10 research outputs found

    A Socially Equitable Energy Transition in Indonesia: Challenges and Opportunities

    Full text link
    Isu perubahan iklim telah menjadi perhatian serius tidak hanya dikarenakan peningkatan emisi gas rumah kaca, tetapi juga berbagai dampak yang ditimbulkan semakin mengkhawatirkan. Mulai dari cuaca ekstrim hingga peningkatan perumakaan air laut. Bahkan, perubahan iklim pun turut menghambat usaha pengentasan kemiskinan. Indonesia mulai menghadapi permasalahan cadangan sumber daya bahan bakar fosil. Dari waktu ke waktu produksi minyak dan gas domestik terus menurun sehingga membuat pemerintah mendorong kebijakan energi terbarukan sebagai prioritas utama. Walaupun Indonesia memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang bergitu melimpah, kenyataannya perkembangan pencapaian sumber daya energi terbarukan terhadap total energi masih minimal. Upaya mempercepat transisi dari energi yang masih bergantung pada sumber daya fosil ke energi terbarukan saja tidak cukup, namun juga perlu memastikan secara sosial berkeadilan. Buku ini menampilkan studi yang mengobservasi bagaimana transisi energi menuju penggunaan yang lebih besar pada energi terbarukan dapat secara sosial dan politik diterima di Indonesia dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar secara progresif mengejar transformasi energi. Sebuah studi yang memberikan wawasan terhadap status kebijakan perubahan iklim dan energi, implikasi sosial ekonominya, dan aktor yang terlibat dalam pengembangan dan implementasi kebijakan. Hadirnya buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih informasi dan pemikiran yang dapat membantu pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat sipil untuk bekerja bersama menuju pembangunan rendah karbon di Indonesia

    Kajian atas Sub-sektor Komoditi Beras dan Jagung

    Full text link
    Kemitraan publik dan swasta (KPS) atau public private partnership (PPP) dibutuhkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan seperti meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas, kualitas produksi, meningkatan akses pasar, dan mendorong proses hilirisasi kerjasama multistakeholder dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor pangan dan pertanian. KPS muncul bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan sektor pertanian saja melainkan karena kurangnya kemampuan pemerintah untuk memenuhi tugasnya dalam menjaga ketahanan pangan dengan sumberdaya sendiri. Sumberdaya yang dimaksud adalah bukan hanya dari sisi pendanaan saja tetapi juga teknologi, jaringan dan lain sebagainya. Kemitraan antara perusahaan pertanian dan petani kecil dinilai sebagai salah satu pendekatan yang paling prospektif dapat mengangkat ekonomi petani. Diasumsikan bahwa dengan kemitraan tersebut petani kecil bisa diskenariokan untuk mendapat bagian nilai tambah yang lebih besar dari suatu usaha pertanian. Hanya saja pendekatan kemitraan semacam ini masih sering diterapkan secara reduktif dalam corak pertanian kontraktual (contract farming) ataupun share farming. Corak pertama menghadirkan jaringan atau tatanan hubungan atau relasi kepentingan yang bersifat kontraktual antara pelaku-pelaku pada suatu usaha pertanian. Corak kedua, share farming, merupakan pertanian kontraktual khusus yang menghadirkan tatanan hubungan berbagi tugas, tanggungjawab dan resiko dari usaha pertanian sebagai wujud dari hubungan-hubungan kontraktual. Atas dasar pentingnya mengangkat praktik dari implementasi KPS di daerah, Perkumpulan Prakarsa melakukan penelitian di tiga wilayah yakni: Kabupaten Sragen, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Sragen mewakili wilayah pertanian beras, sedangkan Kabupaten Mojokerto dan Malang mewakili wilayah pertanian jagung. Penelitian ini mengulas dinamika sosial, ekonomi dan politik yang turut mempengaruhi lingkungan kebijakan. Penelitian “Public Private Partnership (Kemitraan Publik dan Swasta) di Sektor Pertanian: Kajian Atas Sub-Sektor Komoditi Beras dan Jagung” ini merupakan riset yang dibuat untuk memotret fenomena kegiatan ekonomi antara pemerintah, swasta dan petani untuk menjamin keadilan dalam rantai pasok dalam skema KPS. Laporan penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita dalam rangka menyusun kebijakan dan jaring pengaman di bidang pertanian. Namun, perlu dilihat lebih jauh lagi mengenai dampak dari kemitraan anatar publik dan swasta, karena sampai ini belum ada skema kemitraan yang dibangun menjamin hak-hak dan kewajiban setiap aktor di dalamnya

    Mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional Yang Non-Diskriminatif

    Full text link
    Satu-dua tahun ini, kejadian pasien ditolak oleh penyelenggara pelayanan kesehatan sudah jarang sekali terdengar. Candaan bernada sarkas “sadikin, sakit dikit jatuh miskin” atau “orang miskin dilarang sakit”, sudah kurang relevan diketengahkan di ruangruang diskusi atau obrolan warung kopi. Saat ini, yang mengemuka adalah “sadiman, sakit dikit minta pelayanan”. Akibatnya, antrian di Puskesmas dan Rumah Sakit mengular. Pun, antrian di kantor-kantor BPJS Kesehatan. Kondisi di atas sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional/JKN BPJS Kesehatan. JKN-BPJS Kesehatan yang merupakan program jaminan sosial nasional bidang kesehatan mulai diluncurkan pada 1 Januari 2014 mengubah kondisi kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Proyeksi yang ditetapkan sangat menjanjikan, yakni terwujudnya universal health coverage (UHC), jaminan kesehatan semesta, untuk seluruh penduduk Indonesia. Tentu akan mengubah masa depan pembangunan kesehatan nasional yang lebih berkualitas, terjangkau dan merata. UHC merupakan bukti komitmen untuk kesetaraan (ekuitas) dalam akses pelayanan kesehatan secara semesta, setara kualitas dan aksesibilitasnya. Pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan pada tahun 2019 pelaksanaan UHC akan tercapai. Dalam rentang penahapan menuju UHC inilah, Indonesia akan mengidap risiko terjadinya eksklusi kesehatan, mereka yang kurang mampu akan tertinggal dalam mendapatkan akses kesehatan yang mudah dan berkualitas. Menyitir Tobin (1970) dan Sen (2002), ketidaksetaraan terutama dalam kesehatan sangat mencemaskan dan lebih parah dibandingkan dengan ketidaksetaraan di bidang lain. Kondisi kesehatan seseorang sangat menentukan kapabilitas seseorang untuk dapat berfungsi secara utuh dan mengembangkan diri sebagai manusia. Jika kondisi kesehatan seseorang memburuk, maka produktivitasnya juga akan memburuk. Sayangnya, meskipun sangat vital posisinya, bidang kesehatan masih saja “dianak-tirikan”. Bandingkan saja dengan kebijakan pendidikan, ekonomi, pertahanankeamanan, infrastruktur dan lainnya. Coba kita tengok alokasi anggaran kesehatan di APBN maupun di APBD, jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan, maka jomplang sekali. Untung saja tahapan menuju UHC sudah dimulai sejak 2014 dan untung saja sejak 2016 APBN sudah mulai mengalokasikan anggaran kesehatan 5 persen dari total APBN. Kabar baik lainnya, banyak pemerintah daerah yang sudah meningkatkan alokasi anggaran kesehatannya sebesar 10 persen dari total APBD. Meskipun baik di APBN maupun di APBD, alokasi anggaran tersebut masih termasuk untuk belanja pegawai bidang kesehatan, belum sepenuhnya untuk promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Secara umum, sejak JKN dilaksanakan, cakupan pelayanan kesehatan secara nasional makin luas dan makin berkualitas. Cakupan pelayanan kesehatan dalam skema JKN cukup luas, penyakit berat yang dulu tidak ditanggung oleh skema jaminan kesehatan masyarakat dan jaminan kesehatan daerah, saat ini sudah di-cover oleh BPJS Kesehatan, satu kemajuan yang patut diapresiasi. Penyakit-penyakit yang perawatan dan penyembuhannya membutuhkan biaya tinggi seperti serangan jantung, stroke, kanker, cuci darah, dan lain-lain ditanggung penuh. Pun, penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan seumur hidup, seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, penyakit paru kronis, epilepsi, skizofrenia, sirosis hepatitis, stroke, lupus dan lain sebagainya. Meskipun cakupan dan pelayanan kesehatan sudah cukup baik, peningkatan pelayanan tetap perlu dilakukan mengingat masih banyaknya permasalahan pelaksanaan JKN. Kasus-kasus seperti pasien BPJS Kesehatan yang tidak kebagian kamar perawatan, pasien menumpuk di selaras, mengantri lama untuk mendapatkan pelayanan hingga moral hazard dari penyedia layanan kesehatan sampai moral hazard peserta BPJS Kesehatan yang tidak patuh dalam membayar iuran dengan memanfaatkan celah aturan yang ada dan lainnya masih marak terjadi. Persoalan lain yang masih mengemuka adalah masih rendahnya aksesibilitas khususnya penduduk miskin dan kurang mampu yang disebabkan oleh kondisi internal dan eksternal. Misalnya, kesadaaran pentingnya mengakses pelayanan kesehatan, jarak tempat tinggal dengan lokasi layanan kesehatan tingkat pertama dan rujukan, terbatasnya kemampuan finansial untuk menjalani proses pengobatan (biaya nonmedis), diskriminasi pelayanan, administrasi yang rumit dan lain-lain masih menjadi kendala sehari-hari. Dengan fakta bahwa kelompok masyarakat miskin dan kurang mampu yang sangat rentan menghadapi situasi darurat kesehatan. Adanya skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang disediakan pemerintah kepada masyarakat miskin dan kurang mampu tidak secara otomatis menghilangkan permasalahan di atas dan permasalahan ekuitas pelayanan kesehatan. Ekuitas dalam pelayanan kesehatan merupakan jalan bagi pemerataan yang berkeadilan dan pemerataan. Ini penting karena dalam praktiknya, masih saja ada perbedaan perlakuan pelayanan kesehatan yang berbeda bagi peserta JKN PBI dan non-PBI, ini mengindikasikan adanya ketidakadilan. Padahal, JKN diharapkan dapat melingkupi seluruh rakyat Indonesia di manapun berada dengan apapun status yang dimilikinya

