9 research outputs found

    The Risk of Over-indebtedness Amid COVID-19 Pandemic

    Full text link
    Krisis di tengah pandemi COVID-19 membuat rumah tangga semakin rentan akan risiko keterlilitan utang. Pemutusan hubungan kerja (PHK) masif serta lambannya kinerja bisnis membuat rumah tangga kehilangan/mengalami penurunan pendapatan secara signifikan. Ditambah lagi, perluasan akses keuangan yang belum dibarengi oleh tingkat literasi keuangan yang memadai mendorong maraknya praktik keuangan ilegal dan menjerat rumah tangga kedalam pusaran utang akibat ketidakmampuan mereka dalam menilai kapasitas membayar. Pertumbuhan utang rumah tangga dianggap dapat mendorong pertumbuhan konsumsi dan meningkatkan PDB dalam jangka pendek, namun akan menekan konsumsi jangka menengah dan meningkatkan risiko pada stabilitas ekonomi (IMF, 2019). Penumpukan utang rumah tangga nantinya akan berimbas pada proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 yang lebih sulit (Tiftik & Guardia, 2020). Persoalan keterlilitan utang rumah tangga dapat menjadi bom waktu yang dapat memperparah dampak krisis. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, simak rekomendasi dan highlight yang dituangkan di dalam Policy Brief berikut ini.Crisis amid COVID-19 pandemic makes households more vulnerable towards over-indebtedness. Massive layoffs and economic slowdown has forced many households to lose / face a significant decline in their income. Furthermore, broader access to financial services that has not been followed by adequate financial literacy has encouraged illegal financial practice and has trapped many households into a cycle of debt due to inability to assess their own capacity to repay. In the short term, household debt is going to boost consumption and GDP growth. However, household debt is going to affect the economic stability over the long-run (MF, 2019). The accumulated household debt will later have an impact on the more difficult post-pandemic COVID-19 economic recovery process. over-indebtedness could be a ticking time bomb that is going to exacerbate the recessionary impact of the pandemic. To anticipate this, let’s pay attention to the recommendations and highlights set out in the following Policy Brief

    Akses Dan Pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat Oleh Perempuan

    Full text link
    Inklusi keuangan menyasar beberapa kelompok masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pelaku usaha mikro dan wirausaha kecil yang memiliki keterbatasan permodalan hingga kelompok pekerja migran, perempuan, masyarakat di daerah tertinggal, dll. Beberapa program diluncurkan pemerintah sebagai upaya meningkatkan inklusi keuangan, seperti program Laku Pandai, Simpanan Pelajar, Jaring, asuransi pertanian dan ternak, asuransi nelayan, skema Kedit Usaha Rakyat (KUR), dll. KUR sebagai wujud dari jangkauan negara dan institusi perbankan modern ke masyarakat lapisan bawah untuk inklusi keuangan semestinya tak lepas dari siklus aspek gender dan relasi produksi. Kebijakan KUR saat ini sayangnya belum sensitif atau memberikan afirmasi positif agar perempuan mendapat kesempatan dan akses yang mudah untuk mendapatkan KUR. Penelitian ini mempertimbangkan konteks potensi ketimpangan maupun peluang yang dihadapi oleh perempuan pengakses KUR. Selain itu, penelitian ini juga mengambil sudut pandang bank sebagai penyedia layanan KUR dalam menghadapi kendala apa saja yang dialami dalam proses penyaluran KUR. Lebih lanjut tujuan utama dari penelitian ini adalah 1) menganalisis kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Kredit Usaha Rakyat sebagai upaya mencapai inklusi keuangan, 2) menganalisis mekanisme dan tantangan perbankan dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat dan 3) menganalisis dampak ekonomi, sosial, dan budaya pada perempuan penerima program Kredit Usaha Rakyat. Penelitian ini dilakukan di 3 kota/kabupaten yaitu Kabupaten Indramayu, Kota Jakarta Selatan dan Kabupaten Lombok Tengah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan dukungan data kuantitatif

    Ekuitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin di Indonesia (JKN)

