11 research outputs found

    Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan Pekerja di Palembang Mengenai Penggunaan Tabir Surya

    Get PDF
    Kulit merupakan organ yang paling sering terpapar radiasi sinar UV. Paparan sinar UV dapat mengakibatkan eritema dan kulit terbakar, warna kulit menjadi hitam, penuaan kulit, photosensitivity, dan karsinogenesis. Pekerjaan juga merupakan salah satu penyebab seringnya seseorang terpapar sinar UV. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan pekerja mengenai penggunaan tabir surya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang pada pekerja HSE Center Pertamina Palembang dengan besar sampel 134 orang. Subjek penelitian diminta mengisi kuesioner lalu dianalisis dengan uji Chi Square. Pekerja di Pertamina HSE Training Center mempunyai tingkat pendidikan rendah 1,5%, tingkat menengah 41,8%, dan tinggi 56,7%. Pekerja memiliki tingkat pengetahuan baik 20,1%, pengetahuan cukup 26,9%, dan pengetahuan kurang 53,0%. Nilai p untuk hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai penggunaan tabir surya adalah 0,405. Tingkat pengetahuan yang kurang mengenai manfaat tabir surya mungkin disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai tabir surya kepada pekerja Kesimpulan, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan pekerja mengenai penggunaan tabir surya

    HUBUNGAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN DERMATITIS KONTAK TANGAN PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DI KECAMATAN PLAJU

    Get PDF
    Dermatitis kontak adalah suatu keadaan inflamasi atau radang non infeksi pada kulit yang diakibatkan oleh senyawa yang kontak dengan kulit yang bersifat iritan atau alergen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara lama kontak, masa kerja, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat personal hygiene, dan riwayat penggunaan APD dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di Kecamatan Plaju.Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada pekerja bengkel di Kecamatan Plaju kota Palembang. Jumlah sampel sebanyak 30 pekerja dengan total sampling. Pada penelitian didapatkan 27 orang (90,0%) pekerja yang mengalami dermatitis kontak dan 3 orang (10,0%) pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak. Ada hubungan antara lama kontak (p=0,009, CI 1.070-1.390,mean 1.233), masa kerja (p=0,005, CI 1.050-1.350, mean 1.200), riwayat atopi (p=0,009, CI 1.070-1390, mean 1.233), dan personal hygiene(p=0,002, CI 1.030-1.310, mean 1.167) dengan kejadian dermatitis kontak. Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit kulit (p=0,537, CI 1.180-1.550, mean 1.367) dan penggunaan APD (p=0,548, CI 1.210-1.590, mean 1.400) dengan kejadian dermatitis kontak

    HUBUNGAN EFLUVIUM DENGAN PENGGUNA JILBAB DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

    Get PDF
    Kerontokan rambut (efluvium) adalah suatu kelainan dengan terlepasnya rambut berkisar 120 helai per hari, dengan atau tanpa penipisan yang tampak. Salah satu faktor penyebab efluvium adalah tarikan rambut. Tingkat keparahan dan keluhan kejadian efluvium lebih sering pada wanita yang berjilbab. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efluvium dengan penggunaan jilbab pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Jenis penelitian analitik dengan metode cross sectional. Populasi pada penelitian ini seluruh mahasiswi Kedokteran Muhammadiyah Palembang. Pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling adalah sebanyak 117 orang dan memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi. Data didapatkan melalui pengisian kuisioner dan dianalisis secara bivariat. Hasil penelitian menggunakan uji chi square test didapatkan terdapat hubungan efluvium dengan bahan jilbab (p value 0,006), terdapat hubungan antara efluvium dengan tarikan rambut (p value 0,036), terdapat hubungan antara efluvium dengan kepadatan rambut atau memakai dalaman jilbab (p value 0,041), terdapat hubungan antara efluvium dengan lama pemakaian jilbab (p value 0,046) dan terdapat hubungan antara efluvium dengan penggunaan jilbab yang salah (p value 0,039). Sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara efluvium dengan pengguna jilbab pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

