suggestions of this study are the parents need to increase oversight of child not only control roles, but also nurturing roles, besides that, the parents need to expand the capabilities of media literacy , in order to balance the development of technology and limit the child in its use .Keywords : intensity of using online gaming ; parental supervision ; academic achievement .BAB IPENDAHULUANLatar belakang penelitian ini didasari oleh banyaknya kasus anak pecandu game online di Indonesia, salah satunya seorang gadis usia 12 tahun kabur dari rumahnya selama 2 minggu, untuk tinggal di warnet untuk bermain game online. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa minat remaja terhadap game online cukup besar. Hal-hal seperti ini kurang diperhatikan orang tua, orang tua terkadang memberi kebebasan pada anaknya dalam bersosialisasi melalui dunia maya atau internet. Kurangnya pengawasan dan kepekaaan dari orangtua menjadi salah satu faktor penyebab perilaku anak di dunia maya tidak terbendung.Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia (http://www.iaincirebon.ac.id/blog/2013/03/09/393.htm. diakses 21 September 2013 pukul 08.53).Penurunan education development index (EDI) Indonesia yang cukup tinggi terjadi terutama pada kategori penilaian angka hingga kelas V SD. Muhibbin Syah (2006: 144) menyatakan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor yakni faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa; faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa; faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.Maraknya perkembangan dunia internet, membawa banyak pengaruh (faktor eksternal) bagi siswa. Salah satunya dengan kehadiran game online. Anaksekolah merupakan salah satu kelompok yang mudah terpengaruh oleh dampak game online. Waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat atau bermain, namun anak cenderung memanfaatkannya untuk duduk di depan komputer dan asik dalam permainan game online tersebut.Untuk mencegah seorang anak bermain game online tentu bukan pekerjaan mudah bagi orang tua. Peran orang tua untuk mendampingi dan mengawasi penggunaan internet pada anak sangat dibutuhkan. Komunikasi yang secara intens antara orang tua dan anak dapat mengarahkan anak untuk mengatur waktu untuk belajar dan bermain internet.Fasilitas internet yang banyak tersedia di mana-mana, salah satunya warung internet, menjadikan anak bisa mengakses internet dari mana saja. Tidak selalu harus bermain di rumah, anak bisa mencuri waktu sepulang sekolah dengan mengunjungi arena game online atau warung internet yang ada di sekitar sekolah mereka. Hal ini mengakibatkan meningkatnya intensitas anak bermain game online. Jika hal ini diiringi dengan rendahnya komunikasi orang tua dan anak berpengaruh terhadap kedisiplinan anak dalam belajar. Dengan demikian apakah intensitas anak dalam bermain game online dan komunikasinya dengan orang tua dapat mengubah perilaku belajar sehingga dapat memengaruhi prestasi belajar anak?Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara intensitas penggunaan game online dengan prestasi belajar anak dan untuk mengetahui hubungan antara pengawasan orang tua terhadap anak dengan prestasi belajar anak .Teori yang digunakan untuk penelitian ini, antara lain flow theory, roles theory, dan parental mediation. Flow theory dari Csikszentmihalyi menyatakan bahwa kesenangan/enjoyment,diwujudkan dalam kondisi aliran (flow state), dimana terdapat pengalaman "autotelic" atau motivasi diri yang ditandai dengan konsentrasi yang mendalam dan fokus pada apa yang kita lakukan pada saat ini, menggabungkan tindakan dan kesadaran, dan hilangnya cerminan kesadaran diri (misalnya, kehilangan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial). Enjoyment merupakan suatu perasaan yang dapat mengkontrol tindakan seseorangyang juga ditandai oleh adanya penyimpangan pengalaman secara temporal (biasanya, perasaan bahwa waktu telah berlalu lebih cepat dari normal), dan pengalaman yang menyenangkan tersebut memuaskan seseorang secara instrinsik (Nakamura and Csikszentmihalyi, 2002: 90). Dalam penelitian ini, ketika anak bermain game online terdapat kesenangan dan kepuasan tersendiri yang membuat mereka hilang kesadaran dan lupa waktu untuk bersosialisasi, istirahat, dan mengerjakan tugas dari sekolah.Roles Theory dapat memprediksi perilaku pemegang peran melalui peran yang dimiliki seseorang. Peran keluarga penting sejauh mereka dapat mengatur perilaku dan berkomunikasi sesuai dengan peran-peran dalam keluarga. Keluarga merupakan sebuah situasi dengan kesulitan yang tinggi, hal ini disebabkan karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan secara kelompok, sehingga berfungsi sebagai keluarga. Peran atau role dalam keluarga membantu kita mengkoordinasikan penyelesaian tugas dan juga membantu dalam pengaturan siapa melakukan apa dalam keluarga. Terdapat dua peran utama dalam roles theory, yaitu nurturing roles dan controlling roles (Le Poire, 2006: 58-66).