9 research outputs found

    POTENSI PROTEIN EKSKRESi SEKRESI ANTIGEN {ESA} Toxoplasma gondii YANG IMUNOGENIK BASIL PEMBIAKAN IN VIVO PADA MENCIT SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN TOKSOPLASMOSIS

    Get PDF
    Tujuan penelitian ini adaiah mendapatkan beberapa ESA T. gondii stadium takizoit dari pembiakan seeara in vivo pada meneit dan ESA yang bersifat irounogenik .dan protektif .sebagai kandidat vwin toksoplasmosis. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah mendapatkan vaksin subunit toksopiasmosis. Sejumlah 50 ekor meneit jantan strain Balbe di bagi menjadi 5 kelompok dengan masirlg-mMUt.8 k~lQmpok. p~rl~~eb~yak lOekor.l(elompok 1 (PI)diimunisasi dengan protein ESA dengan BM 20,7 kDa, kelompok 2 (P2) diimunisasi dengan protein ESA dengan BM 35,3 kDa, Kelompok 3 (P3) diimunisasi dengan protein ESA dengan BM lOO,91cD~ Kelompok 4 (P4) dHmunisasi dengan protein ESA total (whole ESA) dan kelompok kontrol dimunisasi dengan PBS. Imunisasi protein menggunakan dosis 1 Ilg, seeara subkutan dan 2 minggu setelah injeksi pertama, dilakukan booster dengan dosis dan cam penyuntikan yang sarna. Setelah 2 minggu dari booster, 5 ekor meneit setiap perlakuan dikorbankan, serum diambil dan dilakukan pen.gukuran 1.80 dengan ELISA. Meneit yan~ telah diimunisasi kemudian ditantang dengan 1000 takizoit T. gondii strain RH. Pasea imunisasi, daya hidup meneit dihitung. Hasil penelitian didapatkan bahwa protein ESA T. gomiii tunggal ,aIlg bersifat .antigenik ~aitu protein 20,7; 35,3; 100,9 kDa dan whole ESA yang diberikan 2 kali pemberian dalam rentang waktu I bulan pada meneit mampu membangkitkan IgG tetapi tidak dapat memproteksi infeksi T. gondii

    Pembuatan dipstick untuk diagnosis cepat toksoplasmosis menggunakan protein ekskresi-sekresi antigen (ESA) Toxoplasma gondii hasil pembiakan in vivo pada mencit

    Get PDF
    Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah mernbuat kit diagnostik (dipstick) dengan bahM protein ESA r. gondii uari pembiakan in vivo sebagai antigen untuk diagnosis toksoplasmosis. Penelitian ini meliputi kultivasi in vivo T. gondii dan pemanenan cairan intraperitoneal, karakterisasi protein ESA dari cairan intraperitoneal, penentuan antigenitas dengan imunobloting, pemurnian protein ESA antigenik dengan kromatografi, penentuan sensitivitas antigen dengan dot blot, pembuatan dipstick (JCT) menggunakan antigen spesifik 1: gondii dan uji lapang terhadap serum pasien dibandingkan dengan ELISA sebagai gold standard. Hasil penelitian didapatkan beberapa protein ESA T. gondii hasil pembiakan in vivo pada meneit yaitu protein dengan BM 170,7; 153,6; 134; 110,5; 94,8; 69,8; 55,9; 47,9; 43,4,35,9 dan 29,4 kDa, dan protein dengan BM 69,8; 55,9 dan 29,4 kDa adalah protein mayor. Protein ESA T. gondii yang bersifat antigenik adalah adalah protein 69,8; 35,9 dan 29,4 kDa. Hasil uji alat dipstick (lCT) yang dibuat untuk diagnosis toksoplasmosis menggunakan protein ESA T. gondii hasil pembiakan in vivo pada meneit sebagai antigen dengan kadar antigen 2,5 ng dan penggunaan sampel serum dengan pengenceran 10-2 mempunyai sensitivitas 21 % dan spesifisitas 64%. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas yang rendah diakibatkan adanya protein A yang terdapat dalam antigen yang digunakan

