6 research outputs found

    Update Manajemen Preeklamsia dengan Komplikasi Berat (Eklamsia, Edema Paru, Sindrom HELLP)

    No full text
    Tujuan: Seiring dengan bertambahnya insidensi preeklamsia dengan komplikasi berat, manajemen yang adekuat diperlukan. Penulisan artikel ini bertujuan untuk memaparkan update manajemen preeklamsia dengan komplikasi berat (eklamsia, edema paru, dan sindrom HELLP).Metode: Tinjauan pustaka (literature review) dengan menggunakan 15 referensi antara tahun 2011–2020.Hasil: Manajemen preeklamsia dengan komplikasi berat membutuhkan pendekatan multidisiplin, medikamentosa (kalsium 1,5–2 gram/hari; aspirin dosis rendah 75–150 mg/hari; MgSO4 dengan dosis awal 4–6 gram IV dan pemeliharaan 1-2 gram/jam hingga 24 jam pascasalin; kortikosteroid; antihipertensi seperti labetalol, hidralazin, nifedipin, natrium nitroprusside, nitrogliserin), dan non-medikamentosa (olahraga, pembatasan cairan). Sementara itu, prinsip penanganan awal eklamsia, yaitu D (Dangers) – R (Response) – S (Send for Help) – A (Airway) – B (Breathing) – C (Compressions) – D (Defibrillation). Adapun manajemen obstetri pada kasus preeklamsia dengan gejala berat, yaitu manajemen ekspektatif dan persalinan (spontan ataupun seksio sesaria).Kesimpulan: Tatalaksana yang cepat dan tepat pada kasus preeklamsia dengan komplikasi berat sangat diperlukan untuk mengurangi morbiditas pada ibu dan janin. Manajemen kasus preeklamsia dengan gejala berat berupa manajemen ekspektatif dan persalinan (spontan ataupun seksio sesaria).Update on Management of Preeclampsia with Severe Features (Eclampsia, Pulmonary Edema, HELLP Syndrome)AbstractObjective: As the incidence of preeclampsia with severe features increases, adequate management is required. The purpose of this review is to present an update on the management of preeclampsia with severe features (eclampsia, pulmonary edema, and HELLP syndrome).Method: Literature review using 15 references between 2011–2020.Results: Management of preeclampsia with severe features requires a multidisciplinary, medical approach (calcium 1.5–2 g/day; low-dose aspirin 75–150 mg/day; magnesium sulfate at an initial dose of 4–6 g IV and maintenance 1-2 g/hour to 24 hours postpartum; corticosteroids; antihypertensives such as labetalol, hydralazine, nifedipine, sodium nitroprusside, nitroglycerin) and non-medical (exercise, fluid restriction). Meanwhile, the principles of early management of eclampsia, namely D (Dangers) – R (Response) – S (Send for Help) – A (Airway) – B (Breathing) – C (Compressions) – D (Defibrillation). The obstetric management in cases of preeclampsia with severe features is expectant management and delivery (spontaneous or cesarean section).Conclusion: Prompt and appropriate management of cases of preeclampsia with severe features is needed to reduce maternal and fetal morbidity. Management of preeclampsia cases with severe features is expectant management and delivery (spontaneous or cesarean section).Key words: preeclampsia, eclampsia, HELLP syndrome, severe

    Preeklamsia Pascasalin

    No full text
    AbstrakTujuan: Memaparkan etiologi dan faktor risiko, diagnosis banding, patofisiologi, pemantauan, terapi, komplikasi, rekurensi dan tindakan preventif pada kasus preeklamsia pascasalin.Metode: Tinjauan pustaka dengan berbagai referensi yang diakses melalui mesin pencarian seperti Pubmed dan Sci-Hub dengan menggunakan kata kunci preeclampsia, hypertension, postpartum, management. Sumber referensi yang digunakan yaitu guidelines, jurnal, dan buku teks yang diterbitkan dalam 15 tahun terakhir.Kesimpulan: Insiden preeklamsia di Indonesia yaitu 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Sebanyak 0,3 – 27,5% kasus yang dilaporkan mengalami preeklamsia atau hipertensi pascasalin. Gejala-gejala preeklamsia pascasalin muncul setelah melahirkan. Mayoritas kasus berkembang dalam 48 jam setelah persalinan, walaupun sindrom dapat muncul hingga 6 minggu setelah persalinan. Periode pascasalin merupakan waktu kritis bagi spesialis obstetri dan ginekologi untuk menjamin wanita dengan riwayat preeklamsia untuk dipantau dalam jangka waktu pendek dan panjang. Akan tetapi, pemantauan pascasalin sangatlah rendah, berkisar antara 20-60%. Pemilihan antihipertensi pasca salin yaitu berikatan kuat dengan protein dan solubilitas lipid yang rendah sehingga lebih sedikit yang masuk ke ASI. Selain itu, dipengaruhi juga oleh ionisasi, berat molekul dan konstituen ASI (kandungan lemak, protein, dan air). Agen lini pertama untuk preeklamsia pascasalin adalah labetalol dan hidralazin intravena serta nifedipin. Wanita dengan hipertensi gestasional ataupun preeklamsia biasanya dapat menghentikan antihipertensi dalam 6 minggu pasca salin.Postpartum PreeclampsiaAbstractObjective: To explain about etiologies and risk factors, differential diagnosis, pathophysiology, follow up, treatment, complications, recurrence, and prevention of preeclampsia post delivery discharged.Method: Literature review with several references accessed through search engines such as Pubmed and Sci-Hub by using keywords preeclampsia, hypertension, postpartum, management. Reference sources used are guidelines, journals, and textbooks published in the last 15 years.Conclusion: The incidence of preeclampsia in Indonesia is 128,273/year or around 5.3%. As many as 0.3-27.5% of cases reported postpartum preeclampsia or hypertension. Symptoms of postpartum preeclampsia appear after delivery. The majority of cases develop within 48 hours after delivery, although the syndrome can appear up to 6 weeks after delivery. The postpartum period is a critical time for obstetricians and gynecologists to ensure women with a history of preeclampsia are monitored in the short and long term. However, postpartum monitoring is very low, ranging from 20-60%. The choice of antihypertensive postpartum is that it is strongly bound to protein with low lipid solubility so that fewer enter breast milk. In addition, it is also influenced by ionization, molecular weight and constituents of breast milk (fat content, protein, and water). The first line agent for postpartum preeclampsia is intravenous labetolol and hydralazine and also nifedipine. Women with gestational hypertension or preeclampsia can usually stop antihypertension within 6 weeks postpartum.Key word: postpartum preeclampsia, antihypertensio