    HUBUNGAN ANTARA CARA MENCUCI VAGINA DENGAN TIMBULNYA VAGINITIS PADA PELAJAR SMA

    Get PDF
    Vaginal hygiene kemungkinan memiliki peranan penting dalam timbulnya vaginitis. Cara mencuci vagina yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya vaginitis pada remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara cara mencuci vagina dengan timbulnya vaginitis pada pelajar SMA.Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatancross sectional.Penelitian dilaksanakan pada di SMA Muhammadiyah 1 Palembang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total samplingsesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Data mengenai cara mencuci vagina dan vaginitis diperoleh dari kuesioner.Sebanyak 83,3% subjek termasuk kategori cara mencuci vagina yang buruk, 73,5% berusia 17 tahun, dan 66,7% memiliki riwayat vaginitis. Hasil uji Chi-Square mengenai hubungan cara mencuci vagina dengan timbulnya vaginitis pada penelitian ini menunjukkan nilai p sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini kemungkinan akibat faktor usia remaja, kelembaban Indonesia yang tinggi, serta tingkat pengetahuan mengenai vaginal hygieneyang masih rendah.Kesimpulan,terdapat hubungan yang sangat bermakna antara cara mencuci vagina yang buruk dengan timbulnya vaginitis pada pelajar SMA

    Update Treatment of Male Androgenetic Alopecia

    Get PDF
    Background: Male androgenetic alopecia (MAGA), also known as androgenetic alopecia, is the most common hair loss in males who have a genetic predisposition. The pattern of baldness in MAGA starts from the frontal area in a triangular pattern, followed by progressive thinning of the vertex until baldness occurs. Generally, the diagnosis of MAGA is established by clinical examination. FDA has approved a combination of topical minoxidil and oral finasteride for MAGA treatment. Currently, there is another treatment option like dutasteride, a prostaglandin analog, ketoconazole, and co-adjuvant therapy like laser therapy, hair transplantation, and so on. Purpose: To provide an updated treatment for MAGA. Review: Etiopathogenesis of MAGA is influenced by genetic susceptibility and hormonal factors. The European Consensus Group set the evaluation diagnosis of MAGA to include a historyof hair fall, physical examination, hair examination, supporting examination, and clinical documentation. There are therapeutic options for MAGA, including antiandrogen therapies, androgen-independent therapies, and co-adjuvant therapies. The FDA has approved a combination of topical minoxidil and oral finasteride for MAGA treatment. MAGA may affect patients’ quality of life and self-esteem. In general, patients expect higher. Conclusion: MAGA is the most common progressive hair loss in males. The MAGA therapy is expected to achieve cosmetically significant regrowth and to slow additional hair loss

    PERILAKU SANTRIWAN YANG BARU MONDOK DI PESANTREN K-K KECAMATAN SAKO TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT KULIT SKABIES

    Get PDF
    Sekitar 300 juta kasus skabies per tahunnya dilaporkan di seluruh dunia dan di Indonesia 3,9-9%&nbsp;penduduk. Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko infestasi tungau antara lain higienitas pribadi yang buruk, kontak dengan penderita, kelembapan, kepadatan hunian yang tinggi dan pengetahuan yang rendah. Faktor risiko tersebut tinggi pada santri penghuni asrama pesantren.&nbsp;Kegiatan penelitian bertujuan untuk menentukan faktor risiko dan hubungannya penyakit kulit kudis pada Pondok Pesantren K-K di Kecamatan Sako Kota Palembang. Penelitian dilakukan melalui metode observasi dengan menggunakan pendekatan desain potong lintang pada 114 santri dengan prosedur pemeriksaan klinis (cardinal sign) gejala skabies dan mikroskopis serta kuesioner. Hasil menunjukkan bahwa subjek penelitian yang terkena skabies sebanyak 37% didominasi oleh jenis kelamin laki-laki (53%), berada pada tingkat tsanawiyah (63%) kelas VII (40%), memiliki tingkat pengetahuan sedang (49%), tingkat sikap sedang (48%), tingkat perilaku baik (52%). Analisis bivariat dan logistik regresi multivariat menunjukkan hubungan antara kejadian skabies dengan pengetahuan, sikap, perilaku, dengan pengaruh paling besar pada perilaku (OR 8,24). Disarankan untuk tidak menggunakan barang pribadi secara bersama. Penyuluhan terutama pada santri yang baru masuk asrama harus lebih digalakkan dengan melibatkan pihak puskesmas untuk sosialisasi penyakit terutama bagi santriwan kelas VII tsanawiyah