    Pembuatan dipstick untuk diagnosis cepat toksoplasmosis menggunakan protein ekskresi-sekresi antigen (ESA) Toxoplasma gondii hasil pembiakan in vivo pada mencit

    Get PDF
    Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah mernbuat kit diagnostik (dipstick) dengan bahM protein ESA r. gondii uari pembiakan in vivo sebagai antigen untuk diagnosis toksoplasmosis. Penelitian ini meliputi kultivasi in vivo T. gondii dan pemanenan cairan intraperitoneal, karakterisasi protein ESA dari cairan intraperitoneal, penentuan antigenitas dengan imunobloting, pemurnian protein ESA antigenik dengan kromatografi, penentuan sensitivitas antigen dengan dot blot, pembuatan dipstick (JCT) menggunakan antigen spesifik 1: gondii dan uji lapang terhadap serum pasien dibandingkan dengan ELISA sebagai gold standard. Hasil penelitian didapatkan beberapa protein ESA T. gondii hasil pembiakan in vivo pada meneit yaitu protein dengan BM 170,7; 153,6; 134; 110,5; 94,8; 69,8; 55,9; 47,9; 43,4,35,9 dan 29,4 kDa, dan protein dengan BM 69,8; 55,9 dan 29,4 kDa adalah protein mayor. Protein ESA T. gondii yang bersifat antigenik adalah adalah protein 69,8; 35,9 dan 29,4 kDa. Hasil uji alat dipstick (lCT) yang dibuat untuk diagnosis toksoplasmosis menggunakan protein ESA T. gondii hasil pembiakan in vivo pada meneit sebagai antigen dengan kadar antigen 2,5 ng dan penggunaan sampel serum dengan pengenceran 10-2 mempunyai sensitivitas 21 % dan spesifisitas 64%. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas yang rendah diakibatkan adanya protein A yang terdapat dalam antigen yang digunakan

    DETEKSI TOXOPLASMA GONDII PADA TELUR AYAM BURAS YANG DI JUAL SEBAGAI CAMPURAN JAMU DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN UJI BIOLOGIS

