3 research outputs found

    Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis: Scoping Review

    Get PDF
    Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang memberikan beban pembiayaan kesehatan yang besar bagi negara. Pasien TB merupakan pasien yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk pengobatannya karena durasi pengobatan yang cukup lama yaitu minimal enam bulan. Kondisi pandemi COVID-19 dapat berdampak pada pelaksanaan pengobatan TB di sarana pelayanan kesehatan. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak pandemi COVID-19 terhadap hasil pengobatan pasien TB. Metode: Pendekatan scoping review dilakukan dalam penulisan artikel ini. Penelusuran literatur dilakukan melalui pangkalan data PubMed, ScienceDirect, dan SpringerLink, menggunakan kata kunci tuberculosisAND ("treatment outcome" OR "therapy outcome") AND (covid OR pandemic) yang diseleksi berdasarkan batasan yang telah ditetapkan. Artikel hasil pencarian disusun menggunakan EndNote X9. Berdasarkan hasil penelusuran, didapatkan sembilan artikel penelitian observasional. Pengobatan TB dikatakan berhasil jika subjek penelitian dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap. Hasil pengobatan TB pada periode sebelum dibandingkan dengan selama pandemi COVID-19 pada lima negara menunjukkan adanya penurunan angka keberhasilan terapi, yaitu Malawi (Lilongwe) 0,1%; China 1,0%; China (Ningxia Hui) 2,53%; Korea 5,9%; Etiopia 8,03%; dan Zimbabwe (Harare) 11,6%. Akan tetapi, dua penelitian di Kenya (Nairobi) dan Sierra Leone, Afrika menunjukkan peningkatan keberhasilan terapi TB selama masa pandemi secara berturut-turut, yaitu 2% dan 8,9%. Tren hasil pengobatan TB selama masa pandemi COVID-19 menunjukkan hasil yang variatif, namun mayoritas penelitian menunjukkan penurunan keberhasilan di beberapa negara

    Pendidikan dan Pelatihan untuk Peningkatan Kompetensi Apoteker terkait Telefarmasi: Scoping Review

    Get PDF
    Antihypertensive and antidiabetic drugs in chronic kidney disease (CKD) patients undergoing hemodialyThe high demand for telepharmacy services led to the urge for proper training and education to enhance its quality. This review aimed to assess the implementation and outcomes of telepharmacy training and education programmes. This scoping review was conducted on ScienceDirect, Sage Journal, SpringerLink, and Google Scholar databases using keywords “training” OR “education” AND “telepharmacy,” “training” OR “education” AND “digital competency” AND “pharmacy.” Only English-written articles published between 2000 – 2023, original research and brief report were included in this review. Eight of 171 articles met the criteria and the study’s objectives. Those studies discussed telepharmacy learning programmes for pharmacy students in the USA (5 articles), UAE (2 articles), and Malaysia (1 article). The learning methods included didactic learning, case-based study, simulation/roleplay, and clerkship employing technological tools. Rubrics, quizzes, questionnaires, and objective structured clinical examination (OSCE) were used as assessment methods. All studies reported improved students’ knowledge, perceptions, and telepharmacy competencies. In conclusion, the telepharmacy learning programmes have effectively upgraded students’ knowledge and skills by various methods at every level. However, there remains a considerable need for evidence on suitable training for pharmacists to improve their telepharmacy competencies and service quality.Peningkatan kebutuhan pelayanan telefarmasi mengarah pada urgensi pendidikan dan pelatihan telefarmasi untuk meningkatkan kualitas layanannya. Tujuan dari artikel ini adalah mengkaji implementasi program pendidikan dan pelatihan telefarmasi serta output yang dihasilkan. Kajian scoping dilakukan pada literatur dari pangkalan data ScienceDirect, Sage Journal, SpringerLink, dan Google Scholar menggunakan kata kunci “training” atau“education” dan “telepharmacy,” “training” atau “education” dan “digital competency” AND “pharmacy.” Hanya artikel berbahasa Inggris, dipublikasikan pada periode 2000 – 2023 serta merupakan hasil riset dan laporan singkat yang diikutsertakan pada kajian ini. Delapan dari 171 artikel yang ditemukan memenuhi kriteria inklusi dan tujuan kajian. Studi tersebut membahas implementasi dan evaluasi program pendidikan terkait telefarmasi di negara Amerika (5 artikel), Arab (2 artikel), dan Malaysia (1 artikel). Metode pembelajaran yang digunakan meliputi paparan, pembelajaran berbasis kasus, simulasi/roleplay, dan magang menggunakan berbagai media teknologi. Metode penilaian menggunakan rubrik, kuis, kuesioner, dan objective structured clinical examination (OSCE). Seluruh penelitian melaporkan peningkatan pengetahuan, persepsi dan kompetensi telefarmasi mahasiswa. Dapat disimpulkan bahwa program pembelajaran terkait telefarmasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dengan berbagai metode pada setiap tingkat. Namun, masih sangat dibutuhkan bukti program pelatihan yang sesuai bagi apoteker untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas pelayanan telefarmasi

    Peningkatan Kemampuan Apoteker sebagai Peneliti dalam Upaya Antimicrobial Resistance Awareness

    Get PDF
    Hingga saat ini, resistensi antimikroba masih menjadi masalah akibat ketidakrasionalan penggunaan antimikroba. Diperlukan minat dan pemahaman dari praktisi Apoteker untuk meneliti terkait antimikroba sehingga dapat berkontribusi terhadap penyelesaian masalah tersebut. Akan tetapi, penelitian lebih umum dilakukan oleh para akademisi dibandingkan dengan praktisi. Oleh sebab itu, dirancang sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang bertujuan meningkatkan minat dan pemahaman praktisi Apoteker terkait penelitian antimikroba. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah Focus Group Discussion (FGD) yang diawali dengan paparan ilmiah oleh narasumber. Peserta di setiap kelompok diatur terdiri dari gabungan akademisi dan praktisi Apoteker. Pada sesi FGD, praktisi Apoteker memaparkan permasalahan terkait antimikroba berdasarkan pengalaman kerjanya. Para akademisi berkontribusi untuk menyusun permasalahan menjadi sebuah kerangka penelitian yang dapat diaplikasikan. Berdasarkan post-assessment, kegiatan FGD antara akademisi dan praktisi terbukti meningkatkan minat dan pemahaman peserta terkait penelitian antimikroba. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah praktikal termasuk resistensi antimikroba
    corecore