20 research outputs found
Urgensi Pengaturan Rehabilitasi Sebagai Kewajiban Negara Dalam Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Pada Anak
Pada skripsi ini, penulis mengangkat suatu topik permasalahan terkait urgensi
pengaturan rehabilitasi sebagai kewajiban negara dalam pemulihan korban kekerasan seksual pada anak. Pemilihan topik tersebut dilatar belakangi oleh kasus kekerasan seksual yang menimbulkan dampak buruk pada anak yang menjadi korban
baik secara fisik hingga psikisnya. Aturan-aturan terkait rehabilitasi korban hanya
diberikan sebagai hak belaka, bukan kewajiban yang harus dilaksanakan. Tidak seperti pelaku kekerasan seksual yang dapat dieknai tindakan berupa rehabilitasi,
sehingga mereka berkewajiban untuk melakukannya, rehabilitasi bagi korban hanya merupakan hak yang harus dimohonkan terlebih dahulu.
Penulisan skripsi ini mengangkat rumusan masalah: (1) Bagaimana pengaturan
rehabilitasi korban kekerasan seksual pada anak dalam hukum positif Indonesia?
(2) Bagaimana urgensi pemberian rehabilitasi bagi korban kekerasan seksual pada
anak?
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum Dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif analitis yaitu dengan melakukan pendeskripsian bahan hukum yang akan dianalisis untuk menggali dan mendapatkan informasi berupa kejadian hukum dan akibat hukum dari suat aturan.
Selain itu, penulis juga menggunakan teknik interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis.
Dari hasil penelitian di atas, diperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa pengaturan rehabilitasi dalam hukum positif Indonesia terdapat pada beberapa
peraturan perundang-undangan. Namun, masih terdapat kelemahan terutama pada upaya rehabilitasi yang masih berstatus hak dan tidak wajib untuk dilakukan.
Hak tersebut baru wajib untuk diberikan ketika telah ada suatu permohonan, ketika
tidak ada permohonan maka tidak dapat diberikan secara serta merta. Adapun beberapa urgensi untuk menetapkan rehabilitasi anak kroban kekerasan seksual sebagai sebuah kewajiban dalam undang-undang. Pertama, kondisi mental dan fisik
korban merupakan kondisi rawan yang perlu direhabilitasi. Kedua, terdapat sejumlah kelemahan ketika rehabilitasi dimasukkan ke dalam konsep restitusi. Ketiga,
tidak ada ketentuan yang mewajibkan rehabilitasi terhadap anak korban kekerasan
seksual. Oleh karena itu, penulis mengajukan konsep alternatif yang dapat dimasukkan dalam Pasal 70 ayat (1) undang-undang tindak pidana kekerasan seksual,
yaitu kewajiban negara untuk merehabilitasi anak korban kekerasan seksual sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap warga negaranya
Peran Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Menegakkan Peraturan Daerah Tentang Pedagang Kaki Lima Di Kabupaten Kediri Dan Kota Malang
Latar belakang pada penelitian ini adalah dengan adanya perkembangan hukum
banyak pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota mencantumkan sanksi
pidana dalam produk hukum yang dibuat salah satunya peraturan daerah yang
mengatur tentang pedagang kaki lima. Satuan Polisi Pamong Praja memiliki
kewenangan untuk menegakan peraturan daerah. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
penerapan sanksi pidana dalam peraturan daerah dijalankan oleh Satuan Polisi
Pamong Praja yang memiliki kualifikasi sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Oleh karena itu penulis tertarik mengkaji sejauh mana kewenangan dan
bagaimana cara menjalankan kewenangan yang dimiliki oleh Anggota Satuan
Polisi Pamong Praja sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Penelitian ini ingin mengkaji tentang bagaimanakah peran Satuan Polisi Pamong
Praja sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam menegakkan sanksi pidana
dalam peraturan daerah tentang pedagang kaki lima dan hambatan Satuan Polisi
Pamong Praja sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam menegakkan sanksi
pidana dalam peraturan daerah tentang pedagang kaki lima. Dalam penulisan
karya tulis ini menggunakan metode penelitian sosiolegal dengan metode
pendekatan hukum kualitatif sosiolegal. Bahan hukum primer dan sekunder yang
diperoleh oleh penulis dianalisis dengan Teknik deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Kediri dan
Kota Malang telah menjalankan peran yang dimiliki berdasarkan teori peran yang
diuraikan oleh Soerjono Soekanto. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Satpol PP telah
melakukan hak dan kewajiban sebagaimana norma yang berlaku di Masyarakat
serta bertindak sesuai Standar Operasional Prosedur. Satuan Polisi Pamong Praja
memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan secara non yustisi dan
penindakan secara yustisi. Penindakan secara non yustisi dilakukan dengan
melakukan penertiban, pembinaan, dan memberikan surat peringatan kepada
pelanggar. Sedangkan penindakan secara yustisi dilakukan dengan membawa
perkara tersebut ke pengadilan. Dalam menjalankan kewenangan menegakan
peraturan daerah terdapat beberapa hambatan yuridis maupun non yuridis.