    No full text
    Toksoplasmosis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Salah satu penularan toksoplasmosis dari hewan ke manusia dapat melalui termakannya makanan yang terkontaminasi Toxoplasma. Telur ayam buras adalah salah satu jenis bahan pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi masyarakat di Kota Surabaya termasuk digunakan sebagai campuran jamu siap minum. Hasil penelitian yang dilakukan Mufasirin dkk (2002) tentang keberadaan antigen T. gondii (100%) pada telur ayam buras perlu diteliti lebih lanjut dengan uji biologis sehingga diketahui seberapa besar fakta bahan infektif (T. gondii hidup) tersebut ada pada telur. Diharapkan dengan adanya data data akurat toksoplasmosis pada telur ayam buras, masyarakat dapat berhati-hati sehingga penularan toksoplasmosis dapat dicegah. Sampel telur ayam buras diambil dari sejumlah 30 pedagang jamu di lima wilayah Kota Surabaya yang meliputi Surabaya Tengah, Utara, Barat, Selatan dan Timur. Masing-masing pedagang diambil sampel 1 butir telur. Sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dilakukan pemisahan antara putih telur dan kuning telur. Sebagai hewan coba digunakan mencit strain Balh/C yang diperoleh dari Unit Hewan Coba, Fakultas Kedokteran Hewan Unair. Sebanyak 1 gram kuning telur dan l gram putih telur sampel telur ayam buras dimasukkan ke cawan plastik steril dan dilakukan pencernaan dengan menambahkan larutan tripsin-HCI 2% sebanyak 10 ml dan dicampur sampai rata. Larutan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Di dalam inkubator, setiap 10 menit larutan diaduk untuk menjaga agar sampel tetap larut dalam larutan pencerna (tripsinHCl). Setelah 30 menit, larutan disaring dengan kain kasa rangkap tiga yang steril dan filtrat yang didapatkan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Larutan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang dan pelet yang didapatkan dicuci dengan cara menambahkan larutan NaCl fisiologis. Pelet kemudian diresuspensi sampai homogen dan disentrifugasi dengan cara yang sama seperti cara di atas. Supernatan dibuang dan pelet dilakukan pencucian lagi sampai 3 kali dengan cara yang sama. Setelah bersih, pelet dilarutkan dalam 1 ml NaCl fisiologis dan dinokulasikan pada 2 ekor mencit masing-masing sebanyak 0,3 ml secara intra peritoneal menggunakan spuit ukuran I ml. Mencit yang sudah diinokulasi kemudian dipelihara di dalam kandang dengan pakan dan minum ad libitum. Setiap hari mencit diamati untuk melihat gejala klinis dan kebengkakan pada daerah perut. Satu minggu setelah inokulasi, satu ekor mencit dikorbankan dan dilakukan pembedahan pada bagian perut untuk mengetahui keberadaan takizoit T. gondii. Bahan pemeriksaan diambil dengan cara irigasi 0,5 ml NaCl fisiologis yang dimasukkan ke dalam rongga perut mencit dan hasil pencucian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 400X dan 1000X. Cairan intraperitoneal selain diperiksa secara natif juga dibuat ulas tebal pada gelas obyek dan dilakukan pewarnaan menggunakan Giemsa 20%. Satu bulan setelah inokulasi, sisa mencit (satu ekor) dikorbankan dan dilakukan pemeriksaan kista dengan cara pemeriksaan tekan otak. Selain dilakukan pemeriksaan uji tekan otak, otak mencit hasil pembedahan satu bulan setelah inokulasi dibuat preparat histopatologi untuk melihat keberadaan kista dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin Pemeriksaan sampel untuk melihat kista jaringan otak dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 400X dan 1000X. Sampel dinyatakan positif apabila ditemukan takizoit pada cairan inraperitoneal dan atau kista jaringan. Data yang didapatkan ditabulasikan dan dihitung angka kejadiannya menggunakan rumus prevalensi (Multi, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian T. gondii pada telur ayam buras yang dijual sebagai campuran jamu di Kota Surabaya sebesar 5 sampel (16,7 %) dari 30 sampel telur yang diperiksa. Sampel yang terinfeksi T. gondii terdiri dari 4 sampel dari putih telur (80%) dan 1 sampel kuning telur (20%). Disarankan agar sebelum mengkonsumsi telur ayam buras dilakukan manipulasi sehingga agen infektif T. gondii inaktif

    IDENTIFIKASI DAN PRODUKSI ANTI BODI POLIKINAL, PROTEIN SPESIFIK EKSKRESI SEKRESI Haemonchus Contortus SEBAGAI BAHAN DIAGNOSTIK HAEMONCHHOSIS PADA DOMBA DAN KAMBING

