Seberapa Efektifkah Pemberantasan Dbd Dengan Insektisida?

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Demam dengue dan Demam berdarah dengue (DBD).1 Berbagai strategi untuk mengendalikan nyamuk ini telah banyak dilakukan yang bertujuan untuk memutus rantai penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektor penyakit. Nyamuk Ae. aegypti sendiri harus dikendalikan karena kepadatan populasi Ae. aegypti dikaitkan dengan penularan, endemisitas, dan Kejadian luar biasa (KLB).2 Pengendalian yang paling populer saat ini adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida

Wolbachia Sebagai Alternatif Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes SP.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue ditransmisikan kepada manusia melalui perantara vektor yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Aedes sp.). Penyakit ini dapat terjadi sepanjang tahun dan meningkat seiring dengan datangnya musim penghujan. Penyakit DBD memiliki mortalitas yang cukup tinggi terutama di negara-negara beriklim tropis dimana banyak faktor yang mendukung perkembangbiakan nyamuk vektor tersebut

Schistosomiasis

Schistosomiasis, also known as bilharzia, is a zoonosis disease caused by blood flukes (trematodes) of the genus Schistosoma sp. There are a few species that can infect humans and animals, including Schistosoma aponicum, Schistosoma mansonia, Schistosoma hematobium, Schistosoma intercalatum Schistosoma guineensis and Schistosoma mekongi.1 This disease is endemic in 78 countries, in which 52 of them are countries with moderate-high level of endemicity. Schistosoma sp are very difficult to eliminate, because the transmission is highly influenced by evironmental, habitual, parasitic, vector, and host factors

Kolonisasi Nyamuk Aedes Aegypti Menggunakan Tehnik Membran Artifisial Di Laboratorium

Latar belakang Kolonisasi nyamuk Aedes aegypti di laboratorium dapat menggunakan AMF (Artificial Membrane Feeding). Membran artifisial yang sering digunakan seperti parafilm M, latek kondom, dan kulit mencit. Penggunaan membran artifisial mempengaruhi kemampuan reproduksi nyamuk Ae. aegypti. Tujuan Mengetahui pengaruh penggunaan membran artifisial parafilm M, latek kondom, dan kulit mencit terhadap persentase nyamuk dewasa yang mampu menghisap darah, rerata jumlah telur dan persentase daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti di laboratorium. Metode Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni. Nyamuk Ae. aegypti sebanyak 30 ekor (8 replikasi) dimasukkan ke dalam gelas rearing yang telah diberi AMF berisi darah dengan membran yang berbeda jenisnya yaitu, parafilm M, latek kondom dan kulit mencit. Blood feeding dilaksanakan selama 60 menit, setelah 60 menit kemudian dihitung jumlah nyamuk yang mampu menghisap darah. Nyamuk yang telah menghisap darah kemudian dimasukkan ke dalam gelas rearing secara individu untuk bertelur. Jumlah telur yang diproduksi dihitung setelah 7 hari paska pemberian umpan darah. Telur kemudian direndam dengan air selama 7 hari untuk pengamatan daya tetas. Hasil dianalisis dengan Uji One way ANNOVA. Hasil Persentase nyamuk Ae. aegypti yang mampu menghisap darah menunjukkan perbedaan signifikan (p=0,000) antara membran parafilm M (88,33%), latek kondom (45,42%), dan kulit mencit (86,66%). Jumlah telur per ekor nyamuk betina juga menunjukkan beda signifikan (p=0,002) antara membran parafilm M (51,63), latek kondom (50,53), dan kulit mencit (53,65), sedangkan persentase daya tetas telur juga menunjukkan perbedaan signifikan (p=0,02) antara membran parafilm M (99,94%), latek kondom (99,91%), dan kulit mencit (99,96%). Kesimpulan Membran artifisial kulit mencit menunjukkan hasil yang lebih baik sehingga lebih direkomendasikan sebagai metode rearing nyamuk Ae. aegypti di laboratorium

Segmentasi Mikrofilaria untuk Diagnosis Penyakit Kaki Gajah Berbasis Citra Mikroskopis

