6 research outputs found

    MENGENAL KESULITAN BELAJAR DAN KESULITAN BELAJAR SPESIFIK

    Get PDF
    “KESULITAN BELAJAR” adalah kesulitan yang ditemui pada individu yang memang mengalami gangguan neurologis seperti tuna grahita, Autism Spectrum Disorder (Autis, Asperger Syndrome, PDD-NOS), Down Syndrome, Rett Syndrome, Childhood Disintegrative Disorder, Gangguan Dengar dan Gangguan Lihat berat, Cerebral Palsy, dan sindrom-sindrom lainnya. Sedangkan “KESULITAN BELAJAR SPESIFIK” menunjukkan suatu kondisi dimana anak/individu yang diyakini mempunyai tingkat kecerdasan normal (bahkan tidak sedikit yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata), ternyata mengalami kesulitan yang signifikan dalam beberapa area perkembangan tertentu dalam kehidupannya. Keduanya berbeda dan memerlukan penanganan yang berbeda pula

    Hubungan Faktor Sosioekonomi dengan Perawakan Pendek Anak Usia 24-60 Bulan

    Get PDF
    Latar belakang. Perawakan pendek merupakan salah satu indikator kesehatan anak yang dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya sosioekonomi. Faktor sosioekonomi di antaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anak kurang dari 5 tahun, dan interval usia dengan anak sebelumnya. Tujuan. Mengetahui hubungan status sosioekonomi dengan perawakan pendek. Metode. Studi potong lintang dilakukan pada anak usia 24–60 bulan yang datang ke Puskesmas Sukajadi dan Tempat Penitipan Anak Bunda Ganesa pada bulan Mei 2018. Sampel dipilih secara proporsional random sampling. Tinggi badan anak diperiksa dan diambil data status sosioekonomi. Analisis statistik menggunakan Chi kuadrat dan analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil. Seratus tiga puluh tiga anak terdiri dari 77 anak dari Puskesmas Sukajadi dan 56 anak dari Bunda Ganesa. Prevalensi perawakan pendek di Puskesmas Sukajadi 40,3%, sedangkan di Bunda Ganesa 16,1%. Tempat penelitian, pendidikan orang tua, berat badan menurut usia, pekerjaan ayah dan pendapatan keluarga memiliki hubungan bermakna dengan perawakan pendek. Analisis multivariat ayah pendidikan menengah dan rendah, serta berat badan menurut usia yang abnormal merupakan risiko perawakan pendek. Sementara anak yang tidak mendapat ASI eksklusif berisiko lebih rendah. Kesimpulan. Prevalensi perawakan pendek lebih besar pada anak dari keluarga sosioekonomi menengah kebawah. Pendidikan ayah dan ibu, berat badan menurut usia, pekerjaan ayah dan pendapatan keluarga memiliki hubungan yang bermakna terhadap perawakan pendek

    Reliability of the Indonesian version of the School-Years Screening Test for Evaluation of Mental Status-Revised as a cognitive screening tool for children

    No full text
    Background Developmental and behavioral problems are among the most common conditions of childhood. These problems affect 12−16% of children in the United States and 13−18% of children in Indonesia. Early detection of developmental deficits among children requires clinicians to screen with accurate tools. Cognitive function screening in children has been increasingly used in many clinical and educational settings. The School-Years Screening Test for Evaluation of Mental Status-Revised (SYSTEMS-R) is becoming a widely-used, reliable, and valid cognitive screening tool for children aged 4−15 years. Prior to our study, there was no Indonesian language version of the SYSTEMS-R. Objective To determine the reliability of the Indonesian translation of the SYSTEMS-R. Methods A cross-sectional study was conducted in children aged 4−15 years who understood the Indonesian language and did not have neurologic or communication impairments. Data were analysed to determine reliability (internal consistency and inter-rater reliability) of the Indonesian version of SYSTEMS-R. Internal consistency was determined using Cronbach’s alpha formula. Internal consistency is a reflection of inter-item correlation and item-to-total correlation. Inter-rater reliability was determined using the Bland-Altman method. Results This study was conducted on 133 children aged 4−15 years in a kindergarten, elementary, junior high, and senior high school in Bandung. The Indonesian version of SYSTEMS-R had significant internal consistency (Cron bach’s alpha 0.936−0.941), and the scores obtained by two raters had good agreement (difference within mean + 1.96 SD). Conclusion The Indonesian version of SYSTEMS-R is reliable for use as a cognitive screening tool for Indonesian children. [Paediatr Indones. 2016;56:149-54.]