    The Go-Jek problem: Congestion, Informality and Innovation in Urban Transport in Indonesia

    Full text link
    Belum lama ini muncul sebuah terobosan baru dalam hal transportasi umum, yaitu ojek online yang bisa dipesan melalui ponsel pintar kita. Ojek online ini sangat berbeda dengan sistem ojek tradisional yang sudah ada sejak tahun 1960an. Pada ojek tradisional, harga harus disepakati antara penumpang dan pengemudi. Namun, ojek online menawarkan penggunaan tarif sesuai dengan jarak tempuh. Sejak diperkenalkannya aplikasi ojek online “Go-Jek” pada tahun 2014, perusahaan ini mendominasi pasar ojek di perkotaan. Hal tersebut dipengaruhi dengan layanan dengan tarif relatif murah dan pengendara yang terdaftar. Para pelanggan dapat memesan ojek dan layanan lainnya melalui aplikasi di ponsel pintar mereka. Menurut Go-Jek (2017), saat ini ada sekitar 300 ribu supir Go-Jek, di kota-kota besar di Jawa dan Bali. Keberadaan Go-Jek dan perusahaan aplikasi transportasi lain sejenis, seperti GrabBike Bike dan Uber di kota-kota besar cukup menimbulkan kontroversi. Masalah yang timbul, misalnya, perdebatan sampai kalangan pejabat tinggi yang sempat menyebabkan dibatalkannya salah satu peraturan Menteri Perhubungan terkait pelarangan aplikasi transportasi online yang disebabkan pemerintah belum mampu menyediakan transportasi massal yang cepat dan layak bagi warga. Alasan lain yang menjadi perdebatan, seperti penyerapan tenaga kerja juga digunakan walau banyak pendapat yang menyatakan bahwa pelanggan moda transportasi baru ini hanyalah pindahan dari penyedia transportasi publik yang sudah stabil ke penyedia yang lebih tidak teregulasi. Terkait fenomena tersebut, terdapat penelitian dari Robbie Peters (antropolog dari University of Sydney) yang dilakukan pada awal tahun 2016 di beberapa kantong kemiskinan di Jakarta dan Surabaya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak diantara laki-laki berusia antara usia 18-60 tahun yang sebelumnya menganggur dan setengah menganggur telah menjadi pengemudi Go-Jek dalam enam bulan terakhir. Meskipun wajar bagi pekerja sektor informal untuk berganti-ganti pekerjaan ketika kesempatan yang lebih baik muncul, fenomena menjadi pengemudi Go-Jek cukup signifikan dilihat dari skala pergeseran dan waktu yang sangat cepat serta guncangan politik yang disebabkannya. Perkumpulan Prakarsa juga telah melakukan survei cepat di wilayah sekitar Jabodetabek pada bulan Mei 2016 terhadap 250 responden pengemudi ojek online untuk menggambarkan profil mereka yang bekerja di sektor ini. Hasil sementara dari survei ini menunjukkan bahwa mereka yang tergabung menjadi pengemudi ojek online adalah laki-laki berusia 20 sampai 60 tahun dengan latarbelakang pendidikan mayoritas SMA, serta sebelumnya bekerja sebagai pekerja sektor informal dan formal yang sedang mencari pendapatan lebih baik. Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, peneliti University of Sydney, Perkumpulan Prakarsa dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupaya melakukan penelitian mengenai para pekerja di sektor transportasi online di Jakarta dan Surabaya pada awal tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana isu perkembangan layanan ojek online sehubungan dengan isu ketenagakerjaan di kota- kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat persepsi warga komuter yang menggunakan jasa mereka. Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan argumen untuk mendorong kebijakan berbasis bukti dengan melihat tren transportasi online di Jakarta dan Surabaya. Penelitian ini menghasilkan studi-studi kasus yang dilakukan dengan beberapa metode. Metode tersebut, antara lain wawancara, survei dan pengamatan terhadap pengemudi ojek, serta perbandingan praktik dan kondisi pekerja transportasi online yang sedang merebak. Penelitian ini juga dilakukan dengan mewawancarai konsumen transportasi tentang persepsi mereka mengenai penggunaan jasa transportasi ini serta wawancara dengan beberapa narasumber kunci yang penting.Online ojek has appeared recently as a new breakthrough in terms of public transportation, which can be booked through our smart phone. This online ojek is very different from the conventional ojek system that already existed since the 1960s. In conventional ojek, prices must be agreed between passengers and drivers. However, online ojek offers the use of fares in accordance with mileage. Since the introduction of online ojek application "Go-Jek" in 2014, this company dominates the ojek market in urban areas. This is influenced by services with relatively cheap tariffs and registered riders. Customers can order ojek and other services through applications on their smartphones. According to Go-Jek (2017), there are currently about 300,000 Go-Jek drivers, in major cities in Java and Bali. The existence of Go-Jek and other similar transportation application companies, such as GrabBike and Uber in major cities are causing controversy. Problems arising on the high official level, for example, through the cancellation of one of the Minister of Transportation regulations related to the prohibition of online transportation applications. The cancellation is due to the inability the government to provide fast and decent mass transportation for public. Others argue with the contribution to labor absorption despite many opinions stating that these costumers of the new transportation mode are merely moving from a stable public transport provider to a more unregulated provider. Related to the phenomenon, a research from Robbie Peters (anthropologist from the University of Sydney) conducted in early 2016 in several pockets of poverty in Jakarta and Surabaya shows that many of the men aged between 18-60 years old who were previously unemployed and underemployed have been Go-Jek's drivers in the past six months. While it is natural for informal sector workers to switch jobs when better opportunities arise, the phenomenon of being a Go-Jek driver is significant in terms of the scale of the shift and the rapid time and the political shocks it causes. Perkumpulan Prakarsa has also conducted a quick survey in the area around Jabodetabek in May 2016 to 250 respondents of online ojek drivers to illustrate the profile of those working in this sector. The current findings from this survey indicate that those who are working as online ojek drivers are men aged 20 to 60 with a majority of high school education background and previously worked as informal and formal sector workers looking for better income. Based on the previous research, University of Sydney researchers, Perkumpulan Prakarsa and the Indonesian Institute of Sciences (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI) attempted to conduct research on workers in the online transportation sector in Jakarta and Surabaya in early 2017. It aims to understand the issue of the development of online ojek service in relation to labor issues in big cities, such as Jakarta and Surabaya. In addition, this study also seeks the perception of commuting citizens who use their services. It is hoped that the results of this study will provide arguments to encourage evidence-based policies by looking at online transportation trends in Jakarta and Surabaya. This study uses case studies conducted with several methods. These methods include interviews, surveys and observations of ojek drivers, as well as a comparison of the prevailing practices and conditions of online transport workers. This study was also conducted by interviewing transport consumers about their perceptions of the use of these transport services as well as interviews with key informants