    Pencegahan Abortus pada Awal Kehamilan

    No full text
    Abortus merupakan suatu kejadian terminasi kehamilan dengan usia kehamilan <20 minggu dan berat janin <500 g. Angka kejadian abortus disebutkan sekitar 15% dari seluruh kehamilan. Terdapat beberapa faktor risiko abortus yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu faktor nutrisi, konsumsi kafein, alkohol, kebiasaan merokok, infeksi, paparan radiasi, beban kerja, dan pengaruh obat-obatan. Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu genetik, kelainan kongenital, dan lain-lain. Dengan mengetahui faktor risiko tersebut, dokter dapat melakukan pencegahan dan intervensi yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasien yang mengalami abortus. Metode yang digunakan adalah tinjauan pustaka dengan menggunakan beberapa database seperti Pubmed, Wiley Online Library, dan ScienceDirect dari 10 tahun terakhir.Prevention of Miscarriage in Early PregnancyAbstractMiscarriage is an event of termination of pregnancy with < 20 weeks of gestation and fetal weight < 500 grams. The incidence of miscarriage is around 15% of all pregnancies. There are several risk factors for miscarriage, namely modifiable and non-modifiable risk factors. Some modifiable risk factors are nutritional factors, consumption of caffeine, alcohol, smoking habit, infection, radiation exposure, workload, and the influence of drugs. Several risk factors that can not be modified, namely genetics, congenital abnormalities, and others. By knowing these risk factors, doctors can carry out prevention and intervention according to the conditions of each patient who undergoes miscarriage. The method used is a literature review using several databases such as Pubmed, Wiley Online Library, and ScienceDirect from the last 10 years.Key words: miscarriage, prevention, risk factors, pregnancy.Abortus merupakan suatu kejadian terminasi kehamilan dengan usia kehamilan <20 minggu dan berat janin <500 g. Angka kejadian abortus disebutkan sekitar 15% dari seluruh kehamilan. Terdapat beberapa faktor risiko abortus yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu faktor nutrisi, konsumsi kafein, alkohol, kebiasaan merokok, infeksi, paparan radiasi, beban kerja, dan pengaruh obat-obatan. Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu genetik, kelainan kongenital, dan lain-lain. Dengan mengetahui faktor risiko tersebut, dokter dapat melakukan pencegahan dan intervensi yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasien yang mengalami abortus. Metode yang digunakan adalah tinjauan pustaka dengan menggunakan beberapa database seperti Pubmed, Wiley Online Library, dan ScienceDirect dari 10 tahun terakhir.Prevention of Miscarriage in Early PregnancyAbstractMiscarriage is an event of termination of pregnancy with <20 weeks of gestation and fetal weight <500 grams. The incidence of miscarriage is around 15% of all pregnancies. There are several risk factors for miscarriage, namely modifiable and non-modifiable risk factors. Some modifiable risk factors are nutritional factors, consumption of caffeine, alcohol, smoking habit, infection, radiation exposure, workload, and the influence of drugs. Several risk factors that can not be modified, namely genetics, congenital abnormalities, and others. By knowing these risk factors, doctors can carry out prevention and intervention according to the conditions of each patient who undergoes miscarriage. The method used is a literature review using several databases such as Pubmed, Wiley Online Library, and ScienceDirect from the last 10 years.Key words: miscarriage, prevention, risk factors, pregnancy
    corecore