„Parental mediation‟ didefinisikan sebagai interaksi orang tua dan anak saat menggunakan media. Livingstone dan Helsper menunjukkan bahwa teori tentang parental mediation harus diperluas agar mencakup mediasi penggunaan Internet. Livingstone dan Helsper menemukan empat jenis parental mediation di Internet adalah active co-use, interaction restrictions, technical restrictions, dan monitoring (Nikken, 2011: 4-5).Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar dan menegah yang bermain game online di game center atau warnet yang berada di kecamatan Banyumanik, Semarang. Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini menggunakan nonprobability sampling dengan metode purposive sampling. Menurut Sugiyono (2008:85), teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sample dalam penelitian ini sampel 150 orang, di ambil masing-masing 10 orang dari lima belas warnet yang rata-rata jumlah pemain game online-nya 20-50 per hari. Untuk pengujian hipotesisdigunakan perhitungan statistik Koefisien Korelasi Pearson sebagai alat untuk menguji atau menghitung tingkat koefisien korelasi antar variabel.BAB IIINTENSITAS PENGGUNAAN GAME ONLINE, PENGAWASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK, DAN PRESTASI BELAJAR ANAKHasil penelitian mengenai intensitas penggunaan game online berada dalam kategori sangat tinggi. Hal ini disebabkan sebagian besar anak bermain game online dengan frekuensi 7 hari dengan lama waktu bermain game selama 5 jam. Rata-rata responden yang memiliki intensitas yang tinggi menyatakan bahwa orang tua mereka tidak mengetahui jika mereka bermain game online, selain karena orang tua mereka yang bekerja, mereka juga memberikan alasan mengerjakan tugas dirumah teman atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.Hasil penelitian dari pengawasan orang tua terhadap anak menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh orang tua dalam kategori tinggi.Hal ini terlihat pada persentase pengawasan orangtua pada kategori tinggi yang lebih besar dibandingkan kategori yang lainnya. Meskipun orang tua tidak memberikan hukuman dan hanya kadang-kadang membantu anak dalam mengerjakan tugas dan mempelajari materi atau bab baru dipelajari di sekolah. Hasil pengawasan orang tua pada kategori tinggi disebabkan karena sebagian responden menyatakan bahwa orang tua mereka menetapkan aturan, memberikan larangan, mengetahui teman dan tempat bermain mereka, serta mengingatkan kembali apabila terdapat aturan yang tidak dipatuhi.Hasil penelitian mengenai prestasi belajar menyatakan bahwa prestasi belajar yang diperoleh oleh responden dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar anak yang bermain game online mempunyai nilai rata-rata (gabungan semester satu dan dua) sebesar 6.BAB IIIHUBUNGAN INTENSITAS PENGGUNAAN GAME ONLINE,PENGAWASAN ORANG TUA TERHADAP ANAKDENGAN PRESTASI BELAJAR ANAKBab ini menguraikan hasil analisis uji hipotesis mengenai ketiga variabel dalam penelitian ini, yaitu intensitas penggunaan game online, pengawasan orang tua terhadap anak dan prestasi belajar anak. Analisis korelasi sederhana (Bivariate Correlation) digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi, salah satunya adalah Pearson Correlation. Korelasi Pearson atau sering disebut Korelasi Product Moment merupakan alat uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis asosiatif (uji hubungan) dua variabel bila datanya berskala interval atau rasio.Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment dengan menggunakan bantuan SPSS Statistics 17.00 for windowsdi atas, untuk korelasi variabel intensitas penggunaan game online (X1) dengan prestasi belajar anak (Y)diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,561 pada taraf signifikansi 0,00. