330 research outputs found

    Kajian Semiotika Desain Vernakular Wahana Hiburan “Tong Stand” Pasar Malam Sekaten YOGYAKARTA

    Full text link
    Tampilan desain vernakular sebagai sebuah hasil kebudayaan masyarakat lokal mengandung narasi akan makna kehidupan yang takterungkapkan. Salah satu cara untuk menggali makna tersebut adalah dengan menggunakan kajian semiotika struktural Roland Barthes dalam relasi makna. Denotasi–Konotasi yang akhirnya memunculkan sebuah Mitos. Mitos yang muncul menuntun pemirsa untuk mengetahui makna apa yang sebenarnya tersembunyi di Balik tampilan visual sebuah desain vernakular stand hiburan Kelompok Diana Ria di pasar malam. Desain vernakular yang mereka tampilkan memadukan citraan tradisional dan modern secara naïf, kasar dan terkesan seadanya menjadi kumpulan objek yang menarik untuk dikaji. Kultur anggota Diana Ria yang berasal dari budaya masyarakat agraris, agamis, dan kental dengan nilai-nilai kekeluargaan kemudian harus bersinggungan secara langsung dengan masyarakat kota (pengunjung) yang berbudaya modern, berpendidikan, dan individualistis memunculkan gegar budaya seperti tampak dalam tampilan visual desain wahana hiburannya. Desain vernakular yang mereka tampilkan sebenarnya merupakan keinginan untuk mensejajarkan diri dalam arus putaran penyelenggaraan dunia hiburan modern. Pencitraan kesejajaran tersebut sebenarnya hanyalah sebuah mitos, mitos atas kehidupan mereka yang serba terbatas, tertindas dan selalu terpinggirkan

    Analisis Kepuasan Pasien Keluarga Miskin yang Berkunjung pada Rumah Sakit Umum Dr. Sudono Madiun dan RSU Haji Surabaya (Ditinjau dari Sk Menpan Nomor Kep/25/m.pan/2/2004)

    Full text link
    Background: People of East Java Province counted more than 38.3 million people, which 7.5 million among them was rated poor people. From several research shows that poor people usually exposed to health matter due to lack of nutrition and education. Mass media also mentioned that there were differences between poor people health care and common people. resulting health care unsatisfaction. This research commonly purposed to know People Satisfaction Index mainly poor people that came to RSU Dr. Soedono Madiun and RSU Haji Surabaya based on Minister of State Apparatus Efficiency letter of decree number KEP/25/M.PAN/2/2004. Methods: This research design was public policy research analysis The applied method is empiric approach that based on actual facts and evaluative approach. The research located in RSU Dr. Soedono Madiun and RSU Haji Surabaya. The population research done by purposively random sampling with the number of child and trauma overnight patient respondent reach 35 respondent. The data compiled by Minister of State Apparatus Efficiency instrumen and exhaustively interview. Results: result shows that Poor People Satisfaction Index toward health care overall reach 3.56 or converted number 89.0 with categorized very good and IKM for RSU Haji Surabaya 3.92 or converted number 98.0 with categorized very good. The recommendation gives to the People Satisfaction Index instrumen manual based on Minister of State Apparatus Efficiency letter of decree number KEP/25/M.PAN/2/2004 which consist of 14 substance need to be more described for operational and realistic

    Effectiveness of Indonesian Essential Oil Mixture of Lemongrass, Cananga, and Patchouli in Relaxation Through Inhalation: a Clinical Test on Healthy Woman with High Potential for Stress

    Full text link
    Relaxation is one of many mechanisms for coping with stress. One of the most widely used methods for relaxation is aromatherapy with the application of essential oils. Known for their therapeutic benefits, essential oils can be extracted from various Indonesian native herbs such as lemongrass (sereh wangi or Cymbopogon winterianus), cananga or ylang-ylang (kenanga or Canarium odoratum), and patchouli (nilam or Pogostemon cabin). This study aims to examine the effectiveness of a mixture of Indonesian essential oil made of lemongrass, cananga, and patchouli extracts. Experiment was conducted by asking a number of subjects to inhale the oil mixture and assessing its effectiveness in terms of psychological relaxation by using Visual Analog Scale or VAS) and of physical relaxation by examining the subjects’ blood pressure (MAP), pulse frequency, and breathing frequency. The result was then compared with that of lavender oil and with the control group. The study was conducted on 60 healthy women through single-blind clinical trials (before and after) using the “intent to treat” approach, followed by a startle test. Participants were divided into three groups: (1) 20 