Elephantiasis is a chronic disease (chronic) that could attack humans and animals, and causes a permanent disability if not immediately given treatment. Some filaria species in Indonesia include Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. The main goal in the early treatment of people with this disease is to eradicate parasites or larvae that develop in the patient\u27s body, so that the level of transmission can be reduced. To help identifying the type of microfilaria that develops in the body of the patient, the authors took the initiative to create a computer-assisted program that is expected to recognize microfilaria on peripheral blood preparation. In this case, there are 4 stages of analysis of the microscopic images, namely image readings, preprocessing, segmentation, and shape analysis to identity the microfilaria

Purwarupa Sistem Identifikasi Nyamuk Berdasarkan Citra Mikroskopis Digital

The modeling of the proposed mosquito identification system is one of the efforts to support the efforts of the Indonesian people in handling zoonotic cases. The incidence of deaths caused by a disease that is naturally transmitted between animals and humans is still quite high. This group of zoonotic diseases include dengue hemorrhagic fever, leptospirosis, cikunguya, and so forth. In the stages of diagnosis, it is necessary to read and identify the type of vector that causes zoonotic disease through microscopic observation. This process is often not done because in this laboratory examination service is not available evenly at the clinic level. In addition, with various types of vectors that the number of variations is very much, needed a way to be able to recognize the vector easily and quickly. Therefore, the prototype of this mosquito identification system needs to be developed. The data used to test system modeling consists of digital microscopic images of mosquito preparations taken from the Parasitology Laboratory of the Faculty of Medicine, Islamic University of Indonesia. Lecturer coordinator of this Parasitology lab will serve as a resource in determining the characteristics of vector and also as a provider of ground truth in the testing phase of the system

Distribusi Jenis Batu Ginjal pada Penderita Urolithiasis Serta Hubungannya dengan Jenis Kelamin dan Usia

Insiden urolitiasis di Jakarta meningkat setiap tahun dari 2016 - 2019, namun distribusi komposisi batu pada penderita urolithiasis serta hubungan distribusi komposisi batu ginjal dengan jenis kelamin dan usia belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik komposisi batu ginjal dan hubungan batu ginjal dengan jenis kelamin dan usia. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menggunakan 160 sampel data hasil laboratorium analisis komposisi batu ginjal. Data dianalisis dengan SPPS tipe 20, setelah itu dilakukan uji chi square untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dan usia terhadap komposisi batu ginjal. Uji Mann Whitney dilakukan pada data yang tidak memenuhi syarat untuk uji chisquare. Batu ginjal terbanyak terdapot pada laki – laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan (3:1) dan batu ginjal terbanyak pada kelompok usia 45 – 64 tahun (49,4%). Komposisi jenis batu ginjal terbanyak adalah campuran kalsium, oksalat, karbonat, amonia. Terdapat hubungan komposisi batu ginjal dengan jenis kelamin (p<0,05) untuk komposisi kalsium, amonia dan magnesium. Tidak terdapat hubungan antara usia terhadap komposisi batu ginjal. Disimpulkan komposisi batu ginjal terbanyak adalah oksalat. Terdapat hubungan antara komposisi batu ginjal dengan jenis kelamin namun tidak berhubungan dengan usia. Distribution of Kidney Stones Type in Urolithiasis Patients: Association with Gender and AgeThe incidence of urolithiasis in Jakarta has increased every year from 2016 to 2019. However, the distribution of stone composition in urolithiasis patients and the relationship between the distribution of kidney stone composition with gender and age is unknown. This study aimed to determine the characteristics of kidney stones’ composition and the relationship of kidney stones with gender and age. This cross-sectional study was conducted at the Laboratory of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. The data were collected from the laboratory result of 160 samples of kidney stone composition analysis. Data were analyzed using SPPS ver. 20, additionally, the chi-square test was performed to determine the relationship between sex and age on kidney stones’ composition. The Mann-Whitney test was performed on data that did not meet the requirements for the Chi-square test. Most kidney stones were found in males than females (3: 1) and the most kidney stones were in the 45-64 years age group (49.4%). Most types of kidney stones are a mixture of calcium, oxalate, carbonate, ammonia. There was a relationship between the composition of kidney stones and gender (p <0.05) for the composition of calcium, ammonia, and magnesium. There is no relationship between age and the composition of kidney stones. It is concluded that the composition of most kidney stones is oxalate. There is a relationship between the composition of kidney stones and gender. However, there is no relationship between the composition of kidney stones and age