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara Intensitas Penggunaan Game Online dengan Prestasi Belajar Anak. Sedangkan untuk korelasi variabel pengawasan orang tua terhadap anak (X2) dengan prestasi belajar anak (Y) diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,594 pada taraf signifikansi 0,00, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Pengawasan Orang Tua terhadap Anak dengan Prestasi Belajar Anak.Hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar anak bermain game online dengan frekuensi 7 hari dengan lama waktu bermain game online selama 5 jam. Umumnya, pengguna yang ketergantungan cenderung menggunakan Internet selama 20-80 jam per minggu, dengan sesi tunggal yang bisa bertahan hingga lima belas jam. Kurangnya waktu tidur tersebut menyebabkan kelelahan yang berlebihan seringkali membuat fungsi akademisatau pekerjaan terganggu dan penurunan sistem kekebalan tubuh seseorang.Young juga menambahkan, “Students had difficulty completing homework assignments, studying for exams, or getting enough sleep to be alert for class the next morning due to such Internet misuse. Often times, they were unable to control their Internet use which eventually resulted in poor grades, academic probation, and even expulsion from the university.”Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif, hal ini berarti semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin tinggi pula prestasi belajarnya. Menurut Kusuma (1973: 27-28) untuk mencapai tujuan pendidikan dalam keluarga, orang tua harus melakukan perannya dalam melakukan pengawasan dalam kaitannya dengan aktivitas anak dalam masyarakat. Dalam roles theory, peran atau role dalam keluarga membantu mengkoordinasikan penyelesaian tugas dan juga membantu dalam pengaturan siapa melakukan apa dalam keluarga. Peran orang tua sebagai behavior control dapat menerapkan aturan tertentu mengenai proses belajar. Selain peran sebagai behavior control, orang tua juga harus berperan sebagai family boundary maintenance, yang memberikan batasan kepada anak mengenai apa yang terbaik bagi mereka (Bab I, hal 30).Pengawasan orang tua adalah sikap dari orang tua dalam mengamati dan mengontrol apa yang dilakukan anaknya.Dengan adanya pengawasan orang tua, maka diharapkan anak mempunyai tingkah laku dan kebiasaan yang baik.Pengawasan orangtua merupakan merupakan faktor eksternal yang menunjang keberhasilan (prestasi) belajar siswa.Pengawasan yang dilakukan orang tua dapat memberikan semangat dan motivasi kepada anak untuk dapat belajar dengan baik, sehingga seorang anak akan mempunyai kemauan dan kemampuan untuk belajar lebih giat lagi yang berakibat prestasinya dapat meningkat (Bab I, hal 31).BAB IVPENUTUPKesimpulan penelitian ini adalah intensitas penggunaan game online mempunyai hubungan dengan prestasi belajar anak, anak yang bermain game online secara intens mempunyai prestasi belajar yang rendah. Variabel pengawasan orang tua terhadap anak juga mempunyai hubungan dengan prestasi belajar anak. Pengawasan orang tua secara ketat atau tinggi dengan membuat aturan atau larangan, mampu membuat anak tidak melupakan kewajibannya untuk belajar. Dengan proses pembelajaran yang dipantau oleh orang tua secara ketat, akan meningkatkan prestasi belajar anak.Selama ini orang tua hanya menggunakan controling roles (membuat aturan, melarang anak, memperingatkan) saja, orang tua perlu mengimbangi dengan perannya dalam nurturing yaitu dengan berkomunikasi dengan anak. Nurturing roles dapat diwujudkan dengan membangun kedekatan dengan anak seperti meluangkan waktu bermain/belajar bersama anak supaya anak merasa lebih nyaman dan terbuka kepada orang tuanya. Selain itu, orang tua perlu memperluas kemampuan literasi media, supaya bisa mengimbangi perkembangan teknologi dan membatasi anak dalam penggunaannya. Orang tua dapat melakukan beberapa jenis parental mediation, yaitu active co-use (orang tua bersikap aktif, dengan menjelaskan, membatasi, dan bermain game bersama anak), interaction restrictions (larangan kegiatan dimana anak-anak berhubungan dengan orang secara online), dan technical restrictions (melakukan instalasi berbagai program filter dan pemantauan perangkat lunak pada komputer). Untuk penelitian yang akan datang disarankan tidak hanya terbatas pada hubungan akan tetapi meneliti pula mengenai pengaruh intensitas bermain game online serta pengawasan orang tua terhadap prestasi belajar untuk mengetahui seberapa besar pengaruh game online dan pengawasan orang tua terhadap prestasi belajar. Peneliti selanjutnya juga bisa menambahkan variabel lain misalnya intensitas komunikasi anak dengan peer group-nya, karena hal ini dimungkinkan bisa mempengaruhi prestasi belajar anak.DAFTAR PUSTAKAChen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Daradjat. Zakiah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.Dradjat, Zakiah. 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Bumi Aksara dan Depag.Deloitte Acces Economic. 2011. Nusantara Terhubung: Peran Internet dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Australia: Deloitte Touche Tohmatsu.Iriantara, Yosal. 2009. Literasi media: apa, mengapa, bagaimana. Bandung: Simbiosa Rekatama MediaKecamatan Banyumanik dalam Angka 2011Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada GroupKusuma, Indra. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Usaha NasionalLe Poire, Beth A. 2006. Family Communication Nurturing an Control in a Changing World. London: Sage Publications.McQuail, Dennis. 2000. Mass Communication Theory. London: SAGE publicationPotter, W. James. 2001. Media Literacy Second Edition. New Delhi: Sage Pu
