29 research outputs found

    Politik Hukum Penetapan Haluan Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Get PDF
    This study aimed to analyze legal politics and determine the broad guidelines of state policy based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This study was included in the type of legal study with a statutory approach, a conceptual approach, and a historical approach. The People's Consultative Assembly did not establish the main points of state policy. However, they were jointly formed by the President, the People's Representative Council, and the Regional Representatives Council because the People's Consultative Assembly was no longer located as the highest state institution. The construction of the broad state policy guidelines, designed by the candidate for President or Vice President and his coalition before the general election, was then ratified into law if it had been elected as President. The regulatory period for the state law was designed for five years to make the legal norms more concrete

    Reorientasi Pengaturan Pemberdayaan Hukum Usaha Mikro Kecil Menengah Melalui Hak Atas Merek Kolektif

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini untuk melakukan peninjauan kembali (reorientasi) pemberdayaan hukum UMKM melalui perlindungan hak atas merek kolektif dengan menggunakan indikator pengaturan merek kolektif dan karakteristik UMKM. Artikel ini menggunakan penelitian doktrinal (yuridis normatif), dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan, bahwa pemberdayaan hukum UMKM melalui perlindungan merek kolektif perlu ditinjau kembali karena ada beberapa kelemahan. Pertama, pengaturan berkaitan dengan merek kolektif masih terdapat ketidakkonsistenan antar pasal atau dalam pasal itu sendiri, dan juga norma yang kabur. Kedua, syarat substantif peroleh hak atas merek kolektif dikaitkan dengan karakteristik UMKM tidak dapat berlaku mutlak untuk semuanya, melainkan hanya usaha kecil dan usaha menengah, untuk usaha kecil tidak mutlak dapat berlaku untuk semua, sedangkan untuk usaha menengah meskipun berpotensi untuk dapat memperoleh hak atas merek kolektif

    Menakar Potensi Perlindungan Hukum Mutiara Lombok Melalui Indikasi Geografis Dan Implikasinya: Sebuah Diagnosa Awal

    Get PDF
    Lombok has Pearl attraction that has been known to foreign countries. The large potential is not yet widely realized to be given protection from legal aspects, so many countries that sell pearl products on behalf of / hijacked by the name of Mutiara Lombok. This research was conducted by normative juridical method. Using primary, secondary, and non-law material as the study. The results show that the potential of Lombok pearl law protection through geographical indication is very open. Forms of legal protection can be done in 2 ways, namely protection of preventive law and repressive law protection. The implications of Lombok Pearl protection through IG can at least be used as a) product marketing strategy at domestic and foreign trade; b) Provide added value to the product and improve the producer's welfare; c) Enhance the reputation of IG products in international trade; d) Equality of treatment as a result of promotion from abroad; and e) IG protection as one means to avoid fraudulent competition.Keywords: Legal Protection, Lombok Pear

    Analisis Penghapusan Merek Terdaftar Atas Prakarsa Menteri Karena Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi terkait penghapusan merek terdaftar atas prakarsa Menteri karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakanan penelitian hukum doktrinal dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan bahwa dalam ketentuan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Bahasa dan Perpres Bahasa Indonesia, Menteri atas prakarsanya belum dapat melaksanakan penghapusan merek yang menggunakan bahasa asing dengan beberapa alasan, antara lain dari sisi klasifikasi merek, konsep HKI dan kreativitas, konsep merek, konsep penghapusan dan pembatalan merek dan formulasi kewenangan penghapusan merek terdaftar atas prakarsa menteri. Rekomendasi dari penelitian ini adalah Pemerintah perlu mengubah atau mengganti regulasi khususnya ketentuan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada merek yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia

    Disharmoni dalam Pengaturan Kurikulum, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