Hambatan yuridis yang dialami karena perkara yang dihadapi merupakan tindak
pidana ringan maka penyidik pegawai negeri sipil tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan penangkapan dan penahanan kemudian penyidik pegawai
negeri sipil tidak memiliki cukup waktu yang lama untuk mempersiapkan perkara.
Hambatan non yuridis yang dialami yaitu adanya tekanan pihak ketiga, minimnya
kerjasama masyarakat dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan minimnya
pemahaman masyarakat tentang peraturan daerah yang berlaku. Untuk
mengatasi hambatan tersebut indakan yang dilakukan adalah pembinaan kepada
masyarakat,bekerjasama dengan tokoh masyarakat,dan melakukan koordinasi
dengan instansi terkait serta melakukan koordinasi dengan penyidik Polr
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penelantaran Terhadap Orang
Pada skripsi ini penulis mengangkat permasalahan terkait dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran terhadap
orang, dimana makna frasa penelantaran dalam Undang-undang tidak dijelaskan
secara rinci. sehingga terjadi perbedaan penafsiran antara penegak hukum dengan
Undang-undang sehingga sulit ditemukan pertangungjawaban pidana bagi pelaku
tindak pidana penelantaran tersebut.
Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum yuridis normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Penulis
menggunakan penelitian jenis yuridis normatif karena jenis penelitian ini dirasa tepat
untuk digunakan sebagai bahan pembentukan hukum mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran terhadap
orang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan metode tersebut, penulis
memperoleh jawaban bahwa Penelantaran berasal kata āterlantarā yang dimaknai
beberapa hal yaitu: terletak tidak terpelihara, serba ketidakcukupan, hidupnya
tidak terpelihara, tidak terawat, tidak terurus, tidak ada yang mengurusnya,
terbengkalai. Kata kerja āmenelantarkanā yaitu membuat terlantar, membiarkan
terlantar, sedangkan penelantaran adalah proses atau cara perbuatan
menelantarkan.