participants who were treated with Indonesian essential oil mixture, (2) 20 participants who were treated with lavender oil, and (3) 20 participants who served as the control group. Psychological relaxation measurement showed that Indonesian essential oil mixture produced the same degree of effectiveness as lavender oil and the control groups did, although both treatments tended to produce better results than the control group did. However, physical relaxation measurement showed that Indonesian essential oil mixture produced a higher degree of effectiveness than lavender oil and tended to produce a better result than the control group did, especially in terms of blood pressure based on MAP scores.    &nbsp

    Gambaran Peningkatan Kejadian Malaria Di Desa Tetel Kecamatan Pengadegan Kabupaten Purbalingga

    Full text link
    Malaria is still a public health problem in Indonesia. Purbalingga is one of endemic malaria in Central Java,distributed in four areas Karangmoncol District, Pengadegan, Kaligondang and Rembang. In 2011, 100 malariacases were reported consisted of 81 indigenious and 19 imported. This study aims to describe the increasedmalaria incidence in Tetel, Pengadegan District in 2012. This study included observational cross-sectionaldesign. Thick blood survey was conducted throughout the village area Tetel on all residents with symptomaticand asymptomatic malaria in the same house with someone who has malaria. Blood preparations stained withGiemsa 10% and identified by microscopy 1000x magnification with emersion oil. The behaviour data obtainedthrough interviews of malaria cases . The data were analyzed descriptively in the form of graphs and tables. Theresults of blood survey in the Tetel village obtained 299 specimen and 59 positive malaria parasites (SPR 20.07%)with the proportion of Plasmodium vivax (9 cases) and Plasmodium falciparum (50 cases). Distribution ofmalaria cases from January to November 2012 found 109 cases with detailed males 54.1% and females 45.9%,78% in the age group >15 years. Transmission of malaria occurred in the neighborhood (indigenous) and moredue to incomplete treatment and late diagnosis of the health service

    Pengalaman Komunikasi Wanita Penjaja Seks (Wps) sebagai Peer Educator dalam Upaya Pencegahan HIV

    Full text link
    PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEEREDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIVAbstrakSosialisasi menjadi komunikasi persuasif yang paling sering dipilih oleh LSM maupunpemerintah dalam mempersuasif masyarakat atas isu-isu tertentu seperti pencegahan HIVmelalui penggunaan kondom, sayangnya mensosialisasi penggunaan kondom bagi para WanitaPenjaja Seks (WPS) tidak semudah mensosialisasikannya pada kelompok masyarakat lainnya.Sikap skeptis ditunjukkan WPS akibat tanggapan masyarakat atas pekerjaan mereka sertabanyaknya salah kaprah mengenai penyakit HIV yang membuat WPS menutup diri dariinformasi luar. Hadirnya Peer Educator (PE) yang merupakan WPS juga dalam program peereducation diharapkan dapat membantu mempersuasi WPS menggunakan kondom. masalahyang muncul: Bagaimana cara PE tersebut mempersuasif WPS lainnya hingga tujuan merubahperilaku dapat tercapai?Tujuan penelitian ini menggambarkan pengalaman komunikasi WPS sebagai PE dalammempersuasif WPS lainnya untuk menggunakan kondom 100% dalam upaya pencegahan HIVserta bagaimana seorang PE menjadi persuader yang baik. Upaya untuk menjawabpermasalahan dan tujuan penelitian dilakukan dengan menggunakan teori dialog dan retortikaajakan serta teori kompetensi komunikasi. Penelitian ini bertipe deskriptif kualitatif denganmetode fenomenologi untuk mengungkap pengalaman komunikasi PE kepada peer-nya.Hasil dari penelitian menunjukkan bagaimana komunikan bertipe skeptis seperti WPSdapat menerima informasi dari pihak luar dengan cara persuasif menggunakan ajakan sertadialog dimana dalam interaksi tersebut WPS dapat mengemukakan pendapat, alasan, sertapandangannya terhadap isu yang diangkat seperti penggunaan kondom untuk mencegah HIV.Selain itu kompetensi komunikasi PE sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi persuasifdimana ketiga faktor: pengetahuan, motivasi, serta keterampilan menjadi satu kesatuan yangharus dimiliki PE secara maksimal. Perlu adanya pemahaman mengenai peran PE oleh setiapWPS sehingga peran WPS tidak hanya penyedia kondom melainkan sesuai dengan tujuanadanya PE yaitu mengedukasi dan mempersuasif sesamanya untuk merubah perilaku.Kata kunci : Peer Educator; WPS; kompetensi komunikasiTHE EXPERIENCE OF WPS COMMUNICATION AS PEER EDUCATORIN PREVENTION OF HIVAbstractThis research aims to describe the communication between WPS (Wanita Pekerja Seks) as PeerEducator (PE) and her peer, the another WPS about using condom to prevention of HIV and toexplain how to be a good persuader in this situation. This research based on the experiencecommunication of female sex worker in Resosialisasi Argorejo, Semarang. Using the TheoryRhetoric of Persuasion, Theory Dialog and Theory Communication Competence for answer thequestion of this research. The type of this research is qualitative descriptive by usingphenomenology method. Phenomenological approach is used to reveal experiencecommunication of PE to her peer.The result of this research is how to persuade the communicant of skeptic type like WPS toaccept the information from the others is with persuasion and dialog in interaction so WPS cantell what her opinion, reason, and perspective, about using condom for prevention of HIV.Moreover, communication competence of PE is affective for the success of persuasivecommunication, which three factors of communication competence : knowledge, motivation,and skill is union and PE must have them maximum. There needs to be an understanding of therule that PE by any WPS, that PE isn't only just a condom providers but according to purposeof PE is to educate and persuasion the other.Keywords: Peer Educator; WPS; communication competenceI. PENDAHULUANSosialisasi merupakan bentuk komunikasi persuasif yang sering dipilih pemerintah maupunLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada masyarakat dalam berbagai isu penting. Meskibegitu, tidak sedikit dari sosialisasi tersebut yang menciptakan polemik dimasyarakat karenamenimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah sosialisasi penggunaan kondomdimasyarakat. Ada yang mendukung tindakan tersebut, namun tidak sedikit yang mengecamtindakan tersebut.Human Immunedefficiency Virus atau yang disingkat HIV adalah penyakit mematikanyang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. BerdasarkanDitjen PP dan PL Kemenkes RI pada laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia, jumlah kasusbaru HIV/AIDS pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2012 adalah 21.511 kasus HIVdan 5.686 kasus AIDS. Provinsi Jawa Tengah pun tidak luput dari penyakit mematikan ini.Dalam artikel berita di lensaindonesia.com, Jawa Tengah malahan menjadi peringkat ke-6nasional dari segi jumlah kasus HIV/AIDS setelah Bali, dengan jumlah penderita hingga Juni2012 yang baru terungkap mencapai 5.301 orang dari estimasi sebanyak 10.815 kasus.Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jateng, Ridha Citra Turyanimengatakan, jumlah penderita tersebut masih separuh ditemukan karena penyakit yangmematikan ini masih sangat sulit terdeteksi bagaikan gunung es. (Gawat! 436 Ibu RumahTangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. (2012). Dalamhttp://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-Jateng-terjangkithivaids.html diunduh 3 September 2013 pukul 20.30 WIB)Terdapat banyak penyebab penularan HIV, antara lain : ibu hamil dan pemberian ASI dari ibuyang menjadi penderita HIV kepada bayi, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan yangmenduduki persentase terbesar (70%-80%) adalah hubungan seksual. Menteri KesehataNafsiah Mboi menanggapi bahwa salah satu penyebab mengapa angka penderita HIB masihtinggi adalah karena masih rendahnya kesadara masyarakat terhadap seks berisiko. Tingginyapenulara HIV dan AIDS disebabkan oleh banyaknya pria dewasa yang memelihara kebiasaan“belanja seks” dan kurangnya penggunaan kondom. Menurutnya perilaku negatif inimenyebabkan 1,6 juta penduduk menikah dengan pria berisiko menderita HIV dan AIDS.(HIV/AIDS Tinggi karena Pria Doyan Jajan Seks. (2012) dalamhttp://www.tempo.co/read/news/2012/06/25/173412771/HIVAIDS-Tinggi-karena-Pria-Doyan-Jajan-Seks diunduh 3 September 2013 pukul 20.35 WIB).Sosialisasi penggunaan kondom yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSMkhususnya bidang kesehatan guna mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit HIVakibat “kebiasaan jajan pria” ini sayangnya tidak berjalan mulus, timbulnya pro dan kontramembuat sosialisasi ini kurang berdampak untuk menekan angka penderita HIV. Kini tindakansosialisasi penggunaan kondom sebagai pencegahan penyakit HIV dilakukan di beberapatempat lokalisasi (atau saat ini disebut resosialisasi), dengan kegiatan peer education.PE sebagai komunikator dalam kegiatan komunikasi berupa peer education yangdipaparkan diatas, menunjukkan betapa penting peranannya dalam mencapai keberhasilandalam mempengaruhi perilaku seseorang/kelompok, dalam hal ini yaitu WPS maupun PSK.LSM Griya Asa PKBI Kota Semarang yang merupakan salah satu LSM yang bergerakdi bidang