    Get PDF
    Kurikulum sebagai instrumen yang memuat rencana dan pengaturan mengenai identitas deskripsi mata kuliah, tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan dalam penyelenggaraan dan mencapai tujuan pendidikan memiliki peran yang cukup krusial. Penerapan kurikulum Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) di seluruh perguruan tinggi di Indonesia hingga saat ini belum memiliki keseragaman, terutama pada mata kuliah pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan baik dari sisi nomenklatur pemberian nama mata kuliah maupun beban satuan kredit semester (SKS). Tujuan penelitian ini menganalisis mengenai kurikulum, pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dengan menggunakan analisis kajian hukum doktrinal. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Disharmoni antara ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Sisdiknas dan Pasal 35 UU Dikti merupakan salah bentuk disharmoni horizontal yang menimbulkan beberapa problematika yuridis antara lain disfungsi hukum, terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, tidak terlaksana secara efektif dan efisien dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Adapun upaya peraturan perundang-undangan yakni dengan cara mengubah atau mencabut pasal yang mengalami tidak sinkron oleh lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan, namun demikian mekanisme ini memerlukan waktu yang relatif cukup lama karena untuk dapat mengubah suatu peraturan perundang-undangan harus masuk dalam prolegnas dan rangkaian pembentukan peraturana perundang-undangan. Mekanisme atau cara lain adalah dengan menggunakan asas hukum yakni lex posteriori derogat lege priori dan asas lex specialis derogat lege generalis sehingga Pasal 35 UU Dikti dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Sisdiknas.Kurikulum sebagai instrumen yang memuat rencana dan pengaturan mengenai identitas deskripsi mata kuliah, tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan dalam penyelenggaraan dan mencapai tujuan pendidikan memiliki peran yang cukup krusial. Penerapan kurikulum Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) di seluruh perguruan tinggi di Indonesia hingga saat ini belum memiliki keseragaman, terutama pada mata kuliah pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan baik dari sisi nomenklatur pemberian nama mata kuliah maupun beban satuan kredit semester (SKS). Tujuan penelitian ini menganalisis mengenai kurikulum, pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dengan menggunakan analisis kajian hukum doktrinal. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Disharmoni antara ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Sisdiknas dan Pasal 35 UU Dikti merupakan salah bentuk disharmoni horizontal yang menimbulkan beberapa problematika yuridis antara lain disfungsi hukum, terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, tidak terlaksana secara efektif dan efisien dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Adapun upaya peraturan perundang-undangan yakni dengan cara mengubah atau mencabut pasal yang mengalami tidak sinkron oleh lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan, namun demikian mekanisme ini memerlukan waktu yang relatif cukup lama karena untuk dapat mengubah suatu peraturan perundang-undangan harus masuk dalam prolegnas dan rangkaian pembentukan peraturana perundang-undangan. Mekanisme atau cara lain adalah dengan menggunakan asas hukum yakni lex posteriori derogat lege priori dan asas lex specialis derogat lege generalis sehingga Pasal 35 UU Dikti dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Sisdiknas

    PROBLEMATIKA KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MEMUTUS SENGKETA PADA SEKTOR JASA KEUANGAN MELALUI ARBITRASE

    Get PDF
    BPSK menerima banyak aduan mengenai sengketa di sektor jasa keuangan. Namun, putusan BPSK melalui arbitrase mengenai sengketa konsumen di sektor jasa keuangan yang diajukan keberatan pada Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai kewenangan BPSK dalam menangani sengketa konsumen di sektor keuangan melalui arbitrase serta  menganalisis mengenai akibat hukum atas Putusan MA No 27 K/Pdt.Sus/2013 dengan kewenangan BPSK dalam menangani sengketa pada sektor jasa keuangan melalui arbitrase. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan beberapa pendekatan penelitian, yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan adalah pertama, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk menangani sengketa di sektor jasa keuangan melalui arbitrase berdasarkan jenis sengketa atau perkaranya. Kedua, akibat hukum Putusan MA No 27 K/Pdt.Sus/2013 terhadap kewenangan BPSK adalah sengketa yang timbul akibat wanprestasi tidak tunduk dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPK serta tidak termasuk dalam ranah kewenangan BPSK. Penulis dapat memberikan saran yaitu BPSK seharusnya tidak menerima pengaduan dan menangani perkara yang sengketanya mengenai sengketa di sektor jasa keuangan. Konsumen seharusnya memperhatikan materi atau muatan dari aduannya sebelum mengadukannya kepada BPSK, sehingga apabila sengketanya mengenai sengketa di sektor jasa keuangan sebaiknya diperkarakan melalui Pengadilan Negeri atau LAPS OJK. Pelaku usaha sektor jasa keuangan juga seharusnya menyampaikan informasi mengenai penyelesaian sengketa yang telah disepakati sebelumnya pada konsumennya yaitu melalui Pengadilan Negeri atau LAPS OJK. Kata Kunci: Kewenangan, BPSK, Sengketa Keuangan, Arbitrase

    Perlindungan Hukum Merek Terdaftar di Luar Negeri Terkait Penggunaan Merek Jasa “Webinar”