Kemudian dalam konteks pertanggungjawaban pidana, yang wajib
bertanggungjawab atas perbuatan penelantaran menurut pasal 304 adalah setiap
orang yaitu seluruh anggota keluarga (menurut hukum) ataupun lembaga panti
asuhan yang berdasarkan perjanjian atau persetujuan wajib memelihara orang yang
sengsara atau terlantar. Dan menurut pasal 9 UU PKDRT yang wajib
x
bertanggungjawab atas perbuatan penelantaran yaitu seluruh anggota keluarga
yang didasari atas perkawinan sehingga menimbulkan kewajiban untuk memelihara
anggota keluarga lainnya dalam lingkup rumah tangga dan termasuk asisten rumah
tangga yang bekerja dan tinggal bersama keluarga tersebut
Analisis Putusan Ma No. 2221 K/Pid/2005 Tentang Kualifikasi Pengimpor Tindak Pidana Narkotika
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
mengatur adanya tindak pidana impor narkotika. Dalam Undang-Undang tersebut
terdapat kualifikasi setiap orang, tanpa hak, melawan hukum, mengimpor
narkotika, dengan tidak ada batasan minimal jumlah, hukuman pidana akan
semakin berat apabila dalam bentuk tanaman melebihi 1 kilogram atau melebihi
lima batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2013 tentang
Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi juga mengatur
terkait impor narkotika khususnya kualfikasi yang dapat melakukan kegiatan
impor narkotika. Dalam beberapa kasus terdapat permasalahan terkait dengan
kualifikasi impor ini, salah satunya dalam kasus yang dialami oleh Schapelle Leigh
Corby
Schapelle Leigh Corby berangkat dari Brisbane lalu transit di Sidney
kemudian tujuan akhir Bali dengan niat berwisata bersama keluarganya. Namun
ketika sampai di Bali tertangkap kedapatan membawa narkotika jenis ganja yang
bukan miliknya. Pada waktu yang bersamaan di bandara Sidney sedang ada
penyelundupan narkotika besar-besaran oleh geng narkotika yang salah satunya
diselundupkan ke dalam tas milik Corby. Namun Majelis hakim tetap
menjatuhkan putusan pidana terhadap Schapelle Leigh Corby karena melakukan
impor narkotika. Jika melihat fakta hukum yang ada di dalam kasus tersebut
kualifikasi impor tidak terpenuhi berdasarkan Undang-Undang yang berlaku serta
pendapat ahli dalam putusan tersebut. Hal ini yang menarik untuk dikaji
sehingga berdasarkan hal tersebut, penulis mengkaji dua rumusan masalah
yakni: Bagaimana makna frasa dan kualifikasi āPengimporā dalam Undang-
Undang No. 35 tahun 2009? dan Bagaimana pertimbangan hakim dalam
memutus pemidanaan dalam Putusan MA No. 2221 K/Pid/2005?
PenulisŠ°n kŠ°ryŠ° tulis ini menggunŠ°kŠ°n metode normŠ°tif dengŠ°n metode
pendekŠ°tŠ°n perundŠ°ng-undŠ°ngŠ°n
(stŠ°tute Š°pproŠ°ch), pendekatan konseptual
(
conceptual approach), dan pendekŠ°tŠ°n kŠ°sus
(cŠ°se Š°pproŠ°ch). Dari pendekatan
ini penulis dapat menjelaskan konsep pengimpor narkotika melalui peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan doktrin ilmu hukum dan meneliti putusan
MA No. 2221 K/PID/2005 yang menjatuhkan pidana karena terbukti melakukan
impor narkotika.
Hasil penelitian ini bahwa Impor adalah kegiatan memasukkan barang
dari luar negeri ke dalam negeri dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
barang atau jasa yang dibutuhkan di dalam negeri. Prof Dr. Lubi Lukman, S.H,
M.Hum menambahkan bahwa dalam melakukan impor harus ada suatu
kesadaran dalam membawa untuk memasukkan barang ke daerah pabean.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku penulis hanya menemukan
kualifikasi seseorang yang dapat melakukan kegiatan impor. Pada kasus
Schapelle Leigh Corby Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusannya terdapat
kekeliruan dan tidak memerhatikan fakta materil yang terdapat di dalam
persidangan secara keseluruhan. Impor narkotika dalam Undang-Undang No. 22
ix
tahun 1997 dan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika harus
dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan. Menurut Prof. Indriyanto Seno
Adji impor narkotika dilakukan dengan jumlah yang sangat besar, terselubung,
secara sistematik, dan terorganisir. Dalam kasus ini Schapelle Leigh Corby dalam
tasnya yang berisi papan
boogie board terdapat narkotika jenis ganja terbungkus
dalam plastik transparan yang dengan mudah terlihat oleh orang lain. Hal ini
tidak muncul bahwa adanya impor narkotika seperti yang disebutkan oleh Prof.