Adaptasi Budaya dan Harmoni Sosial ( Kasus Adaptasi Budaya Ikatan Mahasiswa Berbasis Etnisitas di YOGYAKARTA )
Adaptasi Budaya dan Harmoni Sosial( Kasus Adaptasi Budaya Ikatan Mahasiswa Berbasis Etnisitas di Yogyakarta )AbstrakMahasiswa perantauan merupakan pendatang di sebuah daerah dengan latar belakang budaya yangberbeda dari daerah asalnya. Saat berada di daerah baru, biasanya mahasiswa perantauan akan bergabungdalam sebuah ikatan mahasiswa berbasis etnisitas. Ikatan mahasiswa berbasis etnisitas ini bertujuan untukmenyatukan mahasiswa perantauan. Namun, ikatan mahasiswa berbasis etnisitas ini terkesan eksklusif,tertutup dan tidak mau berinteraksi dengan budaya di luar ikatan mahasiswa berbasis etnisitas. Kesaneksklusif dan tertutup rentan terhadap konflik dengan host culture. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmengetahui cara beradaptasi mahasiswa perantauan yang tergabung dalam ikatan mahasiswa berbasisetnisitas, kendala yang dihadapi mahasiswa perantauan selama beradaptasi dan memahami penerimaanhost culture terhadap budaya minoritas mahasiswa perantauan. Upaya menjawab permasalahan dan tujuanpenelitian dilakukan dengan paradigma interpretif dengan menggunakan metode analisis fenomenologi.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Anxiety/Uncertainty Management Theory (Gudykunst,William : 2005 ), Interaction Adaption Theory ( Gudykunst, William : 2005 ). Subjek penelitian adalahenam mahasiswa perantauan yang tergabung dalam tiga ikatan mahasiswa berbasis etnisitas serta tigaorang host culture yang berstatus mahasiswa. Sedangkan lokasi penelitian ini berada di Yogyakarta.Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa perantauan harus beradaptasi dengan budaya di Yogyakarta,seperti bahasa, adat istiadat dan cita rasa makanan. Mahasiswa perantauan akan menggunakan tigastrategi untuk beradaptasi dengan bahasa, yaitu strategi aktif, pasif dan interaktif. Sedangkan untukberadaptasi dengan adat istadat di Yogyakarta, mahasiswa perantauan mempelajari saat berinteraksidengan host culture. sedangkan untuk beradaptasi dengan cita rasa makanan, mahasiswa perantauancenderung untuk memilih makanan yang cocok dengan selera mereka. Meskipun mereka tergabung dalamikatan mahasiswa berbasis etnisitas, mereka dapat menjalin hubungan baik dengan host culture. Haltersebut dapat dilihat dari kegiatan – kegiatan yang dilakukan mahasiswa perantauan bersama hostculture. Di sisi lain, host culture masih memiliki persepsi negatif terhadap mahasiswa perantauan.Meskipun begitu, host culture dapat menerima keberadaan mahasiswa perantauan selama mereka dapatmenjaga hubungan baik dengan masyarakat Yogyakarta. Ketika mahasisa perantauan dan host culturesaling beradaptasi, pada akhirnya mereka memiliki kompetensi komunikasi. Adanya sikap mindful antaramahasiswa perantauan,penerimaan host culture serta kompetensi komunikasi antara keduanya dapatmenciptakan harmoni sosial di tengah – tengah keberagaman budaya yang ada. Implikasi akademis yangdapat menambah pengetahuan mengenai proses interaksi antarbudaya terutama Anxiety / UncertaintyManagement Theory dari Gudykunst. Cakupan teoritis mengenai komunikasi antarbudaya yang mindfulperlu diperluas dengan memasukkan faktor tingkat pendidikan yang bisa mempengaruhi terciptanyasituasi komunikasi yang mindful.Kata kunci : adaptasi budaya, etnisitas, harmoni sosialCulture Adaptation and Social Harmony( The Adaptation Culture Case of Student BondsBased On Ethnicity in Yogyakarta )AbstractMigrant students are newcomer in a region with different culture background of their region original.When the migrant student in a new region, they join in a student bonds based on ethnicity. The aim of thisstudent bonds based on ethnicity is bringing them together. However, the student bonds based onethnicity is exclusive, enclosed impressed and do not want to interact with the culture outside the studentbonds based on ethnicity. This exclusive and enclosed impressed