    Neopterin Serum sebagai Prediktor Dini Luaran Perburukan pada Sepsis Neonatorum

    No full text
    Abstrak Neopterin telah diketahui sebagai biomarker untuk diagnostik sepsis neonatorum awitan dini. Hingga saat ini belum diketahui peran neopterin sebagai biomarker untuk memprediksi luaran sepsis neonatorum awitan dini maupun awitan lanjut. Tujuan penelitian ini menentukan neopterin serum sebagai biomarker prediktor sepsis neonatorum awitan dini dan lanjut. Penelitian dilakukan pada bulan Mei–Juli 2017 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Seluruh neonatus yang memenuhi kriteria sepsis neonatorum, yaitu didapatkan skor Tollner ≥10, dilakukan pemeriksaan neopterin serum menggunakan metode ELISA. Subjek kemudian diikuti dan dikelompokkan menjadi luaran perbaikan dan perburukan. Analisis menggunakan receiver operating characteristic (ROC) untuk mendapatkan luas area under curve, menentukan titik potong serta sensitivitas dan spesifisitas. Subjek penelitian terdiri atas 42 neonatus, mayoritas karakteristik neonatus yang mengalami luaran perburukan berjenis kelamin laki-laki (10 subjek), sepsis awitan dini (11 subjek), cara persalinan dengan operasi (11 subjek), dan tempat persalinan di RS (14 subjek). Temuan kadar neopterin pada luaran perburukan lebih tinggi dibanding dengan luaran perbaikan dan disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna (p43,13 dengan sensitivitas 94,1% dan spesifisitas 96,0%. Simpulan, kadar titik potong neopterin adalah 43,13 ng/mL serta memiliki sensitivitas 94,1% dan spesifisitas 96,0%. Biomarker ini dapat menjadi salah satu parameter dalam memprediksi dini luaran perburukan sepsis neonatorum awitan dini dan awitan lanjut. Abstract Neopterin was known as the biomarker for diagnosed early onset neonatal sepsis. Nowadays it has been proven for neopterin as predictors of poor outcome in early and late neonatal sepsis. The objective of this study was to determine serum levels of neopterin as predictors of poor outcome in early and late neonatal sepsis. The study held from May to July 2017 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. All subjects were neonatal sepsis with Tollner score ≥10 observed for serum levels of neopterin with ELISA method and then followed during hospitalization. The outcome defined as good and poor outcomes. The data were analyzed using receiver operating characteristic (ROC) for getting area under curved, cut-off point and also sensitivity, specificity. Research subjects consisted of 42 neonates, the majority which experienced poor outcomes were male (10 subjects), early onset sepsis (11 subjects), section cesarean procedure (11 subjects) and were born in a hospital (14 subjects). Serum neopterin levels findings significantly correlated with poor outcomes. Mean of poor outcomes in sepsis was 60.97 ng/mL with observed levels 40.63–92.04 ng/mL. Area under the ROC curve of neopterin were 0.981 (95% CI=0.882–1.000; p43.13 with sensitivity 94.1% and specificity 96.0%. In conclusion, cut off levels of neopterin >43.13 with sensitivity 94.1% and specificity 96.0%. Neopterin defined as a biomarker for the early predictor of poor outcome in early and late onset neonatal sepsis

    Rett syndrome in childhood: the clinical characteristics

    No full text
    The prevalence rate of RS in various coun- tries is from 1:10,000 to 1:23,000 female live births. RS is most often misdiagnosed as autism, cerebral palsy, or non-specific developmental de- lay. While many health professionals may not be familiar with RS, it is a relatively frequent cause of neurological dysfunction in females. There are no biological markers for this disease, the diagno- sis is established by history taking and clinical find- ings. We reported two patients, both girls, with RS

    Faktor-Faktor Penentu Vaccine Hesitancy pada Orang Tua Anak Usia 6-12 Tahun terhadap Vaksin COVID-19 di Kabupaten Bandung

    No full text
    Latar belakang. Hingga 18 Mei 2020, 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia, mendorong upaya pencegahan melalui vaksinasi anak. Kendati Ikatan Dokter Anak Indonesia mendukung vaksinasi COVID-19 pada anak usia 6–11 tahun, terdapat keraguan (hesitancy) dan penolakan vaksin yang perlu dipahami faktornya. Tujuan. Penelitian bertujuan mengeksplorasi adanya keraguan terkait vaksinasi COVID-19 pada anak dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi orang tua. Metode. Penelitian analitik kuantitatif dengan desain potong lintang, menggunakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian sebelumnya yang merupakan bagian dari riset Academic Leadership Grant meliputi data demografis subjek penelitian, tingkat pengetahuan subjek penelitian mengenai COVID-19, serta status keraguan subjek penelitian terhadap vaksin COVID-19. Hasil. Didapat 613 subjek penelitian yaitu orang tua yang memiliki setidaknya satu orang anak berusia 6-12 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Dari 613 subjek, sebagian besar memiliki skor pengetahuan COVID-19 yang baik pada 419 orang (68,4%) dan sebagian besar menunjukkan tanpa keraguan pada 546 (89,1%). Pendidikan terakhir (p=0,002 <0,05) dan riwayat infeksi COVID-19 pada keluarga (p=0,007 <0,05) merupakan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap skor pengetahuan COVID-19. Kesimpulan. Tingkat pendidikan dan riwayat infeksi COVID-19 pada keluarga merupakan faktor yang signifikan secara statistik terhadap tingkat pengetahuan orangtua anak usia 6-12 tahun mengenai COVID-19. Tidak terdapat faktor yang signifikan secara statistik terhadap vaccine hesitancy pada orangtua anak usia 6-12 tahun
    corecore