Indriyanto Seno Adji. Maka penulis berpendapat adanya kualifikasi seseorang
yang dapat dipidana jika melakukan kegiatan impor diantaranya terdapat unsur
setiap orang atau korporasi, dilakukan sistematik dan teroganisir, dengan
sengaja, mengimpor narkotika tanpa hak, diselundupkan, disamarkan,
terselubung, dalam jumlah besa
Putusan Pemidanaan Ultra Petita Pada Putusan Nomor 179/Pid.Sus/2022/Pn Rah
Pada Skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Putusan Pemidanaan Ultra
Petita Pada Putusan Nomor 179/Pid.Sus/2022/PN Rah terkait Hakim dalam
persidangan, hakim akan memutus suatu perkara yang ditanganinya
mempertimbangkan surat dakwaan yang diberikan oleh jaksa penuntut umum
serta berdasar fakta-fakta dan bukti yang telah terungkap di persidangan. Majelis
hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari
rekuisitor penuntut umum. Putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan dari
jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana. Pada umumnya
hakim menjatuhkan putusan lebih ringan dengan yang diminta oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutan, namun terkadang ada pula hakim yang
memutus lebih tinggi dari tuntutan, hal ini yang disebut dengan ultra petita.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini akan menarik dua
rumusan masalah, yakni: (1) Bagaimana dasar pengaturan ultra petita dalam
hukum pidana di Indonesia?; (2) Bagaimana kualifikasi putusan ultra petita pada
putusan Nomor 179/Pid.Sus/2022/PN Rah?. Dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundangundangan, dan pendekatan kasus. Seluruh bahan hukum yang diperoleh penulis
akan dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis.
Maka dari analisis yang telah dilakukan oleh penulis, maka diperoleh
jawaban bahwa pengaturan ultra petita dalam hukum pidana Indonesia belum
mengatur secara khusus dalam pengaturan perundang-undangan atau pada
aturan lainya, akan tetapi terdapat aturan yang mengatur dalam Pasal 182 ayat
(4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana hakim dalam
menjatuhkan putusan harus didasarkan pada suart dakwaan oleh Jaksa Penuntut
Umum, selain itu dalam memutus putusan yang menggunakan prinsip ultra petita,
tidak terbatas oleh peraturan tertulis saja melainkan dapat menggunakan
yurisprudensi. Terkait Kualifikasi putusan ultra petita pada putusan Nomor
179/Pid.Sus/2022/PN Rah telah sesuai dengan kualifikasi ultra petita yang
mengadopsi isi dari pasal 178 HIR dan 189 ayat (3) RBg. Serta hakim dalam
pertimbangannya telah sesuai dengan tujuan hukum yang bersifat konstruksi
sosial
Persepsi Aparat Penegak Hukum Terhadap Pasal 27 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Tentang Prostitusi Online Pada Media Sosial (Studi Di Satreskrim Kepolisian Resor Kota Malang)
Pada Penelitian ini penulis mengangkat permasalahan tentang bagaimana presepsi aparat penegak hukum Satreskrim Polresta Malang Kota dalam melakukan penegakan terhadap Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berkenaan dengan Prostitusi Online pada Media Sosial di Kota Malang. Dimana ditemukan permasalahan yang ada dalam prostitusi online media sosial di kota malang yakni peran penegak hukum dari Satreskrim Polresta Malang Kota memiliki persepsi sendiri dalam melakukan upaya penegakan hukum, untuk mengatasi pelanggaran terhadap pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait Prostitusi Online.
Rumusan Masalah yang terdapat pada penelitian ini adalah apa persepsi aparat penegak hukum Satreskrim Polresta Malang terhadap Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang Prostitusi Online pada Media Sosial di Kota Malang ?. Apa hambatan Satreskrim Polresta Malang dalam penegakan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait Prostitusi Online pada Media Sosial di Kota Malang?. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian ini menggunakan metode penelitian sosiolegal, yang mana metode penelitiannya merupakan kombinasi antara metode penelitian hukum doktriner atau hukum yang tertulis dan metode penelitian hukum empirik (yang meminjam metode ilmu sosial), maka yang dilakukan peneliti adalah studi dokumen, yang disertai dengan studi lapangan.
