34 research outputs found

    Decentralization as a Narrative of Opportunity for Women in Indonesia

    Full text link
    In the past seven years, decentralization has been implemented in Indonesia. Yet, the outcomes show that decentralization has two faces. It marginalizes women but at the same time also provides space for women to redefine their role in local governance. This book offers a gendered analysis of decentralization to capture the efforts of women and women organizations to make decentralization meaningful for their daily life. The first article discusses how the public domain and the political role of women are constructed in local politics and how this construction has impacted the daily life of women. It also discusses various strategies and gender interests defined by women as individuals and as part of a women organization in their efforts to make the government responsive to women's needs. The second article explores the question why have regulations that open up space for citizens in general and women in particular, to participate in planning and budgeting been unable to improve the welfare of the people, including women. This article exposes the politics of budgeting at the local level that has made grassroots groups, including women, frustrated with the Musrenbang bottom up planning mechanism. The third article explores the tensions and cooperation between NGOs that work to promote women's welfare and NGOs that work to promote democratization and good governance. By looking at the experience of thirteen NGOs, this article is making an attempt to assess whether women are really included in the local governance programs. The fourth article looks at how decentralization on the one hand has opened up space for the political participation of women but on the other hand it has also strengthened cultural and religious identities at the local level that discriminate women socially and politically. Finally, the fifth article is based on a thesis that looks at the oral tradition practiced by contemporary Acehnese women in order to understand the resistance of Acehnese women against discourses that marginalize them from the political realm. This thesis attempts to observe the different subjective positions held by women activists in Aceh amidst the various existing discourses constructed based on gender, nationality, and religion

    Politik Identitas Perempuan Aceh

    Full text link
    Buku ini merupakan hasil tesis yang berisi analisa wacana pada tiga level, level bahasa, institusi dan proses sosial, serta subjektivitas untuk memahami perebutan relasi kekuasaan dalam konstruksi dan dekonstruksi nasionalisme Aceh berlandaskan Islam. Tesis ini melihat tradisi lisan, yang dipraktikkan oleh perempuan Aceh masa kini, untuk memahami perlawanan yang dimainkan perempuan Aceh terhadap wacana yang membuang mereka dari wilayah politis. Tesis ini juga melihat bagaimana penyokong Islam di Aceh mengubah perempuan menjadi simbol kolektivitas Islam untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan rakyat (legitimasi) melawan militer Indonesia. Tesis ini akan melihat upaya-upaya pemerintah Indonesia untuk mendomestikasi perempuan dengan cara mengenalkan peraturan-peraturan dan institusi-institusi yang mendiskriminasi perempuan. Terakhir, tesis ini memeriksa perbedaan posisi-posisi subjektivitas yang diambil oleh aktivis perempuan Aceh di tengah keanekaragaman wacana, yang disusun paling tidak atas gender, kebangsaan, dan agama. Wawancara sembilan aktivitis perempuan Aceh untuk bahan penulisan tesis ini, sebagai upaya mencari bagaimana wacana-wacana bekerja pada level subjektivitas. Tujuannya tak melulu pada memetakan keragaman wacana dan subjektivitas untuk memahami relasi kekuasaan yang ada. Namun lebih dari itu, tujuan tesis ini adalah mencari "webs of connections called solidarity in politics - jaringan hubungan yang disebut solidaritas dalam politik" (Haraway, 1991, hal. 191) untuk membantu perempuan Aceh mengenali "areas and strategies for change - wilayah dan strategi-strategi untuk Perubahan" (Weedon, 1987, hal. 40-41) dalam perjuangan mereka untuk menggapai kesetaraan gender. Dengan melakukan hal tersebut, tesis ini melihat perempuan Aceh sebagai agen yang memainkan peran sentral dalam Perubahan sosial di Aceh