is conflict vulnerable with host culture.The goals of this research are understand how the migrant student who joined in student bonds based onethnicity can be adapted, obstacles when migrant student are adapted and understand the acceptance ofhost culture to migrant students\u27 minority culture. Attempting to answer the issue and the goals byinterpretive paradigm and using phenomenological analysis method. The theories in this research areAnxiety/Uncertainty Management Theory (Gudykunst, William : 2005 ), Interaction Adaption Theory (Gudykunst, William : 2005 ). The subject of this research are six migrant students who joined in studentbonds based on ethnicity and three student of host culture. This research\u27s location in Yogyakarta.The outcome of this research shows the migrant student must be adapted with culture in Yogyakarta, suchas language, custom and the taste of food. The migrant students will use three strategies to languageadapted, such as active, passive and interactive strategy. While adapted with the custom is learning whenthe migrant student interact with host culture. while adapted with the taste of food, the migrant studentstend to choose the food which suited to their taste. While the migrant student joined in student bondsbased on ethnicity, they can have a good relation with host culture. This can be seen from the activitieswhich done by migrant students with host culture. In the other hand, host culture still having a negativeperception toward the migrant students. Nevertheless the host culture can accept the existence of migrantstudent during they keep the good relation with the people of Yogyakarta. When the migrant student andhost culture having an adaptation with each other, they have a communication competence. A mindfulattitude from migrant student, acceptance from host culture and communication competence betweenmigrant student and host culture can create social harmony in the diversity of culture. Academicimplication which can increase the knowledge about the process of intercultural interaction especiallyAnxiety / Uncertainty Management Theory from Gudykunst. Theoretical coverage of the mindfulintercultural communication needs to be expanded to include education level factors that can affect thecreation of mindful communication situations.Key word: culture adaptation, ethnicity, social harmonyAdaptasi Budaya dan Harmoni Sosial ( Kasus Adaptasi Budaya IkatanMahasiswa Berbasis Etnisitas di Yogyakarta )SkripsiDisusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas DiponegoroPenyusunNama : Fitria Purnama SariNIM : D2C 009 067JURUSAN ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS DIPONEGORO2013PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangSebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di daerah dengan latar budaya baru, yang kemudianakan disebut sebagai mahasiswa perantauan, mereka akan merasa asing ketika berada di daerahtersebut, terutama daerah yang memiliki latar budaya yang berbeda dari daerah asalnya.Kehadiran mereka pun sangat mudah dikenali, misalnya saja dari bahasa dan logat yangdigunakan berbeda dengan host culture.Sebagai mahasiswa perantauan, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan barumereka. Bentuk adaptasi para mahasiswa perantauan dengan host culture dapat berupa adaptasidengan bahasa, adat istiadat, norma, kepercayaan bahkan makanan. Bagaimana paramahasiswa perantauan ini dapat beradaptasi sangat mempengaruhi hubungan dengan hostculture kedepannya.Mahasiswa yang berasal dari luar Yogyakarta atau mahasiswa perantauan ini biasanyaakan membentuk satu paguyuban berdasarkan kesamaan latar budaya atau yang biasa disebutdengan ikatan mahasiswa. Ikatan mahasiswa berbasis etnisitas ini bertujuan untukmempersatukan mereka selama mereka berada di Yogyakarta.Hal itulah yang memberikan kesan ekslusif yang seolah – olah paguyuban seperti ikatanmahasiswa berbasis etnis ini “ berbeda “ dengan budaya host culture dan tidak mauberinteraksi dengan budaya di luar paguyuban. Tidak mau berinteraksi dengan budaya di luarpaguyuban memiliki arti yaitu budaya yang ada dalam ikatan mahasiswa berbasis etnisitastersebut tidak bisa melebur menjadi satu dengan budaya sekitar yang berbeda sehingga tidakdapat menghargai perbedaan antara satu budaya dengan budaya lain. Selain itu, ikatanmahasiswa berbasis etnisitas ini dapat menimbulkan solidaritas sempit antar anggotanya.Hal itu juga berbeda dengan semboyan bangsa Indonesia “ Bhinneka Tunggal Ika “ yangmemiliki arti “ Berbeda – beda tetapi tetap Satu Jua “. Berbeda – beda disini merujuk