Dari hasil penelitian dengan metode diatas, Penulis memperoleh persepsi Penyidik Satreskrim Polresta Malang Satreskrim Polresta Malang Kota terkait fenomena prostitusi online pada media sosial yang terjadi di Kota malang serta hambatan yang dialami dan upaya guna dalam menegakkan upaya hukum prostitusi online di media sosial yang ketentuannya diatur pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sehingga hambatan yang ditemukan adalah tidak adanya satuan cybercrimes dalam struktur Satreskrim Polresta Malang Kota serta diharuskannya aparat penegak hukum Satreskrim Polresta Malang Kota untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Pengadilan Negeri Malang sesuai dengan prosedur KUHAP untuk melakukan penangkapan terhadap para wanita tuna susila pelanggar pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektroni
Penerapan Diversi di Tingkat Penyidikan Pada Kasus Tindak Pidana Kekerasan Antar Anak di Malang Raya
Kekerasan antar Anak yang terjadi di wilayah Malang Raya merupakan suatu tindakan yang melanggar hak anak-anak. Selain itu, hal ini diperkuat dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kawasan Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu termasuk dalam jajaran Kabupaten/ Kota Layak Anak (KLA) di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan suatu prosedur penyelesaian perkara Tindak Pidana kekerasan antar Anak yang bersifat kekeluargaan dan rehabilitatif agar Anak lebih mudah mengakui kesalahannya, memperbaiki perilakunya dan memiliki kesempatan untuk kembali kepada masyarakat tanpa adanya stigma negatif. Latar belakang serta budaya dari ketiga lokasi di Malang Raya yakni Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu juga menjadi alasan mengapa penerapan Diversi yang berfokus kepada pencegahan dan upaya rehabilitatif penting dilakukan karena dapat memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kekerasan antar Anak di kota/ kabupaten.
Proses Diversi yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperkara dimulai Ketika keduanya telah sepakat untuk melakukan Diversi. Dalam prosesnya, pihak korban dan juga pelaku melakukan musyawarah mufakat yang difasilitasi dan didampingi oleh pihak penyidik kepolisian di Unit PPA Kepolisian di Malang Raya dengan bantuan Balai Pemasyarakatan atau Bapas. Apabila telah tercapai proses kesepakatan Diversi diantara kedua belah pihak, berarti bahwa keduanya harus mematuhi segala sesuatu yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Hasil survey penelitian menunjukkan bahwa, sepanjang periode tahun 2019-2022, dari 39 kasus kekerasan antar Anak yang terjadi di Malang Raya, hanya 14 kasus yang berhasil dilakukan Diversi, sedangkan 25 kasus lainnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terkait penerapan, kendala serta upaya Diversi di Malang Raya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum Empiris, dengan metode pendekatan penelitian Yuridis Sosiologis. Untuk Teknik mengumpulkan data sekunder diperoleh melalui wawancara secara sistematis dan data primer diperoleh dengan melakukan studi Pustaka yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu, jurnal, serta literatur terkait lainnya yang bisa dijadikan sebagai sumber rujukan. Penelitian ini menggunakan populasi Kepolisian Polres di Malang Raya yang bertugas di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Sedangkan sampel dan responden adalah petugas kepolisian Polres di Malang Raya dengan Teknik penentuan sampelnya berupa purposive sampling.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Diversi di Polres di wilayah Malang Raya telah mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun, masih terdapat beberapa faktor yang belum memenuhi kebutuhan anak sehingga kesepakatan Diversi bisa gagal setelah terbentuk. Unit PPA di Polres Se-Malang Raya juga menghadapi beberapa kendala yang menghambat dan mengakibatkan kegagalan proses Diversi. Meskipun demikian, pihak kepolisian di wilayah Malang Raya, khususnya penyidik Unit PPA, terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi agar proses Diversi dapat berjalan lebih baik
Urgensi Sanksi Pidana Terhadap Badan Publik Berdasarkan Undang Undang No 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi
Tidak adanya sanksi pidana terhadap badan publik memang merupakan salah satu
kelemahan dalam sistem perlindungan data pribadi. Badan publik seringkali
memiliki kewenangan dan akses yang luas terhadap data pribadi warga, sehingga
mereka memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi data tersebut.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 19 undang-undang no 27 tahun 2022
tentang perlindungan data pribadi yang menjadi subyek hukum yaitu pengendali
data pribadi dan prosesor data pribadi adalah setiap orang, badan publik dan
organisasi internasional dan pada kasus ini dapat dijatuhi hukuman pidana hanya
pada setiap orang sedangkan pada badan publik hanya dijatuhi sanksi administratif
saja, hal ini menjadi tidak fair dikarenakan siapapun pelakunya jika melakukan
tindak pidana yang sama maka seharusnya hukumannya juga harus sama. Oleh
karenanya terjadi kekosongan norma terhadap sanksi pidana apabila badan publik.
Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai
berikut: (1) Apa urgensi sanksi pidana terhadap badan publik yang melakukan data
pribadi? (2) Bagaimana konsep pengaturan sanksi pidana terhadap badan publik
dalam hukum pidana Indonesia yang akan datang?
Dalam mengkaji rumusan masalah di atas, penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan metode pendekatan undang-undangan (statute
approach), dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh peneliti akan dianalisis dengan
menggunakan metode penafsiran sistematis dan gramatikal.
Dalam pemidanaan terhadap badan publik dalam Undang-Undang Perlindungan
Data Pribadi seharusnya badan publik dapat dikenakan sanksi pidana untuk
kebocoran data, karena kebocoran data ini merupakan suatu aktivitas yang
berbahaya untuk masyarakat karena hal itu dilakukan oleh suatu institusi negara.
Sanksi pidana yang paling relevan ditujukan kepada badan publik mengacu kepada
sanksi pidana terhadap korporasi adalah kompensasi. Kompensasi bertujuan untuk
mengenakan denda atau pembayaran ganti rugi kepada pelaku kejahatan atau
badan hukum sebagai bentuk kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan kepada
pihak yang terkena dampak. Pidana kompensasi dapat diterapkan terhadap badan
publik jika badan publik tersebut melakukan pelanggaran. Hal ini memastikan
bahwa badan publik, seperti organisasi pemerintah, tidak berada di atas hukum
dan tidak dapat melakukan tindakan melanggar hukum tanpa konsekuensi dan
sebagai bentuk pencegahan terhadap tindak pidana sekaligus perlindungan
terhadap hak atas masyarakat
Analisis Yuridis Putusan Nomor:19/Pra.Per/2016/Pn.Sby Tentang Nebis In Idem Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Sah/Tidaknya Penetapan Tersangka
Pada Skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan tentang Azas
ne bis in idem
yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim putusan praperadilan. Pilihan
tema tersebut dilatar belakangi oleh adanya pertimbangan hakim putusan
praperadilan Nomor: 19/pra.per/2016/Pn.sby dalam menetapkan sah/tidaknya
penetapan tersangka. Penggunaan Azas
nebis in idem yang secara konsep
diberlakukan pada saat proses pemeriksaan di pengadilan, namun kemudian
dimasukkan dalam pertimbangan putusan praperadilan yang pada dasarnya hanya
berwenang memeriksa sebelum proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah : (1)
Bagaimana makna azas
nebis in idem sebagai dasar pertimbangan hakim dalam
menetapkan sah/tidaknya penetapan tersangka? (2) Bagaimana pertimbangan
hakim dalam memutus perkara Nomor: 19/PRA.PER/2016/PN.SBY terkait
nebis in
idem dalam tindak pidana korupsi?
Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
metode pendekatan sistematis dan pendeketan kasus (case approach). Bahan
hukum primer dan sekunder yang diperoleh penulis akan dianalisis menggunakan
teknik analisis deskriptif analitis yaitu metode analisis bahan hukum dengan cara
melakukan menentukan isi atau makna aturan huku pidana, dan hukum acara
pidana, suatu perundang-undangan hukum lainnya yang bersangkutan dan
pendapat atau doktrin para ahli hukum pidana dalam buku-buku, konsep dan
prinsip dalam hukum acara pidana, internet serta kamus hukum, yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi obyek kajian.