    Kebijakan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Konsesi Hutan

    Full text link
    Berdasarkan penelitian Women Research Institute di Kabupaten Siak dan Pelalawan, Provinsi Riau, partisipasi perempuan belum banyak diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan tentang konsesi hutan. Walaupun pada Kenyataannya perempuan memiliki peran yang besar dalam pengelolaan hutan. Pemerintah juga belum memberikan perhatian khusus terhadap keterlibatan perempuan sebagaimana tercermin dalam kebijakan tentang konsesi hutan yang tidak memberikan ruang bagi partisipasi perempuan. Diantara 20 peraturan tentang konsesi hutan yang memandatkan partisipasi publik, hanya satu peratur-an yang secara khusus mewajibkan adanya partisipasi perempuan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Berdasarkan undang-undang tersebut, konflik sosial yang seringkali muncul akibat konsesi hutan perlu ditangani dengan berlandaskan asas kesetaraan gender. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan harus diberikan kesempatan dan hak yang sama untuk ber-partisipasi. Asas kesetaraan gender dalam penanganan konflik sosial tercermin dengan adanya pelibatan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam upaya-upaya penyelesaian konflik. Selain melibatkan masyarakat secara umum, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 juga mengatur pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial sebagai salah satu upaya mengatasi masalah konflik sosial. Lebih lanjut, peraturan ini mewajibkan adanya pelibatan perempuan dalam Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial sekurangnya-kurangnya 30% dari jumlah anggota. Perempuan diharapkan terlibat dalam mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di lingkungannya, khususnya dalam penanganan konflik sosial

    Layanan Kebidanan Era Jaminan Kesehatan Nasional: Memperkuat Posisi Bidan Praktik Mandiri

    Full text link
    Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan pada 2012 menunjukkan peningkatan menjadi 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sangat jauh dari target Millennium Development Goals (MDGs) yaitu sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Menjelang berakhirnya Millennium Development Goals 2015, Indonesia masih menyisakan rapor merah terhadap penurunan target tujuan kelima MDGs, yaitu Angka Kematian Ibu. Sebagai upaya mencapai target tersebut, sejak 1 Januari 2014 pemerintah mengimplementasikan jaminan pelayanan kesehatan kepada perempuan hamil, melahirkan, dan dalam masa nifas melalui Jaminan Ke sehatan Nasional (JKN) yang seharusnya sudah disiapkan sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan. Dalam konteks penurunan angka kematian ibu, bidan merupakan tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak dalam pelayanan kesehatan nasional. Bidan tidak hanya diharapkan mampu menghadapi tantangan dalam implementasi JKN, tetapi juga diberikan tanggungjawab dalam menurunkan angka kematian ibu dan mencapai akses universal terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. Melalui penelitian Women Research Institute (WRI) mengenai JKN terkait Pelayanan Kebidanan di Jakarta dan Bandung, didapat berbagai temuan terkait tantangan yang dihadapi oleh bidan dan perempuan peserta JKN dalam mengakses pelayanan kebidanan

    Pemenuhan Fasilitas Kesehatan Ibu Melahirkan Era Jaminan Kesehatan Nasional

    Full text link
    Menjelang berakhirnya Millennium Development Goals (MDGs) 2015, Indonesia masih menyisakan rapor merah terhadap penurunan target kelima MDGs, yaitu Angka Kematian Ibu (AKI). Pemerintah Indonesia berupaya menekan AKI melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini dimulai ketika Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan, maka secara bertahap semua bentuk perlindungan sosial beralih menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Termasuk Jaminan Persalinan (Jampersal) yang sebelumnya memberikan pelayanan kebidanan menjadi lebur dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan menjadi bagian pelayanan kesehatan ibu dan anak. Antusiasme masyarakat untuk menggunakan layanan kesehatan JKN yang ditanggung BPJS Kesehatan tercermin melalui jumlah peserta yang melebihi target. Data BPJS Kesehatan per 30 Juni 2014 memperlihatkan bahwa jumlah peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar telah mencapai 124.553.040 jiwa. Dari total jumlah peserta tersebut sudah memenuhi target kepesertaan dalam setahun, yaitu minimal menjaring sekitar 121 juta jiwa. Namun dalam pelaksanaannya terdapat permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat peserta JKN, terutama perempuan yang ingin menggunakan layanan kebidanan. Women Research Institute (WRI) mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi oleh perempuan peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang ingin memanfaatkan layanan kebidanan
    corecore