    Full text link
    Jika kita berada dalam suatu forum internasional yang membahas kesehatan rakyat di berbagai negara, tidak bisa dipungkiri bahwa rasa gregetan seringkali memenuhi diri. Betapa tidak, jika berbagai indikator minder dan status kesehatan seperti Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan apa lagi produktivitas bangsa; Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara setara. Yang dimaksud negara setara adalah negara berpendapatan menengah bawah (low middle income countries). Jika kita telah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2000, jelas sekali korelasi rendahnya kinerja/ status kesehatan bangsa berhubungan dengan rendahnya pendanaan atau belanja kesehatan Indonesia. Karena sifat uncertainty, eksternalitas, dan informasi asimetrik yang tinggi maka pendanaan kesehatan tidak bisa diserahkan kepada masing-masing rumah tangga. Sebab, pendanaan kesehatan oleh rumah tangga (out of pocket) merupakan pendanaan yang paling regresif, paling memberatkan penduduk berpenghasilan rendah. Bahkan penduduk yang tidak kaya, dengan mudah jatuh miskin apabila ia terkena penyakit berat. Biaya berobat diatas Rp 50 juta sudah pasti memiskinkan penduduk yang bergaji Rp 20 juta sekalipun. Itulah sebabnya, tidak ada negara maju dan menengah yang membiarkan rakyatnya membayar sendiri-sendiri biaya berobat. Pendanaan kesehatan haruslah bersumber dari publik, yaitu didanai dari pajak penghasilan dan atau asuransi kesehatan sosial. Penduduk membayar pajak atau iuran jaminan kesehatan ketika sehat. Ketika sakit, mereka tidak perlu membayar. Namun, penduduk miskin, kurang mampu, bahkan penduduk bukan penerima upah (sektor informal) seringkali mendapat bantuan/subsidi untuk membayar iuran atau membayar biaya berobat. Tujuannya sederhana, terwujudnya ekuitas egaliter yaitu akses layanan kesehatan yang berkualitas memadai sesuai kebutuhan medis seseorang terlepas dari kondisi ekonomi orang tersebut. Itulah tujuan utama pendanaan publik, universal health coverage yang dunia telah berkomitmen mewujudkannya di tahun 2030. Negara-negara maju telah lama mendanai layanan kesehatan dengan porsi 70- 85% bersumber dana publik. Sumber dana publik di Mungtai telah menembus 87%. Sementara Pemerintah Malaysia dalam dua dekade menanggung 50-60% belanja kesehatan rakyatnya. Pemerintah China yang di tahun 2000 sama dengan kita, kini telah menanggung 55% belanja kesehatan seluruh rakyatnya. Tetapi, Pemerintah Indonesia (termasuk belanja JKN/asuransi sosial) sejak 20 tahun silam hanya menanggung sekitar 40% belanja kesehatan seluruh rakyat, terendah. Belanja publik kesehatan Indonesia hanya US36/kapitaditahun2014,yangdikelolaBPJSKhanyasekitarUS 36/kapita di tahun 2014, yang dikelola BPJSK hanya sekitar US 27 per kapita per tahun. Rata-rata belanja kesehatan total dunia per kapita di tahun yang sama mencapai US$ 1.061. Jangan heran jika kualitas dan produktifitas bangsa kita jauh tertinggal. Meskipun masih setengah hati dan selalu berkilah bahwa Pemerintah tidak memiliki cukup fiskal, penduduk miskin dan tidak mampu sudah dijamin melalui subsidi iuran JKN. Belum memadai, tetapi telah membantu sebagian penduduk yang terkena bencana sakit. Masih banyak masalah JKN, khususnya bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti target yang tidak tepat, kartu JKN-KIS yang tidak akurat, dan informasi yang tidak memadai bagi peserta PBI. Disayangkan pula bahwa BPJS telah keliru menyebar informasi bahwa pemanfaatan (angka utilisasi) PBI rendah dengan menyajikan data klaim saja. Banyak peserta JKN, apalagi peserta PBI yang bermasalah dengan kartu JKN-KIS, yang belum atau tidak menggunakan haknya, tidak menggunakan kartu JKN-KIS untuk berobat. Dengan demikian, klaim yang masuk ke BPJS Kesehatan adalah bias. Penelitian evaluasi, khususnya untuk mengukur apakah tujuan ekuitas egaliter sudah semakin baik, perlu mengkaji data populasi/komunitas, bukan data klaim BPJS Kesehatan. Selain itu, kajian berbasis populasi dapat menggali informasi lebih banyak tentang pemahaman JKN dan berbagai kontributor lain yang berkaitan dengan ekuitas dan protektabilitas JKN
    corecore