    Akses Dan Pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat Oleh Perempuan

    Full text link
    Inklusi keuangan menyasar beberapa kelompok masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pelaku usaha mikro dan wirausaha kecil yang memiliki keterbatasan permodalan hingga kelompok pekerja migran, perempuan, masyarakat di daerah tertinggal, dll. Beberapa program diluncurkan pemerintah sebagai upaya meningkatkan inklusi keuangan, seperti program Laku Pandai, Simpanan Pelajar, Jaring, asuransi pertanian dan ternak, asuransi nelayan, skema Kedit Usaha Rakyat (KUR), dll. KUR sebagai wujud dari jangkauan negara dan institusi perbankan modern ke masyarakat lapisan bawah untuk inklusi keuangan semestinya tak lepas dari siklus aspek gender dan relasi produksi. Kebijakan KUR saat ini sayangnya belum sensitif atau memberikan afirmasi positif agar perempuan mendapat kesempatan dan akses yang mudah untuk mendapatkan KUR. Penelitian ini mempertimbangkan konteks potensi ketimpangan maupun peluang yang dihadapi oleh perempuan pengakses KUR. Selain itu, penelitian ini juga mengambil sudut pandang bank sebagai penyedia layanan KUR dalam menghadapi kendala apa saja yang dialami dalam proses penyaluran KUR. Lebih lanjut tujuan utama dari penelitian ini adalah 1) menganalisis kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Kredit Usaha Rakyat sebagai upaya mencapai inklusi keuangan, 2) menganalisis mekanisme dan tantangan perbankan dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat dan 3) menganalisis dampak ekonomi, sosial, dan budaya pada perempuan penerima program Kredit Usaha Rakyat. Penelitian ini dilakukan di 3 kota/kabupaten yaitu Kabupaten Indramayu, Kota Jakarta Selatan dan Kabupaten Lombok Tengah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan dukungan data kuantitatif

    Sebuah Refleksi Perjalanan e-Government Di Daerah

    Full text link
    Indonesia tidak ketinggalan langkah dalam menerapkan pemerintahan terbuka. Sebagai salah satu negara perintis, Indonesia turut mengakui pentingnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tata kelola pemerintahan. Ini terkait kuat dengan fakta bahwa Indonesia perlu lepas dari cengkraman korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Rencana aksi Open Government Indonesia mendeskripsikan capaian yang disasar oleh pemerintah. Meskipun terdapat lima kota pengembangan Open Government Partnership, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kota Banda Aceh, Kota Semarang, Kota Bandung dan Kabupaten Bojonegoro, praktik open government juga dikembangkan oleh pemerintah daerah lainnya, seperti Kota Makassar. Pada kesempatan kali ini, buku ini bertujuan untuk memberikan cerita perjalanan dari daerah-daerah yang telah menyelenggarakan open government dan mengembangkan e-government dalam upaya reformasi birokrasi di daerahnya. Kisah ini merupakan data kecil yang nilai dan maknanya sangat signifikan untuk bercermin sejauh mana pencapaian, prestasi, jatuh, dan bangun pelaksanaan open government dan e-government. Cerita-cerita ini ditulis bersama beberapa peneliti dengan pengamatan subjektif dan menggunakan pendekatan refleksi. Penggalian datanya mempertanyakan sejauh mana penyelenggaraan open government dan penggunaan e-government sungguh-sungguh menyentuh masyarakat, membawa perubahan, dan meningkatkan layanan publik

    Ekuitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin di Indonesia (JKN)

