6 research outputs found

    Cita Politik Hukum Pidana Mati Di Indonesia

    Full text link
    Pidana mati selalu menarik untukdibicarakan, baik dalam hukumdan pelaksanaannya. Pidana matiberkaitan erat dengan hak untukhidup, yang merupakan hak asasimanusia yang paling dasar.Negara-negara di dunia dibagimenjadi dua, di satu sisi adanegara hukuman mati dijalankan,di sisi lain tidak sedikit negarayang telah menghapuskanhukuman mati dalam undangundangtersebut. KUHP Indonesiamenetapkan hukuman matisebagai salah satu kalimat utama.Namun, di samping hukuman matidiatur dalam KUHP jugamengancam terhadap pelanggaranlain di luar KUHP. Penelitian inimenguji cita-cita politik hukumpidana Indonesia dalam masalahhukuman mati.Kata Kunci : pidana mati, hak untuk hidup, politik huku

    Hak Asasi Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

    Full text link
    Up to now, the law is still considered discriminatory and gender inequality. Though the law should be equal or sensitive to gender inequality to guarantee women's rights. By following the principle of equality in all areas of the good men and women have equal rights or opportunities to participate in every aspect of social life and state. so if there is discrimination against women, it is a violation of women's rights. women's rights violations occur due to many things, including the result of the legal system, where women are victims of the system. Reform Order is the most progressive period in the protection of human rights. Various laws and regulations come outin this period, including laws and regulations concerning women's rights. Seen from the government's efforts to eliminate discrimination based on sex are included in many legislations

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum Islam

    Full text link
    Human Traffickingis one of the most common crimes occurs in Indonesia. To eradicate this crime, the government issued the 21/2007 of Human Trafficking Act (UU PTPPO). The statue sanctions persons committing the crime and providing protection to witnesses and victims. The law accomodate a number of penalties for the perpetrators of this crime, ranging from principal punishment, in the form of imprisonment and fine, to additional criminal and ballast. Although Islamic law does not explicitly regulate this crime, it is clearly contrary to Islamic principles of freedom, independence, equality and human dignity

    Penggunaan Model Pembelajaran Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siswa SMP

    Full text link
    —Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan model pembelajaran Discovery Learning terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII, sedangkan sampel nya adalah siswa kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan VIII B sebagai kelas kontrol di SMP Islam Abata Malausma. Penelitian ini menggunakan desain penelitian The Nonequivalen Pretes-Postes Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Islam Abata Malausma, Kecamatan Malausma Kabupaten Majalengka tahun ajaran 2018/2019. Sementara sampel kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan VIII B sebagai kelas kontrol. Hasil Penelitian disimpulkan sebagai berikut: (1) Penggunaan model pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP kelas VIII dengan sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata di akhir pembelajaran sebesar 54 dari skor maksimal 80 yang pada awalnya hanya memiliki rata-rata 5,44 dari skor maksimal 80; (2) Aktivitas siswa ketika pembelajaran menggunakan model discovery learning dalam memecahkan masalah matematika sebesar 80% pada kategori baik . Hal ini dibuktikan dengan peningkatan aktivitas siswa ketika pembelajaran sebesar 4 dari nilai maksimal 5 dan hal itu termasuk dalam kategori baik

    PERLINDUNGAN HAK ANAK DI INDONESIA DALAM PERKARA DISPENSASI KAWIN

    Full text link
    Perkawinan, berdasarkan hukum Indonesia dibatasi secara usia. Ukuran kedewasaan calon pengantin ialah kematangan jiwa dan raga. Pembatasan usia perkawinan membutuhkan kesiapan baik secara fisik maupun psikis, terutama bagi kedua calon pengantin. Perkawinan sendiri diartikan sebagai, “suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mrntaati peritah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah”. Perubahan batas minimum perkawinan oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, menunjukan adanya upaya perlindungan hak anak berdasarkan Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, menjelaskan bahwa, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Perkawinan di bawah usia 18 tahun digolongkan kepada perkawinan usia anak. Hal ini karena hukum Indonesia sebagaimana instrumen internasional menetapkan batas usia anak adalah 18 tahun. Mengenai istilah perkawinan di bawah umur atau perkawinan usia anak, sampai saat ini belum didefinisikan secara tegas dalam berbagai peraturan perundang terkait anak maupun perkawinan. Perkawinan usia anak tentu memberikan dampak negatif dengan mereduksi hak-hak anak, seperti hak untuk tumbuh berkembang maupun hak atas pendidikan. Jika dilihat dari perspektif hukum Islam bersesuaian dengan asas kematangan calon pasangan pada suami isteri yang didasarkan pada kemaslahatan. Kedewasaan bagi suami isteri merupakan salah satu tolak ukur untuk dapat mencapai tujuan perkawinan. Disisi lain, bila melihat pada Perma No. 5 Tahun 2019, dijelaskan bahwa asas dalam mengadili perkara dispensasi kawin adalah diantara berkaitan langsung dengan asas perlindungan hak anak, yakni: “asas kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak, dan penghargaan atas pendapat anak”. Dispensasi perkawinan merupakan bentuk pengecualian dalam perkawinan berupa pemberian izin oleh pengadilan, dalam hak ini pengadilan agama bagi calon suami isteri yang beragama Islam namun di bawah umur perkawinan yang diatur undang-undang

    HAK PEREMPUAN DI INDONESIA STUDI IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM

    Full text link
    Hukum haruslah berkeadilan gender sehingga dapat mengayomi dan memberikan keadilan kepada perempuan. Untuk dapat menegakan hukum yang berkeadilan gender, disamping hukum secara substansi, harus diperhatikan hukum secara stuktur dan budaya. Berbagai instrument hukum telah dibuat dengan tujuan yang sebenarnya mulia: mewujudkan keadilan. Keadilan dapat terpenuhi apabila hukum mengandung nilai kesetaraan sehingga aturan yang dibuat harus bebas dari diskriminasi. Instrument Universal Declaration on Human Rights (UDHR)/Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) misalnya, definisi HAM yang dibuat adalah luas, tujuannya supaya manusia sedunia menghormati kemanusiaan semua orang. Deklarasi tersebut memang tidak banyak menyatakan tentang perempuan, namun article 1 dan 2 memuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi berdasarkan semua hal, misalnya asal usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya, kebangsaan atau asal usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya. Adanya poin penghapusan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan didudukkan dalam keadaan yang setara. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, ditujukan agar para Hakim memiliki acuan dalam memahami dan menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non diskriminasi dalam mengadili suatu perkara. PERMA ini hadir memberikan definisi relasi kuasa itu sendiri dan memberikan pedoman bagi hakim untuk mengkaji relasi kuasa pada saat mengadili perkara yang melibatkan perempuan. PERMA ini merupakan momentum yang baik untuk lahirnya putusan-putusan progresif yang mengakomodir hak-hak korban khususnya perempuan serta mengantisipasi penafsiran pasal-pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang justru merugikan korban
    corecore