Keluarga Berencana (KB), pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) danHIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang dikategorikankelompok Risiko Tinggi (RisTi) di wilayah Kota Semarang. Salah satu bentuk kegiatanpencegahan HIV yang dilakukan oleh LSM Griya Asa PKBI bekerjasama dengan FHI (FamilyHealth International) pada tahun 2003 adalah mengunakan peer education sebagai salah satustrategi komunikasi dalam pencegahan HIV di Lokalisasi Sunan Kuning. Alasan awal mengapadibentuk PE karena PE yang berasal dari sesama WPS, karena WPS sendiri memilikikecendurungan menutup diri, namun lebih terbuka dengan lingkungan dalamnya, khususnyasesama WPS. Hal tersebut tentu akan memudahkan LSM dalam mempengaruhi WPS untukmerubah tingkah lakunya sesuai dengan program pencegahan HIV. Selain itu, pemikiranlainnya bahwa tidak selamanya LSM Griya Asa ada di daerah lokalisasi tersebut. Harapannya,dengan adanya PE, edukasi mengenai program pencegahan HIV akan terus berlangsung meskiLSM tidak lagi ada disana.Sayangnya terdapat lack of communicator di Lokalisasi Sunan Kuning. Sejakdibentuknya kegiatan peer education pada tahun 2003 hingga saat ini 2013, tercatat sebanyak60 WPS sebagai PE. Namun Kenyataannya dari 60 WPS tersebut, kurang lebih hanya 15 orangyang aktif sebagai PE.Peer Educator yang terdapat di Lokalisasi Sunan Kuning mempunyai fungsi untukmengajak dan mengedukasi sesama WPS, untuk menjaga kesehatan reproduksi denganmenggunakan kondom dan menjalani scanning secara rutin. Sayangnya fungsi tersebut kiniberalih. “PE di Lokalisasi Sunan Kuning kini hanyalah penyetok kondom saja,” pengakuan Ari,salah satu relawan LSM Griya Asa yang mengikuti program ini sejak awal. Menurutnyadibutuhkan peran aktif dan dukungan penuh dari para pengurus resos dalam menjalankanprogram PE tersebut.Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana interaksi yang dilakukan WPSsebagai PE dalam mempersuasif sesama WPS serta bagaimana kompetensi komunikasi yangseharusnya dimiliki WPS tersebut sebagai persuader yang baik. Dalam menjawab pertanyaantersebut peneliti melakukan penelitian kepada 6 (enam) WPS sebagai informan dimana merekaterdiri dari 2 (dua) orang yang berperan sebagai peer, 2 (dua) orang yang berperan sebagai PEnon aktif, dan 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE aktif. Penelitian ini sendiri dilakukan diLokalisasi Sunan Kuning, dimana peer education pertama kali diterapkan dilingkunganlokalisasi di Semarang. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakanmetode fenomenologi dengan paradigma interpretif. Paradigma interpretif dapat dimengertimerupakan proses aktif dalam pemberian makna dari suatu pengalaman. Peneliti menggunakanparadigma ini dan berusaha mengungkapkan dan memahami pengalaman WPS sebagai peer PEdalam upaya pencegahan HIV.Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa catatan di lapangan dan hasilwawancara (Denscombe, 2007:289). Studi ini berusaha mendeskripsikan pemahaman wanitaWPS sebagai PE dan menyimpulkan pentingnya peran peer educator sebagai komunikatorkhususnya dalam upaya merubah tingkah laku sebagai tujuan pencegahan HIV. Sehingga dapatdirumuskan pengalaman WPS sebagai PE dalam upaya pencegahan HIV.II. ISISetelah melakukan depth interview, peneliti kemudian melakukan deskripsi tekstural danstruktural dari hasil wawancara tersebut. Setelah individual textural-structural descriptiontersusun, maka dibuat suatu composite description dari makna dan esensi pengalaman sehinggamenampilkan gambaran pengalaman kelompok sebagai satu kesatuan. Sehingga tahap akhirdari studi fenomenologi adalah mempersatukan pandangan dari deskripsi tekstural danstruktural guna membangun sintesis makna dan intisari dari sebuah fenomena dan pengalaman(Moustakas, 1994:181).Dalam penelitian didapatkan pemahaman WPS mengenai peran PE sangatmempengaruhi keputusannya untuk mengikuti arahan dari PE atau tidak. Ketika seorang WPSmenganggap PE hanyalah seorang “penyetok” kondom maka dirinya merasa tidak perluterbuka kepada PE mengenai kesehatan reproduksinya. Baginya keputusan menggunakankondom merupakan keputusan pribadi dimana tidak seorang pun berhak mendiktenya.Selain pemahaman peran PE di lingkungan resos, penelitian ini juga mendapatibagaimana interaksi yang dilakukan antara PE dan WPS. Dalam mempersuasif WPS, PE perlumemulai interaksi dengan menyatakan pandangannya mengenai kegunaan kondom, bagaimanamanfaat dari penggunaan kondom 100%, dan bagaimana dampak yang dirasakan PE secarapribadi selama menggunakan kondom 100%. Penjelasan tersebut dilakukan PE sebagai bentukpersuasif menggunakan kalimat mengajak dimana PE tidak serta merta memaksa WPSmenggunakan