7 research outputs found

    Disputed Churches in Jakarta

    Full text link
    Healthy pluralism requires space for all religious adherents to worship and construct places of worship in accordance with their convictions. The state should protect this right as an essential matter. Despite this normative ideal, there is still much controversy surrounding the construction of places of worship in Indonesia. In the last few years, the planned construction of a number of places of worship has been disputed, although others have been able to overcome these problems by relying on different strategies. This research seeks to examine the factors that play a role in initiating and resolving conflict over places of worship. Places of worship are specifically limited in this study to Catholic churches and Protestant churches that are members of the Communion of Churches in Indonesia (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, PGI). The methods used were participant observation and in-depth interviews of churches representing one of four categories: (1) undisputed churches; (2) disputed churches that have since resolved the dispute; (3) originally undisputed churches that have since become disputed; and (4) churches that have never been able to resolve the dispute. Based on thirteen case studies, the research on which this report is based confirms the influential role of state regulation and social factors. The cases show that the obstacles some churches experience are generally related to weak government agencies due to political, social or ideological reasons. In terms of social factors, demographic factors were not found to have an influence. Resistance to churches was more often caused by a lack of communication, or provocation, or intimidation by specific groups. After describing and analysing the thirteen cases selected, this monograph closes with conclusions and recommendations

    Kontroversi Gereja di Jakarta

    Full text link
    Problem pendirian gereja sudah lama menjadi duri dalam daging hubungan antarumat beragama di Indonesia. Berbagai rezim pemerintahan berganti, aturan pun direvisi, namun persoalan ini tak pernah selesai. Yang mengkhawatirkan adalah ketegangan sosial yang kerap ditimbulkannya, bahkan menjadi kekerasan. Setelah era Reformasi, upaya baik pemerintah lewat Peraturan Bersama Menteri (2006) dan pendirian Forum Kerukunan Umat Beragama, juga tetap belum dapat menyelesaikan persoalan ini. Ada banyak faktor lain yang perlu ditelisik lebih teliti. Monograf ini merupakan hasil kerja tim peneliti mitra CRCS yang terdiri dari dari Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM) dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) tentang problematika pendirian gereja di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berperan, baik dalam menginisiasi maupun menyelesaikan konflik terkait rumah ibadah. Selain aspek regulasi negara yang memang masih bermasalah, penelitian ini juga menemukan bahwa resistensi terhadap gereja lebih banyak disebabkan kurangnya komunikasi, provokasi, maupun intimidasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ini mengisyaratkan pentingnya dibangun inisiatif warga guna membangun jalinan persahabatan dan saling menegosiasikan perbedaan sehingga mereka dapat mengembangkan aturan main yang memberi kemaslahatan bersama bagi setiap kelompok

    Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan

    Full text link
    Kekejaman yang sengaja dipertontonkan kelompok ekstrimis keagamaan tidak jarang membuat keyakinan sebagian orang goyah, jika bukan hilang, pada agama. Apa yang membuat agama dan nilai kemanusiaan seperti bertentangan, di satu sisi agama yang mengajarkan cinta kasih antar sesama, di sisi lain umatnya justru merusak nilai kemananusiaan? Berawal dari Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) 2014, Franz Magnis-Suseno, SJ, dalam buku ini, menekankan kembali bahwa iman kepada Allah hanya benar kalau terwujud dalam hormat terhadap manusia ciptaan tertinggi Allah. Beriman seharusnya mengandung makna dukungan terhadap hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama. Tantangan bagi agama saat ini menurutnya adalah budaya konsumerisme kapitalistik dan gerakan ekstrimisme keagamaan. Aspek ini kemudian diulas lebih lanjut dari berbagai perspektif oleh Nathanael G. Sumaktoyo, Mery Kolimon, Taufiq Pasiak, Ahmad Syafi'i Mufid, Maman Imanulhaq, Alissa Wahid dan Rosalia Sciortino. Perdebatan para penulis dalam buku ini sejatinya bermuara pada semangat dan optimisme yang sama: Tidak ada kata putus asa untuk menyerukan dan memperjuangkan agama yang menunjung tinggi nilai kemanusiaan
    corecore