padakebudayaan bangsa Indonesia yang beragam namun tetap harmonis demi terciptanya persatuandan kesatuan bangsa. Harmoni sosial dapat tercipta apabila budaya yang beragam tersebut dapatmelebur menjadi satu dan kelompok antar etnis yang mengusung setiap budaya dapat salingmenghargai tanpa ada pengkotak – kotakan budaya.1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah dalam penelitian ini adalah:1. Bagaimanakah cara beradaptasi mahasiswa yang tergabung dalam ikatan mahasiswaberbasis etnisitas dengan host culture?2. Apa sajakah kendala yang dihadapi oleh mahasiswa yang tergabung dalam ikatanmahasiswa berbasis etnisitas selama beradaptasi dengan host culture?3. Bagaimanakah penerimaan host culture dengan budaya minoritas, dalam hal iniadalah budaya dari ikatan mahasiswa berbasis etnisitas?1.3 Tujuan PenelitianDari penjelasan – penjelasan di atas peneliti di sini berusaha untuk:1. Memahami cara beradaptasi mahasiswa yang tergabung dalam ikatan mahasiswaberbasis etnisitas dengan host culture.2. Memahami kendala yang dihadapi oleh mahasiswa yang tergabung dalam ikatanmahasiswa berbasis etnisitas selama beradaptasi dengan host culture.3. Memahami penerimaan host culture dengan budaya minoritas, dalam hal ini adalahbudaya dari ikatan mahasiswa berbasis etnisitas.1.4 Signifikansi Penelitian1.4.1 Kegunaan TeoritisPenelitian ini secara teoritis atau akademis diharapkan dapat memberikan kontribusiterhadap intercultural adaptation saat ini dalam melihat fenomena antara paguyuban sepertiikatan mahasiswa berbasis etnisitas khususnya etnis luar Jawa di Yogyakarta dalam konteksadaptasi dengan host culture.1.4.2 Kegunaan PraktisSecara praktis penelitian ini diharapkan paguyuban – paguyuban seperti ikatanmahasiswa berbasis etnisitas khususnya etnis luar Jawa di Yogyakarta dapat menciptakanharmoni sosial mengingat Indonesia memiliki keberagaman budaya.1.4.3 Kegunaan SosialHasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenaibagaimana cara mahasiswa yang tergabung dalam ikatan mahasiswa beradaptasi danmenciptakan harmoni sosial dengan host culture.1.5.Kerangka Pemikiran Teoretis1.5.1 State of Art1.5.2 Paradigma InterpretifStudi tentang mahasiswa yang tergabung sebagai anggota ikatan mahasiswa berbasis etnisitasdalam menciptakan harmoni sosial dengan host culture, secara teoritik didekati denganmerujuk pada gagasan genre interpretif, yaitu pemikiran – pemikiran teoritik ( komunikasi )yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks ( Littlejohn, 1999 : 15 )1.5.3 Pendekatan FenomenologiMenurut Littlejohn ( dalam Rahardjo, 2005 : 44 ), sejalan dengan genre interpretatif yangdigunakan sebagai basis berpikir dalam penelitian ini, maka gagasan teoritik yang memilikiketerkaitan dengan genre interpretatif adalah fenomenologi.1.5.4 Teori Manajemen Ketidakpastian ( Uncertainty ) dan Kecemasan ( Anxiety )1.5.5 Teori Interaksi Adapatasi1.6 Operasionalisasi Konsep1.7 Metoda Penelitian1.7.1 Desain PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor ( 1975 :2 ) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan datadeskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang dapatdiamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan inidvidu tersebut secara holistik ( utuh ).1.7.2 Situs PenelitianLokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah lingkungan tempat berkumpulnyaikatan mahasiswa berbasis etnisitas yang ada di Yogyakarta.1.7.3 Subjek PenelitianSubjek penelitian adalah mahasiswa – mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang tergabungdalam ikatan mahasiswa berbasis etnisitas seperti BAMANA ( Barisan Mahasiswa Kaimana ),FORMASY ( Forum Mahasiswa Sula Yogyakarta ) dan Forum Keluarga Mahasiswa NTT –Bersatu Yogyakarta serta host culture yang merupakan warga yang berasal dari Yogyakarta yangpernah berinteraksi langsung dengan mahasiswa perantauan yangtergabung dalam ikatanmahasiswa berbasis etnisitas.1.7.4 Sumber DataJenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah :1. Data Primer2. Data Sekunder1.7.5 Teknik Pengumpulan DataData dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dari subyek penelitian.1.7.6. Analisis dan Interpretasi DataBAB IIDESKRIPSI TEKSTURAL DAN STRUKTURALADAPTASI BUDAYA DAN HARMONI SOSIAL2.1 Deskripsi Tekstural Individu ( Mahasiswa Perantauan )2.1.1 Informan 12.1.1.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.1.1.2 Interaksi Antarbudaya2.1.1.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.1.2 Informan 22.1.2.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.1.2.2 Interaksi Antarbudaya2.1.2.