kondom, tapi sebaliknya membiarkan WPS memutuskan menggunakan kondom100% secara pribadi meski harapan dari PE mereka mengikuti program pencegahan tersebut.Ketika timbul konflik diantara PE dan WPS, PE dan PE, bahkan PE dengan pihak LSMmaupun resos, dialog menjadi pilihan utama sebagai problem solving, dimana setiap pihak yangberselisih paham dapat bebas mengutarakan pendapat dan alasannya sesuai dengan konteksyang menjadi masalah. Seperti halnya ketika ada WPS yang menolak menggunakan kondom,PE akan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau menggunakan kondom. Terjepitnya WPSakan kebutuhan yang semakin meningkat serta kondisi sepi tamu membuat WPS seringkaliberkompromi dalam menggunakan kondom atau tidak. Setelah mendengarkan penjelasan WPStersebut, PE kemudian memilih mengutarakan alasan-alasan yang rasional mengapa WPS tetapharus menggunakan kondom, seperti bagaimana penyakit HIV saat ini belum ada obat yangdapat menyembuhkannya, sehingga berapa pun uang yang dimiliki WPS tidak akan bisamenyembuhkannya ketika terjangkit HIV. Dengan penjelasan-penjelasan yang rasional sertamenyertakan contoh dan trik-trik (merayu tamu menggunakan kondom atau menggunakankondom wanita) akan membuat WPS mau terbuka atas pendapat orang lain (PE) dan mengikutiapa yang PE sampaikan karena merasa itu juga untuk kesehatan reproduksi WPS itu sendiri.Kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang PE dapat dipenuhi ketikafaktor-faktor dari kompetensi komunikasi tersebut dimiliki secara keseluruhan. pengetahuan,motivasi, serta keahlian komunikasi harus dimiliki PE untuk dapat menjadikannya seorangpersuader yang berhasil. ketika seorang PE kurang memiliki kompetensi komunikasi makadirinya pun masuk kedalam kategori PE non aktif. Adanya trauma yang dimiliki ketikamenghadapi respon negatif WPS ketika sedang dipersuasif menjadi salah satu alasan mengapaseorang PE menjadi non aktif.III. PENUTUPKomunikasi merupakan cara terbaik dalam mempersuasif seseorang agar mau merubahperilakunya sesuai dengan harapan yang diinginkan. Meski demikian tidak semua komunikasidapat berhasil. Banyaknya elemen dalam komunikasi memiliki peran tersendiri dalam mecapaikeberhasilan, namun dalam komunikasi persuasif, peran seorang komunikator mengambil andilpaling besar dibandingkan elemen komunikasi yang lainnya.Keberhasilan seorang WPS sebagai PE didalam mempersuasif WPS untuk mengikutiprogram pencegahan HIV dengan cara menggunakan kondom 100% perlu didukung olehsegala pihak, tidak hanya bagaimana seorang PE menjalankan tugas dan tanggungjawabnya,melainkan juga respon positif dari WPS lain sebagai peer-nya serta bagaimana LSM sertapengurus resos yang konsen dalam memberdayakan PE dimana terus meng-upgrade PEkhususnya agar memiliki kompetensi komunikasi adalah faktor penentu keberhasilan programpeer education di lingkungan resosialisasi.DAFTAR PUSTAKAAw., Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha IlmuJans, Molly. (1999). Comm 3210: Human Commucation Theory, Martin Buber's DialogicCommunication. Research Report. University of Colorado at BoulderKuswarno.Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi,Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung:Widya PadjadjaranLittlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2009). Theories of Human Communication (9thedition) Teori Komunikasi (diterjemahkan oleh : Mohammad Yusuf Hamdan) . Jakarta:Salemba HumanikaMiller, Robert and Williams, Gary. (2004). The 5 Paths To Persuasion: The Art of Selling YourMessage. Summaries.comMoleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja RosdakaryaMoustakas, Clark. (1994). Phenomenological Research Methods. London: SAGE Publications,Inc.Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : Lembaga Kajian Islam danSosial (LKIS)Rahmat, Jalaluddin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya OffsetTubbs, Stewart L. & Moss, Sylvia. (1994). Human Communication:Prinsip-Prinsip Dasar.(diterjemahkan oleh: Dr. Deddy Mulyana). Bandung: PT Remaja Rosdakarya OffsetWest, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introducing Theory: Analysis and Application (3rdedition). (diterjemahkan oleh: Maria Natalia Damayanti Maer). Jakarta : SalembaHumanikaJurnalAgustina, Rakhmawati. (2011). Pelaksanaan Kegiatan Peer Educator Dalam Upaya Pencegahan HIVdan AIDS di SMK Ibu Kartini Kota Semarang. Skripsi. Semarang : Universitas DiponegoroIka Setya Purwanti dan Rika Suarniati, The Indonesian Journal of Public Health vol. 2 no. 3, Mar.2006 : 98Jubaedah, Edah. (2009). Jurnal Ilmu Administrasi (pdf), Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan danKompetensi Komunikasi Dalam Organisasi. 