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana penggunaan kata webinar dalam berbagai kegiatan yang telah dilakukan berbagai instansi pendidikan, pemerintah maupun swasta termasuk pelanggaran merek ketika kata tersebut telah terdaftar. Penelitian ini juga dikaitkan dengan apakah merek “webinar” dapat dikategorikan sebagai merek terkenal untuk kemudian dapat dilakukan analisis karena merek terkenal memiliki “perlakuan” yang tidak sama dengan merek biasa. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan bahan hukum primer yang sifatnya autoritatif. Analisis presktiptif digunakan dalam penelitian ini, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:  pertama, webinar sebagai merek belum dapat dikategorikan sebagai merek terkenal, hal tersebut didasarkan Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran merek, pada pasal tersebut terdapat beberapa kriteria (tolok ukur) merek terkenal; kedua, akibat hukum penggunaan merek webinar di Indonesia tidak perlu mendapatkan perlindungan hukum, sehingga penggunaan webinar bukan termasuk sebagai pelanggaran hukum merek. Karena perlindungan hukum merek di Indonesia berdasarkan sistem konstitutif atau prinsip first to file. Aspek lain bahwa perlindungan hukum merek bersifat teritorial. Adapun saran bagi pemilik merek “webinar” apabila ingin mereknya dilindungi dan tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak berkepentingan, perlu mendaftarkan di beberapa negara termasuk di Indonesia, karena perlindungan merek berdasarkan sistem konstitutif dan berbatas teritorial. Kata Kunci: webinar, perlindungan hukum, merek terkena

    Analisis Yuridis Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Tiket Kereta Api Onlin (Kai Access))

    Get PDF
    Pencantuman klausula baku pada perjanjian menyebabkan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha tidak seimbang, sehingga dapat mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak. Larangan pencantuman klausula baku diatur pada Pasal 18 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen. Hasil penelitian yang didapat oleh penulis adalah pelaku usaha masih mencantumkan klausula eksonerasi yang sudah jelas dilarang oleh peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu isi dalam ketentuan reservasi tiket kereta api online angka 2 termasuk klausula eksonerasi karena menyatakan pengalihan tanggung jawab dan jika ada kerugian yang dialami konsumen maka sesuai prinsip pertanggung jawaban mutlak (strict liability) pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab. Kesimpulan yang didapat oleh penulis yaitu ketentuan tiket kereta api online melalui aplikasi KAI ACCESS terkait pencantuman klausula eksonerasi tidak sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan merujuk merujuk pada prinsip tanggung jawab mutlak, pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab apabila konsumen mengalami kerugian yang timbul akibat jasa pengangkutan penumpang yang diselenggarakan tanpa ada atau tidaknya kesalahan pengangkut. Diharapkan kepada pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dapat membuat ketentuan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia dan diharapkan kepada Menteri Perdagangan dapat melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula eksonerasi yang dicantumkan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) pada ketentuan reservasi tiket kereta api online. Kata kunci: Perjanjian, Klausula baku, Klausula eksoneras

    IMPLEMENTASI KEWAJIBAN PENGGUNA PEKERJA RUMAH TANGGA ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL DI KOTA SURABAYA

    Get PDF
    Jaminan sosial merupakan hak seluruh rakyat Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan sosial merupakan instrumen yang sangat dibutuhkan oleh pekerja dalam melindungi dirinya dari resiko yang ia dapatkan saat bekerja. Pekerja sektor informal khususnya Pekerja Rumah Tangga (PRT) kerap mendapati diri mereka tidak terlindungi oleh jaminan sosial. Hal tersebut tidak selaras dengan Pasal 11 huruf g Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan PRT yaitu “kewajiban pengguna PRT untuk mengikutsertakan PRT dalam program jaminan sosial”. Tujuan penelitian untuk menganalisis implementasi Kewajiban Pengguna PRT atas jaminan sosial PRT di Kota Surabaya dan untuk mengetahui PRT membutuhkan jaminan sosial di dalam kehidupannya sebagai jaminan dari risiko ketidakpastian saat bekerja. Menganalisis faktor-faktor penghambat yang dialami oleh Pengguna PRT dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengikutsertakan PRT dalam jaminan sosial. Metode yang digunakan yuridis sosiologis dengan menggunakan teknik pengumpulan data wawancara secara langsung. Hasil penelitian menunjukkan banyak Pengguna PRT yang belum mengetahui akan kewajibannya untuk mengikutsertakan PRT kedalam Jaminan Sosial. Adapula faktor penghambat dalam implementasi kewajiban Pengguna PRT atas jaminan sosial PRT di Kota Surabaya diantaranya, lemahnya Permenaker Perlindungan PRT dimana Peraturan tersebut belum bisa menjadi payung hukum PRT, kurangnya pengawasan dari lembaga yang berwenang memberikan perlindungan PRT atas Jaminan Sosial di Kota Surabaya yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan Kota Surabaya, lalu kurangnya sumber informasi bagi pengguna PRT mengenai perlindungan PRT dan minimnya kesadaran masyarakat akan sebuah peraturan yang berlaku mengenai hak dasar warga negara dalam mendapatkan perlindungan jaminan sosial khususnya PRT di Kota Surabaya
    corecore