    Get PDF
    Diagnosis terhadap penyakit cacing gastrointestinal sampai saat ini ditetapkan melalui pemeriksaan tinja dengan metode konsentrasi maupun apung, natnun untuk mendiagnose haemonchosis masih harus melakukan nekropsi dan dilanjutkan dengan cara pemupukan tinja untuk mengidentiflkasi stadium larva sehingga bisa ditentukan spesiesnya. Diagnosis secara serologis untuk menentukan spesies secara tepat dan cepat sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memproduksi antibodi poliklonal protein spesifik ekskresi sekresi cacing fl. contortus. Diharapkan dengan didapatkan protein spesifik ekskresi sekresi dan dilanjutkan produksi antibodi poliklonal, dapat digunakan sebagai bahan diagnosis molekular haemonchosis pada domba dan kambing. Protein ekskresi sekresi yang bersifat imunogenik selanjutnya dapat dikembangkan sebagai bahan vaksin sub unit dalam penanggulangan haemonchosis pada domba dan kambing. Cacing H. contortus betina dewasa dikultivasi dalam medium PBS untuk tujuan isolasi protein ekskresi sekresi dan isolasi protein Whole didapat dengan metode sonikasi cacing utuh. Hasil isolasi protein kemudian dilakukan elektroforesis dengan SDS-Page untuk menentukan fraksi protein yang dihasilkan. Protein selanjutnya diinjeksikan pada kelinci untuk mendapatkan antibodi poliklonal yang akan digunakan proses imunobloting untuk mendapatkan protein imunogenik. Identifikasi protein imunogenik dilakukan dengan western blot dan protein ekskresi-sekresi yang imunogenik dipisahkan dengan kolum kromatografi. Protein ekskresi sekresi yang imunogenik basil pemisahan dengan kromatografi digunakan sebagai bahan produksi antibodi poliklonal protein spesifik pada kelinci. Pengukuran titer antibodi yang didapat dilakukan dengan uji ELISA. Setelah mencapai titer antibodi yang tinggi, kelinci dibunuh untuk mendapatkan serum yang mengandung antibodi terhadap protein spesifik ekskresi sekresi H. contortus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein ekskresi sekresi dengan bet-at molekul 33,5 kDa dan 29,4 kDa merupakan protein imunogenik dan dapat diproduksi pada kelinci. Disarankan penelitian lebih lanjut penggunaan protein ekskresi sekresi yang bersifat imunogenik dan protein dari stadium lain untuk pengembangan vaksin sub unit terhadap haemonchosis. Antibodi poliklonal yang didapatkan sebelum digunakan sebagai bahan diagnostik perlu dilakukan sensitivitas dan spesifitas serta dilanjutkan uji silang dengan protein cacing Nematoda lain khususnya kelompok Strongyloidc, sehingga antibodi poliklonal yang dipakai hanya spesilik terhadap fl. con/ rIus pada kambing dan domba di lapangan

    PROFIL, PRODUKSI DAN UJI AKTIFITAS PROTEIN ENDOTOXIN DARI Bacillus thuringiensis SUBSPESIES israelensis SEROTIPE H-14 SEBAGAI INSEKTISIDAL PADA BERBAGAI LARVA NYAMUK

    Get PDF
    Saat ini mulai dikembangkan biopredator baik pada stadium larva maupun dewasa dari serangga. Salah satu alternatif adalah pemanfaatan Bacillus thuringiensis yang digunakan untuk kontrol parasit nyamuk Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah didapatkan profil protein Bacillus thuringiensis subspecies Israelensis. Terdapat perbedaan yang bermakna pada uji aktifitas whole bakteri dan S-endotoksin Bacillus thuringiensis subspecies Israelensis terhadap jumlah kematian larva dan nyamuk dewasa Culex pipien fatigans dan Aedes aegypti. Tujuan penelitian mengidentifikasi Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis H-14 dan karakterisasi protein S-Endotoksin, mendapatkan fraksi protein S-Endotoksin dari Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis H-14 melalui biakan pada media pertumbuhan dan purifikasi. Uji aktifitas whole bakteri dan S-Endotoksin dari Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis H-14 sebagai Insektisidal pada larva dan nyamuk dewasa Culex pipien fatigans dan Aedes aegypti secara invitro. Isolat baked Bacillus thuringiensis spp. Israelensis serotipe H-14 dengan kode industri Bt PS 18749 dalam bentuk sheets kristal kering diperoleh dari Kopper Canada Limited. Selanjutnya bakteri dipreparasi dan diidentifikasi mulai dan ditanam pada medium pembangkit, medium pembiakan, uji biokimiawi, pewarnaan gram dan spora sampai pada pembiakan untuk dipakai penentuan profil protein dan uji coba pada larva nyamuk. Identifikasi protein dilakukan dengan membandingkan profit protein Whole bakteri dan hasil presipitasi. Pemurnian protein dilakukan untuk mendapatkan protein tunggal S-endotoksin yang bersifat insektisidal. Untuk mengetahui afinitas antibodi dengan antigen protein S-endotoksin dilakukan Western Blot. Elisa juga dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi antibodi poliklonal yang optimal setelah diimunisasi dengan fraksi protein S-endotoksin. Whole bakteri dan S-endotoksin diuji coba pada larva nyamuk Culex pipien fatigans dan Aedes aegypti. Hasil yang diperoleh Telah ditemukan profil protein whole bakteri Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis sebesar 102, 90, 78 dan 57 kDa dan profit protein hasil presipitasi sebesar 102, 90, 78, 57, 53, 44 dan 33 kDa. Telah ditemukan profil protein tunggal S-Endotoksin sebesar 77,4 kDa yang diduga mempunyai aktifitas insektisidal. Uji aktifitas whole baktari pada larva Culex pipien vatigans dan larva Aedes aegypti menunjukkan konsentrasi optimal sebesarlO. Sedangkan uji aktifitas S-Endotoksin menunjukkan konsentrasi optimal sebesar 400 µg. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pangaruh pemberian suspensi bakteri terhadap kematian nyamuk dewasa Culex pipien vatigans dan Aedes aegypt