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.1.3 Informan 32.1.3.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.1.3.2 Interaksi Antarbudaya2.1.3.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.1.4 Informan 42.1.4.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.1.4.2 Interaksi Antarbudaya2.1.4.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.1.5 Informan 52.1.5.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.1.5.2 Interaksi Antarbudaya2.1.5.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.1.6 Informan 62.1.6.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.1.6.2 Interaksi Antarbudaya2.1.6.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.2 Deskripsi Tekstural Individu ( Host Culture )2.2.1 Informan 12.2.1.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.2.1.2 Interaksi Antarbudaya2.2.1.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.2.2 Informan 22.2.2.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.2.2.2 Interaksi Antarbudaya2.2.2.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.2.3 Informan 32.2.3.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.2.3.2 Interaksi Antarbudaya2.2.3.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.3 Deskripsi Struktural Individu ( Mahasiswa Perantauan )2.3.1 Informan 12.3.1.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.3.1.2 Interaksi Antarbudaya2.3.1.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.3.2 Informan 22.3.2.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.3.2.2 Interaksi Antarbudaya2.3.2.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.3.3 Informan 32.3.3.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.3.3.2 Interaksi Antarbudaya2.3.3.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.3.4 Informan 42.3.4.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.3.4.2 Interaksi Antarbudaya2.3.4.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.3.5 Informan 52.3.5.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.3.5.2 Interaksi Antarbudaya2.3.5.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.3.6 Informan 62.3.6.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.3.6.2 Interaksi Antarbudaya2.3.6.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.4 Deskripsi Struktural Individu ( Host Culture )2.4.1 Informan 12.4.1.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.4.1.2 Interaksi Antarbudaya2.4.1.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.4.2 Informan 22.4.2.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.4.2.2 Interaksi Antarbudaya2.4.2.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.4.3 Informan 32.4.3.1 Proses Adaptasi Antarbudaya2.4.3.2 Interaksi Antarbudaya2.2.3.3 Kendala saat Berinteraksi serta Cara Mengatasinya2.5 Deskripsi Tekstural Gabungan ( Mahasiswa Perantauan )2.6 Deskripsi Tekstural Gabungan ( Host Culture )BAB IIISINTESIS MAKNA TEKSTURAL DAN STRUKTURAL3.1 Proses Adaptasi AntarbudayaSebagai pendatang di Yogyakarta, informan ( mahasiswa perantauan ) mengalami perbedaanbudaya. Perbedaan budaya yang dapat mereka rasakan secara jelas adalah bahasa, cara berbicara,kebiasaan dan cita rasa makanan. Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang selalu digunakanoleh masyarakat Yogyakarta dalam kesehariannya, terutama bagi warga Yogyakarta yang sudahberusia lanjut, mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Jawa dibanding bahasa Indonesia.Informan ( mahasiswa perantauan ) perlu beradaptasi terhadap penggunaan bahasa Jawa olehhost culture.Informan ( mahasiswa perantauan ) juga perlu beradaptasi dengan kebiasaan host culture.Informan ( mahasiswa perantauan ) perlu memahami kebiasaan host culture seperti menyapadengan anggukan sambil tersenyum yang diikuti dengan sapaan monggo atau bahasa tubuhmenyilakan masuk menggunakan tangan ketika mempersilakan seseorang masuk terlebih dahuluyang terkadang juga diikuti dengan kata monggo. Kebiasaan host culture seperti itu merupakanbentuk dari komunikasi non verbal.Proses adaptasi informan 1, 2, 3 dan 6 ( mahasiswa perantauan ) terhadap cita rasamakanan di Yogyakarta cukup lama. Pada awal proses adaptasi, mereka makan hanya untukmemenuhi kebutuhan Perut yang lapar tanpa mempedulikan rasa yang menurut mereka tidakenak. Bahkan menurut informan 2 dan 6 ( mahasiswa perantauan ) benar – benar menganggapmakanan di Yogyakarta “ tidak bisa dimakan “, sehingga selama proses adaptasi, mereka hanyamemakan makanan instan saja.Ellingsworth ( dalam Liliweri, 2001:63 ) mengemukakan bahwa setiap individudianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individumemiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang tidak harusdilakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan olehdua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasi nilai dan norma yang fungsional atau mendukunghubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsional atau tidak mendukunghubungan antarpribadi.3.2 Interaksi AntarbudayaInforman ( mahasiswa perantauan ) dapat mempelajari hal – hal yang perlu diadaptasi ketikamereka berinteraksi dengan host culture. Interaksi informan ( mahasiswa perantauan ) denganhost culture banyak terjalin dalam kegiatan ruang publik seperti di kampus, organisasi, gereja,dan lingkungan tempat tinggal. Kampus, organisasi, gereja dan lingkungan tempat tinggalmerupakan wadah bagi informan ( mahasiswa perantauan ) serta host culture untuk dapat salingbertatap muka dan mengenal satu sama lain lebih dekat, sehingga proses adaptasi dapat terjalindiantara mereka.Cara untuk memahami penyesuaian antar budaya adalah dengan bersikap sesuai denganpergaulan dan efektif antar individu dalam host culture. Dalam pandangan ini, stranger telahmenyesuaikan diri saat mereka telah belajar untuk berinteraksi secara efektif dengan host culturedan perilaku mereka sesuai dengan host culture. ( Furnham and Bochner; Grove and Torbiorn;Torbiorn dalam Gudykunst 2005:424 ).3.3 Kendala ketika Berinteraksi serta Cara MengatasinyaPerbedaan bahasa membuat sebagian besar informan ( mahasiswa perantauan ) mengalamiketidakpastian ( uncertainty ) dan kecemasan ( anxiety ). Ketidakpastian ( uncertainty ) dankecemasan ( anxiety ) merupakan salah satu kendala mahasiswa perantauan saat berinteraksidengan host culture.Jika informan 1 ( host culture ) mengalami kendala dalam pemahaman bahasa olehmahasiswa perantauan, bagi informan 2 dan 3 ( host culture ) kendala yang dirasakan selamaberinteraksi dengan mahasiswa perantauan adalah karakteristik masing – masing individu.Setiap mahasiswa perantauan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga perlu adanyapemahaman karakteristik dari masing – masing individu agar dapat terjalin komunikasi yangefektif.Ketika kedua informan yaitu informan mahasiswa perantauan dengan informan hostculture dapat melakukan adaptasi dan meminimalisir hambatan komunikasi yang terjadi,makan informan mahasiswa perantauan dan informan host culture memiliki kompetensikomunikasi.BAB IVPENUTUP4.1 KesimpulanPenelitian ini merupakan studi yang mengkaji mengenai pengalaman proses adaptasi mahasiswaperantauan yang tergabung dalam ikatan mahasiswa berbasis etnisitas dengan host culture untukmenciptakan harmoni sosial di Yogyakarta. Penelitian ini didasarkan pada fenomena adanyaikatan mahasiswa berbasis etnisitas dalam menciptakan harmoni sosial. Sebagai kaum minoritasdi sebuah kota perantauan, informan ( mahasiswa perantauan ) diharapkan dapat beradaptasi danberinteraksi dengan host culture.Cara beradaptasi informan ( mahasiswa perantauan ) dapat dilakukan saat berinteraksidengan host culture. Interaksi dengan host culture dapat terjadi saat informan ( mahasiswaperantauan ) melakukan suatu kegiatan secara bersama – sama. Dari proses interaksi tersebut,informan ( mahasiswa perantauan ) dapat mempelajari budaya di daerah perantauannya.Dalam beradaptasi dengan perbedaan budaya, individu informan ( mahasiswa perantauan) menghadapi kendala bahasa. Namun, mereka dapat mengatasinya dengan bertanya kepadalawan bicara maupun orang lain yang lebih fasih berbahasa daerah. Selain bertanya, informan (mahasiswa perantauan ) juga dapat mengatasi kendala bahasa dengan cara memperhatikan danmempelajari bahasa non verbal dari lawan bicara. Setelah bertanya maupun mempelajari bahasanon verbal, informan ( mahasiswa perantauan ) memiliki pengetahuan baru mengenai budaya didaerah perantauannya. Pengetahuan barunya itu dapat meminimalisir rasa ketidakpastian dankecemasan saat berinteraksi dengan host culture yang lain.Meskipun informan ( host culture ) masih memiliki stereotipe terhadap informan (mahasiswa perantauan ), namun host culture dapat menerima keberadaan mereka selama merekadapat menjalin hubungan yang baik dengan host culture.Sedangkan informan ( mahasiswa perantauan ) yang menerima perlakuan kurangmenyenangkan yang disebabkan oleh stereotipe host culture bersikap mindful. Informan (mahasiswa perantauan ) memahami stereotipe tersebut sebagai pengetahuan agar dapatmengantisipasi perilaku host culture yang lainnya.Ketika kedua informan yaitu informan mahasiswa perantauan dengan informan hostculture dapat melakukan adaptasi dan meminimalisir hambatan komunikasi yang terjadi, makaninfo
- …