    Health Education to Promote and Prevent Tinea Cruris at Darul Fadhli Elementary School Palembang City

    No full text
    Tinea cruris is an infectious disease caused by fungal microorganisms that cause severe itching and secondary infection complaints. Skin disease transmission factors in the groin (tinea cruris) include agent, environmental, and host factors. Tinea cruris disease in elementary school students can reduce academic quality. This activity aims to socialize students in tackling the fungal disease infestation. It will increase knowledge about skin diseases, both in terms of knowledge of parasites/fungus and clean and healthy living behavior towards the incidence of tinea cruris. Community service methods include the delivery of material about personal hygiene, distribution of leaflets, post-test, and pre-test. The activity was carried out on March 8, 2022, and initial measurement of the knowledge and behavior of personal hygiene was carried out, followed by all 55 elementary school students. A questionnaire is an instrument to measure the level of knowledge, behavior, and incidence of tinea cruris. The mean value of the pre-test was higher than the mean score of the post-test. It was concluded that the activity could increase knowledge. It is necessary to collaborate with others, such as health monitoring and collaboration with the community health center

    Genital Herpes in Human Immunodeficiency Virus Infected Patients

    No full text
    Genital herpes is a recurrent, lifelong sexual transmitted infection caused by HSV, especially type 2. Genital herpes is the most common infection in HIV patient. HSV-2 can increase the risk of HIV acquisition 2 to 3 times. Clinical manifestations of genital herpes can be different between HIV- infected and non-HIV patients. HIV-infected patients have a high risk of developing chronic and severe genital ulcers with atypical manifestation, prolonged healing, and resistant to treatment, depends on CD4 count. Genital herpes can be diagnosed based on history, clinical manifestation, laboratory and histopathologic examination. Management of genital herpes includes education and counseling patients and sexual partners, systemic antiviral, and symptomatic treatment

    Histopathological Features of Cutaneous Tuberculoid Granuloma Disorders

    No full text
    Tuberculoid granulomas consist of epithelioid histiocytes, Langhans giant cells and rarely foreign bodies with lymphocytes, plasma cells and caseous necrosis. The granulomatous reaction pattern is defined as a typical inflammatory pattern that is characterized by granulomas. Various etiologies can lead to granulomatous reactions. The histopathological features of cutaneous disorders with tuberculoid granuloma include cutaneous tuberculosis, tuberculids, Morbus Hansen, syphilis and rosacea. There are various clinical manifestations of tuberculoid granuloma with similar appearances which makes it difficult to establish a definitive diagnosis. The histopathological features of cutaneous tuberculoid granuloma disorders can support the diagnosis. Therefore, the clinician can determine the appropriate treatment with the right diagnosis

    Laboratory Examination of Syphilis

    No full text
    Syphilis, is sexually transmitted disease caused by spirochete Treponema pallidum subsp.pallidum. It have many diverse clinical manifestations that occur in distinct stages. Early diagnosis and management are the main things to prevent transmission and complication. Direct test or morphological observation is the definitive diagnosis of syphilis. This can be done through animal inoculation test, dark field microscopy, direct fluorescence antibody (DFA), and nucleid acid amplification test (NAAT). While the indirect test is a nontreponemal serologic test consist of Wasserman test, venereal disease research laboratory (VDRL), toluidine red unheated serum test (TRUST), unheated serum reagin (USR), rapid plasma reagin (RPR) and treponemal serologic test, such as T. pallidum passive particle agglutination (TPPA), T. pallidum haemagglutination assay (TPHA), fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-Abs), enzyme immunoassay (EIA) and rapid test. The algorithm of serologic test can be divided into traditional or reverse
    corecore