    ISOLASI DAN IDENTIFIKASI PROTEIN MEMBRAN IMUNOGENIK SPASMONEMA ZOOTHAMNIUM PENAEI PADA UDANG WINDU (Penaeus Monodon Fab.) ASAL PANTAI UTARA DAN SELATAN JAWA TIMUR

    No full text
    Salah satu penyakit parasiter yang sering menyerang udang windu adalah zoothamniosis yang disebabkan oleh Zoothamnium penaei dari kelas Ciliata. Bila penyakit ini menyerang insang dan permukaan tubuh udang, maka akan menyebabkan udang sulit bernafas, sulit ganti kulit (moulting), dan terjadi peradangan pada kulit. Tujuan dari penelitian ini adalah isolasi dan identifikasi protein membrane Zoothamnium penaei pada udang windu yang bersifat imunogenik dan mengetahui perbedaan tingkat imunogenitas antara protein membrane Zoothamnium penaei pada udang windu asal pantai Utara dan Selatan Jawa Timur. Penelitian ini merupakan penelitian laboratorik, untuk isolasi dan identifikasi protein dilakukan dengan SDS-PAGE 10% dan Western Blott di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Sampel Zoothamnium penaei diambil dari udang windu yang berasal dari pantai Utara dan pantai Selatan Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein membran imunogenik Zoothamnium penaei yang dapat diisolasi dan diidentifikasi dari udang windu asal pantai Utara adalah protein membran dengan berat molekul 106.4 kDa, 46.1 kDa dan 41.5 kDa. Sedangkan yang dari pantai Selatan Jawa Timur dengan berat molekul 118.3 kDa, 71.6 kDa, 68 kDa, 38.8 kDa dan 18 kDa. Protein membran asal pantai Selatan lebih bersifat imunogenik bila dibandingkan dengan yang dari pantai Utara