370-375Murti, Elly Swandewi,dkk. (2006). Efektivitas Promosi Kesehatan Dengan Peer Education PadaKelompok Dasawisma Dalam Upaya Penemuan Tersangka Penderita TB Paru. BeritaKedokteran Mayarakat, Vol. 22 No. 3 September 2006, hal 128-134Zuhriyyah, L.Z. Penggunaan Kondom pada Wanita Pekerja Seks (WPS) Di Kawasan ResosialisasiGambilangu Kabupaten Kendal Tahun 2010. Skripsi. Semarang : Universitas NegeriSemarangInternetIndah,dkk. (2009). Peran Komunitas AIDS Peduli HIV/AIDS. Dalamhttp://theonlinejournalism.blogspot.com/2009/01/hivaids-siapkah-solomelawan_13.html 21/05/2013. Diunduh pada 20 Mei 2013 pukul 20.45 WIBFarihah. (2010). Dampak Psikologis PSK. Dalamhttp://ulfahfarihah51.blogspot.com/2011/07/dampak-psikologis-yang-dialami-psk.html.Diunduh pada 23 Mei 2013 pukul 18.30 WIBPeer Education (2000). Dalam http://www.unicef.org/lifeskills/index_12078.html. Diunduh 2Juni 2013 pukul 17.20 WIBIriyanto,Yuwana. (2011). Ibu Rumah Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. Dalamhttp://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jatengterjangkit-hivaids.html. Diunduh 3 September 2013 pukul 23.00 WI

    Analisis Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keinginan Karyawan Untuk Pindah (Studi Kasus Pada PT. Bank Papua)

    Full text link
    SI Penelitian ini ditujukan untuk hubungan kausal berjenjang antara motivasi intrinsik, kejelasan peran, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan keinginan untuk pindah dalam konteks PT. Bank Papua. Pada model yang dikembangkan, nampak bahwa komitmen organisasi ditempatkan sebagai variabel intervening yang menghubungkan antara kepuasan kerja dengan keinginan karyawan untuk pindah. PT. Bank Papua dipilih sebagai obyek penelitian karena kondisi terkininya, yaitu keluarnya beberapa karyawan potensial dan adanya deviasi antara target dan realisasi kinerja keuangan, telah memberikan ruang yang ideal bagi pengujian hubungan kausal antar variabel dalam penelitian ini. Sampel penelitian ini berjumlah 129 yang diperoleh dengan pendekatan purposive sampling. Akan tetapi, kuesioner yang kembali dan layak untuk diolah hanya sebanyak 112 kuesioner. Teknik analisis yang dipergunakan untuk mengolah data yaitu Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan dengan perangkat lunak Amos 4.01. Hasil analisis menunjukkan bahwa motivasi intrinsik dan kejelasan peran mempengaruhi kepuasan kerja secara positif, kepuasan kerja mempengaruhi komitmen organisasi secara positif dan komitmmen organisasi mempengaruhi keinginan untuk pindah secara negatif (artinya makin tinggi komitmen organisasi karyawan, maka akan semakin rendah kemungkinan untuk pindah). Temuan empiris tersebut mengindikasikan bahwa para pimpinan PT. Bank Papua seyogyanya berusaha meningkatkan komitmen organisasi dalam rangka mengurangi keinginan karyawan potensial untuk pindah, dengan sebelumnya melakukan evaluasi tingkat kepuasan kerja yang dipengaruhi oleh motivasi intrinsik dan kejelasan peran. Implikasi teoritis dan saran-saran bagi penelitian mendatang juga diuraikan dalam penelitian ini

    Manajemen Konflik Antarpribadi Pasangan Suami Istri Beda Agama

    Full text link
    PENDAHULUAN Fenomena peningkatan antar agama saat ini sedang marak terjadi diIndonesia, baik itu di kalangan masyarakat biasa maupun di kalangan artisibukota. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat karena menyangkut agamayang sangat sensitif. Sebagian masyarakat menentang perkawinan ini namun tidaksedikit pula yang menyetujuinya.Menurut Laswell (1987:51) perkawinan bukanlah hal yang mudahdilakukan pasangan beda agama dengan tetap menganut agamanya masingmasing.Perkawinan beda agama adalah penyatuan dua pola pikir dan cara hidupyang berbeda, dan perbedaan agama dengan pasangan dalam perkawinan banyakmenimbulkan permasalahan.Dalam perkawinan beda agama, adaptasi sangat perlu dilakukan. Karenapada saat pria dan wanita yang berbeda agama menikah, tentunya masing-masingmembawa nilai budaya, sikap, gaya penyesuaian dan keyakinan ke dalamperkawinan tersebut. Apalagi di dalam suatu perkawinan di mana kedua belahpihak yang memiliki agama berbeda rentan akan tingkat sensitifitas konflik yangcukup tinggi. Oleh karena itu pasangan suami istri dituntut untuk dapatmenyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh pasangannya yangkemungkinan besar dipengaruhi oleh agama yang dianutnya. Ditambah denganritual keagamaan yang dijalankan berbeda dengan ritual keagamaan yangdijalankan oleh pasangannya.Oleh karena itu dibutuhkan manajemen konflik yang tepat dan efektif bagipasangan beda agama guna meminimalisir konflik yang yang terjadi menyangkutperbedaan agama.Sidney Jourard dalam Teori Self Disclosure menawarkan