Dari hasil penelitian di atas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang
ada bahwa Azas
ne bis in idem mengandung makna bahwa seseorang tidak dapat
diputus dua kali pada peristiwa yang sama, orang yang sama dan yang telah
mendapat putusan hakim dengan kekuatan hukum tetap serta akan berlaku
apabila telah memasuki pada proses pemeriksaan pokok perkara di persidangan
oleh Majelis Hakim serta mendapat putusan yang berisi tentang pokok perkara
atau mengenai tindak pidana yang menjadi dakwaannya, baik dengan putusan
pemidanaan, putusan bebas, ataupun putusan lepas. Dalam Putusan Praperadilan
Nomor 19/PRA.PER/2016/PN.SBY, terkait subjek yang sama dan mempunyai
kekuatan hukum tetap, La Nyalla belum pernah mendapat putusan hakim
sebelumnya tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan, sehingga tidak
termasuk
nebis in idem. Disamping itu, Azas
ne bis in idem dalam hukum acara
pidana secara konseptual hanya mencakup pada proses pemeriksaan perkara di
persidangan, tidak termasuk praperadilan
Memaknai Frasa Pengedar Narkotika Dalam Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Huruf A Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Tindak Pidana Yang Tidak Dapat Dilakukan Diversi
Penelitian ini berdasarkan pada memaknai frasa pengedar narkotika
dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak karena dalam Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika
tidak menjelaskan pengertian pengedar narkotika atau psikotropika. Oleh
karenanya perlu ditelaah lebih lanjut makna frasa pengedar narkotika dan alasan
hakim memaknai pengedar narkotika jika dalam Penjelasan Pasal 9 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengandung ketentuan
norma pengecualian diversi terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya
pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme. Namun, ada
dilema terhadap batasan didalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa diversi hanya diberlakukan untuk
tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 7 (tujuh) tahun dimana
pengaturan seperti ini akan mempersempit ruang diversi anak juga terdapat
catatan penting, karena terminologi ātindak pidana yang seriusā merupakan
terminologi yang tidak dikenal dalam pidana materiil di Indonesia. KUHP tidak
memberikan penggolongan pada tindak pidana serius begitu pun dalam Undang-
Undang lainnya, sehingga penggunaannya memiliki potensi yang bisa saja
diperluas oleh aparat penegak hukum. Sehingga penting untuk memaknai frasa
pengedar narkotika yang tidak dapat dilakukan diversi pada anak. Oleh karenanya
dari latar belakang tersebut, selanjutnya dikemukakan rumusan masalah yaitu,
apakah makna frasa pengedar narkotika dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradian pidana anak
sebagai tindak pidana yang tidak dapat dilakukan diversi, apakah ratio decidendi
hakim dalam memutus pemidanaan dalam putusan nomor 50/pid.susanak/
2019/pn.btm.
Dari hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah diatas yaitu, dengan
metode penafsiran interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis, menjadikan
Pasal 114 yang bisa dan tepat untuk diterapkan kepada āpengedarā. Memaknai
frasa pengedar narkotika dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradian Pidana Anak adalah Pasal
114 yang lebih tepat dikenakan pada pengedar narkotika. Anak yang menjadi
pengedar narkotika tidak dapat dilakukan diversi, berdasarkan ratio decidendi
hakim dalam memutus pemidanaan dilihat dari kualitas perbuatan materiilnya yang
tetap menjadi pengedar narkotika namun, dilihat dari umur anak untuk . Tujuan
hakim dengan membuat pertimbangan yang demikian dilihat dari teori gabungan
atau teori modern, maka, dapat ditemukan bahwa ada dua ratio decidendi hakim
yakni sebagai tanggungjawab hakim dalam melaksanakan tugas sehingga secara
yuridis juga terpenuhi dan adanya ratio decidendi secara filosofis yang juga
terpenuhi