    RESPON SEL GOBLET SEKUM TERHADAP PERKEMBANGAN INTRASELULER Eimeria tenella PADA AYAM PEKA DAN KEBAL

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara jelas respon sel goblet sekum terhadap perkembangan intraseluler E. tenella pada ayam peka dan kebal yang dapat digunakan sebagai landasan teori bagi pengembangan penelitian yang berkaitan. Sebanyak 85 ekor ayam pedaging CP-707 umur 3 minggu dibagi menjadi 3 kelompok percobaan. Kelompok I (kelompok ayam peka) terdiri dari 40 ekor yang dipelihara sampai umur 5 minggu kemudian diinfeksi 1 x 103 dosis ookista bersporulasi E. tenella kemudian setiap 2 hari sekali ayam dikorbankan masing-masing sebanyak 5 ekor mulai hari ke 0 sampai hari ke 12 setelah infeksi untuk mengamati respon sel goblet sekum terhadap perkembangan intraseluler E. tenella dalam hubungannya dengan perubahan patologi (patogenitas) E. tenella pada ayam peka melalui pemeriksaan histologis dengan pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Shiff (AB-PAS) dan 5 ekor terakhir dilakukan perhitungan produksi ookista per hari mulai hari 7-12 setelah infeksi. Kelompok II (kelompok ayam terpapar) terdiri dari 40 ekor umur 3 minggu diinfeksi 1 x 103 dosis ookista bersporulasi E. tenella dan dilakukan perhitungan produksi ookista per hari mulai hari 7-12 setelah infeksi, kemudian umur 5 minggu dilakukan reinfeksi dengan dosis yang sama seperti infeksi pertama dan dilakukan prosedur yang sama seperti pada kelompok I untuk mengamati respon sel goblet sekum terhadap perkembangan intraseluler E. tenella dalam hubungannya dengan perubahan patologi (patogenitas) E. tenella pada ayam peka melalui pemeriksaan histologis dengan pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Shiff (AB-PAS). Pada kedua kelompok ayam tersebut dilakukan juga pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis (histopatologis) dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk mengetahui perubahan patologi (patogenitas) dan perkembangan intraseluler E. tenella. Kelompok III terdiri dari 5 ekor ayam yang dipelihara sampai umur 7 minggu dan tidak diinfeksi, kemudian dikorbankan bersama dengan 5 ekor ayam terakhir dari kelompok I dan II untuk diuji OD 405 dari IgA pada mukosa sekum. Respon sel goblet sekum diekspresikan dalam ratio rata-rata jumlah sel goblet yang aktif dan pasif dan komposisi mucin yang dihasilkan pada kedua kelompok ayam yang terinfeksi dibandingkan dengan ayam kontrol (ayam yang tidak di infeksi atau ayam yang dikorbankan pada hari ke 0 setelah infeksi pada kelompok I). Penghitungan rata-rata jumlah sel goblet dan macam mucin yang dihasilkan dilakukan per 10 unit kripta Lieberkuhn. Penghitungan produksi ookista per hari per ekor dilakukan pada awal produksi ookista (f hari ke 7) sampai akhir (f hari ke 12) setelah infeksi baik pada infeksi pertama maupun kedua dengan menggunakan metode pengapungan (New McMaster Chamber). Ayam peka ditandai dengan jumlah produksi ookista yang tinggi serta gejala klinis yang jelas sebaliknya ayam terpapar ditandai dengan jumlah produksi ookista sedikit atau hampir mendekati nol serta gejala klinis tidak kelihatan jelas pada infeksi kedua. Perubahan makroskopis ditandai peradangan, perdarahan dan pembesaran sekum beberapa kali dibandingkan sekum normal dan perubahan mikroskopis ditandai dengan banyak kerusakan epitel mukosa sekum, perdarahan, peradangan dan banyaknya proliferasi parasit pada sel epitel baik dalam stadium schizont maupun garnet pada infeksi pertama (ayam peka), sedangkan perubahan makroskopis dan mikroskopis pada infeksi kedua sangat tereduksi atau sedikit (ayam terpapar). Sel goblet aktif adalah sel goblet yang besar yang menunjukkan aktif memproduksi mucin dan sebaliknya sel goblet pasif adalah sel goblet kecil dan sedikit memproduksi mucin. Warna sel goblet terlihat biru yang menunjukkan tipe mucin adalah acid pada infeksi E. tenella melalui pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Shiff (AB-PAS). Perubahan jumlah sel goblet aktif menurun (hypoplasia) pada infeksi E. tenella pada ayam peka tetapi pada ayam terpapar tidak terjadi perubahan yang bermakna diduga berhubungan dengan dengan intensitas kerusakan yang ditimbulkan oleh parasit atau jumlah parasit yang dapat berkembang dengan baik. OD 405 Ig A pada mukosa sekum dari ayam yang terpapar lebih tinggi dari ayam peka dan ayam yang tidak diinfeksi