konsepketerbukaan diri. Konsep ini memiliki arti bahwa di dalam hubunganinterpersonal yang ideal menghendaki naggota-anggota yang terlibat untukmengenal diri orang lain sepenuhnya dan membiarkan dirinya terbuka untukdikenal orang lain sepenuhnya (Littlejohn,1999:260). Penelitian ini jugamenggunakan Teori Adaptasi Antarbudaya (theory intercultural adaption) yangmengungkapkan bagaimana individu beradaptasi dalam berkomunikasi denganindividu yang berbeda budayanya. Teori ini berpendapat bahwa proses adaptasiadalah suatu cara untuk memenuhi suatu tujuan. Terakhir, RelationalMaintenances Theories juga digunakan dalam penelitian perkawinan antar agama.Teori ini menjelaskan bagaimana individu melakukan pemeliharaan hubunganyang mengacu pada sekelompok perilaku, tindakan dan yang individu gunakanuntuk mempertahankan tingkat relasi (kedekatan individu) yang diinginkan dandefinisi dari hubungan itu. Oleh karena itu, manajemen konflik ini menarik untukdipelajari bagaimana upaya-upaya dan pengelolaan konflik yang dilakukanpasangan beda agama yang hingga saat ini dapat mempertahankan keutuhanperkawinannya dengan tetap menganut agamanya masing-masing.PEMBAHASANPenelitian ini menguraikan tentang pengalaman pasangan suami istri bedaagama dan bagaimana pengelolaan konflik yang mereka lakukan dengan tetapmenganut agamanya masing-masing untuk mempertahankan keutuhanperkawinan. Berangkat dari asumsi bahwa sebagian pasangan beda agamacenderung mengalami konflik yang mendalam bahkan bisa menyebabkanperceraian. Ini dikarenakan adanya perbedaan yang sangat jelas diantarakeduanya, dimana adanya perbedaan pandangan, perbedaan keyakinan, perbedaannilai-nilai agama hingga hak pengasuhan anak.Oleh karena itu adanya pengelolaan konflik yang tepat dan efektif sangatdibutuhkan bagi pasangan beda agama guna meminimalisir konflik yang terjadimenyangkut perbedaan agama, dan ada beberapa strategi manajemen konflik yangdisesuaikan dengan situasi terjadinya konflik, yaitu : kompetisi (menguasai),penghindaran (menarik diri), kompromi (berunding), kolaborasi (menghadapi)dan akomodasi (melunak).Dalam menyelesaikan konflik yang menyangkut perbedaan agama, sebagianbesar informan mengkomunikasikan dengn cara saling membicarakan atauberkolaborasi dan berunding kepada pasangan guna menyelesaikan konflik,mereka bekerja sama dan mencari pemecahan yang memuaskan. Masing-masingpihak bersedia membuka diri sehingga menghindarkan dari perasaan tertekan danmasalah yang dipendam. Tetapi masih ada pula informan yang menyelesaikandengan cara menarik diri atau penghindaran. Mereka lebih memilih untukmengalah dan tidak ingin membicarakannya karena takut hal ini akanmenyinggung salah satu pihak. Penyelesaian dengan cara seperti ini tidak akanmemuaskan kedua belah pihak, karena pasangan tersebut tidak mendapatkan hasilseperti yang diharapkan.Penelitian ini melibatkan tiga pasang responden yang berbeda agamadengan usia perkawinan di atas sepuluh tahun. Lewat penelitian inimenggambarkan bagaimana pasangan dengan kondisi demikian berinteraksi,karena tidaklah mudah menikah dengan pasangan yang berbeda agamanya.Dengan wawancara mendalam, peneliti mengumpulkan informasi tentangpengalaman dan hambatan yang mereka alami setelah menikah dan pengelolaankonflik yang mereka lakukan guna mempertahankan keutuhan perkawinan.Pembahasan tentang penemuan-penemuan di atas menghasilkan tentangbeberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian yang telah dilaksanakan :1) Ketiga informan melakukan interaksi dengan beradaptasi dan salingmenyesuaikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki pasangannya, sepertiperbedaan pandangan, perbedaan keyakinan dan tentu saja adat sertakebiasaan yang berbeda. Para informan bukan lagi membangun hubunganyang lebih intim tetapi tujuannya guna mempertahankan dan memeliharahubungan untuk meminimalisir konflik yang muncul karena masalahkonflik yang dihadapi pasangan beda agama cenderung lebih tinggi. Parainforman menjadikan perbedaan yang ada sebagai bentuk keragaman danproses pembelajaran, bukan sebagai jurang yang dapat memisahkanhubungan yang telah mereka bina.2) Adanya sikap keterbukaan, empati dan sikap saling mendukung sangatdibutuhkan pasangan suami istri beda agama. Dengan adanya keterbukaanpara informan dapat mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiranmereka karena dua agama yang berbeda pastinya memiliki pandangan dankeyakinan yang berbeda pula. Namun, masih ada informan yang tidak mausaling terbuka kepada pasangannya, mereka kurang mampu untuk bisamengungkapkan diri, terutama yang menyangkut masalah agama. Merekajarang membicarakan masalah ini. Hal ini disebabkan masing-masingpihak takut jika ucapan-ucapan