    Full text link
    Jika kita berada dalam suatu forum internasional yang membahas kesehatan rakyat di berbagai negara, tidak bisa dipungkiri bahwa rasa gregetan seringkali memenuhi diri. Betapa tidak, jika berbagai indikator minder dan status kesehatan seperti Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan apa lagi produktivitas bangsa; Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara setara. Yang dimaksud negara setara adalah negara berpendapatan menengah bawah (low middle income countries). Jika kita telah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2000, jelas sekali korelasi rendahnya kinerja/ status kesehatan bangsa berhubungan dengan rendahnya pendanaan atau belanja kesehatan Indonesia. Karena sifat uncertainty, eksternalitas, dan informasi asimetrik yang tinggi maka pendanaan kesehatan tidak bisa diserahkan kepada masing-masing rumah tangga. Sebab, pendanaan kesehatan oleh rumah tangga (out of pocket) merupakan pendanaan yang paling regresif, paling memberatkan penduduk berpenghasilan rendah. Bahkan penduduk yang tidak kaya, dengan mudah jatuh miskin apabila ia terkena penyakit berat. Biaya berobat diatas Rp 50 juta sudah pasti memiskinkan penduduk yang bergaji Rp 20 juta sekalipun. Itulah sebabnya, tidak ada negara maju dan menengah yang membiarkan rakyatnya membayar sendiri-sendiri biaya berobat. Pendanaan kesehatan haruslah bersumber dari publik, yaitu didanai dari pajak penghasilan dan atau asuransi kesehatan sosial. Penduduk membayar pajak atau iuran jaminan kesehatan ketika sehat. Ketika sakit, mereka tidak perlu membayar. Namun, penduduk miskin, kurang mampu, bahkan penduduk bukan penerima upah (sektor informal) seringkali mendapat bantuan/subsidi untuk membayar iuran atau membayar biaya berobat. Tujuannya sederhana, terwujudnya ekuitas egaliter yaitu akses layanan kesehatan yang berkualitas memadai sesuai kebutuhan medis seseorang terlepas dari kondisi ekonomi orang tersebut. Itulah tujuan utama pendanaan publik, universal health coverage yang dunia telah berkomitmen mewujudkannya di tahun 2030. Negara-negara maju telah lama mendanai layanan kesehatan dengan porsi 70- 85% bersumber dana publik. Sumber dana publik di Mungtai telah menembus 87%. Sementara Pemerintah Malaysia dalam dua dekade menanggung 50-60% belanja kesehatan rakyatnya. Pemerintah China yang di tahun 2000 sama dengan kita, kini telah menanggung 55% belanja kesehatan seluruh rakyatnya. Tetapi, Pemerintah Indonesia (termasuk belanja JKN/asuransi sosial) sejak 20 tahun silam hanya menanggung sekitar 40% belanja kesehatan seluruh rakyat, terendah. Belanja publik kesehatan Indonesia hanya US36/kapitaditahun2014,yangdikelolaBPJSKhanyasekitarUS 36/kapita di tahun 2014, yang dikelola BPJSK hanya sekitar US 27 per kapita per tahun. Rata-rata belanja kesehatan total dunia per kapita di tahun yang sama mencapai US$ 1.061. Jangan heran jika kualitas dan produktifitas bangsa kita jauh tertinggal. Meskipun masih setengah hati dan selalu berkilah bahwa Pemerintah tidak memiliki cukup fiskal, penduduk miskin dan tidak mampu sudah dijamin melalui subsidi iuran JKN. Belum memadai, tetapi telah membantu sebagian penduduk yang terkena bencana sakit. Masih banyak masalah JKN, khususnya bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti target yang tidak tepat, kartu JKN-KIS yang tidak akurat, dan informasi yang tidak memadai bagi peserta PBI. Disayangkan pula bahwa BPJS telah keliru menyebar informasi bahwa pemanfaatan (angka utilisasi) PBI rendah dengan menyajikan data klaim saja. Banyak peserta JKN, apalagi peserta PBI yang bermasalah dengan kartu JKN-KIS, yang belum atau tidak menggunakan haknya, tidak menggunakan kartu JKN-KIS untuk berobat. Dengan demikian, klaim yang masuk ke BPJS Kesehatan adalah bias. Penelitian evaluasi, khususnya untuk mengukur apakah tujuan ekuitas egaliter sudah semakin baik, perlu mengkaji data populasi/komunitas, bukan data klaim BPJS Kesehatan. Selain itu, kajian berbasis populasi dapat menggali informasi lebih banyak tentang pemahaman JKN dan berbagai kontributor lain yang berkaitan dengan ekuitas dan protektabilitas JKN
    corecore