5 research outputs found

    Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali

    Full text link
    Adanya tekanan dari berbagai kepentingan terhadap kawasan Tahura Ngurah Rai berpotensi menjadi penyebab kerusakan tanaman mangrove yang menyebabkan Perubahan ekosistem. Penelitian ini bertujuan: mengidentifikasi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan mangrove; dan menentukan strategi pengelolaan mangrove. Analisis SWOT digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua faktor internal tertinggi yang menjadi kekuatan pengelolaan mangrove di Bali adalah lokasi yang strategis dan merupakan ekosistem mangrove terbesar di Bali. Sedangkan faktor internal yang menjadi kelemahan adalah banyaknya sampah dan lumpur serta adanya sedimentasi di Tahura bagian hilir. Faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang pengelolaan mangrove yaitu wisatawan yang terus meningkat dan lokasi yang dekat dengan objek wisata lain. Sedangkan yang menjadi ancaman pengelolaan adalah adanya kepentingan pihak-pihak tertentu yang cenderung mengurangi keberadaan dan kelestarian hutan mangrove, pembuangan sampah di daerah hulu yang masih terjadi, dan pembangunan infrastruktur di sekitar. Lima strategi pengelolaan mangrove di Bali adalah implementasi dan penegakan aturan yang jelas, terkait zonasi dan regulasi yang menyertainya; pengelolaan sampah dan pengendalian pencemaran; penyuluhan dan pendidikan lingkungan terhadap masyarakat; perencanaan pembangunan strategis yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung mangrove; pengembangan pariwisata yang melibatkan masyarakat dan kearifan lokal

    Perkembangan Implementasi Pasar Karbon Hutan di Indonesia

    Full text link
    Pasar karbon REDD+ dapat menjadi insentif bagi pelaku implementasi REDD+ di lapangan. Permasalahan yang dihadapi adalah ketidakpastian pasar yang tinggi yang diakibatkan oleh belum tersedianya mekanisme transaksi karbon. Komitmen pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten relatif tinggi yang ditunjukan dengan disusunnya peraturan pendukung implementasi REDD+. Kegiatan REDD+ adalah dalam rangka menjaga hutan lestari dan seandainya terjadi perdagangan karbon maka hasil perdagangan merupakan manfaat tambahan.Stakeholder terutama pemda belum mengetahui secara pasti tentang tata cara atau mekanisme pasar karbon, termasuk standar karbon dan metodologi untuk mengha­sil­kan kredit karbon. Insentif yang diharapkan atas capai­an penurunan emisi yang dihasilkan lebih didasarkan pada perannya dalam pengelolaan hutan lestari/peningkatan kese­jah­teraan masyarakat bukan berdasarkan harga karbon. Terkait dengan pemenuhan target penurunan emisi 26% masih perlu kajian lebih jauh tentang proporsi yang dapat diklaim oleh pembeli. Besarnya proporsi perlu mempertimbangkan pangsa modal investasi antara pembeli dan pemerintah yang dikeluarkan, lain halnya jika pembiayaan awal ditanggung oleh pemerintah. Juga diperlukan lembaga registri yang mengelola kegiatan, capaian penurunan emisi, dan fasilitasi implementasi REDD+ di lapangan.Selain itu lembaga ini mengatur sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan resiko kebocoran dan ketidakpermanenan

    The Social Capital of Labour-Farmer in the Middle of Parungpanjang Research Forest Governance

    Full text link
    Research forest of Parungpanjang (RF) is a part of forest area with special purposes (KHDTK), under authority of Forest Tree Seed Technology Research and Development Center Bogor. The management is carried out by involving the local community as labour farmer. The existence of labour farmer in RF give a positif impact on the management of RF. However there is no improve yet on socio-economic condition of the labour farmer. Whereas the ideal form complemented with stable social structure and good social interaction would be a foundation to build social capital. The problem is how far the strenght of the social capital of the labour farmer and how is the socio-economic relation toward RF's management? This qualitative research collect information through interviewing the labour farmer in RF of Parungpanjang, village government, community figures and supported with questionairre and observation on the field during March─August 2017. The result of the study shows that the social capital of the labour farmer is low, indicated by norm is average, social net work is low, trust is average, the mutual resiprocity is also low, as well as the collective value is low. Regarding to that, the empowerment cannot merely operated on the material incentive for land-based production, it is required to develop the collective work ethos. The non-formal leadership on the labour farmer groups must be strengthened to buid the stronger labour farmer's social capital ahead
    corecore