yang mereka katakan dapat menyinggungsalah satu pihak yang akhirnya berbuntut pada konflik. Berbeda dengandua informan lainnya (informan I dan informan III) dimana mereka selalubersedia menyediakan waktu untuk membicarakan hal-hal yang berkaitandengan perbedaan agama secara terbuka. Hal ini dilakukan untukmengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masing-masingpihak, dan bagaimana solusi terbaik bagi keduanya. Empati dan sikapmendukung ditunjukkan oleh ketiga informan di mana mereka salingbertoleransi kepada pasangannya. Misalnya dengan memberikankebebasan menjalankan ibadah agamanya dengan jalan berusahamenghormati jika pasangan sedang beribadah, ikut mengantar ke tempatibadah sampai dengan menyesuaikan acara keluarga dengan waktuberibadah. Atau di saat suami atau istri sedang berpuasa, mereka bersediamembangunkan dan ikut menemani sahur. Disini terlihat bahwa ketigainforman memiliki posisi yang setara dalam hal kebebasan beribadah.Adanya posisi yang setara antara suami dan istri beda agama inidiharapkan akan menciptakan suatu komunikasi yang efektif.3) Hambatan komunikasi yang terjadi pada ketiga informan, bukan faktoryang terlalu mempengaruhi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal inidikarenakan sejak awal informan telah mengetahui resiko yang terjadi jikamenikah beda agama. Hambatan muncul saat akan menikah di mana parainforman ingin tata cara agamanya lah yang dipakai dalam prosesperkawinan dan juga muncul di awal perkawinan dimana para informanmasih saling mempengaruhi untuk masuk agamanya.4) Komitmen-komitmen yang dibuat ketiga informan memberikan kontribusidalam membangun iklim komunikasi yang positif karena dengan adanyakomitmen tersebut mereka dapat meminimalisir konflik yang muncul padaperkawinan mereka. Seperti saat pemutusan agama anak, antara suamimaupun istri tidak ingin berebutan untuk mengasuh anak dalam halpemilihan agama. Pada informan I, anak-anak mengikuti agama suamidikarenakan sejak awal, sang anak bersekolah di sekolahan berbasisKatolik. Sang istri pun tidak mempermasalahkan bahwa Kenyatannyakedua anaknya mengikuti agama suami. Sedangkan pada informan IIsepakat jika nantinya sang anak ikut agama istri, dikarenakan suami seringdinas keluar kota yang berarti dirinya akan jarang berada di rumah. Lainlagi dengan informan III, dari awal suami sepakat menyerahkan hak asuhanak kepada istrinya.5) Konflik yang masih sering terjadi dalam rumah tangga informan berasaldari faktor internal yang melibatkan pasangan informan sendiri. Konfliktersebut menyangkut masalah ‘perbedaan agama\u27 di antara keduanyadimana mereka memiliki keinginan dan harapan yang berbeda diantarasuami istri, yang akhirnya hal itu berujung pada konflik.6) Dalam penyelesaian konflik yang menyangkut perbedaan agama, sebagianbesar informan mengkomunikasikan dengan cara saling membicarakan(berkolaborasi) dan berunding kepada pasangan guna menyelesaikanmasalah, mereka bekerja sama dan mencari pemecahan yang memuaskan.Masing-masing pihak bersedia membuka diri sehingga menghindarkandari perasaan tertekan dan masalah yang dipendam. Tetapi masih adainforman yang menyelesaikan dengan cara penghindaran. Mereka lebihmemilih untuk mengalah dan tidak ingin membicarakannya karena takuthal ini akan menyinggung salah satu pihak. Namun, penyelesaian dengancara seperti ini tidak akan bisa memuaskan kedua belah pihak, karenainforman tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.7) Ketiga informan memandang perkawinan mereka sebagai suatu hal yangpositif. Adanya pro dan kontra dari masyarakat bukan sesuatu hal yangperlu dikhawatirkan. Namun informan melarang jika nantinya anak-anakmereka juga melakukan perkawinan beda agama seperti orangtuanya.PENUTUPDalam penelitian ini, pasangan beda agama seharusnya bisa saling terbukakepada pasangannya. Apa yang diinginkan dan dibutuhkan masing-masing pihakbisa saling diungkapkan dengan menggunakan kata-kata yang tidak menyinggungperasaan pasangan. Jika pasangan suami istri beda agama saling memahami danmenerima perbedaan yang mereka miliki, perbedaan tidak akan menjadisandungan bagi keduanya.Dalam mengelola konflik, khususnya konflik yang disebabkan olehperbedaan agama, diusahakan masing-masing pihak tidak saling menghindar,karena suatu saat masalah tersebut dapat muncul kembali dan permasalahannyaakan menjadi semakin besar. Sebaiknya konflik dihadapi dengan terbuka dengansaling mengungkapkan dan mendengarkan keinginan pasangan guna mencapaikesepakatan bersama, sehingga konflik menyangkut agama tidak menjadiancaman bagi kelangsungan rumah tangga mereka, melainkan berguna untuklebih meningkatkan kualitas hubungan suami istri beda agama
    corecore