    RESPON SEL GOBLET SEKUM TERHADAP PERKEMBANGAN INTRASELULER Eimeria tenella PADA AYAM PEKA DAN KEBAL

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara jelas respon sel goblet sekum terhadap perkembangan intraseluler E. tenella pada ayam peka dan kebal yang dapat digunakan sebagai landasan teori bagi pengembangan penelitian yang berkaitan. Sebanyak 85 ekor ayam pedaging CP-707 umur 3 minggu dibagi menjadi 3 kelompok percobaan. Kelompok I (kelompok ayam peka) terdiri dari 40 ekor yang dipelihara sampai umur 5 minggu kemudian diinfeksi 1 x 103 dosis ookista bersporulasi E. tenella kemudian setiap 2 hari sekali ayam dikorbankan masing-masing sebanyak 5 ekor mulai hari ke 0 sampai hari ke 12 setelah infeksi untuk mengamati respon sel goblet sekum terhadap perkembangan intraseluler E. tenella dalam hubungannya dengan perubahan patologi (patogenitas) E. tenella pada ayam peka melalui pemeriksaan histologis dengan pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Shiff (AB-PAS) dan 5 ekor terakhir dilakukan perhitungan produksi ookista per hari mulai hari 7-12 setelah infeksi. Kelompok II (kelompok ayam terpapar) terdiri dari 40 ekor umur 3 minggu diinfeksi 1 x 103 dosis ookista bersporulasi E. tenella dan dilakukan perhitungan produksi ookista per hari mulai hari 7-12 setelah infeksi, kemudian umur 5 minggu dilakukan reinfeksi dengan dosis yang sama seperti infeksi pertama dan dilakukan prosedur yang sama seperti pada kelompok I untuk mengamati respon sel goblet sekum terhadap perkembangan intraseluler E. tenella dalam hubungannya dengan perubahan patologi (patogenitas) E. tenella pada ayam peka melalui pemeriksaan histologis dengan pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Shiff (AB-PAS). Pada kedua kelompok ayam tersebut dilakukan juga pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis (histopatologis) dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk mengetahui perubahan patologi (patogenitas) dan perkembangan intraseluler E. tenella. Kelompok III terdiri dari 5 ekor ayam yang dipelihara sampai umur 7 minggu dan tidak diinfeksi, kemudian dikorbankan bersama dengan 5 ekor ayam terakhir dari kelompok I dan II untuk diuji OD 405 dari IgA pada mukosa sekum. Respon sel goblet sekum diekspresikan dalam ratio rata-rata jumlah sel goblet yang aktif dan pasif dan komposisi mucin yang dihasilkan pada kedua kelompok ayam yang terinfeksi dibandingkan dengan ayam kontrol (ayam yang tidak di infeksi atau ayam yang dikorbankan pada hari ke 0 setelah infeksi pada kelompok I). Penghitungan rata-rata jumlah sel goblet dan macam mucin yang dihasilkan dilakukan per 10 unit kripta Lieberkuhn. Penghitungan produksi ookista per hari per ekor dilakukan pada awal produksi ookista (f hari ke 7) sampai akhir (f hari ke 12) setelah infeksi baik pada infeksi pertama maupun kedua dengan menggunakan metode pengapungan (New McMaster Chamber). Ayam peka ditandai dengan jumlah produksi ookista yang tinggi serta gejala klinis yang jelas sebaliknya ayam terpapar ditandai dengan jumlah produksi ookista sedikit atau hampir mendekati nol serta gejala klinis tidak kelihatan jelas pada infeksi kedua. Perubahan makroskopis ditandai peradangan, perdarahan dan pembesaran sekum beberapa kali dibandingkan sekum normal dan perubahan mikroskopis ditandai dengan banyak kerusakan epitel mukosa sekum, perdarahan, peradangan dan banyaknya proliferasi parasit pada sel epitel baik dalam stadium schizont maupun garnet pada infeksi pertama (ayam peka), sedangkan perubahan makroskopis dan mikroskopis pada infeksi kedua sangat tereduksi atau sedikit (ayam terpapar). Sel goblet aktif adalah sel goblet yang besar yang menunjukkan aktif memproduksi mucin dan sebaliknya sel goblet pasif adalah sel goblet kecil dan sedikit memproduksi mucin. Warna sel goblet terlihat biru yang menunjukkan tipe mucin adalah acid pada infeksi E. tenella melalui pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Shiff (AB-PAS). Perubahan jumlah sel goblet aktif menurun (hypoplasia) pada infeksi E. tenella pada ayam peka tetapi pada ayam terpapar tidak terjadi perubahan yang bermakna diduga berhubungan dengan dengan intensitas kerusakan yang ditimbulkan oleh parasit atau jumlah parasit yang dapat berkembang dengan baik. OD 405 Ig A pada mukosa sekum dari ayam yang terpapar lebih tinggi dari ayam peka dan ayam yang tidak diinfeksi
    corecore